.

.

.

UNWORTHY

Chapter 1 of 2

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Pairing : Naruto x Hinata

Genre : Romance, Drama, Hurt/comfort

.

FF ini terinspirasi dari berbagai kejadian yang dialami banyak wanita Indonesia. FF ini hanya dua Chapter.

.

.

Hari ini adalah hari yang bahagia bagi Hinata, karena ini adalah hari pernikahannya dengan Naruto. Kebahagiaan akan terasa begitu luar biasa ketika kekasih yang kau cintai melamarmu dan ingin menjadi pendamping hidupmu untuk selamanya. Hinata tak bisa mengatakan apa-apa ketika Uzumaki Naruto mengatakan itu semua. Terlalu terkejut, sehingga membuat jantung Hinata berdetak dibatas normal. Tak ada alasan bagi Hinata untuk menolak lamaran Naruto. Ia begitu menyukai pria ini.

Pernikahan mereka dilaksanakan secara tradisional yaitu pernikahan ala Shinto. Pernikahan ala Shinto yang dilangsungkan di kuil Jinja adalah salah satu dari prosesi pernikahan tradisional yang memiliki banyak nilai budaya dan tata cara yang diatur dalam norma budaya maupun kepercayaan yang ada di Jepang. Pada Pernikahan ala Shinto,mempelai wanita mengenakan kimono furisode yang disebut Shiromuku yang dilengkapi dengan penutup kepala putih yang disebut wataboshi. Namun disini Hinata tidak mengenakan oshiroi (semacam bedak putih). Rambutnya yang panjang terlihat indah dengan kanzashi (tusuk konde dan bunga). Tak hanya Hinata yang terlihat begitu mempesona namun Naruto juga terlihat gagah dengan Montsuki berwarna hitam yang dilapisi Haori berwarna gelap serta mengenakan hakama.

Saat pendeta kuil membacakan doa-doa untuk mereka serta menyucikan keduanya, semua undangan kembali ke rumah mempelai wanita yang di dampingi oleh iring-iringan undangan. Prosesi pernikahan ala Shinto memang sedikit rumit tapi hal itu tak membuat keduanya mengeluh. Kebahagiaan pun terpancar diwajah mereka. Selama di kuil, Hinata berharap bisa menjadi istri yang baik dan istri yang bisa melahirkan anak-anaknya dengan normal. Hal yang paling berharga bagi wanita adalah mengandung anak dari suami tercinta dan melahirkan mereka penuh dengan kebahagiaan.

ooOOoo

Bulan berganti matahari. Setiap hari Hinata selalu bangun lebih awal daripada Naruto untuk menyiapkan sarapan dan baju kantor yang akan dikenakan suaminya. Tiga tahun sudah pernikahan mereka berjalan, semua baik-baik saja dan hubungan mereka semakin erat. Namun hanya satu hal yang belum mereka miliki yaitu seorang anak. Kehadiran buah hati tentunya menjadi dambaan semua pengantin baru. Walaupun tak urung di karunai anak, mereka tetap sabar dan terus menjalani program kehamilan dari dokter. Beruntunglah Hinata karena Kushina dan Minato, orang tua dari Naruto tak menuntut banyak darinya.

Walaupun ia memiliki beban namun Hinata selalu tersenyum. Seperti sekarang, ia membuatkan sarapan untuk suaminya penuh dengan kasih sayang dan senyuman. Selain sarapan, Hinata juga membuatkan bento berbentuk unik sesuai dengan karakter Naruto. Dari belakang ia merasakan kehangatan dua lengan kekar yang bergelayut manja diperutnya. Bahunya merasakan pukulan kecil dari dagu Naruto yang begitu menggoda. Pelukan hangat Naruto selalu menghilangkan beban yang ia rasakan.

"Selamat pagi, Hinata-chan," ucap Naruto di dekat telinga istrinya. Kelakukan manja Naruto seperti ini membuat wajah Hinata memerah dan berdebar. Walaupun tiga tahun resmi menjadi istri Naruto namun hal semacam ini masih sering terjadi.

"Se-selamat pagi Naruto-kun," jawab Hinata gagap.

"Setiap pagi kau selalu sibuk di dapur. Ingin sekali aku melihat wajahmu yang manis itu saat aku terbangun," pinta Naruto manja.

