Previously on "Simple"
...
"Semuanya sudah berubah! Mulai detik ini, mereka akan tahu seperti apa Park Jimin itu sebenarnya!"
...
"KEPARAT KAU PARK JIMIN! KAU ANAK YANG TIDAK TAHU DIUNTUNG! KENAPA KAU HARUS DILAHIRKAN?!"
...
"Usir mereka semua pergi, karena mereka semua tidak pantas berada disini!"
...
"AKU BERJANJI AKAN MEMBUNUHMU DENGAN TANGANKU SENDIRI! TUNGGU PEMBALASANKU PARK JIMIN!"
...
"Sebenarnya, Jimin mengidap penyakit genetik. Jimin dia juga~"
...
"Hyung~hiks! Kenapa semuanya gelap?"
...
"PERGI KALIAN SEMUA! AKU TIDAK MAU KALIAN DISINI! PERGI!"
...
"Appa~selamatkan Jimin. Appa! Hiks—aku mencintainya~"
...
"Jimin sudah tiada!"
...
"Andwae~"
...
"Bagaimana aku bisa tenang?! Kenapa appa memberitahu padaku jika Jimin meninggal? Jimin tidak akan meninggalkanku. Tidakkah appa mengerti? Aku harus menemuinya!"
...
"MIN YOONGI!"
...
"Jimin~dia mengalami pendarahan sebelum operasi ginjalnya. Aku sudah gagal Jungkook-ah! Aku sudah gagal!"
...
"ANIYO! AKU SUDAH MEMBUAT KESALAHAN BESAR PADANYA! KENAPA DIA HARUS MENINGGALKANKU BEGITU SAJA?! JIKA JIMIN HYUNG INGIN MENGHUKUMKU KENAPA HARUS SEPERTI INI?! KENAPA DIA TIDAK MENGHUKUMKU SECARA LANGSUNG?!"
...
"Kenapa? Kenapa, kau tidak memberiku kesempatan untuk mengatakan bahwa aku bahagia memiliki hyung sepertimu, hyung? Kenapa kau harus meninggalkanku begitu saja? Kenapa? Aku ingin menghabiskan waktu lebih lama bersamamu~hiks!"
...
"Andaikan—aku bisa menyelamatkan kalian berdua! Hiks!"
...
"Tapi, hanya satu dari kalian yang selamat. Maafkan aku, Jimin-ie... Maafkan aku, Taemin-ie.."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Aku hancur
Mendengar penuturan yang tidak pernah aku bayangkan
Kenapa?
Kenapa kau harus menghukumku dengan cara seperti ini?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tiga tahun yang lalu ...
"Uisa-nim! Pasien atas nama Park Jimin keadaannya memburuk!" seru salah seorang perawat memasuki ruang kerja Seokjin tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Seokjin yang tengah membaca rekap medis pasiennya seketika bangkit dari duduknya dan menatap perawat itu terkejut.
"Apa kau sudah memanggil Min uisa?" tanya Seokjin segera bergegas mendekati perawat itu. Perawat itu mengangguk.
"Min uisa sudah menuju ke kamarnya!"
"Arraseo, tolong beritahu Zou uisa untuk mengganti jam praktekku sekarang."
"Nde uisa-nim!" perawat itu mengangguk patuh saat Seokjin berlari keluar ruangannya dengan tergesa-gesa menuju ke kamar Jimin.
"Kim uisa~" Min uisa terkejut saat kedatangan Seokjin yang tidak terduga itu.
"Uisa-nim, apa yang terjadi pada Jimin?" tanya Seokjin menatap Jimin dan Min uisa bergantian. Min uisa menunduk menyesal.
"Kita harus melakukan operasinya sekarang juga!" telak Min uisa membuat Seokjin seketika menatap Min uisa tak mengerti.
"Keadaan Jimin tidak memungkinkan lagi. Dan, kita tidak bisa terus menunggu hingga persetujuan Jimin. Kita sudah banyak membuang waktu!" Min uisa menoleh ke belakang yang terdapat seorang dokter muda yang berdiri setia di belakangnya. "Oh uisa, tolong siapkan ruang operasi sekarang juga!" titahnya yang langsung diangguki oleh dokter muda itu dan segera meluncur untuk menyiapkan ruang operasi seperti apa yang Min uisa perintahkan padanya. "Kim uisa, bisa kau urus pasien Lee Taemin?" Seokjin mengangguk kaku dan segera bergegas menuju ruang inap Taemin yang memang hanya berselang satu kamar dengan kamar inap Jimin.
"Hyung?" pekik Taemin terkejut dan bangun dari tidurnya saat Seokjin membuka pintu kamar inapnya dengan kasar dan terkesan terburu-buru. "Ada apa? Apa Jimin baik-baik saja?" tanya Taemin yang melihat raut cemas di wajah cantik Seokjin. Seokjin diam sejenak menatap Taemin, sebelum mengatakan yang sebenarnya kepada pemuda yang ia ketahui sangat dekat dengan Jimin.
"Operasinya akan dilaksanakan hari ini, apa kau keberatan?" tanya Seokjin lembut. Taemin menggeleng cepat.
"Apa Jimin baik-baik saja?" tanya Taemin lagi. Seokjin menunduk sedih membuat Taemin terdiam. "Hyung, bolehkah aku meminta bantuanmu?" pinta Taemin tiba-tiba, yang membuat Seokjin mendongak dan menatapnya tak mengerti. "Bisa kau panggilkan ayahku untuk datang? Aku ingin bertemu dengannya!" Seokjin mengangguk dan menyetujui permintaan terakhir Taemin.
"Aku akan menghubungi ayahmu, sekarang! Kau tunggu sebentar-nde?" Taemin mengangguk sabar dan membiarkan Seokjin berkutat pada ponselnya. Taemin menunduk. Menunggu Seokjin kembali setelah menghubungi seseorang yang sudah ia tunggu kedatangannya sejak ia menginap di rumah sakit ini. Tanpa sadar, air mata Taemin mulai keluar dari tempat persembunyiannya hingga ia tak menyadari jika Seokjin sudah kembali di sampingnya membuat Taemin bergerak menghapus cepat bulir-bulir bening yang membasahi pipinya.
"Tenanglah, ayahmu akan segera datang lima belas menit lagi. Sementara itu, aku akan menyiapkan ruang operasinya. Apa tak apa, jika aku meninggalkanmu disini sendiri?" Taemin mengulas senyum damai.
"Tak apa hyung! Aku akan menunggunya!"
"Arraseo! Hyung akan segera kembali!" pamit Seokjin dan berlalu begitu saja, meninggalkan Taemin dengan segala pemikiran berkecamuknya. Taemin bergumam tak jelas setelah kepergian Seokjin. Kedua matanya menatap kosong langit-langit kamar inapnya seolah ia mencari sesuatu yang jelas-jelas tidak ada apa-apa disana.
"Setidaknya, apa yang aku lakukan adalah benar" lirih Taemin meyakinkan dirinya sendiri. Benar apa kata Seokjin, jika ayahnya akan datang tepat lima belas menit setelah Seokjin menghubungi satu-satunya orang yang dimiliki Taemin di dunia ini. Taemin mengulas senyum saat kamar inapnya dibuka oleh sosok pria yang tak lain adalah ayah kandungnya.
