Chapter 1: The Beginning
OVERDOSE
Rate : M
Pairing : KaiHun, others.
Genre : Thriller
Warning : AU, Yaoi, OOC.
I warn you, this fanfiction contains Blood, Snuff, and something like that. If you hate blood, snuff, or thriller story, but you still read it, please don't blame on me cause I've already warn you.
Disclaimer : Character milik perusahaan mereka masing2. Dan cerita ini adalah milik Kazuki Tsukishiro.
PERHATIAN!
Cerita ini di buat oleh Kazuki Tsukishiro. Saya hanya sebagai editor yang mengedit nama chara serta sesuatu yang berhubungan dengan itu.
.
NO FLAME
.
Summary : Jika Tuhan melarang kita memiliki perasaan dan hubungan ini, kenapa Dia menciptakannya?
.
.
XOXO
.
.
SMA St. Michael
.
Seperti namanya, SMA Saint Michael, atau SMA St. Michael adalah nama umum dari sekolah-sekolah katolik. Sama seperti disini, di ujung sebuah tebing pulau terpencil di wilayah Jeju. Namun ada yang sedikit berbeda antara SMA St. Michael dengan SMA-SMA katolik lainnya. SMA St. Michael adalah sekolah asrama putera yang dikelilingi oleh dinding- dinding beton, berujung kawat yang runcing, tak ada tempat untuk melarikan diri, karena tepat dibawah tebing SMA St. Michael terdapat kumpulan batu-batu tajam dan hempasan ombak yang dijamin bisa mengikis tubuhmu jika kau berniat mencoba kabur dari SMA tersebut.
Berlebihan?
Itu terserah kau yang mengartikannya. Jika tak percaya, kau boleh mencobanya. Bersekolah di sebuah SMA megah yang dibangun diatas lahan seluas 10 hektar, kemudian kau merasa jenuh, dan mencoba kabur dari sana.
.
.
OVERDOSE
The Beginning
.
.
Semua menundukkan kepala dengan khidmat di gereja yang terdapat di samping bangunan utama sekolah. Mendoakan arwah Pastur SMA St. Michael yang telah mengabdi selama 62 tahun, dan meninggal 2 hari yang lalu dengan dinyatakan sakit oleh pihak sekolah dan kepolisian. Namun ada yang menganggu pikiran pemuda tanggung berusia 17 tahun, bermata coklat, dan memiliki rambut seperti mangkok berwarna coklat ini. Ia mungkin berdoa, namun tidak sekhidmat biasanya. Ia merasa aneh dengan kematian Pastur Sooman.
.
"Hei, ada yang menganggu pikiranmu, Sehun?" tanya Lay setengah berbisik.
"Hm?" Sehun menoleh sekilas ke pemuda berwajah tirus yang duduk di sebelahnya. "Sedikit."
"Masih tentang kematian Pastur Sooman?" tanyanya lagi.
"Ya. Entah kenapa, aku merasa aneh dengan kematian Pastur Sooman. Seolah masih ada misteri yang menggelayuti pikiranku."
"Menyerahlah, Sehun. Bahkan pihak kepolisian menyatakan bahwa Pastur Sooman meninggal." Lay mulai menundukkan kepalanya lagi.
"Tapi—"
"Apakah kalian tahu, gereja adalah tempat untuk berdoa? Bukan tempat untuk berdiskusi membicarakan orang yang sudah meninggal."
Suara dingin itu, menghentikan pembicaraan yang terjadi antara Sehun dan Lay. Lay hanya tertunduk malu setelah melihat siapa yang menegur mereka. Namun beda halnya dengan Sehun. Ia justru memicingkan mata untuk melihat orang yang menegurnya.
"Apa kau tidak merasa berdosa karena telah menyela pembicaraan kami, TUAN Jongin yang terhormat?" desisnya sembari menekankan intonasi pada kata 'Tuan' yang justru membuat pemilik nama balas memicingkan matanya.
"Apa kau berani menentangku, cadel?" desis Jongin tak kalah sengit.
"Aku hanya tak berani menentang Tuhan, Kkamjong bodoh."
Sehun mengatupkan tangannya lebih erat. Ia tak peduli pemuda raven yang terus memandangnya itu marah-marah kepadanya, atau mengatakan macam-macam hal yang bisa membuatnya beringas. Ia ingin, sekali ini, berdoa dengan tulus dan khidmat untuk Pastur Sooman, tanpa pikiran macam-macam.
.
.
XOXO
.
.