"Kalau aku bangun siang, lalu siapa yang akan menyiapkan sarapan untukmu?" ujar Hinata sembari berjalan menuju meja makan untuk meletakkan semua menu yang sudah ia siapkan. Walaupun Naruto tahu Hinata sibuk namun pria bermata safir itu enggan untuk melepaskan pelukannya. Naruto mengikuti kemana Hinata pergi.

"Hinata-chan, apa kau mencintaiku?"

"Aku tidak mencintaimu," ujar Hinata tersenyum jahil.

"Ahhh, benarkah kau tidak mencintaiku?!"

"Iya itu benar."

"Kalau begitu aku akan melakukan apapun agar kau mencintaiku."

"Dasar bodoh."

"Heh, kenapa?"

"Tentu saja aku mencintaimu. Mana mungkin aku mau menikah dengan orang yang tak aku cintai. Naruto-kun, apa kau bisa melepas pelukanmu? Aku tidak bisa bergerak bebas."

"Tidak mau," ucap Naruto manja.

"Setiap malam kau selalu memelukku apa itu masih kurang?"

Naruto mengerucutkan bibirnya. Istrinya sudah mulai serius dan tidak bercanda lagi. Dengan terpaksa Naruto melepaskan pelukannya pada Hinata. Naruto, si pria tampan tampak bergairah melihat menu sarapan buatan istrinya. Nafsu makannya tiba-tiba muncul. Menurut Naruto, Hinata adalah koki terbaik di seluruh Jepang. Restoran bintang lima pun tak bisa mengalahkan masakan istrinya. Sebagai seorang istri, selain menyiapkan makanan, ia juga melayani Naruto sebelum makan. Memberikan nasi di mangkuk suaminya dan mengambilkan beberapa lauk pauk untuknnya. Hal terindah yang Hinata rasakan adalah melihat senyum Naruto saat memakan masakannya. Senyum itu begitu berharga. Keduanya pun kemudian terdiam dan asyik dengan makanan masing-masing.

"Hinata, jangan lupa nanti malam kita menghadiri acara reuni SMA. Berdandanlah yang cantik, aku ingin menunjukan pada mereka betapa cantiknya istriku hehehe."

"Heheh iya, aku tahu. Tidak perlu kau suruh pun aku akan melakukan hal itu."

Hinata tersenyum bahagia ketika ia membayangkan wajah teman-temannya dulu yang masih terlihat polos. Pasti mereka semua sudah berkeluarga. Ia penasaran, bagaimana rumah tangga Sakura dan Sasuke. Naruto dan Hinata, sudah tiga tahun lalu tak pernah saling bertemu dengan kedua sahabatnya karena Sasuke terpaksa pindah dari Tokyo ke Osaka bersama Sakura demi pekerjaan. Cinta Sakura ke Sasuke memang begitu luar biasa. Berkali-kali Sakura ditolak namun ia tak pernah pernah berhenti mencintai Sasuke. Pada akhirnya hati Sasuke luluh karena kegigihan Sakura.

"Aku penasaran, bagaimana mereka sekarang?" tanya Naruto sambil memasukkan makanan di mulutnya.

ooOOoo

Naruto dan Hinata terlihat bahagia karena mereka akan bertemu dengan teman-temannya. Walaupun tergolong bukan lagi pengantin baru namun keduanya masih terlihat mesra. Tangan mereka saling bergandengan, seolah tak ingin terpisahkan bahkan oleh udara sekali pun. Tiga puluh menit lamanya, Hinata dan Naruto mulai memasuki sebuah café dan menunjukan dua tiket masuk. Khusus hari ini, pengunjung café ini hanyalah lulusan dari angkatan 2008 SMA Konoha. Mata Naruto mulai mencari-cari kemana gerangan teman sekelasnya. Senyum Hinata merekah, ia menarik-narik baju Naruto dan menunjuk sebuah meja panjang di sudut café. Ternyata makhluk absurd kelas 3-2 sudah bersantai di sana.

"Oee, Naruto, Hinata!" teriak Shikamaru sembari melambaikan tangannya. Hinata lagi-lagi tersenyum dan membalas lambaian Shikamru dengan ramah. Saat keduanya mulai mendekat, sebuah sorakan keluar dari mulut mereka.

"Kalian terlihat serasi sekali," goda Kiba cengengesan. Wajah Hinata memerah karena celotehan Kiba yang tak berguna.

