"Kau ikut 'kan besok, Mikasa?" Sasha menarik-narik ujung kain baju teman di sebelahnya.

"Tidak tahu. Aku sibuk, Sas—"

"Aah, ayolaaah! Jean dan Connie juga ikut kok!"

Yang ditanya hanya mengukirkan kalimat memang-kenapa-kalau-mereka-ikut-? di dalam kepalanya.

"Pameran museumnya terakhir besok, Mikasa! Katanya keren-keren lho karyanya. Tidak penasaran? Aku penasa—eeh...dengarkan aku, Mikasaaa!"

"Haah... Lihat sajalah besok, tugasku banyak!" balas gadis bersyal merah itu sambil segera keluar dari kereta setelah sebelumnya besi panjang itu berhenti, membuat si gadis ekor kuda di belakangnya langsung memasang ekspresi kecewa.

"Uh... POKOKNYA, BESOK AKU KE RUMAHMU, YA!" teriak Sasha kemudian, disambung dengan tertutupnya pintu kereta yang bersiap melesat ke tujuan berikutnya.

"Si Sasha...mau ke museum saja ribut amat..." gumam Mikasa memandang langit mendung di atas kepalanya selepas meninggalkan stasiun kereta.

.

.

.


The Gallery I Met Them

Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime

~ Ib AU ~
(Ib (c) kouri)

Crossover AU fic challenge of #SacchiMainYuk

WARNING: Ib AU, possibly OOC, slight MikaJean, abal, aneh, kalau ada mistypo dengan amat sangat saya mohon beritahu saya


Chapter 1
- Welcome to His Gallery -

.

.

.

Mikasa tidak percaya, ternyata Sasha berhasil membawanya ke museum seni yang dimaksud.

Awalnya ia yakin sekali tidak akan bisa pergi menemani Sasha dan yang lain, karena ditimpa banyak tugas selama orangtuanya pergi hari itu. Dari berbelanja bahan pangan, bersih-bersih rumah, menyiram tanaman, mencuci pakaian serta menjemurnya, dan masih banyak lagi.

Namun, sejak Sasha datang ke rumahnya tadi, kenapa ya, Mikasa merasa tugas-tugasnya selesai secepat membalikkan telapak tangan? Entah gadis ini harus senang karena terbantu atau tidak—karena ia malas ke tempat membosankan macam museum itu.

"Mikasa~ Mukamu jangan bete gitu dooong... Tiket masuknya saja kutraktir semua."

"Si Sasha lagi dapat durian runtuh, nih," sela Jean.

"Kukira kau cuma bisa maka—"

"Lihat! Ada roti raksasa!"

"Itu terbuat dari tanah liat, Sasha. Jangan coba-coba makan benda itu."

"Tapi baunya enak, Connie. Kayaknya roti asli." Sasha mulai melangkahi tambang pembatas.

"Bagaimanapun—HEI! AKU SERIUS! JANGAN DIGIGIT, SASHAAAA!"

Lalu terjadi adegan menarik-narik si gadis brunette—Sasha—dari karya seni berwujud roti raksasa oleh seorang remaja berambut tipis itu—Connie. Jean hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sembari mendekati mesin otomatis yang menjual minuman kaleng, haus.

Mikasa berdiri di tempat, tidak bergerak—tepatnya gadis itu bingung mau melakukan apa di situ, jadi ia memilih diam di tempat, mengamati pengunjung-pengunjung yang berlalu-lalang di galeri museum itu.

PLOK.
Sebuah tangan jatuh di atas bahu kanan Mikasa.

"Yo."

Ah, si Jean, pikir gadis itu tanpa menggerakkan bibirnya sama sekali.

"Aku baru beli minum. Nih." Tanpa banyak tanya, Mikasa langsung menyambar minuman kaleng yang disodorkan pemuda berambut cokelat pucat itu—dan tanpa ucapan terima kasih juga. Tetapi Jean tidak protes, tidak marah, ini semua demi usaha pendekatannya pada gadis yang sudah lama ditaksirinya itu. Walaupun sepertinya orang yang bersangkutan tidak peduli sama sekali.

"Mau lihat-lihat ke sana?" tanya Jean setelah meletakkan dua kaleng minuman lainnya—jatah Sasha dan Connie—di meja terdekat, karena tampaknya dua orang itu sedang mengadakan 'kegiatan' tak dapat diganggu. Seriously, mau sampai kapan dua anak itu mengacau di sana? tanya Jean dalam hati.

