Chapter 1:
Semua berawal dari percakapan singkat di telepon...
Kriiingg... Klek.
"Halo, dengan Meiko Sakine di sini." Ujar seorang gadis berambut Coklat Pendek –Untuk memulai percakapan-.
"Oh! Meiko! Apa kabar? Ini aku Luka. Kau masih ingat, kan?" jawab sebuah suara di sebrang sana.
"Luka? Tentu saja aku masih ingat! Kau gadis berambut Pink panjang yang selalu di kejar-kejar si 'Samurai' kan?" Tanya Meiko sambil tertawa.
"Tidak lucu... eh, bagaimana kabarmu? Kau baik-baik saja kan?" Tanya Luka kemudian. Dari suaranya Luka seperti orang yang... cemas?
Meiko berhenti tertawa "Tentu saja! Eh, aku kangen nih sama anak-anak! Padahal baru 1 minggu kita perpisahan SMP... kita adakan reuni yuk!" usul Meiko semangat.
"Ya... kontak anak-anak lain memang sudah lengkap, sih..."
"Wha? Bisa dong ajak mereka untuk reunian?" tanya Meiko.
Luka terdiam untuk beberapa saat. Dia sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk memberitahukan berita buruk ini pada Meiko. Sanggupkah dia menceritakan hal ini pada sahabatnya? "Luka? Kau masih di sana?" Tanya Meiko lagi –Yang sukses membuyarkan lamunan Luka-.
"Y-Ya! Aku masih di sini. Eum... Meiko... apa kamu masih menyukai Kaito?" tanya Luka ragu-ragu.
"Kaito? Oh, ya... itu cerita lama..." jawab Meiko santai.
"Maka dari itu aku sebenarnya 'ga enak ngasih kabar ini ke kamu... Kaito sebenarnya..."
Meiko yang mendengar kabar itu langsung terdiam. "Benarkah?" tanyanya.
"Benar, kok..."
Hari itu juga, untuk pertama kalinya, Meiko menangis...
.
.
.
'Kaito sebenarnya sudah meninggal...' Itu bohong, kan? 'Dia meninggal karena kecelakaan lalu-lintas... maka dari itu, kita akan mengunjungi pemakamannya besok...' Kaito pergi... itu bohong, kan? 'Kau datang ya...' Seseorang, tolong katakan kalau itu bohong... 'Kau tidak apa-apa, kan?' Kaito...
"Meiko-san, kau tidak apa-apa?" tanya seorang lelaki berambut ungu panjang yang di kuncir ke belakang.
Meiko tersenyum. Senyum pahit yang di paksakannya."Tidak apa-apa kok.."
Meiko melihat jenazah Kaito yang sudah di masukkan ke dalam peti. Kulitnya pucat. Badannya kaku. Di sana sudah tidak ada tanda-tanda kehidupan. Meiko terus berharap kalau sosok yang ada di sana bukanlah Kaito... bukanlah Orang yang sangat dia cintai hingga kini...
"Meiko-nee..." Panggil Rin, adik Kaito.
"Rin-chan..." seketika itu juga, Rin langsung memeluk Meiko dengan erat dan langsung menangis.
Meiko balas memeluk Rin sambil mengelus rambut Rin dengan pelan. Meiko merasakan kesedihan yang dirasakan Rin. Sangat merasakannya... tapi dia berusaha menahan perasaannya...
Miku –gadis berambut hijau Teal panjang yang diikat dua ke samping- menepuk pundak Rin. "Rin, ki-kita tidak akan melihat Kaito-niisan lagi..." ujarnya sambil menangis.
Benar... itu berarti aku tidak dapat melihatnya lagi? Meiko merasa pelupuk matanya mulai terbasahi.
Aku... tidak dapat mendengar suaranya lagi?
Tidak dapat melihat senyumannya lagi?
Meiko berusaha menahan tangisnya... tapi kesedihan sudah menyelimuti dirinya...
