Omengski Proudly Present

DISTANCE

Disclaimer : Semua tokoh dalam cerita ini mutlak milik Masashi Kishimoto. Hanya plotnya saja yang mutlak dari pemikiran saya

Genre : Drama bisa, romance bisa, friendship bisa, family pun bisa

Warn : Typos, aneh, abal-abal, dan kekurangan yang lainnya

Tinggal pencet 'X' kalau tidak suka

Happy reading miina-san^^

.

.

.

.

Chapter 1

"Dengar, aku paling benci dengan orang yang suka mencari perhatian!"

PLAK!

"Lihatlah siapa dirimu dulu sebelum berani mendekati Gaara-kun! Kau pikir, kau cukup pantas untuk berada didekatnya?!"

BRUGH!

"Ugh.." satu lenguhan lolos dari dua belah bibir pucat yang bergetar kecil, menahan sakit yang mulai menjalar di hampir sekujur tubuhnya. Ia meringkuk. Mati-matian berusaha melindungi dirinya sendiri, dengan sisa-sisa tenaga yang masih melekat di nadinya.

Sedangkan tiga gadis yang menjadi penyebab lebam di beberapa ruas tubuhnya, memandanginya dengan sirat penuh kebencian dan keremehan. "Hei, Haruno! Jangan sampai mulut busukmu itu mengatakan hal ini kepada sensei! Kau akan tahu akibatnya kalau masih nekad melakukannya!"

"Akh!" helaian rambut merah muda dicengkram, memaksa si pemilik surai feminim itu mendongak pada gadis yang melakukannya. Tidak ada rasa penyesalan atau kasihan, ketiga gadis itu segera enyah dari tempat itu, sebelum kepergok oleh sensei mereka.

Ngilu. Bukan disekujur tubuhnya, melainkan hatinya. Ia sudah kebal akan siksa pada tubuhnya yang bertubi-tubi, tapi tidak dengan hatinya. Selalu ada luka baru yang mengundang lara. Terus dan terus. Entah hingga kapan akhirnya.

Deras air yang mengucur dari kran toilet itu menjadi saksi dalamnya luka yang ia alami. Dinding toilet perempuan yang putih pucat menjadi saksi bagaimana tubuh itu dibenturkan berkali-kali. Dan yang terakhir adalah kaca. Ia menjadi saksi seberapa mengenaskannya gadis itu. Toilet dan isinya selalu menjadi saksinya. Saksi hidup seorang Haruno Sakura yang malang.

.

.

.

.

Tidak ada kelas yang tidak ribut. Begitu pula dengan kelas 3-B Konoha Gakuen saat jam pelajaran terakhir berlangsung. Yuuhi Kurenai, sensei sastra Jepang mereka, tidak bisa mengajar karena anak lelakinya masuk rumah sakit. Jelas saja hal ini menjadi angin segar bagi siswa dan siswi tingkat akhir itu. Sebagian besar diantaranya memanfaatkan jam kosong itu untuk bermain game online, bergosip, dan pergi menyelinap ke kantin sekolah. Sedangkan hanya segelintir orang saja yang masih patuh untuk duduk diam di tempatnya, mengerjakan soal ujian masuk perguruan tinggi atau yang lainnya.

Hyuuga Hinata adalah salah satunya. Di depannya bertebaran buku latihan soal ujian, berbanding terbalik dengan meja sebagian siswi lainnya yang penuh dengan majalah fashion, novel picisan, sampai peralatan make up serba mewah. Jangan samakan si 'Juara Umum'ini dengan siswa siswi yang lainnya.

Iris lavendernya sesekali melirik bergantian antara rumus aljabar dan pintu ruang kelasnya. Entah apa yang mampu memecah konsentrasi gadis itu. Napasnya tercekat saat dari arah belakang, segerombolan gadis membicarakan hal yang seru, sampai tawa mereka berderai-derai.

"Seharusnya kejadian itu direkam! Aku penasaran bagaimana wajah gadis sampah itu saat kalian menghajarnya tadi!"

'Menghajar?'

Gadis berambut merah darah yang mejanya menjadi tempat berkumpul itu menyeringai. "Kapan-kapan, kalian bisa melihatnya secara langsung."

