- teman satu atap -

Gintama is only belong to Sorachi Hideaki. I don't own anything and no commercial profit taken.

Warning

AU/AR, OOC, Typo(s)

Don't like? Don't read!

Enjoy

.

.

.

.

.

"Apa kau bercanda?!" pria tua dengan sedikit janggut di dagunya itu menggeprak meja putih di depannya. Matanya melotot melihat hasil pemeriksaan yang telah ia sobek sedemikian saking tak terimanya, "kenapa dia harus mengidap penyakit serupa dengan mendiang kakaknya? Dia...dia..." sejenak pria itu menahan air matanya yang hampir lolos, "...dia masih semuda ini," lirihnya dalam kecewa.

"Kondou-san, aku tau ini memang bukan berita baik. Tapi kita tidak dapat menyangkal dari kenyataan, maafkan aku," pria di seberang yang menyahut membenarkan kacamatanya yang merosot. Jubah putih yang ia kenakan menandakan jelas profesinya.

"Tapi dokter, jika dia tetap bersikukuh tak mau dirawat inap bagaimana? Agar dapat membawanya ke sini saja aku harus meminta bantuan Toshi."

"Kita harus bicara jujur padanya bahwa..." air wajah dokter itu nampak cemas ingin melanjutkan perkataannya, "...hidupnya tak lama lagi."

Pria yang dokter sebut Kondou itu berkeringat dingin, "tapi ada kemungkinan ia bisa selamat bukan?" Kondou berucap penuh harap.

"Ya, jika ada pendonor yang bersedia memberikan jantungnya secara cuma-cuma."

.

.

.

.

.

"Hai Kondou-san, sudah selesai basa basi dengan dokternya? Bagaimana hasilnya? Aku bisa segera pulang bukan?" ucap pemuda dengan surai sewarna pasir yang tergeletak di atas kasur dengan jarum infus yang masih menempel di lengannya.

"Sougo..." Kondou menghela nafasnya, "...aku khawatir kau akan kecewa mendengarnya. Tapi aku harap kau mau menginap di sini sementara aku mencari orang yang mau mendonorkan jantungnya," ucap Kondou tegas namun terpancar jelas kekhawatiran dari raut wajah tua itu.

Pemuda yang terbaring lemah itu hanya menghela nafasnya berat sekekali mengumpat, "aku ini lebih kuat dari segala penyakit yang ada di muka bumi. Aku tidak akan kalah hanya karena penyakit sialan ini. Pokoknya aku mau kembali ke asrama sekarang!" ucapnya sedikit mengintimidasi.

Mendengar hal itu membuat Kondou mencengkram erat besi yang menjadi pinggiran kasur rumah sakit tempat Sougo berbaring hingga berdecit, "kumohon nak. Tidak, ini perintahku sebagai pimpinanmu. Udara di Shinsengumi tidaklah sebaik di sini. Beristirahatlah sementara dan kau ku bebas tugaskan sampai benar-benar pulih."

Sougo nampak ingin mengamuk saat itu juga namun ia juga tak mau membuang tenaganya sia-sia karena ia mulai merasakan sesak di dadanya. Ia hanya bisa pasrah menatap langit-langit rumah sakit dan mengumpat dalam hatinya. Ia sudah merasa cukup tersiksa setelah kelihangan satu-satunya keluarga dihidupnya dan saat ia bangkit dan ingin memulai kehidupannya dari awal lagi di Shinsengumi, ia harus menerima kenyataan bahwa ia mengidap penyakit yang serupa dengan apa yang telah merenggut kehidupan kakaknya.

"Sialan!"

.

.

.

.

.

"Anda akan ditempatkan di ruangan kelas 2. Satu kamar terdapat dua ranjang. Ruangannya cukup luas. Kuharap kau bisa nyaman di sini," seorang perawat berucap sambil mendorong kursi roda yang Sougo duduki sementara Koundo memegangi botol infus.

Sougo terlihat begitu malas bahkan ia hanya menganggap suster itu berkomat-kamit seperti dukun yang membaca mantra sehingga satu detik waktunya pun tak ia gunakan untuk mendengar ucapan suster yang kini telah meninggalkannya.

