Irony
Kuroko no Basuke (c) Fujimaki Tadotoshi
Irony (c) Hanyo4
Tidak ada keuntungan dalam fic ini.
Maaf apabila ada kesamaan ide.
WARN : ShoAi, Alur kecepetan, Typo, OOC untuk kebutuhan cerita
Dont Like? Dont Read!
.
.
.
I've Already warn you.
so, enjoy!
Angin musim dingin berhembus sangat kencang. Pemuda itu merapatkan jas tebalnya dan berhenti sejenak tuk menatap langit.
Malam ini salju pasti turun
Langit malam musim dingin yang bertebaran jutaan bintang di dalamnya, tak membuatnya takjub sama sekali. Kakinya terus bergerak membawanya ke tempat tujuan. Dirinya tenggelam dalam konflik batin yang melandanya.
Tangannya dikepal kuat hingga buku-buku jari itu memutih. Dihembuskannya nafas berat untuk menjernihkan pikiran sejenak.
Ia tak bisa mundur. Tak boleh.
Perjalanannya terhenti di depan pintu gerbang sebuah manor yang megah. Dibukanya pintu gerbang besar itu seorang diri. Walaupun merasa sedikit ganjil karena tak bisaanya manor itu terasa sangat sepi dan sunyi. Tapi ia melihat adanya sedikit keuntungan dari situasi tersebut. Tidak, bukan hanya sedikit. Ini sangat menguntungkan bagi dirinya.
Hal pertama yang harus ia lakukan adalah pergi menuju gazebo yang berada di halaman belakang. Di rabanya saku celana untuk memastikan benda tersebut dibawa olehnya. Bisa gagal seluruh rencananya apabila botol kecil itu tak berada di dalamnya. Namun ke khawatirannya sirna ketika tangannya merasakan sesuatu.
Senyum yang penuh arti tersirat menghiasi bibirnya.
Kalau sudah seperti ini, mustahil untuk mundur.
Tanpa ia sadari, gazebo itu sudah dekat. Tinggal beberapa langkah lagi untuk masuk ke dalamnya. Dilihatnya seorang gadis bermahkota baby blue sedang duduk dan menatap langit membelakangi dirinya. Pemuda itu berjalan mendekati gadis itu. Gadisnya.
"Tetsuna," panggilnya lembut. Gadis itu—Kuroko Tetsuna menatap sang pemuda dengan tatapan terkejut sekaligus bahagia. Yang di tatap malah heran dengan pakaian yang Tetsuna kenakan.
Mengapa gadis ia hanya mengenakan dress putih tipis di malam sedingin ini? Apa tidak membeku kedinginan?
Tak tahan melihat gadis tercintanya berperang melawan hawa dingin, pemuda itu melepaskan jas tebalnya dan memakaikannya di pundak Tetsuna. " Kau tahu tubuhmu itu lemah dan rawan akan penyakit. Mengapa kita tidak bertemu saja di dalam?"
Tetsuna menggeleng lemah. Ia mengangkat cangkir berisi Earl Grey yang masih penuh dan meminumnya hingga setengah kosong. "Kita tidak bisa kedalam, Sei-kun" ucapnya lembut. Tangan putih pucatnya menaruh cangkir itu di atas meja.
Sang pemuda—Akashi Seijurou, berjalan menuju kursi di hadapan Tetsuna lalu menariknya untuk ia duduki. Tangannya ia taruh diatas meja untuk bertopang dagu dan menatap mata biru langit Tetsuna. Dimana setiap kali ia menatapnya, hatinya tenang. Seluruh beban menguap begitu saja tanpa tersisa sedikit pun. Tapi tidak untuk kali ini.
"Aku tahu tujuan mu datang ke sini, Sei-kun" ucap Tetsuna tiba-tiba. Membuat Akashi memutuskan kontak mata itu sepihak dan mengedarkan pandangannya ke arah lain. Eksistensinya terancam.
Walaupun hatinya gundah, pikirannya kalut, namun ekspresinya masih bisa ia kendalikan. Sebuah senyuman terpatri di bibir Akashi. Ia memberanikan diri untuk memndang Tetsuna lagi. "Tentu saja kau tahu. Aku kesini untuk menemuimu, Tetsuna" ujarnya dengan tenang walaupun jantungnya sedang berpacu sangat cepat.
Tetsuna membuang wajahnya sejenak lalu menduduk. "Bohong," gumamnya kecil namun masih dapat Akashi dengar. Keringat dingin mulai menetes dari kening pemuda bersurai merah itu. Ia mulai khawatir dengan sikap Tetsuna. Takut-takut gadis itu mengetahui kebenarannya.