Dia adalah Kim Jongin. Siswa kelas dua yang dengan ajaib bisa menduduki posisi kepala asrama, posisi paling penting yang hanya bisa diduduki oleh siswa kelas tiga yang memiliki prestasi paling cemerlang di antara siswa-siswa yang lainnya.
Latar belakang pemuda ini sangat tak bisa ditebak. Tidak ada yang tahu tentang orang tuanya, tidak ada yang tahu bagaimana cara ia dibesarkan, yang diketahui oleh seluruh siswa adalah Jongin memiliki kakak laki-laki yang bekerja di kepolisian.
Tak heran jika pemuda yang memiliki mata berwarna hitam ini sangat populer di kalangan siswa lainnya. Mungkin jenis kelamin mereka sama, namun tak menutup kemungkinan, bahwa ada beberapa siswa yang menyukai Jongin. Wajahnya tidak jelek, dia cerdas, dan aura misterius yang membuat orang lain penasaran, melekat padanya.
.
"Kau masih mau disini, Sehun?" tanya Tao, saat acara doa bersama usai.
"Ya. Aku masih ingin disini." Sehun menjawab dengan pasti. Matanya memandang patung kristus yang besar di altar.
"Baiklah. Kami akan menunggumu di kantin, Sehun." Chen menepuk pemuda pirang yang masih memandang kosong mimbar tempat Pastur Sooman memimpin doa.
"Ya. Terima kasih, teman-teman."
Chen, Tao, Baekhyun, Lay, dan anak-anak lainnya berjalan perlahan keluar dari gereja. Meninggalkan Sehun yang masih duduk memandang altar dan mengenang masa-masa saat ia dan Pastur Sooman bersama.
Sehun menganggap Pastur Sooman adalah ayahnya sendiri. Setiap hari ia meluangkan waktu bercerita pada sang pastur, sedikit mencurahkan isi hatinya, namun sangat ia sesali, ia masih menyembunyikan sebuah fakta dari 'ayah'nya tersebut. Ia tidak mengatakan bahwa ia telah menentang ajaran Tuhan. Ia telah berdosa karena melakukan larangan Tuhan. Sejujurnya, ia merasa hina, namun ia tak dapat menentang nafsunya.
.
"Sampai kapan kau akan terus merenung?" tegur sebuah suara yang membuat Sehun segera menyeka air matanya.
"Kau masih disini? Kupikir kau sudah pergi dengan anak-anak yang lainnya."
"Hn."
"Hhh... Entahlah. Hanya saja, masih berat bagiku kehilangan Pastur Sooman. Aku seperti kehilangan sosok ayah untuk kedua kalinya." Sehun menutup wajahnya.
"Aku mengerti." Jongin segera mengambil tempat disamping Sehun, dan ikut memandang altar kemudian langit-langit gereja bergantian.
"Tidak. Kau tidak mengerti apa-apa."
"Ayahku dibunuh oleh kawanan perampok 10 tahun yang lalu." Jongin mulai memejamkan matanya.
"Eh? Benarkah itu, aku tak pernah tahu." Sehun kini mengalihkan perhatiannya pada Jongin. Meminta penjelasan lebih, tentang jati diri pemuda yang telah dekat dengannya 2 tahun belakangan ini.
"Apakah cerita itu patut dibicarakan?"
"Tidak, maafkan aku."
"Hn."
"Jadi, karena itu kakakmu menjadi polisi?"
"Hyungku ingin membuktikan pada Ibu bahwa ia bisa melindungi keluarga setelah Ayah tiada."
"Oh, lalu kenapa kau tidak masuk ke asrama Polisi saja?"
"Kau sendiri, kenapa terdampar disini?"
"Ibuku yang memintaku. Ia tak ingin aku berakhir seperti ayah. Mati dalam tugas. Dulu ayahku seorang polisi. Makanya aku ingin menjadi sepertinya." Sehun menceritakan semuanya dengan sebuah senyum terkembang. Senyum yang tak pernah ditampakkan oleh Jongin. "Jadi, kenapa kau masuk ke sekolah ini?"
Jongin terdiam memandang Sehun sejenak. Kemudian ia menoleh ke arah jendela mosaik yang terpampang di sisi kiri dan kanan ruang berdoa.
"Tak satupun menjadi urusanmu, Cadel."
Ingin rasanya Sehun menjambak rambut hitam Jongin. Jawaban apa itu? Tapi Sehun berusaha tenang. Ia menghela napas dalam-dalam demi menghadapi makhluk ini.
"Lalu, apa yang terjadi dengan ibumu?" Sehun makin penasaran dengan masa lalu Jongin.
"Apa aku harus menjawabnya? Apakah ini sebuah wawancara untuk menguak masa laluku?"
