A vampire fic. ZoRob (always). ^^"a Cha akhirnya bikin fic multi-chap juga. Makasih ya, kak elea, Cha jadi tertarik untuk bikin vampire fic (beserta forbidden lovenya ;p)
Please enjoy this story, minna!
Kami berdiri di atas penyangga langit
Kami hidup di bawah kubah langit
Harga diri kami jaga seperti langit
Tapi kami tak pernah sejajar dengan pencipta langit...
"Tidak mungkin vampir hidup berdampingan dengan werewolf!"
Seorang wanita berambut putih sebahu bangkit dari tempatnya duduk dan memukul meja cukup keras. Di hadapannya, seorang laki-laki tua memegang janggut dengan tangan kirinya.
"Mungkin saja, Olvia."
"Kau gila, Garp!"
Wanita tadi memijat dahinya, sementara si laki-laki tua tertawa.
"Lagipula, cucuku adalah vampir dan werewolf, mereka bisa hidup rukun bersama."
.
.
-Night Lullaby-
[Lullaby 1: A Vampire School Life]
Disclaimer : One Piece © Eiichiro Oda
Rated : T
Genre : Romance/Tragedy
Pairing(s) : ZoRob
WARNING : typo(s), OOC, AU
Summary : Selamat datang di Night Lullaby High School! Jika Anda seorang manusia, lebih baik pergi jauh-jauh dari sana. Namun jika Anda makhluk mitos, salam hormat kami untuk Anda.
.
.
Night Lullaby High School. Begitulah orang-orang biasa menyebut bangunan tua yang terletak di dekat pemakaman umum pinggiran kota London. Bangunan sekolah megah yang letaknya jauh dari pemukiman penduduk biasa.
Jangan pernah coba-coba mendekati bangunan sekolah itu jika tidak mau mati mengenaskan. Memang tidak ada penjagaan ketat di sekolah itu, namun siswa Night Lullaby High School adalah makhluk-makhluk mitos mematikan—vampir dan werewolf.
Ya, vampir dan werewolf yang hidup bersama, namun masih berdiri tembok pemisah maya bagi masing-masing klan—hukum bagi vampir dan hukum bagi werewolf. Hukum harus tetap berdiri paling atas dari tiap klan, yang paling tegas adalah larangan bagi vampir dan werewolf untuk menjalin cinta.
Night Lullaby High School, terkenal dengan suara merdu yang berasal dari dalam sekolah ini jika malam telah menjelang. Suara nyanyian, lagunya seperti lagu kebangsaan atau mars sekolah yang biasanya dialunkan pada siang hari di sekolah manusia. Dan memang seperti itulah kebiasaan di sekolah itu, para murid akan berkumpul di sebuah aula besar sebelum sekolah dimulai, lalu bernyanyi bersama. It's a night lullaby, isn't it?
Nico Robin adalah salah satu siswi sekolah itu. Seorang vampir keturunan darah murni. Keturunan ke tujuh keluarga Nico, yang dapat dipastikan—untuk keturunan perempuan—selalu memiliki wajah cantik, tubuh molek, dan jangan dipertanyakan kecerdasannya.
Dan semua itu menurun pada Robin, gadis bertubuh tinggi itu sangat cantik, rambutnya hitam panjang berponi, iris biru, hidung mancung, dan bibir tipis dilukis dalam kanvas wajah tirusnya. Tubuh Robin pun ramping, kulitnya mulus, dipastikan tidak akan ada satu pun vampir yang akan menolak jika diminta melakukan sesuatu olehnya.
Robin adalah keturunan Nico pertama yang memilih bersekolah di Night Lullaby High School. Ibu kandungnya, Nico Olvia, adalah pemilik sekolah itu, yang memudahkan dirinya untuk mengawasi sang anak dengan cukup ketat.
Sang ratu malam tengah tersenyum manis, ditemani tentara-tentara bintangnya. Sudah hampir tengah malam, dan para murid Night Lullaby High School sedang menikmati waktu istirahat mereka di sekolah, sebelum nanti memulai kelas selanjutnya.
"Haaah! Kenapa sih harus ada pelajaran biologi? Memusingkan!" keluh seorang gadis berambut oranye.