"Hahaha Hinata, kau tak pernah berubah ya. Wajahmu selalu memerah, kalau ada yang menggodamu dengan Naruto-kun," sekarang gadis berambut pirang dan panjang ikut bicara. Dia bernama Ino Yamanaka.

"Tapi dimana Sakura dan Sasuke, apa mereka tidak datang?" tanya Naruto penasaran, matanya yang indah mencoba menyusuri setiap sudut café.

"Ah itu mereka," ucap gadis bercepol dua yang terlihat begitu manis. Dia adalah Tenten, mantan pacar sepupu Hinata, Neji. Neji meninggal karena kecelakaan, saat itu Tenten begitu terpukul dan sampai saat ini dia masih belum bisa move on dari Neji.

"Maaf kami terlambat. Kyaa Hinata!" Sakura melihat Hinata histeris. Tangannya tak kuasa untuk tidak memeluk Hinata. Sasuke dan Naruto melakukan hal yang sama, hanya saja Naruto lah yang memeluk Sasuke lebih dulu. Sifat Sasuke yang dingin memang tak berubah.

Pertemuan mereka terlihat begitu asyik dan menyenangkan. Semua saling bercanda, menceritakan kejadian-kejadian lucu saat masih sekolah dan tentunya menceritakan keburukkan para guru. Hinata begitu menikmati reuni ini, walaupun dia lebih banyak diam daripada bicara. Sampai pada titik dimana Hinata sudah merasa tak nyaman dengan semuanya. Hal ini berawal dari Ino yang bertanya tentang hal-hal pribadi, khususnya pada mereka yang sudah menikah. "Apa kau sudah mempunyai anak?" itulah pertanyaan yang membuat Hinata tertekan.

"Lihat, ini adalah putraku. Hinata, bagaimana menurutmu?" tanya Ino yang begitu bangga menunjukan foto putranya.

"Dia tampan sekali, rambutnya pirang sama sepertimu hehehe," jawabnya lesu. Hinata berusaha menahan kekesalannya terhadap diri sendiri. Ia benci dengan orang-orang yang selalu membanggakan anaknya. Perasaan semacam itu ada karena merasa iri dengan teman-temannya yang sudah menjadi wanita sesungguhnya.

"Sakura aku peringatkan kau jangan mencoba meminum minuman yang mengandung alkohol. Ingat kau ini sedang hamil," celoteh Sasuke.

"Wah benarkah Sakura kau sedang hamil?" tanya Naruto penasaran.

"Iya, aku hamil anak kedua," jawab Sakura malu-malu.

Hati Hinata semakin tersentak ketika melihat wajah bahagia Naruto saat mendengar sahabatnya sedang mengandung. 'Dunia macam apa ini? kenapa semua orang begitu membanggakan anaknya dan saling memperlihatkan foto anak mereka. Apa untungnya itu semua? Seperti barang di pameran saja.' Emosi Hinata semakin tak terkontrol, dia benci jika membicarakan hal-hal semacam ini. Gadis bersurai ungu hanya bisa terdiam dan tertunduk lesu. Naruto menatap istrinya dengan perasaan iba. Ia tahu apa yang dipikirkan istrinya. Hinata selalu merasa tertekan jika orang disekitarnya membicarakan tentang anak-anak mereka. Di saat seperti ini, Hinata membutuhkan dukungan darinya. Laki-laki tampan itu tanpa ragu mengenggam tangan istrinya. Wanita cantik itu terperangah, mata lavendernya yang indah menatap Naruto tajam. Suaminya tersenyum, seolah mengatakan "tidak apa-apa" kepadanya.

"Kalau Hinata-chan, bagaimana? apa kau sudah mempunyai anak?" tanya Sakura penasaran dengan senyuman ramahnya.

"Ah… itu… aku…. ,"

"Aku menyuruh Hinata untuk menunda dulu. Beberapa tahun terakhir, aku begitu sibuk jadi aku takut nanti aku tak bisa merawat anakku dan Hinata hehehe," sela Naruto penuh kebohongan. Ia berbohong demi harga diri istrinya.

"Tapi kalian sudah menikah tiga tahun yang lalu. Naruto, kau benar-benar gila. Berapa lama kau menyuruh Hinata untuk menunda kehamilannya? Apa kau tahu jika seorang perempuan begitu ingin memiliki anak setelah menikah? Dasar pria brengsek!" Sakura tak tahan untuk tidak menyiksa Naruto. Memukul, menjitak dan mencubit Naruto sudah menjadi kebiasaan Sakura jika pria berambut pirang itu melakukan kesalahannya.