"Tae~" panggil sang ayah, Lee Sun Ho berjalan mendekati ranjang putra tunggalnya.
"Appa..." lirih Taemin tersenyum miris. "Kenapa kau baru datang?" tanyanya. "Apa kau juga tidak akan datang jika aku tidak memintamu datang."
"Taemin~"
"Appa!" Taemin menyela ucapan ayahnya dan menatap kedua mata ayahnya lembut. "Apa kau merelakanku?" sang ayah hanya diam. Taemin kembali tersenyum miris. "Jimin adalah segalanya bagiku. Dia sudah seperti hidupku. Jika dia buta, ingin rasanya aku ingin membutakan mataku. Jika dia tuli aku juga ingin menulikan telingaku bahkan jika dia mati aku juga ingin menyusulnya. Tapi, aku tidak bisa membuatnya mati setelah apa yang ia lakukan selama ini dan setelah apa yang aku lakukan padanya."
"Taemin—"
"Appa, relakanlah aku!" pinta Taemin memelas. "Jika dulu, kau tidak merestui hubungan kami setidaknya ijinkan aku untuk mengembalikan kehidupannya seperti sedia kala. Jimin membutuhkanku appa!" sang ayah menunduk enggan menatap kedua mata putra tampannya.
"Apa kau rela meninggalkan ayahmu sendiri?" tanya Lee Sun Ho, jelas sekali dimatanya menyiratkan luka yang teramat dalam. Taemin tersenyum damai. "Kenapa kau harus menghukum appa-mu ini dengan cara seperti ini? Appa benar-benar menyesal karena dulu—"
"Appa!" Taemin segera memotong ucapan ayahnya yang tahu jelas kemana arah pembicaraan antara ayah dan anak itu.
"Mianhae~" ayah Taemin menundukkan kepalanya membuat Taemin mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan ayahnya yang mulai rapuh. "Mianhae, appa tidak bisa menyatukanmu dengan orang yang sangat kau cintai saat ini."
"Appa tahu? Sebelum aku kembali dan menemui Jimin beberapa bulan yang lalu? Ada sekelebat niatanku untuk kembali merebutnya secara paksa dari siapapun. Aku hampir menjadi orang jahat. Namun, setelah aku melihat kembalinya senyum itu membuatku dengan berat hati merelakannya untuk menjadi adikku. Asalkan, dia tidak membenciku. Dan, inilah satu-satunya cara untuk menembus kesalahanku padanya." Lee Sun Ho memejamkan kedua matanya dan mengelus surai putra tunggalnya. "Appa, bisakah kau merelakanku?"
Cklek!
Kedua pria itu menoleh ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka dan menampilkan sosok dokter muda yang tak lain Kim Seokjin, masuk diikuti beberapa perawat yang membuntutinya dan menghampiri kedua pria itu.
"Annyeongasseo Lee ahjussi!" sapa Seokjin ramah meskipun rasa cemas masih tak bisa lepas dari gurat wajahnya.
"Nde, annyeong Kim uisa. Bagaimana keadaan Jimin?" tanya Lee Sun Ho. Seokjin tersenyum miris.
"Kami akan melakukan operasinya sekarang." jawab Seokjin yang juga mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.
"Arraseo!" Lee Sun Ho kemudian menatap anaknya dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. "Appa merelakanmu, nak." dengan setengah hati Lee Sun Ho menyetujui permintaan putra tunggalnya. Taemin tersenyum senang.
"Kau siap Taemin-ie?" tanya Seokjin. Taemin mengangguk antusias dan menatap Seokjin penuh arti.
"Hyung, bisa aku meminta satu hal padamu? Untuk terakhir kalinya." Seokjin memincingkan matanya merasa heran dengan ungkapan Taemin yang seolah seperti permintaan terakhirnya.
"Aku tidak akan membiarkan kalian berdua kritis di dalam sana Taemin-ie. Kau tidak perlu takut nde?" pesan Seokjin mengelus surai Taemin lembut. Taemin tersenyum sekilas.
"Bukan itu maksudku!"
"Eh?!"
"Bisakah kau—" Taemin menatap ayahnya dan Seokjin bergantian. "Berikan kedua mataku kepada Jimin setelah operasi ini?"
"Lee Taemin~" lirih Seokjin tak bergeming, lebih tepatnya tak percaya dengan apa yang baru saja Taemin pesankan padanya membuat seluruh tubuh Seokjin bergetar hebat dan semakin merasa bersalah pada sosok pemuda yang Seokjin ketahui sangat mencintai adiknya itu.
"Dan—berikan pada Jimin setelah ia sembuh nanti! Katakan padanya, untuk tidak membiarkan siapapun menyakiti hatinya lagi! Dan juga, katakan padanya jika sampai kapanpun aku hanyalah mencintainya. Kau akan menyampaikannya kan hyung?" lanjut Taemin menatap Seokjin sendu seraya memberikan sebuah kotak yang sudah ia siapkan diatas meja nakas di dekat ranjang pasiennya.
Grep!
Seokjin terisak saat ia memeluk erat Taemin, seolah tidak merelakan jika Taemin tengah memberikan pesan terakhir untuknya.
"Jangan menangis hyung! Kau akan kuat menyembuhkan Jimin di dalam sana kan?" Taemin membalas pelukan Seokjin dan mengelus punggung dokter cantik yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri. "Aku menyayangimu, hyung!" lanjut Taemin justru membuat Seokjin semakin menangis kencang di pelukannya yang hangat.
:: :: ::
:: :: ::
"Ahjussi~" panggil Seokjin menghampiri Lee Sunho, ayah Taemin di kamar jenazah setelah tiga jam operasi pendonoran ginjal dan mata yang Taemin lakukan. Sementara, operasi pencakokan ginjal untuk Jimin sendiri akan dilaksanakan satu jam lagi dan operasi mata akan dilakukan setelah keadaan Jimin mulai membaik dan jauh dari kondisi kritisnya.
Lee Sunho yang mendengar suara parau Seokjin, seketika menghapus air matanya dan tersenyum kearah dokter muda itu.
"Seokjin, kau disini? Kenapa tidak menemani Jimin? Dia harus melakukan banyak operasi kan?" Seokjin menunduk, mencoba untuk menahan air matanya dan—
Bruk!
"Astaga nak~" Lee Sunho terkejut melihat Seokjin yang tiba-tiba menjatuhkan dirinya dan berlutut dihadapan pria paruh baya itu. "Apa yang kau lakukan?" tanya Sunho panik seraya membantu Seokjin untuk berdiri.
"Biarkan seperti ini ahjussi~" pinta Seokjin serak. "Biarkan aku berlutut dihadapanmu—dihadapan jenazah Taemin~"
"Kim Seokjin~"
"Aku tidak tahu harus bagaimana membalas pengorbanan kalian berdua, Taemin terutama." Sunho berjongkok dihadapan Seokjin dan memegang kedua lengan Seokjin dengan tegas.