"Tidak. Tidak apa-apa, lupakan." Sehun menundukkan kepalanya. Ia memandang lekat-lekat sepatunya yang hitam, terkadang memainkan jas seragamnya, ataupun menghela napas karena tidak ada topik yang bisa dibicarakan.
.
30 menit berlalu…
.
Dan masih belum ada yang mau mengalah untuk membuka mulut dan mencairkan kesunyian. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Hhhh..."
Hanya desah napas berat yang keluar dari bibir mungil pemilik nama Oh Sehun ini. Sesekali ia memandang wajah datar pemuda disampingnya. Hingga ia bosan menunggu, dan memulai pembicaraan.
"Kkamjong..."
"Hn."
"Maaf kalau aku menyinggung ini, tapi aku rasa beliau tidak meninggal karena sakit. Kurasa ia—"
"Dibunuh." Jongin tidak memindahkan pandangannya yang masih menatap altar dengan lekat.
"Jadi kau merasa begitu, Kkamjong?"
"Hn." Mata hitam pemuda itu tertutup. "Dan jangan panggil aku Kkamjong lagi, cadel."
"Okay, pesek. Jadi, darimana kau tahu kalau ia dibunuh?" tanya Sehun dengan tampang kesalnya.
Diam adalah jawaban yang dipilih Jongin.
"Hei, aku bicara padamu!"
"Apa kau tadi memanggil pesek? Sayangnya, itu bukan aku, bodoh."
"Argh! Terserah kaulah Kkamjong. Mau berbagi informasi syukur, tidak juga tak rugi. Kalau sudah tidak ada urusan, sana pergi!" cetus Sehun gusar.
"Hn. Kau ngambek, cadel?"
"Menurutmu?"
"Hn."
Kini mereka kembali dalam suasana bernama keheningan. Sehun merasa kesal, merasa marah ketika Jongin memanggilnya seperti itu. Tapi disisi lain, ia ingin segera menemukan kepastian dan melonggarkan pikirannya tentang kematian Pastur Sooman.
"Eng, lalu?" Sehun bertanya dengan suara yang sangat pelan. Jongin tersenyum tipis, terlalu tipis untuk dilihat mata. "Kenapa kau bisa berkata bahwa Pastur Sooman dibunuh, Kkamjong?"
"Apa kau tidak aneh, ketika kita tak diperbolehkan melihat wajahnya setelah ia meninggal? Dan jika ia memang benar sakit, kenapa pihak kepolisian ikut campur dalam masalah ini?"
"Ya. Itu aneh, dan karena itulah aku memikirkannya."
"Karena separuh wajahnya hilang."
Sehun tercekat. Rasanya ia baru saja kejatuhan batu gunung yang longsor ke atas kepalanya. Lututnya terasa lemas. Ia pun jatuh terduduk di lantai.
"Hei, Sehun. Kau tak apa-apa?" Jongin segera memegang lengan sahabat dekatnya tersebut.
"Hi-hilang?" Bukannya menjawab pertanyaan Jongin, tapi Sehun lebih fokus pada keadaan Pastur Sooman.
"Maaf, bukan hilang. Hanya wajahnya ditebas hingga hampir terbelah dua. Tulang hidungnya sempat terlihat. Aku sempat lihat fotonya saat pertama kali ditemukan." Jongin menatap mata coklat itu lekat-lekat.
"Jangan bilang padaku, kau melihat dokumen kakakmu yang menyelidiki kasus ini."
"Hn."
"Ck, itu sama saja dengan mengintip, Kkamjong. Itu tidak baik."
"Jadi? Apa aku berdosa? Jika ya, kau juga ikut kena dosanya, Cadel. Kau juga tahu informasi yang orang lain tak tahu."
Sehun terdiam menelan setiap kata yang keluar dari bibir Jongin.
"Ya. Mungkin kau benar. Aku... entah bagaimana mengatakannya, aku sedikit lega karena pertanyaan itu telah dijawab. Tapi, aku tak bisa lega sepenuhnya, saat aku tahu bahwa dugaanku benar." Sehun mengusap-usap tengkuknya yang tak gatal.
"Kau sebaiknya istirahat. Atau kau akan menjadi sepertinya!" ujar Jongin menakut-nakuti Sehun.
"Heh! Kau kira aku sepenakut itu?" sahut Sehun gusar.
"Hn. Semua juga tahu."
"Kkamjong kurang ajar! Aku akan buktikan kalau aku—"
Sebuah nada dering singkat memutus orasi Sehun terhadap Jongin. Jongin dengan gesit mengambil hp berwarna biru dongker dari dalam saku jasnya.