"Whoa, kau mengerikan sekali, Karin.." lalu tawa cekikikan menjadi penutup acara bergosip gadis-gadis itu, karena pintu depan kelas mereka mengayun dengan keras. Semuanya terdiam. Seorang sensei yang reputasinya sangat disegani seantero Konoha Gakuen itu masuk kedalam. Matanya yang dingin, kelam dan tak berdasar itu, menyoroti satu-satu anak-anak didiknya. Suaranya yang berat mengalun seperti musik pengiring pemakaman. Mencekam.

"Jamnya siapa?"

Pertanyaan singkat itu tidak mampu dijawab oleh anak-anak yang lebih memilih menunduk, daripada nekad menatap sensei mereka. Manik jelaga itu bisa setajam belati, kalau ia mau. Berusaha menekan rasa takut yang bercokol di dasar hatinya, si ketua kelas, menjawab pertanyaan sang sensei. "A-ano, sekarang jamnya K-Kurenai s-sensei.." ucapnya parau. Lelaki yang akrab dipanggil Lee itu mencengkram pinggiran meja, seakan meja itu adalah pusat kekuatannya.

"Kerjakan latihan soal halaman 34 dan kumpulkan di mejaku." Setelah bertitah, sensei jangkung itu berlalu, bersamaan dengan helaan napas lega dari balik pungungnya.

"Tampan-tampan galak," komentar salah seorang siswi berwajah menor.

"Tak apa galak, aku malah suka tipe-tipe yang tsundere begitu," imbuh yang lainnya dan diakhiri dengan tawa genit mereka.

Hinata merasa ada yang berbisik di sebelahnya. Ternyata itu Ayame yang minta diajari latihan soal. Sesaat, walaupun hanya sesaat, ia berharap orang itu segera menginjakkan kakinya di dalam kelas.

.

.

.

Sakura sedikit menggerakan kakinya, saat ia merasa sekujur tubuhnya kram dan mati rasa. Matanya membeliak kaget saat ia ternyata tertidur di gudang belakang sekolahnya. Padahal niat awalnya hanya ingin istirahat sebentar, sebelum masuk ke kelas dan ikut pelajarannya Kurenai-sensei. Gadis itu hanya merasa berat di kedua kelopak matanya, sebelum iris sehijau daun itu tertutup. Ia tidak menyangka akan ketiduran. Empat jam pula!

Cahaya merah kejinggaan menerobos dari celah-celah ventilasi gudang, menandakan bahwa hari akan tiba pada akhirnya. Sakura menggerakan kedua kakinya yang sempat kram. Memastikan bahwa ia masih sanggup berjalan, gadis itu segera keluar dari gudang pengap itu. Mengambil langkah mengendap-endap agar tidak ada orang yang menyadarinya. Lagipula siapa yang masih berada di sekolah menjelang malam begini? Kalaupun ada, mereka memilih memalingkan muka daripada membantu Sakura.

Sepanjang perjalanan menuju kelasnya, Sakura merasa tulang-tulanngnya berjatuhan disepanjang jalan. Entah bagaimana caranya ia pulang ke rumah kalau begini keadaannya. Tas berwarna biru langit itu teronggok begitu saja di atas lantai, tak jauh dari tempat duduknya. Masih untung tidak ada barang berharga yang raib. Tertawa getir, gadis itu menyeret tasnya menuju gerbang depan.

Lihatlah ia sekarang. Seragamnya compang-camping, rambut merah jambu panjangnya kusut, tubuhnya penuh dengan ruam-ruam biru keunguan. Sakura bisa saja melaporkan tindak kekerasan yang dilakukan oleh Karin, Tayuya, dan Shion, namun ia tidak bisa begitu saja memandang remeh peringatannya. Ia bisa saja kehilangan hal yang paling berharga milikya kalau sampai itu terjadi.

Semuanya berawal dari bola basket. Sepele? Tentu, Sakura juga berpikiran itu adalah hal yang sepele. Tapi tidak dengan para pemuja Sabaku Gaara. Ya, perkara sepele itu tidak sengaja melibatkan si pemuda tampan masuk kedalamnya. Saat praktik olahraga, kelas Sakura memilih basket sebagai ujian praktikum, dan mereka juga memilih menggunakan lapangan outdoor. Semuanya masih baik-baik saja, sampai pada akhirnya Sakura melempar bolanya terlalu keras. Sangat keras hingga meluncur deras menuju Gaara yang kebetulan tengah berjalan melewati halaman. Kedua kaki Sakura bergerak sendiri menuju laki-laki yang tampak kesakitan pada kepalanya.