"Fufufu... aku tahu kau hanya suka matematika dan geografi, Nami. Tapi biologi penting juga, loh," jawab seorang gadis berambut hitam sebahu.
"Aku berharap bisa sepintar dirimu, Robin nee-chan."
Robin hanya tersenyum tipis mendengar pujian dari Nami. Memang beberapa mata pelajaran yang ditawarkan oleh Night Lullaby High School bukan masalah besar baginya. Well, matematika, biologi, geografi, sejarah, dan pilihan kelas alternatif (boleh memilih dua kelas yang diminati), itu lebih sedikit daripada di sekolah manusia.
"Nami-swaaaan!" seorang siswa berambut pirang menari dan berputar-putar di depan kedua siswi cantik tadi.
"Sanji-kun, kau tidak ikut kelas biologi?" tanya Nami.
"Aku ikut kelas memasak, jadi kelas biologiku pindah di hari Kamis. Kenapa? Nami-swan merindukanku?" tanya Sanji dengan mata yang sudah berubah bentuk menjadi hati.
"Bolehkah aku duluan, Nami? Sanji?" tanya Robin akhirnya.
"T-tentu saja, Robin nee-chan. Maaf membuatmu menungguku," jawab Nami sungkan.
"Tak apa, Nami," jawab Robin sambil berlalu.
"Dah, Robin-chwaan!" Sanji melambaikan tangan, dan sedetik kemudian ia mendapat jitakan dari Nami.
Robin tidak perlu berbalik untuk melihat adegan lucu antara Sanji dengan sang pacar, Nami. Sanji pastilah dimarahi habis-habisan oleh Nami seperti biasa karena suka iseng menggodanya—dengan maksud bercanda.
Vampir womanizer itu tidak pernah kapok menggoda para wanita di dekatnya walau sudah memiliki pasangan. Meski begitu, sebenarnya Sanji vampir yang baik. Yah, walau predikat 'vampir keturunan darah murni'nya masih dipertanyakan karena sikap womanizernya.
Seperti biasa, waktu istirahat Robin dihabiskan dengan membaca buku yang tersedia di perpustakaan sekolah. Gadis itu baru saja melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam perpustakaan ketika ia mendengar suara dengkuran yang cukup keras.
Iris biru Robin mengarah ke sebuah pilar dekat perpustakaan. Seorang siswa bertubuh kekar dan berambut hijau tengah tertidur di sana. Pemalas semacam itu... pasti werewolf. Hei! Sejak kapan Robin perduli dengan orang lain?
Gadis itu menggelengkan kepalanya, kemudian melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam perpustakaan. Siapa peduli dengan siswa tadi? Paling hanya siswa malas yang terpaksa masuk ke Night Lullaby.
Tidak hanya bagi para manusia saja, bagi para vampir dan werewolf, bel tanda pulang sekolah juga seperti panggilan surga, karena dengan begitu mereka bisa kembali ke asrama masing-masing dan beristirahat. Kelas terakhir Robin hari ini adalah matematika dan teman sebangkunya, Nami, tampak senang sekali dibanding dengan tadi.
"Yaay! Aku berhasil menyelesaikan soal-soal ini."
"Bagus sekali, Nami," puji Robin.
"Kau mau melihat pekerjaanku, Robin nee-chan?"
"Tidak, terima kasih, Nami. Aku sudah selesai."
"Eh? Kau benar-benar pintar, Nee-chan!"
"Nami-swaaaaan!" Sanji berputar-putar dari kursi paling depan ke deretan nomor empat di kelas itu.
"Sanji-kun! Bisa tidak kau lebih tenang sedikit?" omel Nami.
"Baik, Nami-swaaan!"
Robin tersenyum tipis, kemudian memasukkan buku-buku di atas mejanya ke dalam tas sekolah, begitu pula dengan Nami. Murid-murid lain sudah banyak yang meninggalkan kelas. Beberapa kali Robin dapat melihat dari sudut matanya, Sanji tengah memandang sinis ke arah para werewolf yang tengah bercanda dengan teman sejenisnya.
"Kau berjanji untuk menghilangkan kebiasaan burukmu, Sanji-kun."
"Maaf, Nami-san. Aku hanya..."