"Dengar nak, Jimin sudah kuanggap seperti anakku sendiri. Kau tahu bukan kenapa aku harus merelakan Taemin jika cepat atau lambat aku pun juga harus kehilangan dirinya?" tanya Sunho. "Jadi jangan merasa bersalah, nak. Aku mohon~"
Seokjin menunduk, dan kembali terisak. Menangis dengan bagaimana baiknya jalan takdir yang mempermainkan kedua adiknya. Jimin dan Taemin. Bagaimana mereka yang sama-sama mengidap penyakit berbahaya namun tetap berpura-pura bahwa diri mereka kuat dibandingkan orang normal kebanyakan. Bagaimana fakta mengenai Taemin yang terkuak dengan penyakit kankernya yang sudah sampai tahap stadium akhir dan lebih merelakan untuk memberikan beberapa organnya kepada Jimin dibandingkan menunggu saat ajalnya tiba.
Seokjin tahu, Jimin dan Taemin sama-sama berjuang. Mereka berjuang dalam diam. Berjuang dalam segala hal. Dan berjuang dengan cara mereka sendiri hingga Taemin memutuskan untuk berhenti demi orang yang dicintainya. Hingga Taemin memilih untuk melihat dan mengawasi Jimin dari jauh. Hingga Taemin meninggalkan sebuah hadiah yang tak pernah tergantikan oleh siapapun. Sebuah hadiah yang bisa membuat hidup Jimin kembali dimulai dari awal.
"Nak, jangan menangis di hadapan Taemin. Jangan membuatnya sedih~" Sunho mengelus punggung Seokjin bermaksud untuk memberikan ketenangan pada dokter muda itu. "Tidak ada yang tahu jika Jimin masih berjuang saat ini dan maka dari itu jangan buat perjuangan Jimin dan Taemin sia-sia. Kau harus kuat, nak." Seokjin mengangguk meskipun air matanya terus keluar tanpa henti.
"Aku merasa bersalah pada mereka. Aku melihat bagaimana—mereka terpukul atas kebohongan ini. Bagaimana terlukanya keluargaku, bahkan aku juga berbohong pada ayahku sendiri~hiks! Ahjussi, apa yang harus aku lakukan?" tangis Seokjin semakin pecah mengingat bagimana dirinya dan Min uisa dengan terpaksa mengabarkan kematian Jimin dihadapan semua orang yang sejujurnya adalah kematian Taemin.
"Maafkan Taemin, jika dia harus memberikan pesan terakhir hal semacam itu padamu, nak!" Sunho memeluk Seokjin dan mengelus punggung rapuh itu penuh kasih sayang. Mengganti sosok anak tunggalnya yang sudah tidak dapat ia peluk selamanya. Ia hanya berharap, anaknya tenang di alam sana bersama dengan ibunya dan kini hanya tinggal menunggu kapan gilirannya tiba.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Hyung, bisakah kau mengatakan bahwa aku adalah Jimin? Aku hanya tidak ingin mereka mengganggu kesembuhan Jimin. Membuat penderitaan baru baginya, karena aku tidak bisa lagi menjaganya dan berada disisinya. Aku mohon, hyung! Katakan pada mereka, jika—Jimin yang meninggal. Bukan, Lee Taemin!"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To : Jimin-ie
Mungkin saat kau membaca surat ini, aku sudah tidak ada di Seoul atau dimanapun. Tapi, perlu kau ketahui dimanapun aku berada dan dimanapun kau berada, kau adalah satu-satu orang yang selalu ada di hatiku. Kau, adalah orang pertama yang bisa merubah dan membuat hal baru dalam hidupku. Dan, aku sangat bersyukur mengenai hal itu.
Jimin-ie ...
Aku sangat berharap bisa berada disisimu selamanya. Aku sangat berharap bisa selalu menjagamu dan aku sangat berharap kita bisa seperti dulu.
Jimin-ie ...
Aku tahu, aku pernah menyakitimu, mengecewakanmu dan meninggalkamu. Aku sangat sangat menyesal dengan semua itu. Aku dengan bodohnya mencampakanmu dan membuat hatimu terluka. Aku tahu, aku tidak bisa dimaafkan. Tapi, aku sangat bersyukur kau tidak pernah membenciku meskipun aku kembali dihadapanmu.
Jimin-ie ...
Aku tahu aku bukanlah sosok yang sempurna untukmu, tapi aku harap kau bisa mendapatkan kebahagiaanmu kelak. Aku sangat berharap tinggal kebahagiaan yang harus kau miliki. Tidak ada lagi penderitaan, aku akan selalu mendoakanmu.
Jimin-ie ...
Aku sangat beryukur aku adalah orang pertama yang mendapatkan cintamu. Aku adalah orang pertama yang menjadi kekasihmu dan tidak ada hal yang lebih membahagiakan lagi untukku selain berada di sisimu.
Jimin-ie ...
Terima kasih, sudah menjadi sebagian dari hidupku. Menjadi kenangan terindah dalam hidupku. Aku ingin kau selalu bahagia dengan keluargamu, sahabatmu, atau pun dengan orang yang kau pilih untuk mendampingimu kelak.
Berjanjilah padaku, sayang ...
Jaga dirimu, jangan lagi ada tangisan. Jangan lagi ada penderitaan. Berjanjilah kau akan selalu bahagia dimana pun kau berada. Aku mencintaimu, Jimin-ie...
Lee Taemin.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Awal mulanya, memang baik-baik saja
Hanya saja, aku tidak tahu jika hidupku memburuk dengan ketidak-adaannya dirimu
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Ingin ku kembali tepat saat kita pertama kali bertemu
Tepat saat kita pertama kali berkencan
Tepat saat kita menghabiskan waktu bersama meskipun dalam waktu singkat
Tapi sekarang?
Kau sudah tidak ada
Aku kehilangan dirimu
Bahkan,
Aku kehilangan diriku sendiri
Bisakah aku ikut denganmu?
Meskipun, kau bukanlah orang yang sama?
Meskipun, tinggal kebencian yang kau torehkan padaku
Aku rela!
Asalkan, kau ada disisiku
Aku seperti mati sekarang
Tidakkah kau memberiku kesempatan?
Kesempatan untuk mengatakan
Jika
Aku
Benar-benar
Mencintaimu
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
The Story has Begin
-As Life As Simple, You Make a Choice and Don't Look Back-
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Hyung, hyung, hyung!" Namjoon mengejar Yoongi yang berjalan melewatinya memasuki kantor dimana tempatnya bekerja. Dengan terpaksa, Yoongi menghentikan langkahnya dan dengan tampang malasnya Yoongi menatap Namjoon dengan tatapan dinginnya.
"Kenapa kau tidak pernah pulang? Min ahjussi selalu menanyakanmu, bahkan kau tahu? Hana sering kali lari ke apartement untuk bertemu denganmu!" ujar Namjoon frustasi. Yoongi berdecak, ia menatap Namjoon dengan tatapan tajamnya yang membuat Namjoon mau tidak mau untuk memberanikan diri menghadapi sosok dingin dan kejam Min Yoongi yang sudah jauh berubah selama tiga tahun belakangan ini.
"Kenapa kau mengurusi urusanku?!" seru Yoongi pedas. "Aku mau menemui mereka atau tidak! Mau pulang atau tidak! Itu bukan urusanmu! Dan juga—aku bukanlah keluargamu dan aku juga bukan tanggunganmu jadi aku mohon jangan sok peduli padaku, Namjoon-ssi!" Yoongi maju selangkah, kedua mata tajamnya bertemu dengan kedua mata sayu milik Namjoon. "Dimana kekasihmu, Namjoon? Dimana Seokjin? Kau saja belum bisa mengurusi urusanmu jadi jangan mencoba untuk menjadi pahlawan bagi keluargaku!" tutur Yoongi, ia melengos dan meninggalkan Namjoon yang menatap punggung Yoongi sendu.