"Astaga, kau tidak apa-apa? Apa aku melukaimu?" tanya Sakura panik.

Gaara mengulas senyum tipisnya, "Iya. Aku tidak apa-apa. Tenang, kau tidak melukaiku sama sekali," ucapnya dengan santai. Sadar atau tidak tindakan Gaara selanjutnya memicu kemarahan para pemujanya. Tangan kokoh laki-laki itu terulur, mengusak puncak kepala merah muda yang berdiri kaku di hadapannya. "Tenagamu luar biasa, Sakura.."

Hidup Sakura berubah 180 derajat hanya dalam hitungan jam setelahnya. Mulanya hanya beberapa orang yang tampak menggunjingnya dan Sakura masih bisa menerimanya, toh banyak orang yang pernah menjadi bahan gunjingan. Tapi lama kelamaan bukan hanya gunjingan saja yang ia dapat. Gadis itu juga mendapat terror. Mulai dari surat ancaman di loker, bangkai kucing di dalam tasnya, hingga yang selalu membuatnya ketakutan adalah seseorang yang selalu mengikutinya.

Kunci dari masalahnya adalah menjauh sejauh mungkin dari Sabaku Gaara. Sakura mencoba melakukannya, dan itu berakhir dengan sia-sia. Gaara selalu ada di manapun ia berada. Pernah sekali, karena ia terlalu jengkel diikuti oleh Gaara, ia bertanya dengan sedikit ketus.

"Berhenti mengikutiku, Gaara-san. Kau punya orang yang lebih pantas untuk diikuti."

"Aku mengikutimu?" laki-laki bersurai merah bata itu malah gantian bertanya, "baiklah kalau kau menganggapku tengah mengikutimu, karena aku benar-benar akan mengikutimu mulai sekarang."

"Kenapa?" Sakura tanpa sadar bertanya. Rasa penasarannya membutakan akalnya.

Gaara selalu menjadi orang yang saat berbeda di hadapan Sakura. Terbukti dari banyaknya senyum yang terumbar darinya. Ia berlalu begitu saja tanpa menjawab pertanyaan spontan Sakura. Berlalu tanpa tahu akan perlakuan yang Sakura terima setelahnya.

.

.

.

.

"Uchiha-san, anda belum mau pulang?" tanya seorang pria dengan luka melintang di hidungnya. Melihat rekannya sesama gurunya belum ada tanda-tanda akan pulang, membuat sensei biologi bernama Iruka itu keheranan.

Sensei muda dengan wajah menawan sekaligus mencekam itu mendongak kearah Iruka sebentar, sebelum kembali menekuni kegiatannya. Memeriksa hasil ulangan para muridnya. "Aa, sebentar lagi." Hanya itu yang ia ucapkan disela-sela kegiatannya.

Iruka sensei memilih untuk undur dari ruangan itu, daripada sibuk meladeni makhluk titisan siluman goa es bernama Uchiha Sasuke. Sensei termuda di Konoha Gakuen, sekaligus menjadi sensei yang punya pamor 'killer' setelah Orochimaru sensei. Sepeninggal Iruka dari ruangan, hanya sepi yang menemani kegiatan pria berumur 27 tahun itu. Sesekali matanya akan berpaling dari lembaran kertas dihadapannya pada layar macbook yang menyala terang.

Suara mesin fax menjadi satu-satunya yang paling berisik. Dengungan hewan terbang terdengar jelas. Hingga suara seperti benda jatuh pun, Sasuke bisa mendengarnya dengan baik. Tiba-tiba tubuhnya menegak. Buru-buru ia bangkit dari kursinya dan berlari menuju sumber suara.

Asumsinya sementara adalah sebuah papan jatuh atau tong sampah yang ambruk. Tapi kedua benda itu tidak akan menimbulkan suara bedebum layaknya tubuh manusia bila terjatuh. Tunggu dulu, tubuh manusia? Sasuke menambah laju langkahnya hingga di dekat tangga yang mengarah ke lantai satu. Itu dia!