Gadis itu mendongkakkan kepalanya menatap langit-langit gazebo tersebut. Manik-manik air mata mulai muncul di tepi matanya. Namun dengan cepat ia hapus sebelum meninggalkan jejak. Ia tak boleh menangis di hadapan kekasihnya.
Beruntung Akashi sedang kalut dalam konflik batinnya tak menyadari tingkah Tetsuna yang barusan. Pandangan matanya memang tertuju pada gadis itu tapi ia sama sekali tidak memperhatikannya. Ia terlalu sibuk untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan yang ada.
"Tak usah seperti itu Sei-kun," Tetsuna kembali mengangkat cangkir tehnya lalu menghabiskannya perlahan sebelum teh tersebut dingin. "Tidak perlu kau tutupi"
Jantung Akashi makin berpacu dengan cepat. Ia tak bisa lagi mengontrol emosi di wajahnya. Kemungkinan terburuk yang ada diotaknya mungkin kini akan menjadi kenyataan. "Apa maksudmu Tetsuna?" tanyanya demi menghilangkan rasa penasarannya sekaligus memastikan satu hal.
Tetsuna menghembuskan nafas berat lalu mencoba untuk tersenyum lemah. "Aku tahu Sei-kun. Malam ini kau akan menghabiskan seluruh keluargaku dengan pedang itu kan?"
Akashi membatu.
Kemungkinan terburuknya menjadi kenyataan.
Ia tak bisa menyangkal ataupun mengelak.
Akashi menatap miris pedang yang bertengker di pinggangnya. Pedang itu mengingatkannya dengan ratusan atau mungkin ribuan nyawa yang sudah ia renggut di arena peperangan. Pedang yang di berikan secara khusus untuknya. Pedang pemberian keluarga yang menjadi targetnya.
Tetsuna menyentuh telapak tangan Akashi yang terkepal. Ia memandang pemuda itu dalam. Sang pemuda mendongakkan kepalanya dan membalas tatapan itu. Tenang dan hangat. Itulah yang ia rasakan.
Air mata mulai becucuran di pelupuk mata Akashi. Persetan dengan titel 'Ksatria Emperor' yang di elu-elukan oleh masyarakat kepadanya. Terserah orang mau berkata apa. Akashi hanya bias melepaskan topengnya dihadapan Tetsuna.
Di depan gadis itu tak ada sosok 'Ksatria Emperor' yang berhati dingin. Hanya ada Akashi Seijurou seorang yang butuh tempat sandaran.
"Kenapa Tetsuna? Apa kau ingin menghalangiku?"
Tetsuna menggeleng. "Aku takkan menghalangimu Sei-kun" jawabnya setengah berbisik.
Akashi terkejut dengan jawaban yang Tetsuna berikan. Baginya akan lebih mudah jika Tetsuna berkata iya. Lebih mudah jika Tetsuna marah dan membencinya. Toh juga sebentar lagi sang pemuda akan menghancurkan hidupnya.
"Kenapa?" emosinya tak dapat ia bendung lagi. Akashi berdiri tiba-tiba hingga menyebabkan kursi yang ia duduki jatuh kebelakang. Ia melepaskan genggaman lembut Tetsuna dengan kasar. Menyebabkan senyum yang tersunging di bibir gadis itu sirna.
Bukannya menjawab pertanyaan Akashi, Tetsuna malah menggenggam erat dadanya yang terasa terbakar. Nafasnya perlahan mulai terssengal-sengal.
Sudah bereaksi toh? Cepat sekali.
Tubuhnya ambruk kesamping. Dengan sigap Akashi menahannya sebelum kepala Tetsuna menyentuh lantai. "Apa yang terjadi?" tanyanya cemas melihat gadis kesayangannya tiba-tiba meringkuk kesakitan.
Tetsuna kembali tersenyum. Kedua tangannya yang bergetar menahan rasa sakit meraih tangan kanan Akashi yang bebas dan menggenggamnya erat. "Jangan kotori tanganmu yang hangat ini dengan darah keluargaku yang kotor" ucap Tetsuna pelan. Air mata mulai membasahi pipi putih pucatnya.
Akashi mengecup tangan Tetsuna. Tubuhnya bergetar mendengar kata-kata tersebut bisa keluar dari mulut gadis yang biasanya bertutur kata lembut.
"Semua sudah selesai Sei-kun. Dendam keluargamu telah ku tuntaskan"
Iris Crimson itu melebar. Terpaku tak mempercayai indera pendengarannya. "A-apa maksudmu?"