"Aku ada urusan. Kau mau ikut aku kembali ke asrama atau—"
Sehun mengurungkan niatnya untuk berdebat dengan Jongin. Hari ini terasa terlalu berat.
"Aku ikut saja. Aku ingin istirahat."
"Oke."
"Tapi mungkin aku akan ke kantin dulu. Tidak enak dengan yang lain." Sehun memainkan tangannya di saku jas.
"Baiklah. Hati-hati di jalan." Jongin pun berjalan meninggalkan Sehun yang masih berdiri di belakangnya. Ia menarik napas panjang, mencoba menerima kenyataan bahwa orang yang ia sayangi telah dibunuh dengan sadis.
.
.
XOXO
.
.
Kantin SMA St. Michael.
.
"Yo, guys!" seru Sehun mendatangi teman- temannya.
"Yo, Sehun. Lama sekali baru kau kesini." Baekhyun menyambutnya dengan salam khas antara mereka.
"Maaf tadi ada sedikit urusan di gereja." Sehun mencoba menutupi kenyataan yang ada.
"Ramyeon?" Chen menawarkan semangkok pada Sehun. "Aku yakin kamu pasti ceria lagi kalau makan Ramyeon." Sehun tertawa kecil.
"Paman, Ramyeonnya dua. Yang bayar Suho ya..."
Yang disebut namanya hanya bisa tertohok. "Heh? Kenapa harus aku?"
"Hehehe, sorry Suho hyung. Uangku ketinggalan di asrama. Kapan-kapan akan kuganti. Ya? Ya? Ya?" sahut Sehun dengan puppy eyes-nya.
"Ckk. Merepotkan."
Semua tertawa, tak terkecuali Sehun. Ia hampir melupakan kenyataan pahit yang harus ia terima.
"Oh ya, tadi kepala asrama datang ke gereja."
"Oh ya, lalu?"
"Lalu ia…. Ia…. Pergi lagi. Dia hanya memastikan semua pintu dan jendela terkunci. Setelah itu ia pergi lagi." Sehun menyeruput kuah Ramyeonnya hingga menimbulkan bunyi yang mengundang seluruh sekolah untuk melihatnya.
"Sangat tak penting," desis Tao. Entah kenapa, kelompok ini tidak begitu menyukai Jongin.
"Eh, aku dengar gosip, katanya ada pembunuhan yang terjadi di sekolah ini." Baekhyun berkata dengan pelan, namun sukses membuat Suho, Lay, Tao, dan Sehun tersedak.
"Babo! Jangan bicara hal seperti itu saat sedang makan siang." Lay menepuk kepala Baekhyun dengan ujung sedotan.
"Kan aku hanya bilang, dengar gosip. Namanya gosip juga belum tentu benar. Kalian kenapa sih?" Baekhyun mulai bersungut. Ia paling benci kalau semua orang tak setuju dengannya.
"Hanya saja, tabu membicarakan hal itu disini. Sama tabunya dengan membicarakan percintaan sejenis yang katanya sering menjadi rumor di sekolah ini." Chen berkata dengan santainya, dan ia sukses membuat Lay, Suho, Tao, Sehun, dan Baekhyun menyemburkan apa yang ada di mulut mereka ke arahnya.
"ASTAGA, TUHAN!" teriak Chen menyeka wajahnya yang tertutupi kunyahan tak sempurna. "Tuhan, maafkanlah teman-temanku yang telah berdosa kepadaku."
"CHEN!" seru Lay, Suho, Tao, Sehun, dan Baekhyun barsamaan.
"Jangan pernah bicara hal seperti itu. Rumor itu tidak benar." Lay mewanti-wanti Chen dengan alis bertaut.
"Ya. Ya. Rumor itu salah. Menjijikkan sekali. Dasar merepotkan," sahut Suho menimpali.
"Iya deh. Perasaan, dari tadi aku selalu salah kalau bicara dengan kalian," runtuk Chen yang masih sibuk membersihkan wajahnya. Lagi-lagi, semua tertawa.
.
"Wah, sudah hampir satu jam setengah kita disini. Kelas sore jam berapa?" tanya Lay melihat jam tangan Rolex yang baru saja dikirimi oleh orang tuanya.
"Jam 5. Sekarang jam berapa?" sahut Suho agak malas.
"Setengah dua. Masih ada dua jam setengah lagi," jawab Lay simpel.
"Kalian mau kemana?" tanya Baekhyun.
"Aku mungkin akan ke perpustakaan. Mau tidur-tiduran disana," jawab Suho.