"...Boleh lah," balas Mikasa sambil melangkah mendahului yang mengajak. Jean menyesuaikan langkah kakinya agar terus sejajar dengan langkah gadis itu.

Sebelum masuk lebih jauh ke dalam, mereka berhenti di depan sebuah papan putih bertulisan di dinding.

"Ah, pameran ini sudah dibuka sejak seminggu yang lalu."

"Sasha tidak memberitahumu?"

"Dia hanya sebatas mengajakku saja, sih."

Mikasa tak membalas apa-apa. Ia memilih untuk membaca tulisan yang terukir pada papan di depannya.

"Selamat datang di dunia...ng...Ge—Ge—Gee—"

Teman di sebelahnya terkikik mendengar si gadis oriental kesulitan membaca tulisan di depannya.

"Guertena, Mikasa," ujarnya masih terkikik.

"...Y—yah... Dia... siapa..? Apa maksudnya 'dunia Ge—ng...Guertena'?" tanya gadis yang ternyata tak dapat lagi menahan rasa penasarannya.

"Seniman yang membuat semua karya di galeri ini."

"Ooh..." Mikasa merapatkan syal merahnya menutupi setengah wajahnya—kebiasaannya. Kedua matanya segera tertuju pada lukisan besar yang tergores di lantai, tidak jauh dari tempatnya berdiri.

"Mama, Mama! Ikan besar!" seru anak laki-laki dari salah satu pengunjung, menyerobot jalan Mikasa.

Ya, lukisan di lantai itu didominasi warna biru tua—menggambarkan kedalaman laut beserta seekor ikan raksasa—lantern fish—di dalamnya. Di dekat tambang pembatasnya, terdapat papan berlabel 'Abyss of the Deep'.

"Kalau lihat ini, seperti mau terhisap ke dalam, ya," komentar Jean yang tiba-tiba sudah ada di sebelah gadis bersurai legam itu lagi, lalu disambut dengan anggukan cepat.

Entah sejak kapan mata Mikasa memancarkan rasa ingin tahu yang besar, padahal tadinya tidak ada minat sama sekali.

"Kita ke sana!" seru Mikasa menggebu-gebu, tanpa pikir panjang sambil menarik lengan baju Jean ke tempat karya-karya lainnya.

Di dalam hati, Jean berseru,"Ah, terima kasih atas nikmat yang Engkau berikan hari ini, Tuhanku." Seolah ada seberkas cahaya dari langit, pemuda itu tersinari dengan indahnya.

Cukup, Jean.

.

.

.

"Eh, hei. Mikasa dan Jean ke mana?"

"Yaah, mereka meninggalkan kita..."

"Kau sih, sibuk dengan 'roti'mu itu!"

"Aku cuma mau mencicipi! Siapa tahu ada rasanya."

"Kau ini bodoh atau bagaimana si—"

"Ah! Ada jus kaleng!" potong Sasha menunjuk dua kaleng minuman di sebelahnya.

"Punya orang kali—eeh! SASHA! JANGAN ASAL AMBIL!" Terlambat. Gadis doyan makan itu telah membuka kaleng itu dan langsung meneguk isinya.

"Sudahlah, tak ada yang mengambil, kayaknya. Nih, buatmu." Connie hanya menggeleng-gelengkan kepala hampir botaknya itu dengan pasrah sambil menyambut benda yang disodorkan teman luar biasanya itu.

"Yang penting, kita cari Mikasa dan Jean dulu. Ayo!"

.

.

.

"I—ini...hebat. Lucu." Mikasa yang tampaknya terjangkit 'virus out of character' itu memandang kagum patung abstrak yang terbuat dari tanah liat berwarna biru muda di depannya.

Jean tertawa hambar. Ia hanya dapat terheran-heran, dari mana lucunya benda abstrak ini, menurutnya...agak seram, patung berlabel 'Fusion' di depan mereka itu. Namun, demi cintanya satu itu...iya-iya saja deh.

"Jean, ingat 'Embodiment of Spirit' tadi?" tanya Mikasa tiba-tiba.

"Ng...patung tak berkepala itu?"

"Itu 'kan 'Death of the Individual'."

"Lukisan pria yang tergantung itu?"

"Bukan lukisan, Jean. Itu sih, 'The Hanged Man'. Yang kumaksud itu pahatan bunga mawar ungu. Yang besar. Di lantai satu tadi."

"Oh... Kenapa? Kau suka?" Agak terkejut si surai cappuccino itu, berpikir Mikasa dapat mengingat label-label judul karya seni yang telah mereka lewati sedari tadi.

