"Sudah tiga hari ..."

Halilintar mendongak dari surat kabar yang tengah dibacanya dan memandang Taufan yang sedang menunduk menatap ponselnya dengan dahi berkerut.

"Apanya yang sudah tiga hari?" tanya Halilintar seraya menyesap kopinya.

"Sudah tiga hari Gempa tidak menghubungiku atau memberi kabar apa pun," kata Taufan.

"Ya ampun," Halilintar memutar bola matanya. "Gempa bukan anak-anak. Dia tidak harus mengabarimu setiap detik setiap kali bepergian, kan? Kau jadi semakin mirip ibu saja," ujarnya malas.

"Tapi Gempa selalu memberi kabar tanpa kuminta. Dia itu adik yang berbakti, tahu," sungut Taufan. Ia kembali memelototi handphonenya, berharap benda itu akan segera menyala dengan nama sang adik tertera di sana.

"Mungkin dia sedang bersenang-senang dengan temannya, makanya lupa memberi kabar. Tak perlu khawatir berlebihan begitu."

"Gempa selalu menyempatkan diri memberi kabar kok walau sesibuk apa pun dia. Lagipula besok Gempa akan pulang, kan? Setidaknya dia harus menghubungi kita untuk memberi kepastian jam keberangkatannya."

"Kalau begitu kenapa tidak kau saja yang mencoba menghubungi Gempa?"

"Itu dia masalahnya. Aku tidak bisa menghubungnya. Nomornya selalu tidak aktif setiap kali aku coba menelepon. Aku mengirim pesan teks juga tidak dibalas." Taufan merenung menatap ponselnya yang masih setia bergeming. "Hei Hali ... Apa kau ... tidak merasakan sesuatu?"

"Merasakan apa?"

"Firasat buruk."

Halilintar memejamkan matanya, mencoba merasakan sesuatu. Ia kemudian menggeleng. "Tidak, tuh. Aku tidak merasakan apa-apa."

"Cih, kau memang kakak yang tidak berguna."

"Apa kau bilang?!"

"Aku merasakan firasat buruk. Rasanya ada sesuatu yang terjadi pada Gempa. Kau tahu, terakhir kali dia menghubungiku Gempa bilang dia mau ke mana?" Taufan memandang Halilintar serius.

"Tidak. Memangnya Gempa mau ke mana?"

"Gempa bilang dia mau pergi ke hutan Aokigahara."

"Hutan Aokigahara? Tunggu ... sepertinya aku pernah mendengar nama itu ..." Halilintar mencoba berpikir beberapa saat, ekspresinya langsung berubah setelah itu. "Hei, itu kan hutan ..."

"Hutan bunuh diri, ya," Taufan mengangguk. "Gempa bilang dia ingin mencari temannya yang menghilang di sana. Tapi aku jadi khawatir. Apalagi dengan rumor-rumor yang beredar tentang hutan itu. Bagaimana kalau Gempa ..."

Halilintar mendorong kursinya dan bergegas bangkit.

"Cepat kemas barang-barangmu, Taufan. Kita akan pergi ke Jepang."

.

.

.

The Forest

A BoBoiBoy Fanfiction by Fanlady

Disclaimer : BoBoiBoy © Monsta

Warnings : AU, elemental!siblings, OOC, miss typo, terinspirasi dari film berjudul sama

Untuk #Siblingisasi

A/N :

Ini genrenya memang horor, tapi mungkin jangan terlalu berharap bakal banyak horornya karena jujur aja aku nggak jago bikin itu /terus ngapain bikin /keplak

Tapi, yah, aku bakal berusaha buat sebaik mungkin kok. Jadi semoga kalian menikmatinya!

Selamat membaca~

.

.

.

Halilintar menyeret kopernya melewati pintu keluar Bandara Haneda, bandara Internasional Tokyo. Tangannya menggenggam sepucuk brosur dan matanya bergulir ke sana-kemari membaca setiap kata yang tertera di sana. Setelah tiba di ujung kalimat, barulah Halilintar mendongak. Sepasang iris karamelnya memandang keumunan orang di sekeliling sebelum akhirnya jatuh pada sang adik yang berdiri di sebelahnya.

"Taufan, kau bisa bahasa Jepang?" tanya Halilintar.

"Tidak," jawab Taufan.

"Lalu bagaimana caranya kita bisa mencari Gempa di sini?" Halilintar mendesah panjang, menyesal baru menyadari masalah ini sekarang.

"Ah, gampang. Kita 'kan bisa pakai Bahasa Inggris," kata Taufan enteng.