Tiga tahun sudah berlalu. Tiga tahun mengerikan yang harus mereka jalani dengan rasa penyesalan yang terus menggerogoti hati dan jiwa mereka membuat mereka hidup tapi jiwa mereka mati. Min Yoongi terutama. Sudah tiga tahun sejak meninggalnya Jimin, membuat Yoongi menutup diri dari semua orang termasuk keluarganya. Ia pergi dari apartement yang sudah bertahun-tahun ia tinggali bersama Taehyung dan Namjoon. Ia juga tidak pernah pulang ke rumahnya untuk menjenguk ayah atau pun adiknya. Ia hanya menghabiskan waktunya di kantor polisi meskipun tidak ada yang harus ia kerjakan. Jika ada waktu luang pun, Yoongi hanya menghabiskan waktunya dengan tidur atau mabuk di klub langganannya.
Namjoon menyeka bulir bening yang keluar dari ekor matanya.
"Kau bisa membunuh dirimu sendiri, hyung!" lirih Namjoon menunduk sendu. Tak ingin terlalu lama di tempatnya bekerja, Namjoon memilih untuk segera meninggalkan kantornya. Namjoon melangkah lesu menuju parkiran mobilnya, tak menyadari jika ada sosok lain yang tengah mematainya dalam diam. Kim Taehyung, sang adik yang tahu benar bagaimana hubungan mereka satu sama lain yang tak seperti dulu dan semakin memburuk meskipun ia sudah bekerja di tempat yang sama dengan Namjoon dan Yoongi.
Taehyung, berjalan mendekati sang kakak yang terlihat kacau. Ia iba sebenarnya, melihat bagaimana sang kakak yang selalu mendapat hinaan dari sang kekasih, yang ingin sekali mengakhiri hubungan dengannya dan Namjoon dengan bodohnya tetap mempertahankan hubungan mereka.
"Hyung!" panggil Taehyung datar. Namjoon menghentikan langkahnya, ia membalas tatapan Taehyung dengan tatapan sendunya.
"Ada apa?" balas Namjoon, entah sejak kapan hubungan kakak-beradik berubah menjadi canggung seperti ini. Entah sejak kapan, mereka sudah tidak menghabiskan waktu bersama. Namjoon yang sibuk mengurusi kasus lapangan dan mengurusi urusan pribadinya. Dan, Taehyung yang bahkan jarang menampakkan dirinya di kantor untuk tugas survei-nya di luar kota meskipun mereka bekerja di divisi yang sama. Mereka seperti orang yang tidak saling mengenal. Tidak pernah menyapa saat berpapasan bahkan tidak saling berbicara saat kantor mengadakan jamuan bersama. Semua orang tahu mereka kakak-beradik tapi mereka tidak pernah melihat hubungan layaknya kakak-beradik yang terjalin antara keduanya.
"Hyunji ahjumma, mengundang kita untuk makan malam di rumahnya!" Taehyung memberitahu dengan datar. Namjoon tersenyum kecil. Setidaknya, ia bersyukur pada satu orang. Satu orang yang berusaha keras untuk menyatukan mereka semua. Menyatukan, Namjoon, Taehyung, Yoongi, Seokjin, Jungkook, Hoseok, Yunjin, Taekwoon, bahkan Tae Il yang masih mendekam di penjara hingga Hana adik Yoongi yang setiap kali bertemu dengan Hyunji selalu membicarakan hal-hal tidak penting padanya. Mereka tidak pernah menolak saat Hyunji, yang tak lain adalah ibu kandung Jimin meminta mereka bertemu dalam satu tempat meskipun tidak ada pembicaraan diantara mereka. Saling terdiam dan hanya menunjukkan wajah datar mereka masing-masing. Tak ada canda tawa, tak ada rasa kekeluargaan serta kasih sayang satu sama lain. Tapi, mereka tidak ingin membuat satu-satunya ibu yang melahirkan sosok yang berarti bagi mereka merasa sedih melihat bagaimana hubungan mereka saat ini.
"Kapan?" tanya Namjoon.
"Lusa! Aku juga akan memberitahu Yoongi hyung!" Taehyung melengos pergi dan Namjoon dengan acuh memasuki mobilnya tanpa mencoba untuk menahan kepergian sang adik.
Bohong, jika dia tidak ingin memeluk adiknya. Bohong, jika ia tidak ingin menyapa adiknya. Bohong, jika dia tidak merindukan adiknya. Bohong, jika dia tidak ingin melihat tingkah konyol adiknya bukan sikap yang dingin padanya. Namjoon menahan air matanya, rasa penyesalan ini selalu menyiksanya. Bisakah—bisakah ia memperbaiki semuanya? Bisakah, ia memulai semuanya dari awal? Setelah mengingat kesalahan mereka semua selama tiga tahun ini yang lalu? Dan kini sudah tiga tahun yang harus mereka lewati dengan rasa penyesalan yang terus menghimpit sesak dada mereka? Bisakah, mereka menghilangkan rasa penyesalan itu? Penyesalan yang tidak pernah termaafkan.
:: :: ::
:: :: ::
Hiruk pikuk rumah sakit yang selalu terasa mencekam di Unit Gawat Darurat setiap mendatangkan pasien baru dalam keadaan mengenaskan. Seorang dokter muda yang berlari mendorong ranjang pasien gawat darurat diikuti beberapa perawat yang membantunya. Dokter muda bertampang manis dengan gigi kelinci yang muncul setiap kali ia tersenyum, mempercepat langkahnya untuk menyelamatkan sang pasien yang seluruh tubuhnya bersimbah darah.
Semua orang yang melihat bagaimana sibuknya para dokter dan perawat memilih untuk mengalah dan memberikan mereka ruang untuk lebih cepat menuju ruang gawat darurat. Pintu UGD terbuka otomatis saat ranjang pasien yang mereka bawa sampai tepat di depan pintu.
Dengan cekatan, dokter muda itu segera mengurus pasiennya yang sudah tidak sadarkan diri. Dengan telaten, sang dokter muda memeriksa setiap tubuh sang pasien yang terus saja mengeluarkan darahnya tanpa henti dibagian perutnya. Dokter muda itu berusaha keras untuk menghentikan pendarahan sang pasien dan mengambil sebuah peluru dengan penjepit yang ternyata adalah sebab dari pasien tersebut mengalami pendarahan.
"Dokter, denyut nadi pasien berhenti berdetak!" adu salah seorang perawat.
"Siapkah kejut jantung!" titahnya sang dokter yang langsung dituruti oleh perawat yang bertugas bersamanya.
DUG!
Dada sang pasien ikut terangkat saat sang dokter muda menempelkan alat kejut jantung pada dadanya. Keringat mulai mengucur di seluruh wajah tampannya namun tak membuat konsentrasi dokter muda itu hilang begitu saja.
DUG!
Ia kembali meletakkan alat kejut jantung itu untuk yang kedua kalinya namun tetap tak membuat jantung pasiennya beraksi.
"Ayolah~" gumamnya cemas.
DUG!
Tiit!