"Aku suka semuanya." Wajah gadis itu berseri-seri seketika, sungguh berbeda 180° dari biasanya.

Mikasa, oh, Mikasa, kenapa hari ini kau begitu indah! Seru Jean dramatis—tentu saja di dalam hati.

"Oh ya, tentang pahatan bunga mawar tadi..."

"Ya..?"

"Kau dengar...ada seseorang memanggilku di sana?"

"Eh? Kenalanmu mungkin?"

"Kau dengar?"

"Tidak sama sekali kurasa."

Mikasa menyandarkan punggung tangan di bawah dagunya. Pose berpikir.

"Mm...tapi...suaranya agak..."

"Agak..?"

"...agak menyeramkan."

"...Hanya perasaanmu, mungkin."

Kedua remaja itu saling membisu, sambil masih melangkahkan kaki di sepanjang koridor galeri yang penuh dengan karya-karya seni menakjubkan dari Guertena.

Sampai akhirnya terhenti di depan sebuah lukisan abstrak surealis berukuran besar nan panjang—yah, memang rata-rata lukisan di situ memang beraliran begitu sih.
Mikasa mengamati lukisan itu di setiap sisinya. Jean bersandar di dinding seberangnya sambil geli melihat kelakuan yang langka dari pujaan hatinya itu.

"Mikasa..."

Gadis yang merasa terpanggil itu merogoh kedua kantong blazer pale pink-nya dan menoleh ke arah Jean.

"Apa?"

"Apanya?"

"Ah, bukan. Bukan kau yang memanggilku. Suara itu lagi."

"Suara siapa?" tanya Jean bingung.

"Entah."

"Hanya perasaanmu, Mikasa."

Gadis itu kembali mengamati lukisan berlabel 'Fabricated World' di depannya itu. Belum puas rupanya, entah apa yang membuat segores abstrak itu menarik di matanya.

"Kemari, Mikasa..."

Mikasa yang sudah tak dapat membendung rasa penasarannya—bercampur kesal, menoleh sekali lagi ke belakangnya.

"Ap—Lho? Jean?"

Pemuda si pemilik nama tidak ada di belakangnya.
Ah, sial. Dia meninggalkanku, pikirnya.

"Ya sudah, aku juga bisa lihat-lihat sendiri kok." ujar Mikasa setengah ngambek.

Mikasa celingukan ke sekitarnya. Hanya perasaannya, atau memang tempat itu kelewat sepi?

"Tadi ramai...ng...cepat sekali lari Jean."

Perasaan Mikasa mulai tidak enak.
Kenapa sedari tadi dirinya tak berpapasan dengan satu pengunjung sama sekali?
Dan ini bukan sepi, tetapi malah tak ia temukan seorang pun di situ.

"Mikasa..."

Langkah Mikasa kembali terhenti. Suara panggilan itu terdengar dari arah belakangnya. Namun, ia sangsi untuk menoleh ke arah itu sama sekali. Bulu kuduknya terasa berdiri semua. Lalu ia geleng-gelengkan kepalanya dengan tetap melangkah ke depan, menuruni tangga.

"Jean, kau mengerjaiku, ya?! Awas kau nanti!" ucapnya setengah teriak—yah, sebenarnya sekedar upaya menenangkan diri agar ia tidak dapat mendengar suara-suara aneh lagi.

Sunyi.
Rasa takut mulai menguasai hatinya.

"Sasha! Connie! Hei! Kalian juga bersekongkol rupanya?!" Gadis itu mulai membabi-buta mengitari seluruh sudut galeri museum itu.

Tidak masuk akal. Tidak masuk akal! Mungkinkah seisi pengunjung museum bersekongkol mengerjainya? Akh! Tidak masuk akal!

"Ka—kalau begitu, aku pulang!"

Segeralah ia membelok ke arah pintu keluar.

KLEK.

Seharusnya mata si gadis sudah terterpa cahaya sang surya.

Tetapi ini...berbeda.

Mikasa tidak keluar.
Atau mungkin...'tidak berhasil'..?

"I—ini...lukisan lantai 'Abyss of the Deep'? Kenapa...aku kembali ke si—" Sebelum menyelesaikan kalimatnya, Mikasa merasakan sensasi dingin dan lembab pada permukaan kulitnya.

Ah.

Saat itu, Mikasa yakin ia tertarik ke dalam air—tenggelam..? Tetapi—ia bisa bernapas.
Sungguh aneh.

.

.

.

"Mikasa..."

Setengah sadar.

"Mikasa!"