"Kau yakin orang-orang di sini bisa Bahasa Inggris?"

"Jangan sampai mereka mendengar apa yang kau katakan, Hali," kata Taufan setengah berbisik. "Nanti kau bisa langsung ditebas dengan pedang samurai mereka." Halilintar memutar bola matanya malas.

"Nah, lebih baik sekarang kita cari taksi dulu dan ke hotel. Kita akan coba menghubungi Gempa setelahnya, bagaimana?" usul Taufan. Halilintar mengangguk.

Mereka kemudian menarik koper masing-masing ke arah jalanan padat di depan bandara yang dipenuhi deretan taksi dan juga orang-orang yang mengantri untuk naik.

Sementara menunggu Taufan mencarikan taksi untuk mereka, Halilintar kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Setelah tiba di sini, ia baru menyadari apa yang dimaksud Taufan dengan firasat buruk, karena ia juga mulai merasakannya. Halilintar membayangkan Gempa, adik bungsunya yang harusnya berada di bandara ini hari ini untuk pulang, namun sekarang justru menghilang tanpa kabar.

'Semoga kau baik-baik saja, Gempa ...'

.

.

.

"Apa maksudmu kau tidak tahu di mana Gempa? Bukankah kalian pergi bersama-sama?" Halilintar menggebrak meja di hadapannya, membuat Taufan yang sedang menyesap minumannya tersedak.

"Ma-maaf, aku benar-benar tidak tahu Gempa ada di mana sekarang," suara dari seberang telepon terdengar bergetar. "Dia hanya bilang ingin ke hutan Aokigahara sebentar, tapi setelah itu dia tak kunjung kembali."

"Dan kau membiarkan dia hilang begitu saja tanpa melakukan apa-apa, Gopal?" geram Halilintar.

"A-aku sudah berusaha menghubunginya! Kami bahkan sempat pergi ke hutan itu untuk mencarinya, tapi kami tak bisa mencari cukup jauh karena beberapa area di sana terlarang untuk dimasuki ..." jelas Gopal ketakutan.

Halilintar menghela napas. Ia menghempaskan diri kembali ke kursi dan memijit kepalanya lelah. Pandangannya bertemu dengan Taufan yang menyorotkan tanya, dan ia hanya menggeleng pelan.

"Kau sudah menghubungi polisi?" tanya Halilintar. Nada suaranya menurun drastis. Kali ini ia benar-benar terdengar cemas.

"Tentu saja sudah," balas Gopal cepat, senang mendengar perubahan nada Halilintar. "Tapi ..."

"Tapi apa?"

"Tapi polisi di sini bilang, mereka akan berhenti mencari setelah lewat dari 48 jam. Dan ini sudah empat hari, jadi ..."

"Tunggu, kenapa polisi berhenti mencari setelah 48 jam?"

"Karena mereka menganggap siapa pun yang menghilang di hutan itu pasti sudah mati jika melewati batas waktu itu ..."

"Omong kosong! Gempa belum mati!"

Halilintar memutuskan panggilan telepon secara sepihak dan membanting ponselnya ke meja. Taufan menunggu sampai kemarahan Halilintar sedikit mereda sebelum akhirnya membuka suara.

"Jadi, bagaimana ...?" Taufan bertanya hati-hati, takut sang kakak akan mengamuk lagi.

"Mereka tidak tahu di mana Gempa," balas Halilintar masam.

Taufan mendesah pelan. "Sudah kuduga," gumamnya. Ia mengetuk-ngetukkan jari di meja dan memandang ke luar jendela. "Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?"

Halilintar ikut menoleh ke arah jendela. Kamar hotel tempat mereka berada menyuguhkan pemandangan langsung ke arah gunung Fuji yang menjulang di kejauhan.

"Kita akan pergi ke Hutan Aokigahara untuk mencari Gempa."

.

.

.

Taufan menatap lekap selebaran di tangannya, kemudian mendongak ke arah pepohonan di hadapannya. Beberapa kali ia mengulang hal yang sama, sebelum akhirnya berdecak pelan.

"Kenapa di brosur ini hutannya kelihatan lebih menyenangkan? Padahal kalau dilihat dari dekat malah menakutkan," gerutunya.

"Yah, memang selalu seperti itu 'kan ..." kata Halilintar. Ia memandang deretan pohon di depannya dengan lengan tersilang di depan dada. "Kita langsung masuk saja?" usulnya kemudian.