Tetsuna membuang wajahnya. Genggamanya perlahan melemah. "Aku sudah membunuh seluruh keluargaku dengan kedua tanganku Sei-kun,"
Diam! Berhenti Tetsuna! Jangan katakan-
Tangan Tetsuna jatuh bebas. Ia sudah tak memiliki tenaga sama sekali. "dan membunuh diriku sendiri"
-hal bodoh seperti itu.
Racun yang ia campur ke dalam tehnya sudah beraksi. Umurnya tinggal hitungan detik.
Akashi masih tak percaya. Ia tidak mau percaya.
Pandangan Tetsuna mulai kabur. Kelopak matanya semakin berat. Ia ingin segera memejamkan matanya dan membuat penderitaanya berakhir. Tapi ada satu hal yang harus ia lakukan. Ia harus mengucapkan salam perpisahan.
"Maafkan aku Sei-kun. Aku mencintaimu"
Akashi mematung. Namun air matanya tetap mengalir deras. Di pandangnya tubuh sang kekasih yang masih ada di pangkuannya.
Bukan. Bukan ini yang mau ia lakukan.
Memang benar Akashi ingin membalaskan dendam keluarganya dengan membunuh seluruh keluarga Kuroko. Tapi gadis ini adalah pengecualiannya.
Ia berencana membius gadis ini sehingga membuatnya tertidur. Setelahnya, ia hanya akan menjalani rencana awalnya lalu pergi dengan harapan ketika gadis itu bangun, ia—Kuroko Tetsuna—akan membencinya—Akashi Seijurou. Dan menuntut balas dendam.
Dengan begitu Tetsuna akan terus hidup. Dengan tujuan hidup yang baru. Membunuh Akashi Seijurou.
Tapi semua kini sia-sia.
Gadis itu takkan menuntut balas dendam.
Karena kini iris baby blue itu terpejam sempurna.
Ia kecewa, marah, dan sedih.
Akashi memeluk tubuh Tetsuna yang mulai kehilangan kehangatan. Ia menatap wajah Tetsuna. Mata yang biasanya memeberi tatapan hangat yang menenangkan, sudah tertutup untuk selamanya
Seperti raga tanpa nyawa, Akashi berdiri menggendong tubuh sang kekasih. Ia berjalan keluar dari kawasan manor yang kini mulai di selimuti api entah sejak kapan, Ia tak peduli.
Salju mulai turun seperti perkiraannya tadi. Akashi merasa tubuhnya membeku. Tapi ia abaikan. Jas tebalnya lebih ia pilih untuk menutupi tubuh putih pucat Tetsuna ketimbang dirinya. Pikirannya kosong. Hatinya sakit. Rencananya gagal total.
"Akashi?" Seseorang kini berada tepat di hadapannya. Salah satu dari kerabat keluarga Kuroko. Mayuzumi Chihiro. "Apa yang kau lakukan?" iris kelabu hangat itu menatap tubuh Tetsuna yang di gendong Akashi.
Yang di Tanya malah membuang muka, enggan tuk menjawab.
"Di-dia melakukannya?" Tanya Mayuzumi ragu.
Ya. Bodoh bukan?
Tangan Mayuzumi terkepal hendak meninju wajah pemuda itu. Namun niatnya sirna ketika memandang gadis yang matanya telah terpejam sempurna. Ia tak bisa melanggar janjinya. Janji pertama dan terakhirnya kepada seorang Kuroko Tetsuna.
"Berikan dia kepadaku. Bagaimanapun juga, seorang butler harus tetap setia kepada majikannya" Mayuzumi mengulurkan tangannya. Ragu, Akashi hanya menatap kosong uluran tangan itu.
Hening sejenak.
"Ya. Dan juga seorang Akashi sama sekali tak pantas menyentuh tubuh milik garis keturunan Kuroko" Akashi tersenyum miris dan memberikan tubuh Tetsuna yang sudah dingin ke Mayuzumi. Mayuzumi menerimanya lalu menatap lama wajah sang gadis.
Kau Lady terbodoh yang pernah kukenal.
Salju turun makin lebat. Keduanya angkat kaki dari tempat itu. Akashi berjalan menuju arah hutan. Sedangkan Mayuzumi melanjutkan perjalanannya ke tujuan awal—manor keluarga Kuroko. "Baiklah. Ayo kita pulang, hime-sama" ucapnya lembut.
. . . . .
Sinar mentari pagi perlahan masuk melewati celah-celah kecil tempat itu. Kertas-kertas yang berbentuk gumpalan bola tercecer berantakkan di lantai dekat tempat sampah.