Sang dokter muda mendesah lega mendengar bunyi monitor di ruang UGD, menandakan bahwa sang pasien telah kembali.
"Denyut jantungnya normal, dok!" sang perawat memberitahu.
"Baiklah, aku akan menjahit perutnya setelah itu kalian pindahkan dia di ruang rawat!" titah sang dokter. Ia berkutat pada benang yang akan ia jahitkan untuk menutupi sobekan perut sang pasien.
"Selesai!" dokter muda itu mendesah lega, ia menatap perawat-perawat yang menemani sepanjang operasi darurat itu. "Kalian semua sudah bekerja keras, terima kasih!" ujar sang dokter ia tersenyum membuat kedua matanya terlihat sipit karena separuh wajahnya yang ditutupi masker. Dokter muda itu pamit keluar dan membiarkan para perawat itu menyelesaikan sisa pekerjaannya.
Dokter muda yang ber-name tag Jeon Jungkook itu melepas baju biru dan maskernya, kemudian ia masukkan ke dalam tong sampah yang berada di dekat pintu UGD. Jungkook melepas sarung tangannya dan bergerak untuk mencuci tangannya bersamaan dengan rekan kerjanya yang entah darimana tiba-tiba muncul dan merangkul pundaknya.
"Ouh~lihatlah si sexy dr. Jeon sudah menyelesaikan tugasnya!" godanya membuat Jungkook berdecak dan tak berniat untuk membalas candaan rekannya itu. "Apa kau sibuk?" tanyanya kemudian. Jungkook menghela nafas, ia berbalik badan dan menatap rekan kerjanya.
"Aku selalu sibuk setiap waktu!" jawab Jungkook datar.
"Kau tidak sibuk. Kau hanya menyibukkan diri!" balasnya dan langsung direspon tatapan tak suka dari Jungkook.
"Wae?" tanya Jungkook merasa jika rekannya ini terlalu basa-basi.
"Kenapa kau tidak pernah pulang? Aku merasa kasihan padamu. Kau selalu tidur di ruang kerjamu. Apa kau tidak lelah? Jangan memaksakan dirimu!" serunya dan sekali lagi Jungkook berdecak.
"Aku hanya terlalu malas membersihkan rumah, Jae! Aku juga yatim piatu, jika kau tidak lupa!" balas Jungkook dingin pada temannya yang bernama Jung Jaehyun itu. "Lagi pula, sudah satu tahun rumahku disini!"
"Tapi, lihatlah kau semakin menyedihkan setelah lulus dari Jerman. Kau selalu menghabiskan waktumu hanya di ruang operasi, bahkan kau sampai meminta direktur agar memadatkan jadwalmu di UGD. Dan juga, kau tidak pernah ambil libur sekalipun! Kau bahkan selalu bersedia menjadi pengganti dokter yang bukan jadwalmu!" cibir Jaehyun, ia terus membuntuti Jungkook yang mulai berjalan meninggalkannya.
"Untuk apa aku mengambil liburku? Aku tidak punya waktu untuk mengisi waktuku untuk hal yang tidak penting!" desis Jungkook tajam.
"Apa kau ini robot, ha?" seru Jaehyun.
"Sudahlah Jae!" jengah Jungkook. Jaehyun berdecak.
"Kau bisa sakit, Kook!" balas Jaehyun prihatin.
"Aku baik-baik saja!" tutur Jungkook datar. Ia menarik kursi saat ia sudah berada di cafetaria. Begitu pula Jaehyun yang memilih untuk duduk di depannya.
Jungkook memegang tengkuk lehernya dan memijatnya pelan. Badannya terasa remuk, dan matanya yang terasa lelah dan berat.
"Lihatlah, betapa menyedihkannya dirimu!" cibir Jaehyun yang diabaikan oleh Jungkook.
"Bagaimana kabar Taeyong hyung?" tanya Jungkook mengalihkan pembicaraan. Jaehyun berdecak.
"Kenapa kau bertanya? Kau merindukannya?" Jaehyun balik bertanya.
"Nde, aku sangat merindukannya!" sahut Jungkook asal. Jaehyun memutar kedua bola matanya malas.
"Kau mau pesan apa?" tanya Jaehyun akhirnya. Jungkook berfikir sejenak.
"Seperti biasa!" jawab Jungkook. Jaehyun mengangguk paham. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan menuju konter cafetaria untuk memesan minuman dan beberapa snack mungkin.
Jungkook menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi seraya menunggu Jaehyun datang membawa pesanannya. Tangannya merogoh saku jas putihnya untuk mengambil ponselnya. Jungkook tersenyum kecil melihat wallpaper yang sengaja ia pasang selama tiga tahun terakhir ini. Sebuah foto seseorang yang sangat ia rindukan. Jungkook mengelus wajah manis yang ada di dalam foto itu dengan jari tangannya.
"Aku sangat merindukanmu, hyung~" lirih Jungkook pada foto yang tak lain berisi Jimin yang tengah tersenyum manis. Tanpa sadar, air mata Jungkook menetes. Ia memang selalu menangis jika mengingat hyung kesayangannya. Karena rasa rindu dan rasa penyesalan yang begitu membuncah di hatinya membuatnya tidak bisa mengontrol dirinya sendiri.
Drrt ...
Jungkook segera menghapus air mata saat ia merasakan ponselnya bergetar di tangannya menandakan ada panggilan masuk dari satu-satunya orang yang selalu menyempatkan diri untuk menghubunginya dan menanyakan kabarnya.
"Nde ahjumma." Ujar Jungkook setelah ia menggeser ikon warna hijau.
"Kookie-ya apa kau sibuk?" tanya suara seorang wanita di seberang sana.
"Ani. Ada apa ahjumma?" tanya Jungkook datar.
"Datanglah dan makan malam bersama lusa nanti. Apa kau bisa, nak?" Jungkook menarik nafas sebelum menjawab permintaan dari wanita yang menghubunginya.
"Tentu saja ahjumma. Aku akan datang!" jawab Jungkook menyetujui. Ia yakin, wanita yang tengah menghubunginya pasti sedang tersenyum senang mendengar jawaban Jungkook yang bersedia untuk datang.
"Bagaimana dengan harimu, nak?" dan Jungkook selalu bersyukur setidaknya ada satu orang yang mau mendengarnya bercerita meskipun hanya kebohongan yang ia berikan untuk menutupi rasa sepinya.
"Ada pasien yang tertembak hari ini—" suara Jungkook tercekat, namun ia mencoba untuk tidak menangis sekarang. "—dan aku hampir kehilangan nyawanya. Tapi, aku akan berusaha keras untuk menyelamatkan pasienku."
"Jangan terlalu keras pada dirimu, nak. Istirahatlah! Ahjumma, ada disini untuk memelukmu dan menemanimu!" Jungkook menunduk, air matanya sudah mengalir dalam diam.
"Nde~" sahut Jungkook tertahan. "Jaga dirimu, ahjumma. Lusa—pasti aku datang!" Jungkook menutup sambungannya. Ia meletakkan ponselnya diatas meja. Jungkook mengangkat kedua tangannya untuk menutupi wajahnya dan mulai menangis seorang diri.
Hiks!