"Tidakkah kita harus mencari pemandu atau semacamnya? Gawat kalau kita malah ikut tersesat," kata Taufan.

"Memangnya di sini ada pemandu?"

"Yah, mungkin saja ada ..."

"Are you guys tourists?"

Halilintar dan Taufan serentak menoleh. Seorang pria berwajah oriental yang kelihatan hanya beberapa tahun lebih tua dari mereka menghampiri keduanya.

"Ah, yes. We both are tourists," balas Taufan.

Laki-laki itu memperhatikan mereka cukup lama, kemudian mengangguk kecil. "Kalian dari Malaysia?" tanyanya tiba-tiba.

"Kau bisa Bahasa Melayu?" tanya Halilintar sedikit terkejut.

"Ya. Aku pernah tinggal di Malaysia beberapa tahun bersama adikku," kata pria itu.

Halilintar dan Taufan mengangguk paham. Mereka lalu saling bertatapan dan membuat keputusan tanpa suara.

"Kalau begitu, bisakah kau membantu kami?" pinta Taufan. "Bisakah kau mencari pemandu untuk menemani kami masuk ke hutan?"

"Untuk apa kalian masuk ke hutan? Wisata?"

"Tidak. Kami mau mencari adik kembar kami," kata Halilintar cepat.

"Adik?"

"Ya," sahut Taufan. "Mungkin kau pernah melihatnya? Wajahnya persis sama dengan kami berdua."

Keduanya menatap pria itu harap-harap cemas, namun ia hanya menggeleng. "Maaf, aku tidak melihatnya," katanya. Halilintar dan Taufan menghela napas kecewa. "Apa adik kalian hilang?" tanyanya kemudian.

Taufan mengangguk. "Ya. Dia dan teman-temannya mengikuti karyawisata ke Jepang sejak seminggu yang lalu. Tapi beberapa hari sebelum kepulangannya, dia pergi ke hutan Aokigahara ini seorang diri. Katanya dia ingin mencari salah satu temannya yang hilang di sini. Dan sekarang ... dia pun ikut menghilang ..."

"Sudah berapa lama sejak adik kalian menghilang?"

"Empat hari," kata Halilintar.

"Kalau begitu kalian tak perlu mencarinya lagi."

"Kenapa?"

"Karena dia pasti sudah mati," kata pria itu tenang.

Taufan buru-buru menahan Halilintar yang hendak menerjang laki-laki itu. Walau Taufan tahu sang kakak ahli dalam bela diri, tapi ia merasa Halilintar tak akan mungkin menang jika melawan pria ini.

"Apa maksudmu berkata seperti itu? Adik kami belum mati!" bentak Halilintar.

Laki-laki itu sama sekali tak terlihat terganggu dengan kemarahan Halilintar. Ia justru menatap mereka berdua dengan sorot dingin.

"Kalian tahu Hutan Aokigahara ini terkenal karena apa?" tanyanya pelan. "Orang-orang datang ke sini untuk bunuh diri dan mati."

"Jadi menurutmu Gempa datang kemari juga untuk bunuh diri, begitu?" geram Halilintar.

"Gempa?" Pria itu mengernyitkan alisnya.

"Itu nama adik kami," kata Taufan, masih berusaha mati-matian menahan Halilintar agar tidak mengamuk.

Laki-laki itu mengangguk paham. Ia kemudian kembali menatap Halilintar. "Kalau bukan untuk bunuh diri, buat apa lagi adikmu datang ke hutan ini?"

"Gempa bilang ingin mencari temannya, bukan ingin bunuh diri," ujar Taufan yang mulai ikut terpancing.

"Kalian tahu siapa teman yang ingin dicarinya itu?"

"Ti-tidak ... Dia tidak bilang apa-apa soal itu ..."

"Kalau begitu sudah jelas, 'kan? Dia hanya mengarang-ngarang alasan. Tujuan adik kalian datang ke hutan ini sama seperti kebanyakan orang lainnya. Mereka pasti hendak bunuh diri."

Taufan melepaskan Halilintar, tapi pemuda itu sama sekali tidak menyerang. Mereka hanya berdiri diam di sana, memandang laki-laki itu dingin.

"Baiklah, terima kasih atas pendapat anda," kata Taufan akhirnya. "Kalau anda tak bisa membantu kami, kami akan mencarinya sendiri." Ia dan Halilintar kemudian berbalik dan berjalan masuk ke hutan.

"Tunggu. Kalian benar-benar mau masuk ke hutan ini sendiri?" tanya laki-laki itu.