Yang dipanggil membuka matanya lebar-lebar.

"...Eh, Sasha..?"

"Kau tidak apa-apa?"

Mikasa masih kebingungan. Ingatannya masih tercampur aduk. Namun, akhirnya ia angkat bicara lagi.

"Jean—Connie...di mana..? Di mana orang-orang..?"

"Ah, kau tahu, Mikasa? Aku kaget saat mendapati seisi museum menghilang entah ke mana! Dan setiap berusaha keluar, aku selalu kembali ke depan papan selamat datang ini!"

"...Sama..."

Rupanya, Sasha mengalami hal yang sama denganku, gumam Mikasa.

"Mikasa, kita harus cari jalan keluar."

"..."

"Kalau dugaanku benar, kita terjebak di dunia lain," kata si brunette menggaruk pipinya.

"...Dunia...lain..?" Mikasa ingin menyergah pendapat temannya itu, tetapi ia urungkan, karena sama sekali tak punya argumentasi untuk menolak jikalau teori gila Sasha memang benar. Masalahnya, sedari tadi memang ia mengalami kejadian-kejadian yang tak masuk akal.

"Firasatku begitu... Pokoknya, jangan sampai kita terpisah di sini," tambah Sasha menggenggam tangan Mikasa yang tengah menaiki tangga menuju lantai dua.

Hawa dingin galeri menusuk kulit kedua gadis remaja itu. Keduanya menggigil.
Sasha dan Mikasa menyelidiki setiap sudut galeri Guertena. Karya-karya surealis yang begitu hidup ala sang seniman, jendela-jendela berkabut, dan lampu tempat itu—yang entah sejak kapan meredup, bahkan sebagian telah padam—menambah suasana ngeri di situ.

Ketika mereka melewati sebuah jendela, tampak sekelebat bayangan hitam di luar jendela.

"GYAAAAAA! MIKASAAAAA! ITU APA?! DI JENDELA! ADA YANG LEWAT!" teriak Sasha hampir mendekap si oriental.

"He..? Tidak mungkin ada yang lewat di luar jendela, Sasha. Ini lantai dua."

"Ta—tapi, tapi, tapi—!"

Mikasa melengos sebelum akhirnya menempelkan kedua telapak tangannya pada permukaan jendela yang Sasha tunjuk-tunjuk, kemudian mendekatkan wajahnya di sana.

"Tidak kelihatan apa-apa. Gelap sekali, bahkan lebih gelap dari ruangan ini."

"Ng... Ya sudah, kita turun saja..?"

Teman bicaranya hanya mengangguk sembari mendekati tangga.

"AH! Mikasa! Di meja resepsionis bukannya ada telepon, ya?"

Mata gadis di sebelahnya melebar.
Benar kata Sasha! Kenapa ia tidak menyadari hal itu! Dengan begitu 'kan mereka bisa memanggil bantuan!

Meja resepsionis ada di lantai satu.
Cepat-cepat mereka menuruni tangga itu. Uh, makin gelap saja galeri lantai satu itu.

"Lho, Mikasa..." Langkah Sasha melambat. "Kita ini...di mana..?"

Mikasa yang heran dengan pertanyaan temannya itupun menyebarkan pandangan ke sekitarnya.

Ada yang aneh.

Ini sama sekali bukan lantai satu.
Ini tempat lain.
Namun, masih bernuansa galeri.
Galeri ala sang Guertena—yang penempatan karyanya lebih acak-acakan daripada sebelumnya.

"Kurasa teori 'dunia lain'mu itu benar, Sasha."

"Kau meragukanku? Ah! Ada pintu aneh di sana, Mikasa! Siapa tahu itu jalan keluar kita! Ayo!" Tanpa menunggu jawaban Mikasa, Sasha mengeret gadis itu menuju pintu tersebut.

"Hoo... Kau punya? Kau punya benda itu? Serahkan... Serahkan padaku..."

Kedua remaja itu spontan menoleh ke arah suara.
Dalam seketika, tubuh Mikasa mematung, diikuti Sasha.

Wanita yang cantik.
Sungguh cantik.
Rambut cokelat panjangnya menjuntai di lantai.
Gaun ungunya teramat elegan menghiasi sekujur tubuhnya.
Ia—wanita itu...merangkak menggunakan kedua tangannya.

Tapi—di mana...kaki wanita itu..?

"Mi—MIKASA! LUKISAN ITU HIDUP!"