"Sougo, aku harus segera kembali berpatroli. Tenang saja, aku akan menjengukmu sesering mungkin," ucap Kondou.

"Aku bukan anak kecil yang akan menangis sendirian. Jadi kau tak perlu sampai sebegitunya Kondou-san."

Kondou sedikit lega masih bisa mendengar Sougo mengomel padanya. Meski berat, ia tetap harus pergi dan akhirnya ia meninggalkan Sougo dan tak lupa sekeranjang buah yang ia letakkan di meja nakas samping kasur Sougo.

.

.

.

.

.

Keheningan nampak menyelimuti selama beberapa saat. Sougo berusaha memejamkan matanya namun ia tak dapat tidur meski hanya semenit.

Seketika matanya memicing dan kepalanya menoleh ke samping kirinya ketika melihat tirai di sebelahnya mengeluarkan suara. Sepertinya ada orang menggeser tirai.

Dari balik tirainya ia melihat sesosok anak yang tingginya tak terlalu pendek berjalan mendekati tirainya. Seketika jantung Sougo mulai berdetak sedikit lebih cepat bukan karena takut. Ia sendiri bingung kenapa jantungnya berdetak tak karuan seperti ini.

Secepat kilat tirai yang menutupi Sougo terbuka dan sosok yang pertama kali di tangkap netra merahnya adalah sesosok gadis dengan tampang malas dan sedang mengupil makin mendekatinya.

"Wah ada anak baru aru."

.

.

.

.

.

Sougo menatap gadis yang bernama Kagura itu dengan malas.

"Hahahahah, ada anak baru yang menginap di sini. Uahh apa kau setan? Kenapa bola matamu merah aru? Huahahahah, sebagai pajak menginap di sini, kau harus memberi buah yang di mejamu itu untukku. Oh iya namaku Kagura aru."

Sekelebat ingatan tak berkesan muncul benak Sougo yang masih menatap malas Kagura yang melahap buah itu seperti orang tak makan tiga hari.

"Hey bocah. Apa kau bisa membedakan antara meminta dan merampas?" Sougo mendengus kesal.

"Aku memang tak memintanya aru. Buah ini sudah resmi menjadi milikku karena anak baru harus memberi persembahan agar kau bisa tenang berada di sini seperti yang lain."

'bocah sialan ini!' Sougo mengumpat dalam hati, namun sedikit memikirkan ucapan Kagura barusan, "seperti yang lain? Memangnya sudah berapa lama kau di sini?"

"Ini bulan apa?" Kagura balik bertanya dengan sedikit semburan buah dari mulutnya.

Sougo menghela nafasnya, "tanggal 17 bulan November," jawabnya masih dengan nada malas.

Kagura mulai menghitung dengan jari kecilnya, "Februari, Maret, April...oh berarti sudah mau sepuluh bulan. Huh kalau aku ibu-ibu hamil pasti sudah melahirkan aru!"

Sejenak Sougo terdiam. Dalam hati ia merenung, bahkan ada orang yang bisa bertahan dalam ruangan ini? Sialnya hanya ruang kelas dua karena asuransinya yang masih di ambang batas harapan. Ya, Sougo sedikit bermasalah dengan dokumen kependudukannya karena sejak kecil orang tuanya telah tiada dan ia hanya dirawat oleh kakaknya. Sejenak, iris merah itu menatap Kagura yang masih melahap buah-buahannya.

"Memangnya kau sakit apa?"

Pertanyaan dari Sougo sontak membuat Kagura menghentikan aktivitas makannya sesaat, gadis bersurai vermilion itu menghela nafas berat namun masih bisa sedikit tersenyum jahil, "hmm, gimana bilangnya ya, kulitku ini terlalu mulus dan lihat!" ia menyodorkan tangannya mendekat ke wajah Sougo, "warna kulitku putih bening gini aru!" kemudian ia tertawa terbahak-bahak.

Sougo mengerutkan kening tanda tak mengerti.

"Aku hanya tidak bisa berteman dengan matahari dan itu jadi berpengaruh ke fungsi tubuhku yang lain."

.

.

.

.

.