"Kami tidak sendiri. Kami berdua, lihat?" kata Taufan seraya menunjuk dirinya dan Halilintar.

"Tapi berbahaya masuk ke hutan tanpa pemandu."

"Yah, karena kami tak bisa menemukan seseorang yang mau berbaik hati membantu kami untuk mencari pemandu, jadi kami terpaksa melakukannya sendiri," ujar Halilintar sarkastis.

Pria itu menghela napas panjang, kemudian berjalan menghampiri mereka. "Baiklah. Aku akan membantu mencari adik kalian," katanya.

"Kenapa kau tiba-tiba mau membantu kami?" tanya Halilintar curiga.

"Karena ini memang tugasku. Aku penjaga hutan," ujarnya. "Tugasku adalah menjelajah hutan dan menemukan mayat-mayat orang yang bunuh diri di sini, kemudian melaporkannya ke polisi agar bisa dipindahkan."

"Wah ... itu pekerjaan yang cukup mengerikan ..." gumam Taufan.

Pria itu mengangkat bahu. "Begitulah."

"Kalau begitu kau benar-benar mau membantu kami?"

"Ya. Tapi pertama-tama, aku cuma ingin bilang jangan terlalu banyak berharap," kata laki-laki itu serius. "Mungkin tidak semua orang yang masuk ke hutan ini berniat bunuh diri. Tapi kalian tahu, hutan ini bisa memperdaya siapa pun. Orang-orang yang tersesat di sini biasanya tidak akan keluar hidup-hidup. Apalagi yang tersesat cukup lama sampai beberapa hari seperti adik kalian."

"Gempa masih hidup, jangan khawatir," kata Halilintar.

"Ya, kami yakin sekali dia masih hidup," timpal Taufan.

"Terserah kalian saja kalau begitu," kata laki-laki itu lelah.

"Ngomong-ngomong, aku Taufan, dan ini Halilintar," kata Taufan, baru menyadari mereka belum memperkenalkan diri. "Boleh kami tahu siapa namamu?"

"Panggil saja aku Kaizo."

.

.

.

Halilintar berjalan paling belakang, sementara Taufan di depannya, dan Kaizo berjalan paling depan untuk menuntun mereka. Mereka melewati jalan setapak yang ditutupi dedaunan kering. Pohon-pohon berdesir oleh angin yang bertiup pelan, membuat suasana menjadi cukup idngin karena matahari juga belum naik terlalu tinggi.

Mereka belum masuk terlalu jauh saat Kaizo tiba-tiba berbelok arah, menyimpang dari jalan setapak. Ia melangkahi seutas tali yang menandakan kawasan terlarang untuk dimasuki oleh umum. Halilintar dan Taufan melangkah mengikutinya dengan sedikit ragu.

"Tidak apa-apakah kita masuk ke sini? Kudengar kita harus tetap mengikuti jalan setapak kalau masuk ke hutan ini," kata Taufan.

"Kalian tidak akan menemukan adik kalian kalau tetap mengikuti jalan setapak," sahut Kaizo.

Ia tiba-tiba saja menghentikan langkahnya, membuat Taufan dan Halilintar mau tak mau ikut berhenti. Kaizo kemudian berbalik dan memandang kedua kakak-beradik itu.

"Sebelum kita masuk lebih jauh, aku ingin memperingatkan sesuatu pada kalian," katanya, lagi-lagi dengan ekspresi sangat serius. "Apa pun yang kalian lihat nanti, apa pun yang kalian dengar, sesuatu yang tidak wajar atau semacamnya, ingatlah bahwa itu semua tidak nyata."

"Apa maksudmu?" tanya Halilintar dengan kening berkerut.

"Aku sudah bilang hutan ini bisa memperdaya orang, 'kan? Kalau tidak berhati-hati, para ӯurei akan menggunakan hutan ini untuk memperdaya pikiran kalian dan membuat kalian melihat sesuatu yang tidak nyata, dan melakukan sesuatu yang tidak seharusnya kalian lakukan. Terutama karena kalian sedang sedih dan mengkhawatirkan adik kalian, dan itu membuat ӯurei akan lebih mudah untuk ..."

"Tunggu, tunggu," Taufan mengangkat kedua tangannya untuk menyela. "'Ȳurei'? Apa itu 'ӯurei'?"

"Ȳurei adalah jiwa orang mati yang mendiami hutan ini."

"Maksudmu ... hantu?"

"Ȳurei berbeda dari hantu. Mereka roh orang mati yang meninggal secara tidak wajar dan masih menyimpan dendam di dunia ini. Mereka jauh lebih jahat, lebih licik, keji, dan suka memanipulasi pikiran manusia."