Ya. Wanita yang setengah tubuhnya keluar dari pigura itu merangkak menuju mereka berdua—yang bagaikan anak-anak domba yang tersesat.
KREK. KREEEK. KREEEK.
Suara bingkai yang terseret sepanjang sang wanita itu merangkak membuat suasana bertambah angker.

"Serahkan... Serahkan..." Suara serak yang menyeramkan. Seperti suara orang tercekik.

Serahkan apa? Mikasa tidak mengerti maksud makhluk itu!

"A—apa..?"

"Mikasa! Bukan saatnya meladeni begituan! Ayo kita segera—"

CKLAK.

"PINTU INI TIDAK BISA TERBUKA!"

KLAK. KLEK. KLAK. KLEK. KLAK. KLEK. Sasha terus memutar-mutar kenop pintu itu, berharap akan ada keajaiban.

"TETAP TIDAK BISA! BAGAIMANA INI, MIKASAAAA!"

Panik.

"Sasha! Kita kembali ke lantai dua—"

Terperanjat.

"...Anak tangganya...KE MANA ANAK TANGGANYA?!"

"Hi—hilang..?!"

SRAK.

Sesuatu—sesuatu masuk ke dalam kantong kanan blazer Mikasa.

Tangan.

"APA YANG KAU LAKUKAN?!" Mikasa buru-buru menepis tangan—milik wanita lukisan yang ternyata sudah ada di sebelahnya itu.

"Indahnya...mawar ungu ini..."

Tubuh Mikasa terjatuh lemas ke lantai sesaat setelah wanita itu mulai mencabuti kelopak bunga mawar di genggamannya dan memakaninya.

"MIKASA! ADA AP—"

BRUGGG.

Sepatu hitam.
Sepatu milik seorang pemuda bersurai umber mendarat dengan indahnya.
Di wajah wanita berparas cantik itu.
Membuatnya terpelanting jauh ke sisi berlawanan di ruangan itu, menabrak dinding, dan berhenti bergerak.
Setangkai mawar yang digenggamnya tadi terlempar ke sisi lainnya.

"Kalian tidak apa-apa?"

"Aku tak apa. Mikasa yang—yang—aku tak tahu kenapa!"

"...Aku...tak apa, Sasha... Cuma capek..." gadis bersyal merah itu mengambil posisi duduk—yang tadinya terkulai di pangkuan Sasha.

"Ini, mawarmu. Jaga baik-baik." ucap si pemuda menyerahkan mawar tadi—yang sudah berkurang kelopaknya.

"A...aku tidak punya barang seperti ini—"

"Begitupun aku...tadinya. Tiba-tiba benda ini muncul di sini," ujar pemuda itu seraya mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya.

Mawar putih.

"Biar kutebak. Sepertinya, di dunia lain ini...jiwa kita berhubungan langsung dengan mawar yang kita pegang...ya..?" terka gadis berkuncir ekor kuda yang duduk di sebelah Mikasa sedari tadi itu. Sasha memang terkenal dengan imajinasinya yang tinggi.

"Tampaknya."

"...Hei... Kau juga terjebak di museum ini..?" Pemuda yang ditanya oleh Mikasa itu mengangguk pelan.

"Baiklah. Kita sama-sama berjuang keluar dari sini, ya! Kenalkan, aku Sasha Braus, dan dia Mikasa Ackerman."

"Ah ya, salam kenal. Yosh. Kita harus cari petunjuk di sekitar sini."

"Sini, Mikasa, kubantu bangun—eh, kau bisa berdiri?"

"Bisa. Mawar ini sudah ada di tanganku lagi," Mikasa memasukkan mawar ungunya ke dalam kantong blazer. Lalu segera berdiri perlahan, sembari mengamati pemuda di depannya.

"Hei. Kau...belum memberitahu namamu. Bagaimana bisa aku mengucapkan terima kasih begitu saja padamu? Jangan-jangan kau juga berupaya—menjebak kami?"

.

.

.

To Be Continued


Makasiiiiih yang uda baca! xD

Waukh! Fanfic buat celengnya Sacchi nih #SacchiMainYuk
Fanfic pertama saya di fandom SnK! Dan pake AU Ib, pada tau kan game ini? ouo
Jujur saya bingung mau nge-OTP apa kaga ntarnya LOL hancurrr, abal...haha entahlah...

Kenapa jadi multichapter coba...ahahaha #ketawahambar #gantungdiri
Berharap bisa selesai sebelom 15 November, dan ga webe =A=;

Kritik saran diterima, demi kemajuan ini fic orz
Silakan sumbang suara(?) di kotak review jika readers bersedia~ :3