Udara pagi ini terasa sesak. Sama seperti pagi-pagi yang telah ia lewati selama hampir dua minggu berada di tempat yang paling ia kutuk seumur hidupnya.

Sougo menghela nafas dengan berat, seperti biasa. Detak jantungnya masih tidak normal dan membuat tenaganya terkuras banyak hanya untuk bernafas. Ditambah ia harus satu atap dengan makhluk paling berisik di dunia, ya meski hari ini ia hanya sendirian dalam ruangannya.

Tok...tok...tok...

Sejenak pandangan Sougo teralihkan kala ia mendengar ketukan pintu. Dengan salam permisi, perempuan dengan pakaian serba putihnya masuk dan membawa sesuatu di tangannya --"Saatnya minum obat dan mengganti infus, Okita-san."--Ya. Sesuatu yang paling Sougo benci.

.

.

.

.

.

"HUAHAHAHAHAHAH."

"HUAHAHAHAHAHAHAHAHAH."

"HUAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAH."

Sougo menenggelamkan wajahnya dalam selimut. Nampak kesal melihat gelak tawa dari tetangganya yang begitu mengganggu.

"WOIIII, BERHENTI MEMANGGILKU CHERRY BOY DASAR KALIAN BERDUA!" pemuda berkacamata dengan potongan rambut layaknya kutubuku itu menyemburkan banyak sumpah ketika ia terus di ejek dua orang paling menyebalkan-namun menyenangkan baginya.

"Oi...oi...kalem. Kalau kau tidak kuat mending bunuh diri sana! Ya tidak Kagura-chuaaan?" ucap pria paruh baya dengan rambut perak keritingnya yang berantakan.

"HUAHAHAHAH," Kagura menyeka air mata di sudut matanya akibat tawanya yang membahana, "iya benar kata Gin-chan aru. Mending kau bunuh diri saja. Dasar lemah!"

"BERHENTI MENYAKITI HATIKU!!!" Shinpachi berteriak dalam tangisnya.

Tiba-tiba, Dokter yang masuk membuat trio berisik itu diam seketika. Wajah sangar dari dokter yang menatap penuh aura mematikan pada Gintoki membuat si perak itu celingak-celinguk tak karuan. Mereka bertiga membungkam mulutnya seolah paham bahwa tawa mereka telah mengganggu ketenangan rumah sakit dan Shinpachi mengangguk mengerti.

"Tuh kan! gara-gara kalian," Shinpachi berucap sedikit berbisik. Sementara Kagura dan Gintoki mendengus kesal bersamaan. Kompak sekali.

.

.

.

.

.

Keheningan seketika tercipta ketika jam besuk telah berakhir. Kagura mengerjapkan matanya berkali-kali sambil menatap langit-langit rumah sakit. Tanda ia bosan.

"Woy bocah tetangga. Bisa kau besarkan suhu pendingin ruangan di sini? Aku kepanasan aru."

Tak ada jawaban.

"Woy!" Kagura mendengus. Ia kesal. Bahkan sempat melemparkan apa saja yang berada di dekatnya ke tirai pemuda dengan surai pasir itu agar ia mau beranjak dari tempat tidurnya dan membesarkan suhu pendingin ruangan.

Karena Sougo mengabaikannya, Kagura sekuat tenaganya bangkit dari tempat tidurnya dan berusaha bangun meraih remot AC yang berjarak cukup jauh dari jangkauannya namun karena jarak yang terlalu jauh, Kagura akhirnya terjatuh dari ranjangnya dan menimbulkan bunyi jatuh yang begitu nyaring. Cukup memekakkan telinga.

Sougu seketika bangun dari tempat tidurnya.

.

.

.

.

.

Kagura menatap tajam Sougo yang kini duduk di samping tempat tidurnya.

"Kau harus minta maaf karena mengabaikanku aru!"

"Kau yang harus minta maaf karena sudah mengganggu jam tidurku. Kalian bertiga tadi begitu berisik!" balas Sougo tak mau kalah.

Perdebatan seringkali terjadi ketika mereka hanya berduaan dalam ruangan. "Dan kenapa kau tiba-tiba jarang menggangguku seperti dua minggu yang telah lewat?" tanya Sougo.