"O-ke ..." gumam Taufan seraya melirik sekelilingnya dengan gugup. "Kau harusnya memberitahu itu sebelum kita masuk ke sini. Kurasa makhluk apa pun itu tidak akan senang kalau mendengar kita membicarakan mereka di sini."

"Yah, kalau kau takut lebih baik kau keluar saja dari hutan ini," kata Kaizo tenang.

"Aku tidak takut!" kata Taufan lantang. "Aku akan tetap mencari Gempa tak peduli walau para yuroi itu menghalangiku!"

"Ȳurei, bukan yuroi."

"Ya, ya, terserahlah apa namanya."

"Hei," Halilintar menghentikan ocehan mereka dan menunjuk beberapa utas tali berarna-warni yang membentang dan terikat di beberapa pohon besar. "Apa ini?" tanyanya seraya memandang Kaizo.

"Itu tanda," kata Kaizo. Ia menghampiri Halilintar dan ikut memeriksa beberapa tali itu. "Beberapa orang yang masuk ke sini belum terlalu yakin dengan keputusan mereka untuk bunuh diri, jadi mereka meninggalkan tanda seperti ini agar tahu jalan untuk kembali. Atau tanda agar seseorang bisa menemukan tubuh mereka," jelasnya. Ia mengamati salah satu tali berwarna kuning cerah. "Yang ini masih terlihat baru. Ayo kita periksa."

Mereka berjalan menyusuri bentangan tali yang melintang dan saling berkait di pepohonan. Kaizo beberapa kali berhenti untuk memeriksa beberapa hal. Benda-benda yang tak sengaja —atau mungkin sengaja— dijatuhkan, dan juga jejak-jejak langkah kaki yang nyaris memudar.

Halilintar masih berjalan di urutan paling belakang dan sedari tadi tidak mengucapkan apa-apa, sementara Taufan sesekali bertanya pada Kaizo tentang beberapa hal. Ia hanya berdiri diam mengawasi setiap kali mereka berhenti dan Kaizo dan Taufan berdiskusi tentang benda-benda yang mereka temukan.

Halilintar tak mengerti mengapa ia merasa semakin gelisah setiap kali mereka melangkah semakin jauh ke dalam hutan. Suara desir daun-daun di pepohonan membuatnya beberapa kali bergidik, dan ia bersumpah mendengar langkah-langkah kaki dari balik pepohonan. Halilintar tiba-tiba mendengar bisik-bisik samar yang membuatnya menghentikan langkah dan menoleh. Ia memandang deretan pohon di belakangnya dengan tatapan kosong.

"Halilintar?"

Halilintar tersentak dan segera memalingkan wajahnya. Ia melihat Taufan dan Kaizo tengah memandangnya dan menyadari ia bergeming terlalu lama.

"Kau sedang apa?" tanya Taufan.

"Tidak ... Aku—aku cuma ..." Halilintar melirik ragu ke balik punggungnya, kemudian menggelengkan kepala untuk menjernihkan pikirannya. "Tidak apa-apa. Ayo kita lanjutkan perjalanannya."

Taufan memasang ekspresi heran saat Halilintar berjalan mendahuluinya, namun Kaizo mengawasi pemuda itu dengan tatapan tajam.

Belum terlalu jauh mereka melangkah, Halilintar yang kini memimpin tiba-tiba saja berhenti dan membuat Taufan yang berjalan tepat di belakangnya menabraknya.

"Ada apa lagi, Hali? Kenapa kau tiba-tiba berhen—"

Taufan memekik kaget begitu menyadari apa yang tengah dilihat Halilintar dengan wajah memucat. Mereka sama-sama melangkah mundur dengan ngeri, sementara Kaizo berjalan melewati mereka untuk memeriksa apa yang mereka temukan.

Sesosok tubuh manusia tergantung di dahan pohon besar hanya beberapa meter di depan mereka. Pakaiannya masih terlihat utuh, kaus dan jaket abu-abu yang warnanya sedikit memudar, juga celana jins biru tua. Tapi tubuhnya mulai membusuk, wajah dan kulit tangannya mengerut, membuat rupanya terlihat mengerikan dan bisa mendatangkan mimpi buruk bagi siapa saja yang melihat.

"Itu—itu bukan Gempa, 'kan?" Taufan berujar dengan suara tercekat.