"I-ittai… ittai…. ," keluh Naruto kesakitan.

Semua orang tertawa lepas melihat tingkah konyol Naruto dan Sakura yang terlihat seperti Tom and Jerry. Hawa kebahagiaan mereka tidak menyelimuti hati Hinata, ia masih merasa tertekan, terasingkan dan wanita yang tak berguna. Memang ini semua bukan salahnya, kandungannya sejauh ini masih normal walaupun akhir-akhir ini ia mengeluh kesakitan di perutnya tapi entah kenapa ia merasa benci dengan hal-hal sepeti ini. Hinata pun berdiri dengan tatapan tak menyenangkan, ia sudah tak tahan lagi.

"Aku mau ke toilet dulu," gumam Hinata pelan dan pergi begitu saja meninggalkan Naruto dengan yang lain.

ooOOoo

Hinata membasuh wajahnya dengan air berkali-kali. Make up yang ia oleskan di wajah cantiknya pun hilang oleh sapuan air. Mata lavendernya menatap tajam bayangan dirinya di cermin. Apa yang salah dengan dirinya? Kenapa dia tak kunjung hamil seperti teman-temannya yang lain. Hinata sudah tak tahan lagi mendengar pertanyaan yang sama dari semua orang. Dunia ini menyebalkan. Wanita cantik itu tak bisa membendung air mata yang sudah menggenangi pelupuk matanya. Ia merasa bahwa Tuhan tak adil. Kenapa wanita lain mudah sekali hamil tapi dirinya tidak?. Air matanya tak bisa berhenti membasahi pipinya yang putih. Berkali-kali ia mengusap, berkali-kali itu pula air mata kembali jatuh.

"Hinata," suara tenor Naruto terdengar jelas di telinga Hinata. Pria itu berusaha mendekat namun Hinata mundur beberapa langkah.

"Apa yang kau lakukan disini Naruto-kun? Ini toilet wanita!" ujar Hinata tak percaya. Ia tak menyangka suaminya bisa senekat ini.

"Aku tahu. Lalu, sampai kapan kau akan menangis sendirian?" tanya Naruto balik. Walaupun Hinata tak pernah mengungkapkan perasaannya di depan Naruto namun Naruto begitu mengerti kalau istrinya ini begitu tertekan dan terbebani dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. "Jangan memendam perasaanmu sendirian, ada kalanya kau harus mencurahkan semuanya padaku."

Ucapan Naruto tak membuat Hinata tenang, tangisannya semakin menjadi-jadi. Naruto hanya tersenyum, ia perlahan mendekati Hinata kemudian memeluknya. Lagi-lagi tangisan Hinata semakin histeris. Benar, hanya Narutolah yang bisa mendengar kegelisahannya, ketakutannya dan keputusasaannya.

"Naruto-kun, maaf kalau aku belum bisa menjadi istri yang sempurna untukmu. Maafkan aku belum menjadi wanita yang sesungguhnya. Maafkan aku," ucap Hinata sambil terus menangis di pelukan Naruto.

Perkataan Hinata membuat hati Naruto trenyuh dan tercabik-cabik. Sejujurnya, Naruto tak begitu memusingkan tentang kehamilan Hinata walaupun memang ia berharap Hinata mengangdung anaknya. Tapi ia juga tak bisa memaksakan kehendak Tuhan. Jika memang Tuhan menghendaki Hinata belum hamil, Naruto tidak apa-apa dan mengerti. Naruto sudah mengatakan hal ini berkali-kali namun sepertinya Hinata tak begitu menganggap perkataannya.

"Hinata, kau tetaplah wanita sempurna dimataku. Aku sudah mengatakan padamu berkali-kali kalau aku tidak memasalahkan kehamilanmu atau apapun. Aku mencintaimu apa adanya. Jadi aku mohon, buanglah pikiran burukmu itu. Kita jalani ini bersama, lagi pula kita masih menjalani program dari dokter. Jadi semua akan baik-baik saja."

"Iya aku mengerti," jawab Hinata yang semakin mempererat pelukannya.

ooOOoo

Kejadian tadi malam diacara reunian membuat Hinata sedikit lega. Ucapan Naruto memberikan Hinata kekuatan baru untuk lebih tegar dan siap menjalani hidup apapun masalah yang ia hadapi. Hinata berterima kasih pada Naruto yang begitu menjaga harga dirinya di depan orang lain. Perbuatan Naruto membuat rasa cinta pada suaminya bertambah seratus kali lipat. Ia sangat bersyukur karena memiliki suami yang begitu tampan dan penyanyang.