Seorang gadis tergeletak begitu saja di atas dinginnya lantai, tak jauh dari tangga. Sasuke langsung jongkok di samping gadis yang setahunya adalah siswi tingkat akhir itu. Ia mengangkat kepala merah muda itu, bertopang pada paha kokohnya, sedangkan kedua tangannya sibuk menepuk-nepuk pipi tirus sang gadis.

"Hei, kau mendengarku?" pertanyaan itu hanya dijawab oleh angin yang kebetulan lewat. Sedikit menggeram, Sasuke memilih langsung membopong gadis itu menuju mobilnya di parkiran sekolah. Ia harus memastikan dulu kalau ruangan guru sudah terkunci, tas dan semua pekerjaannya dibawanya, sebelum berjalan cepat menuju mobilnya.

Gadis merah muda itu tak kunjung sadar. Sasuke memperhatikannya lekat. Ada kecurigaan yang mendalam saat matanya tak sengaja menemukan lebam di lengan yang tertutup oleh seragam biru panjangnya. Bibirnya pucat dan pelipis kanannya tergores lumayan dalam. Jadi apa yang sebenarnya dialami oleh gadis ini? Apapun itu, Sasuke akan mencari tahu jawabannya.

.

.

.

.

Kasur rumahnya tak pernah senyaman ini, walau ia tengah berada di alam mimpi sekalipun. Ia sedikit enggan ketika matanya memaksa kesadarannya bangkit. Lamat-lamat, cahaya dari terangnya bohlam lampu di ruangan itu menyambutnya. Niatnya ingin meregangkan tangan, tapi malah berakhir dengan ringisan pelan. Ternyata penyerangan itu bukan sekedar mimpi belaka. Koridor sekolahan menjadi saksi- tunggu, koridor sekolah? Bukannya ia masih dalam perjalanan menuju gerbang utama? Tapi kenapa sekarang ia sudah tidur nyaman di ranjang? Astaga!

Sakura tersentak kaget. Lebih kaget lagi begitu melihat sekelilingnya. Ada dimana ini? Kenapa ia bisa berada di sini? Macam-macam pertanyaan berlarian dibenaknya hingga tidak sadar kalau sebuah pintu terayun kedalam. Menampakkan seorang pria tampan di amabang pintu dengan semangkuk bubur yang masih mengepul.

"Kau sudah bangun." Itu pernyataan bukan pertanyaan.

Sakura kembali mendapat kejutan saat melihat sensei fisikanya itu berdiri di sisi kamar. "S-Sasuke sensei..?" ucapnya penuh ketidakpercayaan.

Sasuke hanya bergumam 'Hn' sambil berjalan menuju gadis yang masih sibuk dengan keterkejutannya. Ia duduk di tepi ranjang, bersisihan dengan Sakura. "Makanlah."

Sasuke tahu ada banyak sekali pertanyaan yang bercokol di kepala muridnya itu, tapi ia lebih memilih menyodorkan mangkuk bubur yang di bawanya pada Sakura. Ia bisa menjawab apapun pertanyaan gadis itu nanti, setelah memastikan wajahnya tidak lagi pucat.

"S-Sensei.."

"Makan, Haruno."

Sakura tidak punya pilihan lain selain menyambar sendok dan mulai menyuapkan bubur itu ke dalam mulutnya. Tangannya tanpa sadar bergetar, seakan mengangkat sebuah sendok saja beratnya seperti mengangkat batu puluhan kilo. Sasuke langsung mengambil alih urusan sendok dan mulai menyuapi gadis di hadapannya itu dengan tenang.

Mulanya canggung, tapi setelah suapan ke lima, Sakura sudah bisa mengendalikan perasaannya. Ditatapnya sang sensei yang sibuk meniup-niupkan bubur dalam sendok agar cepat mendingin. Sakura menggeleng, menolak suapan ketujuhnya. Ia merasa cukup. Gadis itu lebih memilih memuaskan rasa penasarannya daripada memuaskan rasa laparnya. Sasuke yang paham langsung meletakkan mangkuk berisi bubur itu di meja nakas.