"Aku mau kembali ke kamar. Aku sedikit lelah. Kamu, Tao. Ikut?" sahut Sehun pada Tao, teman sekamarnya.
"Iya. Ada yang mau aku kerjakan." Tao hanya mengangguk setuju pada Sehun. "Aku juga mau kembali ke kamar. Oh ya, kalian lihat Ren tidak?" Lay menyeruput tetesan terakhir jus jeruknya.
"Ren, teman sekamarmu?" tanya Chen.
"Iya. Dia beberapa hari ini tidak kembali ke kamar, dan dia juga jarang muncul di kelas." Lay membenarkan pertanyaan Chen.
"Mungkin dia mencoba kabur dan mati." Shindong, seorang pencuci piring yang dipekerjakan oleh SMA St. Michael tiba-tiba datang dan mengambil perkakas kotor yang masih terhampar di atas meja.
Semua berpandangan, dan masih berusaha untuk tidak merasa kaget atas kehadirannya yang tiba-tiba.
"Tolong gelas kotornya."
Lay memberikan gelas kosong yang masih dipegangnya. Sementara itu, Shindong segera beranjak pergi ke dapur kantin.
"Ayo pergi, disini menyeramkan…" usul Baekhyun yang dijawab dengan anggukan oleh semuanya.
.
Sepeninggal Lay, Suho, Sehun, Tao, Baekhyun, dan Chen, Shindong dengan gesit membersihkan meja mereka sembari mendesis,
"Dasar anak-anak orang kaya yang bodoh. Munafik."
.
.
"Tadi itu siapa? Bicaranya menyebalkan." Chen berjalan malas.
"Kalau tak salah, dia Kim Shindong. Orang yang dipekerjakan dengan bayaran bisa bersekolah disini." Suho memegang dagunya, mencoba mengingat-ingat.
"Hahahaha, bayarnya tidak pakai uang dong?" Sehun membenarkan dasinya.
"Pemilik sekolah yang menunjuknya langsung." Suho menguap malas.
"Pak Youngmin? Pantas…" Lay tertawa. Semuanya bertatapan sebelum akhirnya ikut tertawa bersama.
"Sepertinya kalian bersenang-senang. Ada berita apa?" sapa Xiumin—pembina asrama—di ujung koridor menuju kamar para siswa.
"Tidak apa-apa, Hyung. Hyung sedang apa?" tanya Baekhyun.
"Hum, sebenarnya setelah ini aku mau memberi makan merpati. Ada perlu denganku?" Seperti biasa, cowok bishie yang menjadi incaran cowok- cowok lain ini menampakkan senyum termanisnya.
"Tidak ada. Boleh aku ikut, hyung?" tanya Baekhyun.
"Aku mau memandikan anjingku."
"Boleh saja. Sekarang?" Baekhyun mengangguk.
.
Setelah kepergian Baekhyun dan Xiumin ke kandang hewan para siswa, Sehun dan yang lainnya menuju ke tempat tujuan mereka masing-masing, termasuk Chen yang segera ke ruang cuci untuk mencuci baju kotornya selama seminggu ini.
Sepanjang perjalanan menuju kamarnya, Lay tertunduk. Bibirnya gemetar. Tak ada yang dapat mengartikan getaran pada bibir pucat pemuda berwajah datar tersebut. Tak ada yang tahu apakah ia sedang berdoa, gugup, atau ketakutan akan sesuatu.
.
.
XOXO
.
.
Kamar Lay
1:45 p.m
.
"Berapa lama lagi kau akan menyuruhku menunggu?" tegur seorang pemuda ketus.
Lay terkejut, namun ia berusaha tetap terlihat kalem.
"Maafkan aku. Apa kau marah?"
"Tidak. Lalu apa maksudmu mengundangku kesini?"
"Entahlah. Aku menyukaimu. Bisakah kau menjadi pacarku?"
Dengan ekspresi yang datar Lay mengungkapkan semuanya.
"Hm, lalu? Apa yang bisa kau berikan padaku?" tanya pemuda itu dengan nada datar.
"Nyawaku. Tubuhku. Kau boleh mengambilnya," jawab Lay mantap.
"Buktikan padaku, kalau kau memang layak untuk jadi milikku."
.
.
.
"Ahh.. Oh…Kkkhhh… Akhhh… Akhhh…" desahan Lay terdengar sangat jelas saat kejantanan pasangannya memasuki liang belakangnya.
Pemuda tersebut semakin menghentak-hentak pinggulnya, sehingga membuat Lay semakin keras mencengkram seprai merahnya. Berulang kali Lay merasakan bahwa pinggulnya terasa lepas. Ia menitikkan air mata ketika hentakan pasangannya terasa makin keras di dalam tubuhnya.