Rutinitas dipagi hari selalu ia lakukan dengan baik seperti hari-hari sebelumnya. Menyiapkan sarapan, membuatkan bento dan menyiapkan pakaian kerja untuk suaminya. Itu semua Hinata lakukan dengan baik, tulus serta penuh kasih sayang. Hinata bukan seorang wanita karir. Ia lebih memilih menjadi ibu rumah tangga karena ia menganggap pekerjaan sebagai ibu rumah tangga jauh lebih mulia daripada yang lain.

Cuaca begitu cerah dan panas, hal ini Hinata manfaatkan untuk menjemur pakaian. Senyuman bahagia selalu terpancar di wajah cantiknya yang polos. Deg, tiba-tiba Hinata merasakan sakit yang luar biasa di perutnya. Sakit yang tak tertahankan. Setiap kali ia datang bulan selalu seperti ini. Hinata mencoba berjalan menuju kotak obat yang berada di ruang tengah. Terlalu sakit sehingga berjalan pun Hinata tak mampu. Hinata merangkak sebisa mungkin untuk mengambil obat sakit perut di kotak obat. Sakit yang dideritanya membuat Hinata menangis. Ingin sekali ia berteriak dan meminta pertolongan namun kepada siapa ia mengeluh. Tubuh Hinata bergetar menahan rasa nyeri yang menyerang organ perutnya. Keringat dingin pun membasahi seluruh tubuhnya.

"Aku mohon bertahanlah," gumam Hinata pelan menyemangati dirinya sendiri.

Semakin ia berusaha, semakin banyak bergerak rasa sakit di perutnya semakin terasa menyakitkan. Hinata sudah tak kuat lagi. Ia menyerah dan wanita cantik itu pun mulai tak sadarkan diri.

ooOOoo

Dua jam berlalu, Sakura begitu cemas melihat kondisi Hinata yang terbaring tak berdaya di rumah sakit. Untunglah ia mampir ke rumah Hinata disaat yang tepat, jika tidak, entahlah apa yang terjadi pada Hinata. Setelah reuni tadi malam, Sakura dan Sasuke memutuskan untuk menginap di rumah orang tua Sasuke yang berada di Tokyo selama beberapa hari sebelum kembali ke Osaka. Berkali-kali Sakura mencoba menghubungi Naruto namun nomor ponselnya selalu tak aktif. Wajah Hinata begitu pucat, Sakura bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan Hinata?. Kegelisahan Sakura hilang begitu saja ketika Hinata mulai sadar. Bau obat-obatan rumah sakit begitu menyengat membuat Hinata sadarkan diri.

"Hinata, syukurlah kau sadar!" ucap Sakura histeris sambil mengenggam erat tangan sahabatnya.

"Dimana aku? Apa yang terjadi?" tanya Hinata bingung.

"Kau berada di rumah sakit, Hinata. Saat aku ke rumahmu, aku melihatmu sudah tak sadarkan diri. Jadi aku bawa kau ke kemari. Sebenarnya apa yang terjadi denganmu sampai membuatmu pingsan?"

"Aku merasakan sakit perut yang luar biasa. Ini sepertinya berbeda dengan sakit perut biasa. Sakitnya begitu menusuk dan terasa begitu nyeri."

"Apa kau sudah periksa ke dokter sebelumnya?" tanya Sakura penasaran. Hinata menggeleng lemah. "Kau ini! penyakit apapun itu jangan kau anggap remeh. Kata dokter, setelah kau sadar mereka akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan meminta keteranganmu."

"Hemm, aku mengerti tapi apa Naruto-kun tahu keadaanku?"