Mendengarkan pertanyaan itu membuat Kagura merasakan sedikit sesak di dadanya. Ia ingin mengganggu Sougo dan merampas makanan yang dibawakan Kondou seperti biasa, namun ia tak bisa.

"Apa kau tak sadar? Kalau aku bisa bangun aku tak akan memintamu untuk mengambil remot AC itu untukku aru!"

"Jadi maksudmu?"

"Aku sudah tak dapat merasakan kakiku."

Sedetik, Sougo merasa bersalah mengabaikan Kagura namun, ia juga tak sepenuhnya salah. Ia berhak marah karena keributan yang ditimbulkan oleh Kagura tadi. Tapi tetap saja ia merasa sedikit bersalah.

"Woi China, sebenarnya Kondou-san tadi membawakan camilan untukku, tapi aku sudah bosan memakan itu. Apa kau mau?"

Air muka kesal Kagura tiba-tiba berubah kegirangan. Bahkan hampir saja ia ileran mendengar sesuatu yang dapat dimakan. Sougo mengambil bungkusan yang terletak di meja samping kasurnya dan memberikannya pada Kagura.

"Woah, kau ternyata baik juga pak polisi. Aku kira polisi itu hanya sekumpulan sampah tak berguna yang kerjaannya makan pajak ppfftt," bahkan Kagura masih sempat meledek Sougo saat ia menerima hadiah.

Tanpa pikir panjang, Kagura segera melahap camilan berupa keripik kentang merah itu dengan bar-barnya, "oiya, ngomong-ngomong kenapa ini warnanya merah aru?"

Sougo awalnya menatap Kagura tanpa ekspresi, namun melihat wajah Kagura yang mulai memerah dan terbatuk, ekspresi Sougo berubah menjadi seringai penuh kepuasan.

"Uhuk...uhuk...kau...kau..."

"Ah, ternyata keripik setan yang biasa di buat onee-chanku dulu bisa membuat orang lain bahagia juga ya," Sougo makin menyeringai.

"SIALAN KAU SETAN SADIS BERMATA MERAH!!!! AAAH MULUTKU TERBAKAR!"

.

.

.

.

.

"Gintoki-san, apa kita bisa bicara sebentar?"

Dalam sebuah ruang pengap berbentuk persegi, pria dengan kacamata bulat itu nampak menanggalkan jas putihnya di atas gantungan baju.

"Anda sudah tau maksud kenapa aku memanggil tuan kemari bukan?" ucapnya.

"Ya, tentu saja," Gintoki mengangguk lemah.

Pria itu kemudian meletakkan hasil rontgen Kagura di atas meja kerjanya, "aku khawatir lama kelamaan anak itu akan mengalami lumpuh total sebelum..." ia meneguk ludah, "...ya sebelum, kau tau lah," ucapnya.

Gintoki sudah terlihat pasrah dengan apa yang dituturkan dokter itu, "ya kau tau sendiri bukan, akibat tidak terkena sinar matahari, tubuhnya menjadi tidak dapat produktif dan obat-obatan tak selamanya dapat membantu," Gintoki tersenyum kecut, "bahkan cahaya radiasi lampu pun dapat membahayakannya," sambung Gintoki lemah.

Rasanya baru sebentar Kagura hijrah ke Jepang ditemani si botak Umibozu karena tugas negara yang mengharuskan si botak itu keliling dunia. Maklum, detektif hebat. Dan rasanya baru sebentar ia tinggal bersama gadis cerewet pemakan segala itu, tapi kenapa ia harus tumbang lebih dulu? Gintoki meratapi kesedihannya.

"Jadi apa yang sebaiknya kita lakukan Gintoki-san? Operasi pun sepertinya mustahil."

Gintoki berdiri dan menarik kerah baju dokter itu, "kenapa jadi malah bertanya padaku hah? kau kan doktetnya. Carilah solusi!" ucapnya dengan sirat mata menahan luapan amarah. Kemudian Gintoki melepaskan tangannya dan meninggalkan ruangan itu begitu saja.

.

.

.

.

.

Di bawah atap yang sama.

Terdapat dua anak yang tenggelam dalam deritanya masing-masing.

.

.

.

.

.