"Kau jatuh pingsan di koridor sekolah. Aku membawamu ke apartemenku karena aku tidak tahu alamat rumahmu." Penjelasan Sasuke tepat menjawab pertanyaan yang dari tadi berkelebat di kepala Sakura.

"A-arigatou, sensei.." cicit Sakura.

Pria itu menghela napas sejenak. Matanya mengerling pada lengan baju Sakura. "Haruno, bisa kau ceritakan darimana datangnya lebam-lebam di tubuhmu itu?"

Sakura menunduk dalam. Menghindari hujaman tajam dari kedua mata senseinya. Ia paham, sekali menatapnya, maka tidak akan ada yang bisa lepas dari jeratannya. Tidak ada yang bisa ia sembunyikan, selama mata itu menembus pertahanannya. Ia ingin menyimpan semuanya sendiri. Orang lain tak perlu tahu dan ikut campur.

"Haruno, aku adalah senseimu." Sakura bergidik saat Sasuke menekan kata sensei pada ucapannya. Seolah kata itu mampu menjebol pertahanan gadis itu.

"A-aku hanya jatuh dari t-tangga, sensei.."

"Lalu kau pikir aku percaya?" sentak Sasuke. Wajah yang biasanya selalu datar itu kini merah padam. Matanya berkilat geram. "Katakan."

Sakura menggeleng takut-takut. Hilang sudah kesabaran pria itu. Sasuke mencengkram kedua bahu kurus milik Sakura. Memaksa gadis itu untuk menatap matanya. Bukannya kalimat aduan yang terucap, melainkan lesakkan air mata bening yang menggantung di kedua mata emerald itu. Tidak ada isakan. Bahkan mungkin Sakura sendiri tidak sadar kalau ternyata ia menangis. Sasuke melepas bahu sempit itu dan memilih undur dari hadapan gadis muda itu.

Sakura mengira senseinya itu akan pergi entah kemana, meninggalkan muridnya yang menyedihkan ini, tapi melihat pintu kamar itu kembali terayun, presepsinya salah kaprah. Pria itu kembali dengan membawa sebuah kotak medis dan kompres. Sakura berjenggit saat tangan kokoh itu meraih wajahnya. Napasnya memberat saat wajah tampan khas pria dewasa itu begitu dekat dengannya. Bahkan ia bisa merasakan gelitik aneh saat napas hangat pria itu membelai pipinya.

"Akh!" Sakura meringis perih saat pelipisnya ditekan lumayan kuat oleh senseinya itu. Ia baru tahu kalau pelipisnya itu terluka. Selesai dengan luka di pelipis, Sasuke langsung menyingkap lengan baju seragam Sakura sampai ke bagian siku. Mempertontonkan luka lebam keunguan yang tidak bisa dianggap remeh. Sakura hanya bisa menggigit bibir bawahnya, saat Sasuke kembali melesernya dengan tajam. Gulungan perban membebat kedua lengan gadis itu menjadi tanda bahwa sesi pertolongan pertama telah selesai. Dua orang berbeda gender dan berbeda usia itu masih bergeming di tempatnya, sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Eum, s-sensei.. Trimakasih atas bantuannya. S-saya harus pulang sekarang, maaf merepotkan.."

"Hn. Kuantar kau pulang."

"Tidak usah!" Sakura spontan berteriak. Sasuke menatapnya datar. Gadis itu berdehem sebentar, "m-maaf sensei, aku tidak bermaksud berteriak.. tapi sungguh! Sensei tidak usah mengantarku.."

Raut tegas Sasuke nampak ingin mendebat, tetapi melihat gurat keyakinan Sakura, ia hanya bisa menghela napas dan membiarkan gadis itu keluar dari apartement tanpa dirinya.

Sakura bukan bermaksud menolak tawaran senseinya itu. Ia hanya tidak mau kalau senseinya itu tahu bagaimana keadaan rumah Sakura, terlebih keluarganya. Ia menatap sendu bangunan sederhana yang berdiri di depan netranya. Bangunan yang terpaksa disebutnya sebagai 'rumah'. Ia tinggal di tempat itu selama 10 tahun terakhir, setelah meninggalnya ayah dan ibunya, akibat dari kecelakaan beruntun. Hak asuhnya jatuh pada adik dari ayahnya, Haruno Kabuto, pria berusia 30 tahun yang gemar bermain judi.

