A/N: rencana cuci gudang. ini cerita sudah ke simpen lama banget. kalau mau baca prolognya atau prekuelnya baca Is it love?
Disclaimer : apapun yang kau kenal bukan milikku.
Fecility Garbrielle Malfoy berusia sebelas tahun. Dan ia akan pergi ke Hogwarts, dalam satu jam lagi. fecility mewarisi rambut pirang dan mata abu-abu ayahnya. Tapi, ia memiliki temperamen yang berbeda. Seperti yang dikatakan neneknya, ia semakin mirip dengan ibunya. Dan Fecility hanya bisa menerkanya, menerka seperti apa ibunya. Seperti apa wajahnya, apa ia cantik? Karena ia tidak tahu ibunya. Tak ada orang yang mau memberitahunya siapa ibunya. Hanya satu hal yang ia tahu, neneknya membenci ibunya.
Ketika Fecility berusia delapan tahun, ia bertanya tentang ibunya kepada ayahnya. Tapi ayahnya hanya menghiraukan pertanyaannya itu. menolak menjawabnya. Sejak saat itu felicity akan selalu berandai-andai. Neneknya tidak menyetujui hubungan ayahnya dengan ibunya. Maka neneknya mengusir ibunya. Seperti cerita-cerita opera sabun yang sering diceritakan pengasuhnya yang berdarah campuran, tentu saja tanpa sepengetahuan neneknya.
Setengah jam sudah lewat. Tinggal 30 menit lagi sebelum kereta berangkat. Draco Malfoy menghela nafas sedih. Ia amat sangat menyayangi puterinya. Bagaimana Felicity selalu mengingatkan dirinya pada ibunya? Ia menyukainya, walau ibunya membenci hal itu. draco tahu ibunya selalu berharap jika Felicity akan mirip Draco. Tapi walau bagaimana pun, Felicity adalah puteri ibunya. Bagi Draco tak ada satu haripun tanpa memeluk puterinya. Dan sekarang puterinya akan pergi, selama beberapa bulan lamanya. Draco menatap Felicity, dan menyesali betapa waktu berjalan begitu cepat. Sekarang ia berusia sebelas tahun dan akan segera pergi ke Hogwarts. Mungkin, besok ia sudah akan menjadi remaja tujuh belas tahun yang menjadi perhatian para pemuda. Dan lusa, mungkin, Draco akan melepasnya ketangan lelaki lain.
"Felicity, kita harus pergi sekarang" ujar Draco."Pamitlah kepada nenekmu,"
"Baik, ayah" ujar Felicity kemudian berlari kearah neneknya dan memeluknya seperti seharusnya. Formal. Sopan."Sampai jumpa, Nenek," Kemudian ia berbalik, menatap ayahnya."Ayo kita pergi, ayah".
Felicity berlari kecil kearah ayahnya yang mengenggam kopernya. Draco menggenggam tangan puterinya."Siap sayang?"
Felicity mengangkat bahunya."Ya," ujarnya ragu-ragu.
Draco terrsenyum."Pegang erat-erat, Fee"
Felicity menurut dan memejamkan matanya. Malfoy Manor pun lenyap.
Ketika Felicity membuka matanya. Ribuan orang mengelilinginya. Asap putih keluar dari sebuah kereta uap dan mengaburkan pemandangan didepan Felicity, maka Felicity menyipitkan matanya.
"Draco," panggil seseorang. Dari kepulan asap muncul tiga sosok yang dikenali Felicity. Paman Zabini, puteranya, Ergo dan istrinya, Natalie.
Draco tersenyum dan melambaikan sebelah tangannya. Kemudian menarik puterinya mendekati keluarga kecil itu didekat kereta.
Ergo, putera Blaise Zabini, memulai tahun pertamanya di Hogwarts tahun ini juga. Felicity tumbuh bersama Ergo, dan mereka adalah kawan sejak kecil.
"Fee," seru Ergo senang. Anak itu persis sekali dengan ayahnya. Rambut hitam, tapi matanya mewarisi mata ibunya, biru.
"Ergo," Felicity balas berseru ketika Ergo menariknya ke dalam pelukan singkat.
"Felicity," Draco memanggil,"tetap bersama Ergo. Ayah akan pergi memasukkan kopermu ke bagasi kereta," perintah Draco, menatap puterinya.
Felicity mengangguk.
"Kalian berdua disini. Dan jangan pergi kemana-mana. Aku akan membantu para lelaki," ujar Natalie Blaise. Draco dan Zabini bertukar pandang, tapi tidak merespon. Jujur, mereka butuh bantuan.
"Aku tidak sabar," seru Ergo, tersenyum lebar sekali setelah ketiga orang dewasa pergi."Kita akan masuk ke Slytherine. Oh, aku tidak sabar. Kata ayah disana bagus sekali,"
Felicity tidak merespon, tapi hanya mengangguk.
Tampaknya Ergo menyadari ini,"Fee, kau ingin masuk ke Slytherine, kan?"
Pertanyaan itu tidak terjawab, karena seseorang mendorong Felicity dari belakang. Felicity terjatuh kedepan, untung saja Ergo ada disana, menangkapnya.