"Jangan bodoh. Tentu saja itu bukan Gempa," kata Halilintar. Ia menarik napas untuk menenangkan kembali jantungnya yang berdebar keras, namun ia justru menghirup bau busuk yang berasal dari mayat itu dan nyaris membuatnya muntah.

"Kita harus menurunkan mayatnya," kata Kaizo tiba-tiba.

"'Kita?'" tanya Taufan dengan ekspresi horor.

"Yah, kalau kalian tidak mau membantu ya sudah," Kaizo mengangkat bahu tak peduli. Ia menghampiri mayat yang tergantung itu dan mengeluarkan beberapa peralatan dari tasnya. "Aku harus menandai lokasi ini."

"Untuk apa?" tanya Halilintar. Ia menggunakan sebelah tangan untuk menutupi mulut dan hidungnya sementara ia mendekati Kaizo untuk melihat.

"Agar polisi hutan bisa mengambil mayatnya."

Kaizo kemudian mencatat beberapa hal di buku kecilnya, lalu mengeluarkan pisau lipat dari ranselnya. Halilintar dan Taufan saling berpandangan, kemudian memutuskan untuk membantu pria itu. Kaizo memotong tali yang menggantung mayat itu, sementara Halilintar dan Taufan memeganginya dari bawah. Mereka kemudian membaringkannya dengan hati-hati di bawah pohon.

"Apa kau sering melakukan hal ini? Sendirian?" tanya Taufan. Ia memandangi mayat itu dan berusaha menahan diri untuk tidak mual.

"Begitulah. Sudah kubilang ini memang tugasku sehari-hari," kata Kaizo. Ia membereskan kembali barang-barangnya dan memasukannya ke dalam tas. Halilintar dan Taufan kelihatannya masih tak bisa mengalihkan pandangan mereka dari mayat itu, hingga Kaizo berdeham pelan. "Kita lanjutkan perjalanannya?" tanyanya.

"Ya, tentu saja," balas Halilintar. Ia harus menarik Taufan berdiri, karena sang adik masih terus bergeming menatap mayat itu dengan ekspresi kosong.

"Menurutmu ... Gempa tidak akan jadi seperti itu, 'kan?" bisik Taufan saat mereka telah kembali melanjutkan perjalanan dengan langkah bersisian.

"Tentu saja tidak. Gempa masih hidup. Kau juga bisa merasakannya, 'kan?" kata Halilintar pelan.

Taufan mengangguk. "Ya. Gempa masih hidup ..."

"Dan kita harus segera menemukannya sebelum sesuatu yang buruk terjadi."

"Ya, kau benar ..."

Suara pekikan keras yang saling bersahutan membuat keduanya tersentak. Mereka menoleh dan mengawasi sekeliling dengan tatapan waspada.

"Hei, apa di hutan ini ada bintanang buas?" Taufan berseru pada Kaizo yang telah berjalan sedikit jauh dari mereka.

"Ada banyak hal lain yang lebih menakutkan daripada binatang buas di hutan ini," balas Kaizo. Ia menoleh dan melihat mereka telah tertinggal cukup jauh di belakangnya. "Cepatlah. Kalian pasti tidak ingin tertinggal dan tersesat di tempat seperti ini."

Taufan bergegas mempercepat langkahnya dan menyusul Kaizo, sementara Halilintar masih bertahan di tempatnya beberapa saat. Ia mendongak dan menatap kanopi dedaunan yang sedikit menghalangi cahaya matahari untuk masuk. Bisik-bisik samar kembali terdengar tak jauh darinya, namun Halilintar mengabaikannya dan bergegas menyusul Taufan dan Kaizo.

.

.

.

Mereka berhenti sejenak untuk beristirahat saat telah lewat tengah hari. Kaizo berkeliling sejenak, meninggalkan Taufan dan Halilintar beristirahat sambil meneguk air mineral dari botol mereka. Tidak ada yang saling berbicara karena masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Halilintar duduk di rumput dengan kepala tenggelam di antara kedua lututnya. Sementara Taufan melamun sambil mengawasi beberapa tupai yang saling berkejaran.

"Hei," ucap Taufan setelah keheningan cukup lama. Ia menatap Kaizo yang baru saja kembali. "Apa kita pernah bertemu sebelum ini?" tanyanya.

Kaizo mengernyitkan dahinya. "Sepertinya tidak. Kenapa?"

"Aku merasa wajahmu sedikit familiar. Sepertinya aku pernah melihatmu entah di mana," kata Taufan.

Halilintar mengangkat kepalanya dan ikut memandang Kaizo. "Kenapa kau mau ikut dengan kami?" ia ikut bertanya.