"Dia belum tahu, aku sudah menghubungi berkali-kali tapi nomornya selalu tidak aktif. Ah, anak itu memang minta di hajar."

ooOOoo

Hinata dan Sakura harap-harap cemas menunggu penjelasan dokter. Mereka berdua sedang berada di ruang dokter kandungan. Awalnya mereka berada di dokter umum namun setelah mendengar penjelasan Hinata, dokter umum itu menyarankan Hinata untuk periksa ke dokter kandungan agar hasilnya lebih mutlak. Masih di Rumah Sakit yang sama dan dilantai yang sama, jadi Hinata tak perlu susah payah pergi kesana kemari untuk memeriksakan kesehatannya. Hinata memandang wajah dokter penuh arti, dia menerka-nerka ekspresi apa yang diperlihatkan dokter itu. Ekspresi senang, biasa atau terkejut. Sebelum dokter menganalisa, Hinata melakukan CT SCAN terlebih dahulu untuk melihat bagian dalam perutnya. Gadis bermata lavender itu menyadari ekspresi dokter yang sedikit berubah.

"Jadi bagaimana dokter, apa yang terjadi pada saya?"

"Ada kista yang cukup besar atau Teratoma Omental Cyst (Tumor di Indung Telur) di perut anda. Tumor ini sudah menyebar diseluruh indung telur anda," ujar dokter itu dengan ekspresi iba.

Bagaikan mendengar petir di siang hari. Ia tak menyangka ternyata ada kista di dalam perutnya. Apa penyakit ini yang membuatnya tak bisa hamil? Hinata begitu ketakutan mendengar vonis dokter. Selain itu, dia juga sering mendengar cerita dari banyak orang bahwa penderita kista harus melakukan operasi pengangkatan rahim. Jika begitu, maka selamanya Hinata tidak akan bisa mempunyai anak.

"Lalu apa yang harus saya lakukan dokter? Dan bagaimana proses penyembuhannya?"

"Dengan sangat terpaksa saya katakan, anda harus menjalani operasi histerektomi atau operasi pengangkatan rahim."

"Apa, operasi pengangkatan rahim?!" pekik Hinata yang tampak shock.

Ternyata apa yang Hinata takutkan terjadi. Hinata tak kuasa menahan tangisnya. Kesedihan Hinata begitu luar biasa, ia tak bisa membayangkan kehidupannya sebagai seorang wanita yang tak memiliki rahim. Jika rahimnya diangkat, bisa dipastikan ia tak akan bisa mempunyai anak untuk selamanya. Orang yang pertama kali Hinata ingat ketika mendengar vonis dokter adalah suaminya. Naruto begitu menginginkan seorang putra, bahkan dia sudah memiliki impian besar bersama putranya. Tapi kenyataan berkata lain, mimpi besar Naruto tidak akan pernah terwujud. Setelah mendengar penyakitnya, Hinata semakin merasa sebagai wanita tak berguna di dunia ini.

Saat keduanya keluar dari ruang dokter, Hinata tak memiliki daya untuk berjalan. Ia lemas, kakinya bergetar hebat sehingga tak bisa menyangga tubuh Hinata yang ramping sekali pun. Wanita cantik itu tersungkur di lantai koridor rumah sakit. Semua orang yang berlalu lalang melihatnya dengan pandangan aneh dan penasaran.

"Hinata," panggil Sakura purau dengan mata berair. Ia bisa merasakan bagaimana perasaan Hinata. Sebagai wanita, rahim adalah hal paling vital dari semua organ yang ada.

"Sakura, jika kau adalah sahabatku, aku mohon jangan ceritakan hal ini pada Naruto. Aku benar-benar mohon padamu," pinta Hinata seraya menangis.

"Tapi Hinata, ini adalah masalah yang harus kalian diskusikan bersama."

"Tidak, aku tidak mau membuat Naruto sedih dan menghancurkan impiannya. Aku tidak mau melihat dia menderita karena aku lagi. Jika kau mengatakan hal ini padanya. Aku akan mengakhiri hidupku sendiri," ancam Hinata dengan wajah yang begitu menakutkan.

Sakura terdiam sesaat, ia tak pernah melihat ekspresi Hinata yang seperti ini sebelumnya. Mulut Sakura bergetar menahan tangis. Hatinya begitu sakit ketika melihat sahabatnya mengalami hal seperti ini. Kenapa harus perempuan sebaik Hinata yang harus menerima cobaan seberat ini dari Tuhan? kenapa?. Sakura tak kuasa untuk tidak memeluk Hinata yang terpuruk. Isak tangis mereka berdua terdengar memilukan. Berkali-kali Sakura mengatakan 'kau adalah wanita kuat' pada Hinata. Ia berusaha membangkitkan semangat Hinata sebisa mungkin untuk menjalani kehidupan ini.

"Bertahanlah Hinata," gumam Sakura pelan.

TO BE CONTINUE