Matahari untuk Bulan

Oleh: Jogag Busang

Disclaimer: Naruto by Masashi Kishimoto

Penulis tidak mengambil keuntungan materil dari fanfiksi ini

Dedicated for:

#SunMoonChallenge2018 (March 14, 2018)

also

Special for:

Nagisa Yuuki

Genre Sampingan: 5. Fantasy

Angka Ajaib:

6. Sikat

7. Tali

8. Topi

.

1

Dari Canolla

.

Aku mengucek mata kananku, lantas menggeliat malas di atas ranjang yang keras. Sebenarnya bukan sinar matahari yang menerobos dari sela-sela kelambu yang mengganggu mimpi indah terselubungku, tapi hasil dari teriakan dari seorang lelaki berambut pirang, dengan sambil mengguncang-guncangkan tubuhku, yang berseru, "Sasuke, bangun! Cepat bangunlah! Nanti kita bisa terlambat!"

Masih malas, aku enggan menjawab dengan buru-buru, malah menangkupkan selimut menutupi wajah. Seakan tahu jika aku menghindar, kurasakan salah satu telapak kakiku mendadak geli; rupanya lelaki tadi menggelitik telapak kakiku dengan menggunakan bulu ayam (yang sebenarnya berfungsi sebagai pembersih kotoran telinga).

Dan karena hal itulah, aku sudah tidak mengantuk lagi. "Iya! Iya, Naruto! Aku akan bangun sekarang!"

Segera, aku meloncat dari ranjang. Menggerutu sebal sebenarnya, tapi aku lekas bersiap-siap. Dalam pikiranku sudah terbentuk suatu rangkaian kegiatan yang akan kulakukan di pagi hari ini; bersih-bersih rumah, mandi, mengemasi pakaian, sarapan, dan lalu berangkat ke sebuah tempat nun jauh di sana.

Lelaki yang kupanggil dengan nama Naruto, tersenyum senang saat melihat usaha membangunkanku berhasil (untuk catatan, aku ini termasuk tipe orang yang sulit untuk dibangunkan. Bahkan Papa Ashura biasanya membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit untuk membangunkanku; dan ulah Naruto tadi berhasil memecahkan rekor tercepat acara bangun pagi versiku).

"Dasar, Dobe." Aku masih saja menggerutu, walau sudah berada di dalam kamar mandi. Kuambil sikat dan mulai menggosok dinding serta lantai kamar mandi. Sudah tugaskulah mengurus kebersihan di rumah ini, dan masih ada lagi beberapa pekerjaan rumahan yang harus kulakukan.

Kegiatan bersih-bersih sudah tuntas. Saat aku selesai mandi, kudengar pintu lemari dibuka; suara ribut pakaian yang dikeluarkan Naruto, suara retsleting tas yang ditarik, hingga suara denting piring dari luar kamar menyambutku. Entah mengapa, semua aktivitas yang dilakukan oleh penghuni rumah ini membuatku merasa sesak.

"Apakah kita memang akan pergi hari ini, Naruto?"

"Tentu saja, Sasuke. Memangnya kenapa?" Naruto lalu menghentikan gerakan tangannya dan berbalik menghadapku. "Apakah kau sakit?"

"Aku tidak sakit, Naruto. Aku sehat-sehat saja. Tapi ada satu hal yang mengusikku sejak tadi malam, apakah surat itu memang berasal dari Zarraj?"

Naruto mengerutkan dahi. "Kau tidak kangen dengan keluargamu?"

"Bukan masalah itu, Naruto." Aku mendecih gemas, Naruto memang sedikit menjengkelkan. "Tapi yang benar saja jika kita pergi hanya karena sebuah surat misterius yang muncul tiba-tiba?"

"Kenapa tidak, Sasuke? Bahkan jika kita nanti tidak berjumpa dengan Papa Hashirama dan Mama Madara di Zarraj, anggap saja perjalanan ini sebagai petualangan, acara liburan, senang-senang, atau sekadar kencan."