Ia hanya mampu mendesah dan mengejang parah, saat pasangannya memainkan dua titik kecil di dadanya, membantunya mencapai puncak kenikmatan. Permainan mereka semakin panas, melebihi suhu kamar di siang yang terik ini.
.
.
XOXO
.
.
4:30 p.m
.
Sehun berjalan dengan pelan sembari menikmati angin sore yang sejuk di belakang asrama. Namun di tengah perjalanannya, ia melihat sesuatu yang menarik perhatian di atas sebuah pohon mangga. Ah, itu sosok menyebalkan Jongin-si-pesek-hitam. Apa yang dilakukannya di atas sana?
"WOI, KKAMJONG!" seru Sehun menendang batang pohon mangga itu hingga Jongin berhasil mengumpulkan kesadarannya.
"Heh! Apa-apaan kau, Cadel?" balas Jongin tidak kalah keras. Ia mengucek matanya dan menguap.
"Sedang apa kau disana?" tanya Sehun.
"Ada masalah?" balas Jongin.
"Tidak ada. Aku lupa kamu akan menjadi monyet berhidung pesek." Sehun menjulurkan lidahnya.
"Heh! Jaga bicaramu, jelek."
Jongin turun dari pohonnya dan segera menatap lekat-lekat pemuda di depannya.
"Apa kau masih marah karena telah kalah dariku, Cadel?" Sehun mengernyitkan alis.
"Hm? Kalah? Aku tak merasa kalah apapun darimu, Kkamjong!"
"Hn? Apa kau lupa? Di malam tiga hari yang lalu?"
Sehun tersentak. Wajahnya berubah merah.
"KKAMJONG! Jangan pernah mengungkit hal itu!" Ucapan kemarahan Sehun hanya dibalas dengan seringai oleh pemuda Kim ini.
"Tidak akan. Sebelum kau menang dariku, Cadel."
"Kkamjong!" seru Sehun mengejar Jongin yang sudah lebih dulu lari menuju kelas sore.
.
.
Sore ini hanya belajar agama saja. Jongin yang memang tidak menyukai guru agamanya, lebih memilih untuk smsan di balik buku cetak yang ia berdirikan.
"Heh, Kkamjong!" seru Sehun pelan, bahkan terlalu pelan untuk pendengaran normal manusia. Otomatis yang dipanggil tidak menyahut. Karena kesal, akhirnya Sehun berinisiatif mengiriminya SMS.
.
[ Heh, Kkamjong! Leeteuk-songsaenim melihatmu terus ]
[Lalu?]
[Angkat kepalamu. Nanti dia sadar.]
[Biar. Ada yang lebih penting yang mau kubicarakan denganmu.]
[Apa?]
[Nanti malam, datanglah ke kamarku]
[ Geez, bahkan saat seperti ini, kau masih memikirkan itu? ]
[Hn.]
[Oke. Oke. Nanti malam aku datang.]
.
Sebenarnya sedikit prihatin untuk guru yang mengajar agama pada sore hari. Karena seluruh siswa sudah mulai lelah dan bosan, meskipun ada jeda untuk beristirahat sebelum memulai kelas sore. Akhirnya, tak tertahankan lagi, sebagian besar siswa mulai tidak fokus dengan materi yang diberikan oleh Leeteuk.
"Yak, anak-anak. Pelajaran telah usai. Segeralah kembali ke kamar kalian masing-masing. Jangan keluar sembarangan. Saya tak mau ada yang menghilang lagi. Terima kasih." Leeteuk membereskan bukunya dan pergi meninggalkan kelas yang tiba-tiba bersemangat itu.
"Lay." Baekhyun menepuk punggung lelaki kurus itu. "Ren masih belum kembali ya?"
Yang ditanya hanya menggeleng.
"Mungkin Shindong benar. Jangan-jangan Ren sudah—"
"Chen!" potong Sehun. "Tolong jangan membuat yang lain khawatir. Lebih baik, kita berdoa agar Ren cepat ditemukan."
"Konyol," desis Jongin yang melintas di sebelah mereka.
Di belakangnya ada Shindong yang sedang membisikkan sesuatu.
"Aneh." Tao mendesis pelan, setelah sosok dua manusia tersebut tak ada.
"Apanya?" tanya Suho.
"Apa kalian tak dengar tadi Shindong bilang apa?"
Suho, Lay, Chen, Sehun dan Baekhyun hanya menggeleng.