Lampu meja belajar yang masih menyala karena pemiliknya lupa untuk mematikannya. Dan di meja belajar itu pula lah terdapat seorang pemuda bersurai biru langit sedang tertidur pulas di kamar itu masih terlihat rapih tak pernah tersentuh oleh sang pemilik yang lebih suka berkutat dengan komputernya ketika malam hari.
KRIINGG!
Dering alarm membangunkan pemuda itu dari tidur singkatnya.
Tiga jam? Ah. Kurasa ada kemajuan
Pemuda itu—Kuroko Tetsuya berjalan gontai menuju kamar mandi guna mencuci muka serta menggosok gigi. Tak lupa ia bersiap-siap untuk berangkat menuju sekolahnya. Teiko gakuen.
Latihan pagi di musim panas menuntutnya untuk berangkat lebih awal. Sang kapten tak mau berkompromi dengan insomnia akut yang di deritanya. "Kurasa aku butuh kopi pagi ini" gumamnya kepada diri sendiri. Tangan kanan Kuroko memegang novel yang bersampul hitam bertuliskan 'Black rose' di covernya. Langkahnya lurus kedepan walaupun matanya terus tertuju pada objek yang sama.
Walaupun masih pagi, tetapi hawa panas sudah menjalar kemana-mana. Terbukti dengan banyaknya orang yang memilih untuk menggunakan payung di sekitaranya. Kuroko menyesal karena lupa membawa benda tersebut. Bisa dibilang, ia sangat membenci sengatan matahari .
"Ohayou Kurokocchi" sapa Kise ketika Kuroko sampai di depan loker sepatunya. Pemuda blonde itu tersenyum sangat lebar seperti biasanya. Kuroko hanya mengangguk lemah . jujur, pemuda itu masih terpaku dengan alur yang terdapat di novel yang sedang dibacanya. Sehinngga ia lebih memilih untuk mengabaikan keadaan di sekitarnya.
Setelah bertukar sepatu, Kuroko melangkahkan kaki menuju kelasnya di lantai dua. Ia harus menaruh tas sekolahnya baru berlatih basket. Tak lupa ia menaruh novel bersampul hitam itu di dalam laci mejanya. Kalau tidak, ia harus rela novel barunya disita secara sepihak oleh sang kapten yang otoriter.
"Kau terlambat dua puluh satu detik, Tetsuya"
Huh, padahal dirinya sudah mati-matian bermaraton ria dari kelas tadi. Bibirnya mengerucut tak terima. Tapi raut wajahnya masih tetap datar seperti biasanya.
"Hukumanmu lari tiga putaran" Akashi berlalu tanpa melirik lawan bicaranya yang melongo tak terima.
Sungguh, berlari dicuaca terik seperti ini. Bukankah namanya bunuh diri? Bagaimana kalau dirinya nanti mati dehidrasi? Memangnya sang kapten titisan neraka itu mau tanggung jawab?
Segala sumpah serapah ia lontarkan di dalam batin karena lisannya tak pernah mengeluarkan kata-kata kasar. Ia merutuki segala sesuatu yang membuat moodnya hancur hari ini.
Awas saja kalau malam nanti ideku tak bisa muncul.
Tangan kirinya mengelap keringat di dahi. Langkahnya ia perlambat tuk sekedar mengambil napas. Sebentar lagi garis akhir. Dan ia sudah berlari tiga putaran. Tak perlu lah terburu-buru. Akan tetapi, manik baby bluenya terpaku pada seseorang di luar pagar sekolahnya yang sedang menatap dirinya.
"Ma-Mayu…" pandangannya mengabur. Tubuhnya oleng kesamping tertarik gaya gravitasi bumi "—san?" ucapnya sebelum kesadarannya lenyap.
Seluruh anggota GoM yang melihat pemain keenamnya tumbang, langsung panik berlari menghampiri.
"Ryouta, cepat panggil ambulance" titah sang kapten. Dan pemuda bersurai pirang itu mengangguk setuju.
. . . . .
"Dia hanya kelelahan. Mungkin akhir-akhir ini ia tak istirahat yang cukup" ucap sang dokter yang memeriksa keadaan Kuroko.
Dokter tersebut pamit pergi kepada kelima pemuda pelangi di hadapannya. Akashi hanya mengangguk paham lalu mengepalai mereka semua memasuki ruang rawat Kuroko.
Terlihat, pemuda pucat pasi yang terbaring dengan sebuah selang infus menancap di lengan kirinya. Kedua matanya terpejam karena sang empunya sedang berkelana di dunia mimpi.