Jungkook mencoba untuk menangis di tengah malam tanpa suara meskipun ia tidak tahu jika rekannya, Jaehyun berdiri di belakangnya dengan kedua tangannya yang sudah terdapat dua cup kopi mematainya sedari tadi. Jaehyun memandang punggung sahabatnya dengan iba. Ia tahu benar, bagaimana hidup Jungkook yang berjuang seorang diri untuk menjadi dokter. Tak ada dorongan, tak ada dukungan dari keluarganya. Ia hanya melakukan apa yang ia inginkan. Bahkan, Jaehyun tidak pernah melihat Jungkook bicara dengan salah satu kakaknya yang kebetulan adalah dokter senior yang bekerja di rumah sakit yang sama dengannya. Walaupun mereka berpapasan tapi tak pernah sekalipun mereka saling menyapa. Jungkook yang terlalu sibuk di UGD dan kakaknya yang sibuk di bangsal VIP. Bahkan, Jaehyun bukan orang bodoh untuk membedakan antara kedua orang itu yang berusaha untuk terlihat sibuk di depan semua orang. Entah untuk apa, tapi mereka berdua sama-sama terlihat menyedihkan.
Jaehyun memutuskan untuk memberikan waktu menangis bagi Jungkook. Ia tahu, sahabatnya pasti mengalami hal pahit dalam hidupnya. Meskipun, Jaehyun tidak mengetahui masa lalu Jungkook tapi ia yakin, Jungkook tengah merindukan keluarganya.
:: :: ::
:: :: ::
BRAK!
"Aku meminta perincian pengeluaran bulan ini beserta perkembangan proyek baru di Busan tapi apa ini?! Apa yang kalian kerjakan selama ini?! Kenapa kalian menyerahkan laporan seperti sampah kepadaku?!" bentak direktur Jung dihadapan semua bawahannya yang ia panggil untuk memberikan laporan yang ia minta. "Aku membayar kalian untuk bekerja! Bukan bermalas-malasan! Apa kalian mau kehilangan pekerjaan kalian detik ini juga?!" ancam sang direktur yang membuat semua bawahannya menunduk takut tak berani melawan meskipun mereka yakin bahwa mereka sudah dengan benar mengerjakan tugas dari direktur mereka. Tapi, tetap saja mereka tidak bisa melawan amukan sang direktur yang selalu berteriak menyalahkan mereka karena kadang-kadang direktur Jung melontarkan alasan yang cukup masuk akal untuk menyalahkan bawahannya.
"Aku tidak mau perusahaanku bangkrut karena memiliki karyawan seperti kalian! Apa kalian mau bertanggung jawab jika perusahaan ini mengalami kerugian, HA?!" seru direktur Jung, wajahnya memerah dan terlihat semakin menakutkan. "Jika pekerjaan kalian terus seperti ini. Aku bisa saja memutasi kalian semua!"
"Sajangnim~" lirih beberapa bawahan mereka yang sama sekali tidak rela jika mereka harus turun jabatan.
"Aku tidak mempekerjakan orang yang tidak pantas di posisinya. Kalian pik—"
"JUNG HOSEOK!" seru seseorang menginterupsi suasana tegang itu. Dalam hati, mereka berterima kasih pada sosok yang selalu bisa mendinginkan hati direktur mereka. Pemuda jangkung yang tiba-tiba datang itu pun berjalan menhampiri meja direktur Jung. "Pergilah kalian semua. Lanjutkan pekerjaan kalian!" titahnya yang langsung membuat Hoseok memandang pemuda itu tak percaya.
"Hyung!" bentaknya tak terima.
"Wae?!" balasnya menantang dan Hoseok berdecak melihat bawahannya bergegas meninggalkan ruangannya dan menutup pintu tanpa suara. Hoseok menjatuhkan dirinya di kursi kebesarannya dan memandang tajam pada pemuda jangkung yang lebih tua darinya itu.
"Ada apa kemari?" tanya Hoseok datar. Pemuda itu tertawa.
"Apa kau tidak membiarkanku duduk terlebih dahulu?" pintanya. Hoseok berdecak.
"Aku tidak melarangmu untuk duduk, hyung!" cibir Hoseok dan pemuda itu pun duduk di kursi yang berada di depan meja kerja direktur dari J-HS Corporation itu.
"Jika kau seperti ini terus, kau bisa kehilangan karyawanmu!" sarannya. Hoseok menghela nafas.
"Aku tidak peduli!" balas Hoseok datar.
"Kau tidak peduli, tapi aku salah satu dewan direksi disini tentu saja aku peduli!" ujarnya mencoba untuk mengancam Hoseok. Hoseok mencoba untuk menenangkan dirinya.
"Jadi, ada urusan apa kau kemari tuan Park Chanyeol yang terhormat?" tanya Hoseok penuh penekanan. Pemuda tampan yang memang Chanyeol itu tertawa keras melihat Hoseok yang akhirnya mulai bersikap bersahabat padanya.
Yap, dia adalah Park Chanyeol yang sama. Orang yang tiga tahun yang lalu membantu Jimin bersama kekasihnya, yang sekarang sudah menjadi istrinya dua tahun yang lalu. Dan, kenapa Chanyeol bisa mengenal Hoseok? Karena tiga tahun yang lalu tepat setelah tiga bulan kabar kematian Jimin, Hoseok memutuskan untuk tidak mengurus lagi perusahaan keluarganya. Ia memilih untuk mendirikan perusahaan kecilnya yang diam-diam sudah ia bangun dari nol sejak ia mulai dipasrahi untuk mengurus perusahaan Jung enam tahun yang lalu. Jatuh-bangun ia lewati seorang diri. Di usianya yang masih muda ia berjuang agar perusahaannya mengalami puncak kesuksesan meskipun tanpa dukungan dari keluarganya atau dari siapapun orang terdekatnya.
Hingga, saat perusahaannya mengalami krisis satu tahun yang lalu serta beredarnya kabar bahwa salah satu orang kepercayaannya telah melakukan penggelapan pada uang perusahaannya, membuatnya tertekan karena tidak ada seorang pun yang membantunya untuk menangkap siapa orang itu. Katakanlah Hoseok adalah sosok pemimpin yang arogan, tegas, dan memaksa, memaksa dalam artian apa yang ia inginkan harus terwujud tidak peduli ada masalah apapun, membuat beberapa orang merasa tidak simpatik padanya. Hoseok sekarang berbeda dengan Hoseok yang dulu. Tidak ada lagi Hoseok yang murah senyum, lembut, ramah, dan peduli pada orang lain. Karena, diatas itu semua sejak tiga tahun belakang ini hanya ada Hoseok yang mementingkan pamor perusahaannya diatas segalanya.
Jujur saja, pertemuan Hoseok dengan Chanyeol. Tidak pernah mereka duga sebelumnya. Bahkan, mereka tidak pernah menyangka jika mereka akan menjadi akrab seperti sekarang ini. Meskipun, kata akrab disini hanya mengartikan sebatas hubungan kerja yang begitu membosankan.
Satu tahun yang lalu, Chanyeol mendengar krisisnya perusahaan Hoseok. Awalnya ia hanya berniat untuk membeli saham yang ditawarkan oleh Hoseok yang sudah menyerah dengan keuangan perusahaannya karena ia belum juga menggaji para karyawan yang menuntut akan mogok kerja. Persetan dengan kehidupan Hoseok ke depannya, karena Hoseok sejujurnya mulai lelah dengan hidupnya yang sudah sangat hancur itu. Hoseok hanya berniat untuk membayar karyawannya dan setelah itu ia siap jika ia harus menutup perusahaannya. Hoseok siap untuk gulung tikar.