"Dia bilang 'munafik'. Aku tak tahu siapa yang ia nistakan. Hanya saja—"
"Itu cuma anak aneh. Jangan dipikirkan. Sebaiknya kita segera mengikuti pesan Leeteuk songsaenim," sahut Baekhyun yang lagi-lagi diiyakan oleh yang lain.
.
.
XOXO
.
.
Kamar Lay
"Kau selalu membuatku menunggu." Pemuda itu bersungut.
"Maafkan aku."
"Aku muak."
Lay membelalakkan matanya mendengar ucapan pemuda yang ia puja itu.
"Eh? Apa itu artinya kau—"
"Tak apa. Jadilah anak baik yang selalu menuruti apa yang aku katakan."
Lay mengangguk pasti. Namun raut keyakinannya berubah ketika pemuda itu memberikan sebutir kapsul padanya.
"A-a—"
"Minumlah sebelum tidur. Aku tahu kau tidak sehat."
"Ya, anemiaku kumat." Lay menggenggam kapsul itu dan mengangguk.
"Kalau begitu aku pergi dulu."
"Mau kemana?" tanya Lay menahan lengan pemuda itu.
"Aku ada urusan." Pemuda itu menepis tangan Lay dan membanting pintu kamar dengan keras saat keluar dari kamar itu.
.
.
XOXO
.
.
10:00 p.m
.
"Oh… Oh… Jong.. in… Ahhh…" Sehun menggeliat ketika bibir pemuda tan itu menyentuh dua titik kecil di dadanya secara bergantian.
Jongin semakin bergairah memainkan titik-titik kecil yang semakin menegang itu setelah mendengar desahan dari bibir manis kekasihnya. Beruntunglah, di luar hujan badai, dan ombak yang pasang semakin keras membentur karang-karang di bawah tebing.
"Oh… Jongg… Akhh.. Stop.. Ahhh…" Sehun menepuk- nepuk kepala kekasih rahasianya itu.
Jongin menghentikan aksinya, dan menatap Sehun lekat-lekat. "Aku menginginkan dirimu, kekasih abadiku."
Sehun membuang pandangannya. "Jongin, please. Jangan berka—"
Bibir mungil Sehun terkunci oleh bibir Jongin yang segera 'melumat'nya. Tak ada suara lain selain suara desahan yang tertahan, permainan lidah yang semakin panas, sebelum akhirnya ciuman itu pindah ke leher jenjang Sehun.
"Jangan menyangkal, Sehun. Kau tahu itu benar."
"Akh… Oh… Ahhh.. Ahh… Ta-tapi… Akhhh…" Sehun bergelinjang menerima perlakuan Jongin yang asyik menggigit puting dadanya dengan gairah.
"Tapi apa? Terlarang?" Jongin kembali melanjutkan aksinya, disertai dengan elusan di perut Sehun.
"Ahh.. Ah… I-iyahhh… Oh…." Sehun menjambak Jongin tak kalah bergairahnya.
Jongin menghentikan aksinya. Ia menyunggingkan sebuah senyum tipis di ruangan yang temaram ini.
"Sehun, pernahkah kau berpikir, jika Tuhan melarang kita memiliki perasaan dan melarang hubungan ini, mengapa Ia menciptakannya?"
Sehun terdiam. Matanya memandang langit-langit kamar Jongin.
"Entah. Kurasa Tuhan punya rahasia yang tidak akan pernah diketahui oleh kita, para umatNya."
Jongin terdiam. Ia hanya memilin puting Sehun yang kian menegang. "Jadi, apa kau mau berhenti?"
"Akhhh… Jongin… Jongin… Oh…. Tolong hentikan… ahhh…" pinta Sehun.
"Oh ya? Kurasa tubuhmu belum ingin berhenti, Sehun." Jongin tersenyum jahil sembari meremas kejantanan Sehun yang sudah mengeras.
"Oh... Jongin… Ah…"
Dan keduanya tenggelam dalam permainan panas, dengan desahan-desahan yang teredam bunyi gemuruh di luar asrama.
.
.
"Kau masih tetap payah, Cadel."
"Cerewet kau, Kkamjong. Sakit tahu. Punyamu semakin besar."
"Kau saja yang terlalu lemah."
"Cih. Untung saja besok Sabtu. Kurasa aku tak bisa jalan kali ini."
"Hn." Jongin mengecup bibir kekasihnya sekali lagi. "Ayo tidur. Kau perlu itu."
"Iya. Iya. Makasih sudah mengkhawatirkanku."
"Jangan geer. Kalau kau tidak tidur, mungkin kau akan 'mengerjai'ku saat aku tidur."