Aku menarik napas sebentar, sedikit sebal dengan gombalan Naruto, tetapi tetap mendengarkan ucapan Naruto selanjutnya.

"Bukankah tadi malam kita sudah berdiskusi dengan Papa Ashura dan Mama Indra? Mereka juga sudah setuju. Jadi, apa yang masih kaucemaskan?"

Kuputuskan untuk percaya saja. "Baiklah, kau memang benar, Naruto. Aku ke bawah dulu. Mungkin Mama Indra sedang repot di dapur."

Sambil menuruni tangga kayu, pikiranku masih bergulat dengan kejadian kemarin siang. Secara tiba-tiba, seorang Kanada (tukang pos) datang ke daerah Canolla, ke rumah orang tua Naruto (rumah yang kini kutinggali) dan memberi sebuah amplop berisi surat dari Zarraj, surat dari orang tuaku.

Awalnya aku tentu tidak percaya dengan alamat surat tersebut. Bagaimana mungkin surat dari Zarraj bisa sampai ke daerah Canolla? Ini sangat mustahil terjadi. Kanada di Canolla biasanya tidak mau mengirimkan surat-surat dari Zarraj karena beberapan alasan penting; yang menyangkut hubungan antara daerah Canolla dan Zarraj.

Aku tidak bisa tidur semalaman memikirkan isi surat tersebut. Aku tetap tidak bisa memercayai bahwa surat itu berasal dari orang tuaku. Tapi alamat yang tertera jelas bukan tipuan. Isi suratnya adalah, orang tuaku mengundangku kembali ke Zarraj. Parahnya, di surat itu tertulis bahwa orang tuaku merindukanku selama ini. Aku hanya menanggapinya dengan reaksi percaya tidak percaya.

Walau dengan semua kekacauan yang terjadi, akhirnya Papa Ashura dan Mama Indra berhasil meyakinkanku untuk menyanggupi permintaan dari surat tersebut untuk datang ke Zarraj.

Tiba di dapur, aku langsung menyiapkan jagung rebus yang sudah dimasak Mama Indra di meja batu ruang makan. Berbasa-basi sedikit sambil tetap melakukan pekerjaan. Namun, entah mengapa aku merasa percakapan di antara kami berdua terasa dingin dan sendu. Apakah karena aku akan meninggalkan rumah ini sebentar lagi? Atau, mungkin ini hanya perasaanku saja?

Ah, hatiku ternyata mulai rusuh.

Aku menatap sekeliling rumah. Di sudut ruang keluarga, kulihat Papa Ashura sedang serius membaca nortah (kumpulan berita dalam gulungan kertas; sejenis koran). Bukan, yang benar saja dia sedang membaca? Sebetulnya Papa Ashura (seperti yang kuketahui dengan baik) sedang melihat gambar hitam putih wanita berbaju pendek di halaman yang menampung iklan. Sebuah sarapan yang lumayan nikmat khas Papa Ashura, sebelum sarapan secangkir kopi kesukaannya.

Ketika jam pasir di atas lemari kaca terisi seperempat, aku, Naruto, Papa Ashura, dan Mama Indra mulai bergabung di ruang makan, mengelilingi meja batu.

"Semua barangmu sudah siap, Sasuke?" tanya Papa Ashura, yang duduk di ujung meja. Dia baru saja menyesap kopi hitam kental buatan Mama Indra.

Aku meletakkan jagung yang baru saya kugigit sedikit. "Hampir selesai. Tinggal memasukkan beberapa peralatan untuk mandi saja, Pa."

"Bagus. Dan Naruto," Papa Ashura menatap lelaki yang duduk di sampingku, "jaga Sasuke baik-baik. Pastikan kalian menempuh alamat yang benar. Aku hanya tidak ingin kalau kalian tiba-tiba tersesat, bahkan sebelum keluar dari wilayah Canolla."