"Hei hati-hati dong," seru Ergo kesal.
"Maaf...maaf...aku tidak sengaja," ujar seorang anak laki-laki berambut hitam berantakan dan bermata hijau.
"Enak saja kau minta maaf," bentak Ergo.
"Sudah, Ergo. Tidak apa-apa, kok" potong Felicity. Ia mencoba melepaskan pegangan Ergo. Setelah berhasil, ia menatap anak lelaki yang mendorongnya dan tersenyum ketika anak itu mengucapkan permintaan maaf dengan terbata-bata."Cukup," ujar Felicity,"Aku tidak mau mendengar permintaan maaf lagi,"
"Eh," si anak lelaki terpaku,"Maaf,"
"Kubilang jangan meminta maaf lagi," Felicity memutar bola matanya.
"Eh, ya , maaf"
"Ha!" seru Felicity sambil tersenyum.
"Sudah, kau pergi sana," ujar Ergo.
"Ergo!" teriak Felicity kesal. Ergo menatapnya kesal. Tapi Felicity tak menghiraukannya. Ia melirik si anak lelaki."Aku Felicity,"
"Jam-" si anak lelaki berhenti tiba-tiba,"bukan, eh, Jacob," ia melanjutkan dengan buru-buru."Aku harus pergi, sampai ketemu di sekolah," ia memberikan Felicity senyuman dan membelalakkan matanya kepada Ergo yang dibalas dengan hal yang sama. Felicity tertawa karena ini.
"Aku akan memberi anak itu pelajaran," gumam Ergo.
"Oh, tenanglah, Ergo" Felicity memutar bola matanya.
Tepat saat itu Draco, Zabini dan Natalie datang. Tepat saat itu kereta berbunyi, menandakan kereta akan pergi.
"Oh, sial" umpat Draco.
"Ayah, nenek akan marah jika mendengar ayah mengumpat," ujar Felicity sambil tertawa.
"Aku tidak peduli apa yang nenekmu katakan, Fee" kilah Draco. Menarik puterinya kedalam pelukan erat.
"Tak apa, ayah, aku akan baik-baik saja. Aku akan menulis untukmu," ujar Felicity dalam pelukan ayahnya.
"Aku akan merindukanmu, Fee" bisik ayahnya.
"Aku juga akan merindukanmu, ayah" balas Felicity.
Dengan enggan Draco melepas pelukannya. Felicity menatap ayahnya ragu-ragu, ingin menanyakan sesuatu, hanya saja ia tidak berani. Draco yang memperhatikan ini menunduk, sehingga kepalanya menyentuh dahi Felicity."Ada apa, sayang?" tanyanya.
"Ayah, kalau aku tidak masuk Slytherine, apa ayah akan marah?" tanya Felicity ragu-ragu."Maksudku bagaimana jika topi seleksi menempatkan aku di Hufflepuff atau Ravenclaw atau," Felicity menelan ludah,"Gryffindor," bisiknya.
Draco menatap kedalam matanya sendiri yang berada dalam mata puterinya, kemudian tersenyum,"Ayah nggak peduli dimana pun kau masuk, Felicity. Karena ayah akan selalu bangga padamu, apapun yang terjadi. Dan dengan tidak menjadi seorang Slytherine," Draco menggelengkan kepala,"Itu bukanlah suatu masalah,"
Felicity tersenyum senang dan memeluk ayahnya sekali lagi,"Trims, ayah" ujarnya.
Draco tertawa dan mencium kepala puterinya,"Sama-sama, sayang" bisiknya.
Mereka tetap seperti itu, berpelukan erat seperti tak akan ada lagi hari esok, sampai kereta kembali berbunyi. Draco Malfoy melepaskan puterinya dengan enggan."Berjanjilah padaku kau akan baik-baik saja," ujarnya, menatap kearah mata puterinya.
"Aku janji akan baik-baik saja, ayah" janji Felicity sambil tersenyum."Ayah juga harus janji ayah akan baik-baik saja,"
Draco menghela nafas, Felicity selalu menjadi lebih dewasa dari usianya,"Ayah janji,"
"Aku akan menulis kepada ayah secepatnya," janji Felicity.
"Ayah akan menunggu," ujar Draco.
Felicity tersenyum kepada ayahnya sekali lagi sebelum mengikuti Ergo masuk kedalam kereta. Kereta mulai berjalan, Draco berjalan dipinggir rel. Menututi kereta. Draco merasa tidak rela puterinya pergi darinya. Sulit mengakuinya, tapi Draco ingin menangis dan meminta agar puterinya tidak pergi meninggalkannya seperti ibu puterinya, yang pergi darinya.
Draco merasakan seseorang menepuk pundaknya. Draco menoleh kebelakang, Blaise Zabini tersenyum menguatkan."Ia akan baik-baik saja," ujarnya.
Draco Malfoy tersenyum,"Aku tahu ia akan baik-baik saja," gumamnya, kembali menatap kereta yang terbang pergi menjauhinya.
please review