Namun, tanpa di duganya. Pertemuannya dengan investor ternama, Park Chanyeol merubah semuanya. Chanyeol yang menawarkan diri untuk membantu Hoseok memecahkan permasalahannya dan Hoseok yang tentu saja menolak mentah-mentah bantuan cuma-cuma dari pemuda itu. Hoseok ingat siapa Chanyeol. Chanyeol dan kekasihnya, Byun Baekhyun juga ikut menjaga Jimin di rumah sakit waktu itu siang dan malam. Mereka orang lain, tapi mereka sangat menyayangi Jimin membuat Hoseok ingin menangis setiap kali mengingat pemuda manis yang tak bisa ia lihat lagi senyumnya.
Setelah itu, Chanyeol mencoba untuk bernegosiasi pada Hoseok. Ia sama sekali tak menyinggung Jimin sedikitpun. Chanyeol benar-benar profesional jika menyangkut pekerjaan, ia mengungkapkan segala gagasannya yang juga menguntungkan perusahaan Hoseok membuat Hoseok berfikir dua kali dan akhirnya menyetujui untuk bekerja sama memulihkan perusahaan Hoseok bersama Chanyeol. Chanyeol yang dibantu kenalannya untuk menyelesaikan masalah Hoseok akhirnya mampu membuat perusahaan Hoseok stabil. Bahkan, Chanyeol sampai berniat untuk menjadi investor tetap pada perusahaan Hoseok karena kinerja Hoseok yang benar-benar tidak bisa di bilang remeh.
"Aku ingin mengundangmu untuk datang ke jamuan makan malam di perusahaanku." jawab Chanyeol. Hoseok diam sejenak karena ia sibuk berkutat pada laptop yang ada di depannya.
"Kapan?" tanya Hoseok akhirnya.
"Lusa!" jawab Chanyeol girang. Hoseok berhenti mengetik dan menatap Chanyeol tak enak.
"Mianhae, aku tidak bisa!" sesal Hoseok, kini ia sepenuhnya menatap Chanyeol dan mengabaikan pekerajaanya sejenak. Chanyeol memincingkan matanya heran. Ia sangat tahu, Hoseok selalu menghabiskan waktunya untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Bahkan, Hoseok adalah satu-satunya direktur yang selalu rela turun ke lapangan untuk survei jika ada proyek baru. Tapi, ini sudah keterlaluan sampai-sampai Hoseok tidak mau meninggalkan pekerjaannya untuk beberapa jam saja.
"Yak! Kau itu robot atau apa? Kau juga butuh istrihat. Kau bahkan tidur di sofa itu! Jangan pikir aku tidak tahu!" seru Chanyeol menatap Hoseok tak menyangka. Hoseok tersenyum kecil.
"Bukan masalah itu hyung! Lusa, aku benar-benar tidak bisa." Balas Hoseok mencoba untuk membuat Chanyeol mengerti.
"Memangnya kenapa kau tidak bisa?" tanya Chanyeol penasaran. Hoseok diam sejenak, ia menghela nafas berat.
"Hyunji ahjumma mengadakan makan malam bersama. Aku tidak mungkin tidak datang kan?" balas Hoseok. Chanyeol mengangguk paham.
"Lalu, apa hyung-mu juga datang?" tanya Chanyeol. Hoseok menunduk.
"Kau tahu bukan, sudah tiga tahun dia tidak pernah pulang ke Korea sejak ia memutuskan untuk kembali ke China? Aku tidak mengharapkan apa-apa lagi darinya!" lirih Hoseok menunduk. Chanyeol menarik nafas, iba melihat bagaimana Hoseok yang selalu mencoba untuk terlihat baik-baik saja. "Sebenarnya, aku merasa bersalah karena sudah membentak mereka. Mereka tidak tahu apa-apa justru menjadi bahan pelampiasan dari direktur mereka yang kesepian ini. Hah! Bukankah aku sangat menyedihkan? Setiap malam aku habiskan di ruangan ini dan membiarkan apartementku menjadi sarang tikus. Tapi, bagaimana lagi jika tidak begitu—jika aku tidak bekerja—jika aku pulang—jika aku tidak menyibukkan diriku—dan jika aku sendiri, aku selalu membayangkan dirinya. Membayangkan betapa jahatnya aku dulu. Membayangkan berbagai 'andai' yang muncul di otakku. Dan berakhir dengan rasa penyesalan yang menhantam seluruh hatiku. Dan, aku bisa apa sekarang? Hanya mencoba untuk baik-baik saja!" Hoseok menunduk dan Chanyeol terdiam.
"Apa kau butuh minum? Aku akan menemanimu!" tawar Chanyeol, Hoseok mengangkat sebelah alisnya tertarik.
"Lalu, bagaimana dengan istrimu?" tanya Hoseok. Chanyeol mengulum senyum.
"Dia sedang sibuk dengan kasus barunya. Kau tenang saja, anggap aku lajang hari ini!"
"Call!" sahut Hoseok menyetujui membuat Chanyeol mendesah lega. Setidaknya, ia bisa sedikit menghibur pemuda kesepian yang penuh penyesalan dihadapannya ini. Ya, walaupun hanya sedikit.
:: :: ::
:: :: ::
"Oh, dokter Kim. Apa kau sudah mau pulang?" tanya dokter Lee mengejutkan dokter Kim yang tengah membereskan berkas-berkas pasien dari bangsal VIP.
"Nde, aku baru saja mau pulang!" jawabnya tersenyum cantik. Dokter Kim Seokjin, dokter yang merangkap sebagai dokter senior sekaligus pemilik dari Severance Hospital itu adalah salah satu dokter favorit sekaligus dokter mahal yang hanya bisa ditemui di bangsal VIP dan VVIP. "Kau sendiri, apa jadwalmu sudah selesai?" tanya Seokjin pada rekan kerjanya, dokter Lee Junghwan atau biasa dipanggil Sandeul dengan sapa akrabnya yang juga merangkap sebagai salah satu dokter terbaik di rumah sakit itu, salah satu dokter di bangsal VIP dan VVIP, dan salah satu dokter yang sangat mengagumi Seokjin diam-diam.
"Jadwal praktekku juga sudah selesai. Bagaimana jika kita pulang bersama?" tawarnya. Seokjin mengangguk menyetujui.
"Kalau begitu, kajja! Kita bisa pergi sekarang!" ajak Seokjin ia menentang tas kerjanya dan berjalan mendahului Sandeul yang tersenyum senang mendengar ajakannya diterima dengan senang hati.
Seokjin dan Sandeul berjalan beriringan tanpa ada pembicaraan diantara keduanya. Sesekali mereka tersenyum saat berpapasan dengan perawat ataupun dokter muda yang menyapa mereka berdua. Hingga langkah Sandeul tiba-tiba terhenti membuat kerutan di dahi Seokjin dan ikut menghentikan langkahnya.
"Ada apa?" tanya Seokjin saat mereka sudah hampir sampai di lobi rumah sakit. Sandeul tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Seokjin yang sepertinya tidak tahu dengan keadaan yang terjadi di depannya.