"Tentu saja, Papa. Kekasihku juga bisa menjaga diri." Naruto lalu melirik ke arahku sambil tersenyum menggoda. Pipiku langsung dirambati perasaan hangat.

Ah, Dobe. Kenapa senyumanmu bisa membuatku meleleh seperti ini?

Suasana sarapan kembali hening. Ini sama sekali bukan keadaan makan yang baik. Biasanya, Papa Ashura akan membuka acara sarapan dengan bertanya kepada Mama Indra mengenai apa menu makan siang nanti. Lalu, Mama Indra menawarkan beberapa pilihan makanan sesuai jatah uang makan yang ada. Biasanya, lagi, aku akan berkomentar tentang makanan sederhana tetapi enak, dengan semua bahan yang berharga murah di pasar Andromeda. Akhirnya, semua setuju dengan pilihanku.

Namun, kali ini lain. Tidak ada yang berani berbuat gaduh. Baik Papa Ashura maupun Mama Indra terlihat sepakat untuk menjadikan sarapan hari ini menjadi acara yang terhormat dan penuh penghayatan. Jujur saja, ini membuatku risih.

Menghabiskan dua jagung dan sebambu air (bambu di sini berarti gelas), aku dan Naruto naik ke atas, mengecek barang satu per satu.

Sudah lengkap. Semestinya sudah siap untuk berangkat. Tinggal berpamitan saja yang kelihatan sulit.

Tidak mau membuang banyak waktu, Naruto mencium tangan Papa Ashura dan Mama Indra dengan lembut. Karena tidak ada yang berkata-kata, aku juga menirunya. Ditambah dengan ciuman kedua pipi dari Mama Indra. Sebelum aku berbalik, Mama Indra menyentuh lenganku, meminta waktu sebentar. Dia kemudian menyelipkan satu kotak kecil berwarna hitam di dalam tas yang kupegang.

"Berikan kepada orang tuamu ya, Sasuke," Mama Indra berbisik di telingaku.

Mulanya aku kaget menyadari kata-kata Mama Indra barusan, tapi aku buru-buru tersenyum dan menanggapi, "Tentu saja, Ma. Akan kuberikan nanti."

"Berjanjilah kepadaku jika kau pasti akan memberikannya, Sasuke."

"Aku janji, Ma."

Papa Ashura dan Naruto tidak tahu tentang perjanjian kecil ini.

Aku menatap rumah yang telah kutinggali selama kurang lebih lima tahun untuk yang terakhir kalinya. Rumah sederhana dari kayu dan batu keras. Rumah itu menempel di pohon besar dan—bukan, maksudku rumah itu menyatu dengan pohon. Atap dari daun tanaman Peoni membuat rumah menjadi teduh dan tidak terlalu ketinggalan zaman. Setidaknya bagi zaman di Canolla.

Kereta yang ditarik oleh dua Hanji (hewan berkaki empat, berbulu abu-abu, hampir mirip seperti kuda, tapi memiliki tanduk yang panjang) tiba tepat waktu, saat jam pasir yang dipasang di tembok emperan rumah sudah terisi setengah. Naruto memasukkan koper dan tas ke dalam kereta dan mengambil posisi duduk nyaman. Aku bergegas menyusul ke dalam kereta.

"Hati-hati, Nak," kata Papa Ashura.

"Semoga kalian berdua selamat sampai di Zarraj," Mama Indra menambahi.

Aku ingin mengatakan sesuatu, tetapi suara Hanji yang mengaum menenggelamkan kalimatku. Kereta juga mulai berjalan. Akhirnya, aku dan Naruto hanya melambaikan tangan, yang dibalas dengan lambaian pula oleh Papa Ashura dan Mama Indra.

Dan dengan ini, maka perjalanan menuju daerah Zarraj resmi dimulai.

Selamat tinggal, Canolla.

.

DSB (Dan Saya Bingung)

Bukan, yang benar itu:

DSB (Dan Saatnya Bersambung)