Aku tidak bisa menatap matanya lagi?
Bahkan... aku tidak bisa menyatakan cintaku padanya?
"Meiko..." Luka mulai merasa cemas.
Aku... betul-betul nggak bisa?
.
.
.
"Meiko, kamu mau aku antar?" Tanya Luka.
Meiko tersenyum. "Tidak apa... aku bisa sendiri, kok." Jawabnya sambil berlalu.
Luka, Gakupo, Gumi, Miku, Rin, dan Len hanya bisa memandang punggung Meiko yang berjalan menjauhi mereka.
"Padahal kita semua sudah tau kalau mereka saling menyukai sejak dulu..." ujar Len sambil menghembuskan nafasnya pelan.
"Iya... mereka terlalu keras kepala untuk mengungkapkan perasaan mereka..." tambah Gumi, kekasih Gakupo.
"Tapi tidak ada yang dapat kita perbuat, bukan? Karena..." Luka menatap langit yang mulai beranjak senja "Yang sudah berlalu tidak akan mungkin terulang lagi..."
.
.
.
Hari itu juga, Meiko berjalan kearah Pantai. Dikenangnya kembali sosok Kaito...
Ah... Kaito...
Cowok berambut biru tua dengan warna mata yang senada, memakai syal biru muda, dan maniak ice Cream. Cowok bodoh yang selalu ada saat Meiko membutuhkannya... cowok bodoh yang selalu tersenyum pada Meiko... cowok bodoh yang dengan mudahnya membuat Meiko jatuh hati padanya...
Meiko mengusap matanya. Ternyata, hanya dengan mengingat Kaito, keran air matanya sudah terbuka. Lalu terbesit di ingatannya saat dia masih SMP, dia berada di pantai ini bersama Kaito.
Saat itu dia sedang berjalan di pantai sendirian lalu dengan kikuknya, Meiko terjatuh hingga kakinya terkilir. Meiko meringis untuk beberapa saat, hingga akhirnya datanglah Kaito... teman sekelasnya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Kaito sambil mengulurkan tangannya.
"Ah, Kaito... nggak, aku nggak apa-apa kok. Hanya saja kakiku terkilir... jadi agak susah buat pulang. Hehehe..." jawab Meiko sambil memegang kakinya yang terkilir.
Kaito mengangguk-angguk, lalu dia mulai membelakangi Meiko dan berjongkok. Meiko yang tidak mengerti hanya melihatnya dengan tatapan heran.
"Kok bengong?" tanya Kaito –masih dalam posisi yang tadi-.
"Kamu ngapain sih?" ujar Meiko malah balik bertanya.
"Ih, cepetan naik, bego!" jawabnya.
"Eh! Yang bego itu kan, kamu! Dasar Bakaito!" teriak Meiko.
"Udah, sesama orang bego di larang saling mendahului." Ujar Kaito santai. "Cepetan naik! Akan aku gendong sampai rumah, deh!" Tambahnya.
Meiko memandang punggung Kaito dengan ragu-ragu.
"Ayo cepat!" seru Kaito.
Akhirnya Meiko mulai memeluk leher Kaito yang ber-syal itu. Jantungnya berdetak tidak karuan, wajahnya memanas. Dia hanya bisa berharap kalau suara detak jantungnya tidak terdengar oleh Kaito. Kaito mulai berjalan menyusuri pantai sambil menggendong Meiko.
"Ka-Kaito... Makasih ya..." Ujar Meiko Lirih.
"Ya, sama-sama..."
Hanya dengan mengingat kejadian itu saja, wajah Meiko langsung memanas. Dia yakin kalau wajahnya sudah memerah sekarang, dan hatinya mulai berdebar tak karuan. Dia membenamkan wajahnya di tangannya dan mulai menangis kembali.
Ah... ternyata sampai sekarang pun, aku masih mencintai Kaito...