"Biarkan mereka lewat terlebih dahulu." Tutur Sandeul membuat Seokjin mengalihkan pandangannya pada apa yang membuat mereka harus mengalah di saat ia dan Sandeul sudah berdiri di tengah jalan seperti ini.
Wajah Seokjin memelas melihat pemandang dimana beberapa perawat yang mendorong ranjang pasien dengan dokternya yang berada di atas tubuh pasien yang sudah tidak sadarkan diri dan tengah berusaha keras untuk menekan jantung sang pasien dengan kedua tangannya yang bertumpu diatas dada, hingga tak memperdulikan jika jas putih kebanggaannya sudah berlumuran darah. Dan, yang membuat Seokjin terenyuh adalah karena dokter muda yang sedang berjuang keras menyelamatakan pasien di jam yang padahal sudah menunjukan pukul 2 dini hari adalah sosok adik kecilnya yang sekarang sudah merangkap sebagai sosok dewasa dan mandiri, Jeon Jungkook. Dokter muda yang selalu bekerja pagi hingga malam di UGD dan melakukan serangkaian operasi darurat pada pasien-pasien yang selalu datang tiba-tiba.
"Kau pasti bangga padanya." Lirih Sandeul meskipun dapat Seokjin dengar dengan jelas. Yap, siapa yang tidak tahu hubungan antara dokter senior Kim Seokjin dengan dokter muda Jeon Jungkook? Seluruh rumah sakit hingga pasien tetap tahu bahwa hubungan mereka berdua tidak seakrab layaknya hubungan antar sepupu pada umumnya. Sandeul menoleh kearah Seokjin yang terdiam dengan wajah datarnya menatap kemana ranjang pasien itu di dorong hingga ranjang itu benar-benar hilang dari pandangannya.
"Aku keluar dulu!" pamit Seokjin, ia berjalan mendahului Sandeul yang hanya terpaku menatap punggung ringkih milik Seokjin yang semakin menjauh darinya.
Seokjin berjalan keluar dengan rasa pening yang mendera kepalanya. Ia ingin sekali memeluk Jungkook mengatakan bahwa ia merindukan adik kecilnya. Bahwa ia merindukan tawa dan candanya. Ia merindukan segala hal kecil yang menyangkut mengenai salah satu adik kesayangannya. Tapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa mengingat kesalahan yang pernah ia lakukan tiga tahun yang lalu. Kesalahan yang sangat fatal. Kesalahan yang membuatnya ikut merasa menyesal. Kesalahan yang ikut merubah semua perilaku bahkan hidupnya. Kesalahan yang membuat semua kebencian satu sama lain menjadi semakin kuat seiring berjalannya waktu.
Deg!
Seokjin menghentikan langkahnya tiba-tiba. Jantungnya terasa berhenti berdetak saat melihat sosok pemuda yang muncul dihadapannya. Sosok pemuda yang tak pernah menyerah pada dirinya. Sosok pemuda yang masih mempertahankannya setelah penolakan yang selalu ia berikan. Sosok pemuda yang masih menerima semua yang ada pada dirinya, bahkan setelah kesalahan fatal yang ia lakukan tiga tahun yang lalu.
"Kau sudah pulang, hyung?" sapanya dengan nada bicara selembut mungkin. Seokjin menghela nafas berat.
"Aku sudah katakan padamu untuk jangan menemuiku lagi! Apa kau tuli?!" bentak Seokjin pada sosok yang dengan terpaksa masih merangkap menjadi kekasihnya hingga saat ini, Kim Namjoon.
"Aku tidak tuli, tapi aku tidak bisa untuk mengabaikanmu. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri!" balas Namjoon datar. Seokjin berdecak.
"Kau tidak bisa membohongi dirimu sendiri padaku, lalu bagaimana dengan Taehyung? Adik kandungmu. Bagaimana kabarnya?!" sindir Seokjin pedas sementara Namjoon hanya membalas dengan tatapan datarnya.
"Aku disini untuk menjemputmu bukan untuk membicarakannya!" ujar Namjoon menahan diri untuk tidak memaksa Seokjin dan menariknya agar bersedia ikut bersamanya.
"Kau bahkan tidak sudi untuk menyebut namanya!" seru Seokjin, Namjoon memejamkan kedua matanya ia tidak ingin bertengkar dengan Seokjin saat ini. Tapi, Namjoon tidak bisa untuk terus-menerus menjadi pihak yang mengalah dan pihak yang disalahkan. Ini bukan salahnya sepenuhnya.
"Bagaimana dengan adik-adikmu?!" serang Namjoon. "Berkacalah sebelum bicara, Kim Seokjin!"
"KAU—" tunjuk Seokjin geram. "Aku mohon padamu jangan ikut campur dalam urusanku. Ini urusan keluargaku, dan kau orang luar tidak berhak ikut campur!"
"Kau yang memulai!" sahut Namjoon, emosinya sudah memuncak. "Kau yang menyebut-nyebut Taehyung terlebih dahulu. Kau yang menyulut emosiku Kim Seokjin!"
"Pergilah! Aku tidak ingin bertemu denganmu!" usir Seokjin. Namjoon tak bergeming hingga tanpa mereka sadar Sandeul sudah berdiri di samping Seokjin. Seokjin yang merasakan kehadiran Sandeul pun tak membuang kesempatan untuk menjauh dari Namjoon.
"Sandeul-ah, bisakah kau antar aku pulang?" pinta Seokjin lembut. Sandeul yang kembali menjadi saksi pertengkaran sepasang kekasih itu pun hanya mengangguk kaku. Namun, baru saja mereka melangkah meninggalkan Namjoon yang sedari tadi hanya diam kini Namjoon mencekaram tangan Seokjin erat membuat Seokjin meringis karenanya.
"Lepaskan aku!" desis Seokjin tajam.
"Kau pulanglah!" ujar Namjoon pada Sandeul membuat Sandeul berada di posisi sulit saat ini. Seokjin yang menatapnya minta tolong dan Namjoon yang menatapnya memperingatkan.
"Aku pulang du—"
"ANDWAE!" potong Seokjin cepat membuat Sandeul mnegurungkan niatnya untuk beranjak meninggalkan Seokjin. "Lepaskan aku bodoh!" umpat Seokjin pada Namjoon, ia mencoba untuk melepaskan pegangannya pada Namjoon meskipun berakhir sia-sia.
"Kau tidak boleh pergi dengan pria lain!" desis Namjoon dingin.
"Kau tidak berhak mengaturku!" tolak Seokjin memberontak.
"Aku berhak!" seru Namjoon tak ingin dibantah.
"Kau ti—"
"AKU KEKASIHMU KIM SEOKJIN!" potong Namjoon tak bisa lagi menahan dirinya. Seokjin terdiam, ia menunduk.
"Aku ingin putus!" dan percayalah tiga kata ini sudah Namjoon dengar hampir setiap hari kala ia dan Seokjin bertemu. Seokjin yang mulai tenang pasti akan melontarkan tiga kata itu pada Namjoon.
"Aku tidak akan memutuskanmu!" dan empat kata ini pula yang selalu Seokjin dengar selama tiga tahun terakhir ini. Seokjin yang bersikeras agar Namjoon memutuskannya dan Namjoon yang bersikeras utnuk mempertahankan hubungannya.
TBC
Next?