Kehilangan kedua orangtuanya, membuatnya praktis kehilangan kasih sayang juga. Di umurnya yang baru menginjak tujuh tahun, Sakura dipaksa untuk hidup mandiri di Konoha. Pada awalnya ia baik-baik saja hidup dengan Kabuto. Tapi lama kelamaan, ketika seluruh harta benda yang orangtuanya miliki ludes tak tersisa, sikap pria itu mulai berubah. Ia jadi sering membuat kekacauan, mabuk-mabukkan, hingga dengan teganya memukuli Sakura, jika ia tengah emosi. Seluruh harta milik orang tua Sakura habis dimakan Kabuto untuk hobi berjudinya, hingga ia terpaksa hidup di rumah Kabuto yang dulu. Ia bisa tahan kalau hanya dipukuli sekali dua kali, tapi ia tidak bisa membiarkan harta yang sudah susah payah dikumpulkan oleh orangtuanya, hilang begitu saja. Kabuto yang sadar kalau Sakura ingin melaporkannya pada polisi jadi gelap mata. Sakura dipukuli dan dikurung di gudang belakang rumah yang kumuh dan pengap selama tiga hari. Gadis 10 tahun mana yang tidak ketakutan bila mendapat perlakuan dari manusia yang tak ubahnya adalah binatang rendahan?

Kabuto mengancam akan menjualnya ke rumah prostitusi kalau gadis itu masih nekad akan melapor ke pihak yang berwajib. Hingga bertahun-tahun kemudian, gadis itu patuh dibawah ancaman menakutkan itu.

Suara derit pintu yang sudah orok itu tak pernah absen menyulut rasa takut dalam diri Sakura. Dari ruang tamu bau alkohol menyengat indra penciumannya. Suasana yang gelap membuatnya terus memincing. Meraba-raba tembok di sampingnya, berusaha menemukan saklar lampu. Bunyi 'Klek' terdengar bersamaan dengan terang yang datang. Matanya melotot ngeri saat meja kaca di depannya penuh dengan botol minuman keras, punting rokok, dan astaga.. alat kontrasepsi? Melihat pemandangan yang bisa membuatnya muntah di tempat, Sakura segera berlari menuju lantai dua, wilayah paling 'bersih' dari seluruh bagian rumah. Tubuhnya merosot begitu pintu kamarnya yang usang terkunci. Berapa lama lagi ia harus menjalani hidup yang begitu menyedihkan ini?

.

.

.

.

Pagi-pagi sekali, Sakura sudah rapi dengan sergam sekolahnya. Jam yang menepel di dinding kamarnya masih menunjukkan pukul lima pagi, tapi gadis itu sudah siap untuk berangkat ke sekolah yang baru akan dimuali pukul delapan.

Ia berjingkat pelan saat menuruni tangga agar tidak menimbulkan suara gaduh. Kepala merah mudanya melongok ke kanan kiri dari balik tembok. Napas lega dihela saat netranya tidak menangkap postur Kabuto maupun orang lain. Semoga saja pria itu masih pulas di kamarnya, atau lebih baik lagi kalau tidak ada di rumah. Baru saja setengah badannya keluar, suara khas orang mabuk terdengar dari belakang.

"Mau kemana kau?!"

Sakura tak berani menoleh. Ia tidak akan kuat melihat bagaimana rupa Kabuto saat ini. "B-berangkat sekolah.." jawabnya lirih.

Kabuto terkekeh mengerikan di belakang sana. "Oh ya.. tentu kau harus belajar kan? Cepatlah mencari uang atau kau kujual pada pria hidung belang diluar sana!"

Tak mau mendengar ungkapan yang lebih menakutkan lagi, Sakura memilih untuk segera enyah dari hadapan Kabuto, secepat yang ia bisa.

Napasnya terengah begitu kakinya menginjak halaman Konoha Gakuen yang dipenuhi oleh pohon bunga sakura yang merangas di sepanjang jalan. Sakura merapatkan kedua lengannya saat hembusan angin membelai tubuh kurusnya. Sebentar lagi musim gugur. Berarti sebentar lagi adalah hari peringatan meninggalnya Haruno Kizashi dan Haruno Mebuki.