"Sudah kubilang ini tugasku, 'kan," Kaizo mendesah lelah. Ie menghempaskan diri di sebuah batu besar dan mengeluarkan botol minumnya. "Aku harus menjaga agar orang-orang tidak masuk ke hutan ini untuk bunuh diri. Dan kalian terlihat cukup rentan untuk itu, jadi tentu saja aku harus mengawasi kalian."

"Kami bukan ke sini untuk bunuh diri, tapi untuk mencari adik kami."

"Ya, dan hutan ini akan memanfaatkan kesedihan yang kalian rasakan. Ȳurei akan menemukan kalian dan menggunakan tipuan untuk membuat kalian ingin mati. Dan kalian akan melakukannya dengan tangan kalian sendiri."

Halilintar mendengus. "Kau terus saja mengoceh tentang Ȳurei, Ȳurei, dan Ȳurei. Memangnya kau pernah melihatnya sendiri? Bukankah itu hanya mitos untuk menjauhkan orang-orang dari tempat ini?"

"Terserah kalau kau tidak mau percaya. Tapi ..."

"Sudahlah, aku tidak ingin mendengar omong kosong ini lagi," potong Halilintar. "Kami hanya ingin menemukan Gempa, dan kelihatannya kau masih saja berusaha menakut-nakuti kami untuk menjauh dari hutan ini dan berhenti mencarinya. Kau tahu apa tentang perasaan kami saat ini?"

"Oh, tentu saja aku mengerti perasaan kalian," kata Kaizo tenang, namun suaranya terdengar dingin saat ia memandang Halilintar tajam. "Adikku juga menghilang di hutan ini beberapa minggu yang lalu."

Halilintar terlihat kaget mendengar ucapan Kaizo, namun wajah Taufan justru dipenuhi pemahaman. "Fang," ucapnya mendadak. Kaizo segera menoleh padanya begitu Taufan mengucapkan nama itu. "Kau pasti kakaknya Fang, 'kan?" tanya Taufan memastikan.

"Kau kenal Pang?" Kali ini Kaizo yang terlihat terkejut.

"Pantas wajahmu familiar. Ternyata kau kakaknya Fang!" kata Taufan lagi.

"Kau yakin dia kakak Fang?" tanya Halilintar ragu.

"Tentu saja. Lihatlah kemiripan mereka," kata Taufan seraya menunjuk Kaizo. Ia kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan mondar-mandir. "Sekarang aku mengerti semuanya. Aku baru ingat, sebelum Gempa menghilang, dia bilang padaku ingin mengunjungi Fang. Tapi kali berikutnya dia menghubungiku, dia justru bilang ingin pergi ke hutan Aokigahara untuk mencari temannya yang menghilang. Dia tidak bilang apa-apa tentang Fang, tapi setelah mendengar ucapan Kaizo tadi aku yakin Gempa pasti ingin mencari Fang. Benar 'kan?"

Taufan memandang Halilintar dan Kaizo bergantian, menunggu reaksi mereka. Tapi mereka hanya menatapnya dengan ekspresi ragu.

"Yah, itu cukup masuk akal ..." kata Halilintar setelah berpikir-pikir.

Tapi Kaizo masih terlihat tidak yakin. "Aku tidak pernah mendengar apa-apa tentang kalian dari Pang," katanya.

"Oh ya? Setahuku Fang pernah bilang bahwa hubungannya dengan kakaknya tidak terlalu baik. Cukup buruk malah. Jadi dia pasti jarang bercerita apa-apa padamu 'kan?" kata Halilintar tajam.

"Hali," Taufan berbisik memperingatkan saat ia melihat ekspresi Kaizo yang menggelap.

"Kalau Gempa datang ke hutan ini untuk mencari Fang, lalu Fang ke sini untuk apa? Mungkinkah dia berniat bunuh diri karena tidak tahan harus hidup bersama kakaknya?"

"Halilintar!"

Taufan buru-buru menengahi saat ia melihat Kaizo dan Halilintar saling berhadapan dengan ekspresi bersiap saling membunuh.

"Kita ... kita teruskan saja perjalanannya, oke?" ujar Taufan hati-hati. "Kalau kita berlama-lama di sini, nanti hari keburu gelap. Lagipula sekarang kita harus mencari dua orang 'kan? Gempa dan Fang. Jadi kita harus buru-buru."

"Tidak perlu," kata Kaizo. Ia melangkah mundur dan mengambil kembali ransel yang tadi diletakkannya di tanah. "Urus saja adik kalian sendiri, tak perlu mencari Pang juga."

