Anyer dan Panarukan
A/N: Yooosh~ back to Hetalia fandom setelah berkelana di KHR fandom~ xD *plak* saa, hope you guys like it, ve~
Disclaimer: Axis Powers Hetalia, ato Hetalia World Series, yang mana aja, dua-duanya punya Hidekazu Himaruya-sensei. Kalo punya saya, ceritanya udah melenceng kemana-mana ~w~
Pairing: NetherFem!Indo
Summary: Di Anyer, aku bertemu denganmu. Di Panarukan, aku menghunuskan pedangku padamu.
Warning: OC Fem!Indo, OOC, gaje, abalan, true-history based, typonya berserakan.
Ini cerita tentang kehidupanku.
Semua orang- termasuk aku yang personifikasi negara ini- pasti mempunyai kenangan indah dan kenangan buruk dalam kehidupan. Terlebih aku yang sudah hidup berabad-abad ini.
Tawa, senyum, sedih, menyakitkan, bahkan amarah pun pasti sudah sering terjadi dalam hidup kita. Kejadian yang membuat kita melakukan itu semua-lah yang kita sebut kenangan.
Dan aku, ingin menceritakan kenanganku. Berawal dari, kira-kira.. 3 abad lalu. Kenangan indahku...
Yang berujung menjadi kenangan terburuk, dan penyesalan seumur hidupku.
"Apa maksud perintah ini?"
Aku melempar surat perintah yang ditujukan untukku. Prajurit yang berdiri di depanku menelan ludahnya dan berkata, "Sa- saya tidak tahu, Nether-sama. Saya tidak diperbolehkan membuka surat itu sampai surat perintah itu sampai ke tangan tuan,"
Aku mengerutkan alisku dan menghela nafas. "Baiklah, kau boleh pergi sekarang,"
Dia menghormat kepadaku dan pergi keluar ruanganku. Saat suara pintu ditutup terdengar, aku menggebrak mejaku dan menyapu semua barang yang ada di mejaku.
"AAARGH!" kataku sambil berdiri dan mengambil surat sial itu. Aku menggenggamnya sangat kencang, sehingga hampir meremasnya. Sekali lagi kubaca surat perintah itu.
Untuk Netherlands,
Perintahkan ke Jenderal Herman Willem Daendels untuk membuat jalur pertahanan Belanda di pulau yang sekarang kalian duduki. Ini perintah boss-ku, Napoleon III. Awasi kerjanya.
Francis Bonnefoy
Aku menjambak rambutku dan mengerang, seperti singa yang ditembak. Aku hampir merobek kertas itu, saking gemasnya.
Cukup sudah. Aku sudah muak—sangat muak dengan semua ini. Aku tidak ingin melihat orang-orang yang sengsara lagi—meskipun itu bukan rakyatku. Namun ini adalah perintah pimpinan Francis—yang sekarang juga menjadi pimpinanku. Dan aku tidak bisa membantahnya. Aku harus melaksanakannya.
Aku mengambil pedangku yang tergeletak di atas meja kerjaku, dan berjalan keluar ruangan.
"Dimana Daendels?" tanyaku kepada salah satu prajurit yang sedang berjaga. Dia menghormat, dan menjawab.
"Dia sedang berada di ruangannya, silahkan masuk saja, tuan," dia menunjuk ke arah dalam. Aku mengangguk sedikit, dan berjalan masuk ke dalam, sampai aku menemukan suatu ruangan dengan pintu kayu yang megah. Aku mengetuknya dan seseorang berseru dari dalam. "Masuk,"
Aku memutar kenop pintu, dan melihat seorang Daendels sedang duduk bermalas-malasan di singgasananya. Namun saat melihatku, ia berdiri dan memberi hormat. Aku mendengus melihat kelakuannya.
"Ada apa tuan?" tanyanya. Aku mengambil nafas dalam, dan meletakkan surat perintah tersebut di mejanya. Dia mengambilnya dan membacanya dengan seksama. Setelahnya, aku bisa melihat ia menyeringai. "Baik tuan. Akan saya laksanakan, secepat mungkin," ia menekankan kata 'secepat', membuat perasaanku menjadi tidak enak.
Beberapa bulan kemudian
Aku turun dari mobil ku, dan melihat para tentara Belanda sedang menyiksa para pekerja, yang merupakan orang pribumi. Ada yang sedang dicambuk, ada yang menangis, ada yang pingsan, bahkan—aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, ada orang yang ditembak kepalanya karena ia melawan kepada salah satu prajuritku.
"Hei—sebenarnya apa yang terjadi disini?" seruku kepada seorang prajurit yang kebetulan lewat di depanku. Ia melihat ke sekeliling sebentar, dan menjawabku.
"Ini sedang dalam proyek pembuatan jalan pertahanan, tuan," katanya. Aku memutar bola mataku.