"Dia kelelahan. Tapi masih memaksakan diri ikut latihan" ucap Aomine
"Kurasa Kurokocchi sangat mencintai basket-ssu. Makanya ia rela memaksakan dirinya" sambung Kise
Midorima membenarkan letak kacamatanya yang sama sekali tidak merosot. "Bukannya aku peduli atau apa, tapi akhir-akhir ini aku suka melihatnya tertidur di kelas saat jam pelajaran. nanodayo"
Sedangkan Murasakibara sama sekali tidak memiliki minat dengan snack yang di peluknya. "Apa Kurochin kurang makan yaa? Tubuhnya jadi terlihat semakin kurus"
Semua memandang tubuh ringkih di hadapannya.
"Benar juga/-ssu/nanodayo" ucap Aomine, Midorima, dan Kise berbarengan.
Akashi hanya diam. Menatap lekat pemuda yang masih terbuai dalam mimpinya.
Siapa dia?
Tanyanya dalam hati
. . . . .
Kuroko merasa asing pada hal di sekelilingnya.
"Apa ini?" tanyanya ketika ia melihat sebuah manor megah besar yang terbakar. Tak jauh dari manor itu, Nampak sesosok pemuda bersurai kelabu yang sedang menggendong seorang gadis berjalan mencoba memasuki lautan api itu.
"Hei! Jangan kesana! Itu berbahaya" Teriaknya sambil berlari kearah pemuda itu. namun sang pemuda hanya diam seperti tak mendengar Teriakan Kuroko.
"Heiii! Jangan ke—" iris baby blue nya membulat sempurna ketika ia melihat kedua orang itu sudah terselimuti oleh bara api. Tubuhya terjatuh lemas. Air matanya jatuh tiba-tiba. "sana?" dan entah mengapa, manik tersebut seolah kosong. Tidak seperti sebelumnya.
. . . . .
"Kau sudah bangun Tetsuya?" Tanya Akashi yang duduk di salah satu bangku samping ranjang Kuroko. Keempat lainnya sudah pamit pulang sejak sejam yang lalu. Walaupun sebenarnya mereka memaksa untuk ikut menemani Kuroko hingga ia sadar. Namun setelah Akashi memainkan gunting kesayangannya, keempat orang itu langsung pamit undur diri.
Kuroko menatap sekelilingnya. Bau has obat-obatan langsung menyerbu indra penciumannya. "Aku ada di rumah sakit?"
Akashi mengangguk. "Kau pingsan saat berlari di lapangan. Dokter bilang kau kelelahan"
Kuroko mencoba bangkit dari tidurnya. Ia memandang lekat ruangan itu. mencoba mencari sesuatu yang pasti selalu ada di setiap ruangan. Namun anehnya, ia tidak menemukan benda tersebut dan memutuskan untuk bertanya. "Jam berapa sekarang Akashi-kun?"
"Jam lima sore Tetsuya"
Dengan sigap, Kuroko langsung bangkit dari ranjangnya. Membuat sang kapten terkejut. "Maaf merepotkanmu Akashi-kun. Tapi aku harus segera pulang kerumah"
Akashi menatap sinis pemuda ringkih itu. "Tapi kau butuh istirahat Tetsuya"
"Aku bisa istirahat di rumah Akashi-kun"
"Apa kau mau aku menghentikan penerbitan novel baru mu?"
Iris biru langit itu membulat. Seingatnya tidak ada seorangpun yang tahu akan pekerjaan rahasianya. "Akashi-kun tahu?" tanyanya untuk memastikan.
Akashi menyeringai. "tentu saja, aku ini absolut Tetsuya"
Pemuda yang biasanya keras kepala itu menyerah. Tak mau mimpinya di hancurkan secara sepihak oleh tuan muda yang serba bisa.
Bibir Kuroko mengkerucut tak terima. "Salahmu yang menghukumku lari keliling lapangan"
Tatapan Akashi melunak, "Daiki saja yang lari sepuluh lipat darimu tidak jatuh pingsan"
Ada hal yang mereka berdua sembunyikan.
Kalau mereka menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman. Dan itu hanya di tampakka di kala, hanya ada mereka berdua.
Akashi memeluk erat kekasihnya. Membuat rona-rona merah nakal menyelimuti wajah Kuroko.
Aku akan melindungimu
TBC
Hmm, 4 november itu AkaKuro day bukan sih? /Ha-Chan sotoy/ wkwkwk Niatnya Ha-Chan mau ngeposting tepat tanggal 4. berhubung lagi minggu-minggu uts, jadi yaa... di percepat deh hehehe...
So minna,
Mind to RnR?
Arigatou Gozaimasu~
-Hanyo4-