"Kakak macam apa yang bahkan tidak peduli untuk mencari adiknya sendiri yang menghilang?" tukas Halilintar tajam.

"Hali, sudahlah," Taufan mendesah lelah.

"Aku sudah mencarinya ke mana-mana. Setiap hari, tanpa henti," ucap Kaizo dengan gigi menggertak keras. "Tapi aku bukan orang yang keras kepala seperti kalian yang tidak mau menerima kenyataan bahwa adik kalian mungkin saja sudah mati."

"GEMPA BELUM MATI! DIA TIDAK MUNGKIN MATI!" Halilintar meraung frustasi. "Dia pasti masih hidup ... Pasti ..." Suaranya melemah, sebelum akhirnya Halilintar mengehmpaskan diri di tanah yang keras dan menenggelamkan kembali kepalanya di lutut.

Taufan menarik napas panjang dan berusaha untuk tidak ambruk juga. Ia lalu ikut duduk di sebelah Halilintar dan meletakkan dagu di antara kedua lututnya yang terlipat.

"Aku akan menemani kalian mencari sebentar lagi," kata Kaizo akhirnya. "Setelah itu kita harus kembali dan melanjutkan pencarian besok."

"Kenapa? Sekarang baru lewat tengah hari," kata Taufan.

"Butuh beberapa jam untuk kita kembali ke jalan setapak. Dan kita tidak boleh berada di hutan ini setelah hari gelap. Pada siang hari mudah untuk tersesat, tapi saat malam kita akan benar-benar buta dan suhu juga menurun drastis."

Taufan mengangguk walau tak benar-benar mendengarkan. Ia melirik Halilintar yang duduk di sebelahnya, kemudian menghela napas dan bangkit. Taufan menepuk pundak sang kakak dan memaksanya ikut bangkit.

"Ayo, Hali. Kita masih harus mencari Gempa," katanya.

Halilintar menurut saja saat Taufan menariknya bangun dan mendorong punggungnya untuk kembali berjalan. Ia mendelik saat melewati Kaizo yang balas memandangnya dengan wajah datar.

.

.

.

"Gempa!"

Taufan meletakkan kedua tangan di mulut membentuk corong dan meneriakkan nama adik kembarnya. Kalau hanya mencari saja diam-diam tentu tak akan membuahkan hasil, jadi mereka harus memanggilnya untuk keluar. Dan semoga saja Gempa benar-benar muncul.

"Gempa! Gempa!"

Halilintar dan Taufan saling berseru bersahutan, berharap mendapat balasan. Tapi tak ada suara apa pun selain kicauan burung dan juga gemerisik angin yang bertiup di antara dedaunan.

"Kita harus segera kembali," kata Kaizo.

"Secepat ini? Tidak bisakah kita mencari sebentar lagi?" pinta Taufan.

"Nanti hari terlanjur malam. Lebih baik kita lanjutkan saja pencariannya besok," ujar Kaizo lagi. Halilintar terlihat ingin berdebat, tapi Taufan buru-buru mencegahnya dengan menggeleng samar.

"Baiklah. Kami akan lanjut mencari besok," kata Taufan.

"Dan kami akan mencari pemandu sendiri besok, jadi kau tidak perlu ikut dengan kami lagi," ujar halilintar ketus.

"Aku juga tidak ingin ikut dengan kalian lagi," balas Kaizo dingin. Taufan memutar bola mata bosan melihat kelakukan mereka berdua.

Mereka baru melanjutkan berjalan beberapa menit saat Kaizo tiba-tiba saja berhenti. Ia membelokkan langkah ke balik semak dan Halilintar serta Taufan berjalan mengikutinya sambil berpandangan penuh tanya.

"Ada apa?" tanya Halilintar.

Kaizo menghentikan langkah dan memandang sesuatu tak juah di depannya. Halilintar dan Taufan ikut mengintip dari balik bahunya dengan penasaran. Keduanya langsung membelalak begitu melihat apa yang tengah diperhatikan Kaizo.

"GEMPA!"

.

.

.

to be continued

A/N :

Karena ini pertama kalinya aku nulis cerita horor, aku bakal sangat berterimakasih kalau ada yang mau memberikan pendapat tentang fanfic ini. Yah, walau chapter ini belum ada horornya sih ...

Kritik dan saran tentu saja sangat diterima. Makasih yang udah menyempatkan diri membaca~ Sampai bertemu di chapter berikutnya!