"Aku tahu! Aku yang menyuruhnya membuat proyek ini! Namun—kenapa mereka membunuh orang-orang?"
"I- Ini peraturan, tuan. Mereka tidak digaji, tidak diberi makan, dan minum,"
Aku membelakak. Aku ingin berteriak untuk memberhentikan proyek ini—namun tidak bisa. Aku hanyalah personifikasi Negara. Yang bisa memberi perintah dan memberhentikan suatu proyek itu, ya, pimpinanku. Aku mendesis, dan mengumpat beberapa kata dalam Bahasa Belanda.
"Dari mana proyek ini berjalan?" tanyaku. Prajurit itu terlihat berpikir sejenak.
"Rutenya dari ujung barat pulau ini—yang merupakan di Anyer, dan akan berakhir di ujung timur, yaitu di Panarukan, tuan,"
Aku menghela nafas, lalu berjalan untuk melihat-lihat tempat penyiksaan ini. Ada seorang wanita—ya, seorang wanita, dan terlebih, membawa seorang bayi—sekali lagi, bayi, dan bayi itu menangis, kutebak karena kekurangan air susu ibunya. Dan ibunya juga menangis, mungkin karena anaknya menangis. Miris.
Lalu saat aku berjalan lagi, hidungku mencium suatu bau yang aneh—bau busuk. Dan saat kutelusuri sekitar, ada mayat manusia yang sudah hampir membusuk di pinggir jalur. "Hoek…" aku menutupi mulut dan hidungku, dan melanjutkan perjalanan. Miris.
Dan, saat aku menelusur lebih jauh—aku ternganga dan jantungku berdegup kencang.
Aku melihat sesosok wanita, cantik—sangat, sangat, cantik, sedang menebangi pepohonan di sekitar jalur. Rambutnya hitam pekat, namun sudah mulai kusam. Lalu kulitnya, walaupun sudah tertutup tanah dan luka, aku bisa melihatnya, kalau sebelumnya ia mempunyai kulit sawo matang yang mulus. Ia, saat sadar diperhatikan, menoleh kepadaku—matanya hitam dan dalam. Dan saat ia melihatku, matanya penuh dengan—kebencian?
Tapi, walaupun di tatap dengan aura kebencian seperti itu, tetap saja aku tersipu. Baru kali ini aku menemukan gadis secantik dia. Dan sekuat dia.
Tiba-tiba, badannya terhuyung dan hampir jatuh ke belakang. Reflek, aku berlari ke arahnya dan menangkap punggungnya. Sekarang, aku bisa melihatnya, close up. Namun, sepertinya ia sudah terlalu benci padaku. Ia dengan sigap terbangun, dan berdiri tegak lagi. "Jangan coba-coba menyentuhku!" serunya kepadaku dengan suara tinggi namun halusnya.
"Ke—kenapa?" tanyaku. Ia melotot, dan berteriak dengan kebencian yang sudah membanjir di matanya.
"Kenapa, kenapa, pakai tanya-tanya segala! Tentu saja—coba kau menjadi diriku, yang setiap hari disiksa ini! Dan coba kau tanya yang lain! Dasar kompeni tak tahu diri!" namun dengan cepat ia menggigit bibir bawahnya. Aku terkesiap.
"A—Aku tidak bermaksud jahat, sungguh! Aku hanya menolongmu!" aku berusaha menggapai bahunya, namun ia berjengit dan menepis tanganku dengan kasar.
"Tidak butuh! Aku tidak akan pernah menerima bantuan dari orang asing tak tahu diri sepertimu. Kau datang ke negaraku dan menguasainya—kau tahu kan seberapa tidak sopannya itu? Dan satu lagi, jangan kau berani menemuiku,"
Aku terbelakak, dan tertunduk lesu. Ia benar. Semuanya benar. Tepat sasaran.
Hening.
"Ta- Tapi.." kataku memecah kesunyian. "A- Aku boleh tahu namamu… kan?"
Ia mengadah dan melotot kepadaku. Jujur, aku sedikit takut dengan tatapannya yang tajam itu. "Ya—a- aku Netherlands," tambahku seraya mengulurkan tangan untuk menjabatnya. Ia menatapnya selama beberapa detik, namun ia memutuskan untuk mengabaikan tangan itu. Aku menurunkan tanganku sedikit demi sedikit. Ia berjalan menjauh, namun samar-samar kudengar ia bilang,
"Aku Indonesia,"
Abal! DX epic fail, pendek lagi! cuma 900an wordnya... saya ga bisa bikin lebih panjang lagi, soalnya buat chapter 2... –pundung- gimana? Apa benar-benar epic fail menurut anda? Kalo emang fail, silahkan kirim kritik dan saran, saya usahakan ngebetulinnya di chap 2.
Review, da?