"Tolong jangan lupa kalau aku pun vampir berdarah campuran," sergah Nami cepat.
"Tapi kau tak sejajar dengan anjing-anjing itu, Nami-san."
"Well, Sanji..." Robin bangkit dari tempat duduknya. "Tidak ada masalah 'kan selama mereka tidak macam-macam?"
Sanji terdiam, kemudian menunduk dalam. Robin memang berasal dari keluarga Nico, namun gadis itu tidak pernah terlalu ambil pusing dengan pandangan vampir berdarah murni pada umumnya—yang memandang rendah werewolf.
"Robin... nee-chan?" ragu-ragu Nami memandang Robin, biasanya kalau sudah begini, Robin akan marah pada Sanji.
"Tidak, aku tidak marah pada Sanji, Nami," Robin mulai melangkah keluar dari tempat duduknya. "Hanya saja... mencoba menghilangkan pandangan buruk darah murni pada werewolf memang sulit."
"Maaf soal kata-kataku, Robin-chan."
"Tidak apa-apa, Sanji. Aku duluan," Robin pamit.
Sanji dan Nami mengangguk bersamaan, sementara Robin hanya tersenyum tipis. Memang tidak ada peraturan khusus di Night Lullaby High School. Selama murid yang bersekolah di sana tidak keberatan untuk hidup berdampingan dengan 'musuh abadi'nya, Night Lullaby High School terbuka lebar.
Para murid pun bebas menentukan kapan mereka akan lulus dari sekolah itu, karena memang jangka waktu hidup vampir dan werewolf jauh lebih lama dibanding dengan manusia.
Tapi, meski hidup berdampingan, tidak jarang ada vampir berdarah murni seperti Sanji yang memandang rendah werewolf. Menurut mereka, werewolf adalah kasta terendah dalam piramida tingkatan harga diri, dimana vampir berdarah murni lah yang menduduki peringkat teratas.
"Nona Robin."
Robin menolah ketika dirasa ada yang memanggil namanya saat ia tengah berjalan menuju asrama Night Lullaby. Seorang guru berambut hitam dengan luka di wajahnya tersenyum pada Robin.
"Sir Crocodile."
"Boleh aku meminta waktumu sebentar?"
"Ya?"
"Besok adalah hari Sabtu, apa kau akan pulang ke purimu?"
Robin berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Ya, ibuku sudah memintaku untuk pulang minggu ini."
"Kalau begitu, tolong berikan surat ini pada ibumu," Crocodile memberikan sepucuk surat beramplop cokelat susu pada Robin.
"Baiklah. Ada yang lain?"
"Tidak ada."
"Permisi."
Robin mundur dua langkah—sebagai bentuk hormat, kemudian berbalik menuju ke asramanya. Baiklah, hari Sabtu adalah besok. Oh, kalau saja waktu bisa berjalan lebih lambat, Robin ingin lebih lama berada di sekolahnya. Bertemu dengan vampir wanita super sibuk itu... ada apa? Kenapa ibunya meminta ia pulang?
Asrama Night Lullaby ada empat, dua untuk vampir dan dua untuk werewolf. Asrama untuk vampir berada di sebelah barat daya dan barat Night Lullaby High School, sementara untuk werewolf ada di timur dan tenggara sekolah itu. Ketika hari Sabtu menjelang, ada beberapa werewolf yang akan pulang ke rumahnya, dan juga beberapa vampir yang akan pulang ke purinya.
Pagi ini, Robin harus bergegas pulang sebelum matahari naik. Karena jika di tengah hari ia terkena sinar matahari langsung, maka kulitnya akan rusak karena terkelupas. Bagaimanapun, vampir dan werewolf adalah makhluk malam yang bermusuhan dengan matahari.
"Robin nee-chan!"
Nami memeluk gadis beriris biru itu ketika ia baru saja menginjakkan kaki ke anak tangga paling bawah di asrama itu. Asrama Night Lullaby bagi vampir wanita ada tiga lantai, dan Robin tinggal di lantai dua dalam bangunan berornamen Eropa kuno itu.
"Kau tampak senang sekali, Nami?"
"Tentu saja! Aku akan pergi ke tempat Sanji-kun hari ini."