"Stttttttt...woi Sadis..."

Kabut masih menyelimuti bumi namun Kagura telah memulai kegiatannya mengganggu ketenangan 'tetangga'nya.

Sougo menggeliat di balik selimutnya. Ya, tirai yang menghalangi mereka sengaja dicopot atas permintaan gadis beriris biru itu agar dapat lebih leluasa kala ia meminta bantuan Sougo. Meski meminta bantuannya lebih seperti memerintah budak.

"Woooooi...Sadis...banguuuuun!" teriak Kagura lagi. Pemuda yang dipanggilpun dengan malas bangkit dari tempat tidurnya. Dengan rambut yang berantakan dan tampang malas tentunya, ia berjalan mendekati Kagura sembari mengucek mata.

"Apa lagi?" tanya Sougo. Sungguh, ia tak pernah merasa sebabu ini sebelumnya.

"Tidurmu nyenyak?"

"Jika kau menyuruhku kemari hanya untuk menanyakan itu, aku pergi," Sougo membalikkan badan.

"Eeeeeh gak, enggak. Sebenarnya aku ingin pipis aru."

"Ah, bagian ini paling merepotkanku."

.

.

.

.

.

Sougo kembali menenggelamkan diri dalam selimutnya meski hari itu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Ia bosan. Sangat-sangat bosan karena akhir-akhir ini Kagura sering mendapatkan perawatan intensif yang membuat ia harus terjebak dalam kesendiriannya di kamar pasien.

Tapi sejak kapan Sougo mulai memikirkan gadis itu? Ia segera menepis pikirannya.

Salju yang mengintip di balik jendela seolah memanggilnya untuk bermain, "ah, jika saja onee-san masih di sini. Aku akan sangat bersemangat mengajaknya bermain lempar salju," lirih Sougo.

Alunan lagu natal yang berputar di koridor rumah sakit semakin memperkuat memori bahwa natal sudah semakin dekat dan tahun baru akan menyambutnya, meski ia sendiri tak yakin dapat bertahan hingga hari itu tiba.

"Sougo..."

Sougo menoleh mendengar suara yang memanggilnya, itu suara yang paling ia benci sebenarnya. Suara dari rival abadinya, Hijikata.

"Woi. Ngapain kau bisik-bisik dari luar pintu hah? Jika ingin bicara masuk kau ke dalam atau kupanggilkan penjaga rumah sakit bahwa ada orang gila," ketus Sougo.

Hijikata masuk dengan membawakan sekeranjang buah-buahan segar titipan Kondou. Hari ini, Kondou tak dapat menjenguk karena kesibukan yang luar biasa menjelang akhir tahun.

"Apa kau datang hanya untuk membawakan ini? Kalau ia, pergilah sekarang. Jantungku akan tambah rusak jika virus sepertikau dekat-dekat."

Ingin sekali Hijikata menonjok anak ini, namun melihat Sougo terbaring di sini kembali mengingatkannya pada seseorang, apalagi orang itu begitu berarti baginya, "sebenarnya aku ingin menyampaikan sesuatu."

Sougo menghela nafas, "apa?" ucapnya dengan nada bicara sedingin salju.

"Kondou-san memberitahuku bahwa akan ada pendonor jantung untukmu. Dokter sudah memeriksa pendonor itu dan jantungnya kebetulan cocok untukmu."

.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

.

Author notes

Yah TBC *kecewa* /kenapa

Sebenarnya pen bikin one shoot tapi karena aku kehabisan ide dan kata ya jadinya gitu *alasan

Huhuhuhuh pen nangis soalnya makin ke bawah alurnya makin berasa paksaan dalam tulisannya dan ngerasa masih ada typo tapi tak tau di mana *lah* udah di baca ulang sih, gak nemu. Kalau ada yang baca nanti tolong kasih koreksinya jika nemu typo ya eheheh.

Oiya sebenarnya fic ini mau diikutin di eventnya OKIFA02, tapi berhubung authornya gak maso, jadi ga bisa ikutin karena detlennya yang mepet dan sibuk banget akhir desember tahun kemaren *alasan

Semoga ada yang baca dan meninggalkan jejak.

Love,

Lichy.