"Cih. Siapa juga yang berniat mengerjaimu? Jalja, Kkamjong!" seru Sehun memunggungi Jongin.
"Hn. Jaljayo."
.
.
XOXO
.
.
12:00 am
.
Pintu sebuah lemari di gudang yang terbengkalai dibuka. Di dalamnya tampaklah sesosok pemuda berkulit putih yang beberapa hari ini dicari-cari oleh pihak sekolah. Pemuda itu terlihat lemas karena 80% oksigen dalam hidupnya telah terbuang tanpa bisa tergantikan. Jika ia masih bisa mengingat, ia akan mengingat bahwa ia sudah disekap dalam sebuah lemari tua dengan tangan terikat selama 5 hari. Ia bahkan tak tahu apa kesalahannya.
"Bangun!" seru pemuda yang membuka pintu itu dengan dingin.
Ren membuka matanya. Rambutnya berantakan tak karuan. Matanya sembab karena ia kurang tidur. Bayangkan saja, bagaimana kau bisa tidur dengan tangan terikat dan di dalam ruangan kedap udara? Dijamin, kau pasti akan sangat 'nyenyak' dalam tidurmu.
"A-apa salahku?" tanya Ren dengan tenggorokannya yang kering.
"Kau telah mengadu hal yang bukan urusanmu."
"Ta-tapi itu kesalahan. Yang kau lakukan dengannya adalah dosa." Ren tertohok karena setiap kali ia bersuara, tenggorokannya terasa sakit.
Pemuda itu mengeluarkan sebilah parang dari balik punggungnya. Ren terbelalak.
"Satu-satunya dosa adalah karena kau mencampuri urusan orang lain." Pemuda itu mengangkat parangnya tinggi-tinggi.
"Jangan bunuh aku. Tung—"
JLEB.
Satu tusukan tajam mendarat tepat di dada kiri Ren. Parang itu telah menusuk jantungnya. Melepaskan roh dari raganya.
"Sesungguhnya aku ingin berkata, 'tidurlah bersama Bapa, Ren'. Tapi, aku tidak akan mengatakannya pada pendosa sepertimu."
Seolah tak puas membunuhnya, pemuda itu kemudian melubangi perut Ren dan mengeluarkan hatinya.
"Bapa, maafkan hambamu yang penuh dosa ini. Kupersembahkan hatinya padaMu untuk Kau sucikan. Terimalah, Bapa."
Pemuda tersebut melemparkan hati Ren ke lautan lepas melalui jendela kecil yang terdapat di gudang, sebelum ia membawa Ren ke kamarnya.
"Berbahagialah, wahai hamba yang penuh dosa. Aku masih memberimu tempat yang lebih layak untuk kau tidur."
.
.
XOXO
.
.
07:45 a.m
.
Sinar matahari yang hangat masuk melalui ventilasi dan menerpa wajah pucat seorang siswa bernama Lay. Ia sedikit demi sedikit membuka matanya menyambut pagi yang cerah. Tak ada yang akan percaya, jika semalam telah terjadi hujan badai. Karena pagi yang indah ini telah menghapusnya.
Lay merasa memeluk seseorang, namun ia juga mencium bau yang aneh. Akhirnya, ia fokuskan penglihatannya pada objek yang ia peluk.
"Re-Ren, kau kembali?" Ia mendesis perlahan. Sampai ia sadari ada yang aneh dengan Ren.
Bukan hanya kulit Ren yang semakin pucat. Tapi juga bau aneh yang berasal dari balik bantal merah yang menutupi perut Ren.
"Ba-bau apa ini?"
KLANG
"Hah?" Lay tercekat. Dilihatnya sebuah parang yang berlumuran darah kering terjatuh dari tempatnya tidur. Belum habis rasa terkejutnya, kini ia hanya bisa meratapi kedua tangannya yang berlumuran darah kering.
"A-aa... A-aa..."
Lay dengan sigap menyingkap bantal yang menutupi perut Ren. Lay hanya bisa tertohok melihat sebuah lubang besar yang berbau anyir terdapat disana.
"A-apa yang telah aku lakukan?"
.
To be continued
.
Yo, whads'up!
Bagaimana chapter pertama? Ini sangat panjang kan? Berterimakasihlah pada author aslinya.
Apabila ada kesalahan mengenai deskripsi chara yang kulakukan, akan kucoba untuk memperbaikinya.
Semua komentar untuk fanfic ini ditujukan pada Kazuki Tsukishiro. Saya hanya sebagai editor.
Mengingat Kaihun couple, aku jadi ingin membagi fic ini dengan kalian.
Kritik dan saran di terima, tidak dengan flame.
Mind to review?