"Itu bagus. Jadi, Zeff-sensei akan pulang juga hari ini?"
"Iya!" Nami mengangguk, kemudian melepaskan pelukannya.
Robin tersenyum. "Semoga harimu menyenangkan, Nami."
"Tentu saja! Kudoakan hal yang sama untukmu, Nee-chan!"
"Kalau begitu, aku pulang dulu, Nami."
Nami tersenyum lebar, dan Robin pun melangkah menuju pintu. Jam di dinding menunjukkan pukul delapan tepat, jika berjalan hingga ke gerbang depan Night Lullaby, maka Robin akan terlambat dua menit dari jadwalnya. Gadis berambut hitam itu menghela nafas, kemudian berjalan keluar dari asrama.
"Selamat pagi, Nona Robin," seorang vampir pelayan membungkuk sembilan puluh derajat di depan Robin.
"Selamat pagi, Kuro."
"Apa Anda masih ada urusan lain?"
"Tidak, tidak. Kita langsung pulang saja."
"Baiklah, Nona. Nyonya besar telah menunggu."
Pantas saja ibu Robin meminta ia pulang akhir pekan ini, rupanya vampir wanita super sibuk itu berada di rumah. Tumben sekali. Biasanya Olvia hanya akan berada di rumah satu kali dalam tiga bulan. Dan seingat Robin, 'satu kali' itu baru terjadi dua minggu yang lalu.
Biasanya kalau tidak pulang ke purinya, Robin akan menghabiskan waktu di asrama dengan membaca buku atau berbincang dengan Sanji dan Nami. Namun kini Robin tengah duduk di kursi belakang sebuah mobil mewah. Ia melipat kakinya sambil membaca sebuah buku tebal bersampul hijau tua. Gadis itu sama sekali tidak tertarik dengan pemandangan di luar jendela mobil.
Hari ini, Robin mengenakkan kaus ungu berlengan pendek dengan celana jeans selutut. Tidak ada masalah dengan pakaian itu, toh, jendela mobil sudah didesain sedemikian rupa untuk memantulkan cahaya matahari. Dan kulit Robin hanya akan terkelupas jika terkena matahari di atas pukul sebelas—atau menjelang tengah hari.
Dan dalam waktu tiga puluh menit perjalanan, mobil yang mengantar tuan putri Nico itu pun berhenti di depan sebuah puri mewah bercat putih. Robin menutup buku di tangannya, ia menatap 'puri' dengan sentuhan modern dan didesain dengan gaya Russia. Tampak minimalis dengan satu pintu utama dan dinding batu yang dihiasi banyak jendela. Khas ibunya.
"Silahkan, Nona Robin," Kuro membuka pintu dan membungkuk.
"Terima kasih."
Robin melangkahkan kaki turun dari mobil dan menuju pintu masuk utama di rumah itu. Ia menghela nafas ketika dilihatnya sang ibu sudah berdiri di depan pintu untuk menyambutnya.
"Selamat datang, Robin sayang."
"Tumben sekali, Bu?"
"Ah? Tidak senang ibumu pulang?"
"Bukan, bukan begitu."
"Robin... masuklah," Olvia memandang anak kesayangannya itu.
"Iya, Bu. Ah ya, Ibu dapat surat dari Sir Crocodile."
"Penjilat itu, nanti sajalah kita bicarakan dia. Ibu rindu padamu."
Robin mengangguk, lalu tersenyum tipis. Karena statusnya sebagai anak pendiri Nigt Lullaby High School, Robin cukup disegani di sekolah itu. Lagipula, bukan Robin yang mau, ia sendiri bahkan bersikap biasa saja. Baginya, tidak ada yang salah dari vampir dan werewolf yang hidup berdampingan selama tidak ada yang memulai masalah.
.
.
—Tsuzuku—
.
.
#curhat: Aduh, Cha merasa gagal deh buat image Robin yang cool dan disegani. Nggak kerasa feelnya. Huks. Dan, Zoro baru nongol sedikit, soalnya chapter ini ngebahas sekolah dan si vampir dulu. Para werewolf tunggu di chapter depan, ya! ^^
Apa... ada yang kurang jelas di fic ini? (Kayaknya banyak. Hahaha...)
Nee, mind to RnR, readers?