Sedang asik-asiknya melamun, bahunya ditepuk dari belakang. Wajah tampan Gaara hampir menjadi sasaran tas Sakura, kalau saja ia tidak punya reflek yang hebat.

"Gaara-san!"

"Tenagamu memang tidak main-main, Sakura."

Entah Sakura harus bernapas lega atau tidak begitu tahu orang yang menepuk bahunya tadi adalah Gaara. Jadinya gadis itu hanya bisa tersenyum aneh. Ingat akan nasibnya bila terlalu lama berada di dekat Gaara, Sakura segera melanjutkan langkahnya, tanpa menggubris Gaara yang muali berjalan mengikutinya.

"Jangan mengikutiku, Gaara-san.."

Seringai geli mampir di bibir pemuda tampan beriris jade itu. Lalu Gaara berkata dengan santainya, "Siapa yang mengikutimu? Kelas kita kan searah?"

Wajah gadis itu memerah kala menyadari bahwa ucapannya tadi benar-benar terdengar konyol. Tentu saja Gaara tidak mengikutinya! Sakura berjalan cepat meninggalkan Gaara yang terkekeh melihat kelakuan memalukannya.

.

.

.

.

Pagi yang tenang menyambangi apartemen minimalis milik Sasuke. Sang pemilik tengah mematut tubuh atletisnya dengan kemeja baby blue dan celana hitam yang menggantung di pinggulnya. Jam tangan rolex melingkar di pergelangan tangannya yang pucat. Menambahkan kesan yang maskulin dan glamour secara bersamaan. Lengan kemejanya digulung rapi nyaris mencapai siku dan membiarkan dua kancing teratasnya tidak bertaut. Rambut raven yang mencuat dibelakang itu masih basah dan harum sampo khusus lelaki menguar. Hidangan yang sangat menggoda untuk disantap sebagai sarapan, eh?

Sasuke menyambar kunci mobil, jas biru dongker dan ponselnya, lalu bergegas keluar dari kamar. Begitu keluar ia dikejutkan oleh sepasang pasutri yang tengah mesra-mesraan di dapur pribadinya. Alisnya manukik tajam setelah mendengar cekikikan dari pasangan itu.

"Oh, otouto! Akhirnya kau keluar juga dari kamar mu. Kukira kau akan berendam seperti putri-putri ningrat dulu sebelum berangkat ke sekolah," gurau lelaki berambut hitam panjang yang diikat rendah. Ia adalah kakak kandung Sasuke. Uchiha Itachi.

Di sebelahnya ada wanita berambut ungu pendek yang tengah menyiapkan hidangan berupa omelet dan sandwich tomat. Yang terakhir pasti khusus untuk si Uchiha bungsu. Uchiha Konan adalah istri dari Itachi yang dinikahinya enam tahun lalu. Wanita cantik yang tengah hamil muda itu tampak berseri-seri.

"Kurasa kalian punya dapur sendiri di rumah." Ujar Sasuke datar. Walaupun begitu auranya menggelap saat kakaknya hanya terkekeh.

"Sebenarnya Konan yang meminta ingin memasakkan sarapan untukmu. Mungkin itu adalah permintaan dari bayinya,"

Sasuke mendengus. Ia bosan meladeni perkataan Itachi yang kadang tidak ada juntrungannya. Terlanjur tergoda oleh makanan buatan Konan, pria itu segera duduk dan mengambil setangkup sandwich ekstra tomat kesukaannya.

"Ayah dan ibu memintamu untuk pulang, Sasuke-kun. Tidak ada salahnya kan, kita makan malam bersama? Sudah lama kau tidak pulang ke rumah.."

Sasuke hanya bergumam menanggapi omongan Konan barusan. Bokongnya menadadak terasa lancip saat urusan keluarga disebut-sebut. Inginnya segera enyah dari sana sebelum kalimat-

"Segeralah menikah, Sasuke. Demi ayah dan ibu juga."

- seperti itu keluar.

.

.

.

.

TBC

Hah, *helanapas* entah ini ide dari kapan tahun, tapi baru direalisasikan sekarang. Salam kenal, saya author baru yang mencoba peruntungan di dunia per-fanfiction-an Indonesia dengan pair SasuSaku! Semoga banyak yang suka dengan gaya tulisan dan plot aneh saya ya~

With love,

Omengski