Disclaimer: Shingeki no Kyojin belongs to Hajime Isayama. I take nothing except pleasure from making this fic.

Note: headcanon, based after chapter 84. Segala kesamaan kalimat, ide, dan plot hanya kebetulan semata. Terima kasih dan selamat membaca!


I Believe


Tangan itu dekat, lebar, dan pasti hangat.

Hanji membuang pikiran sentimentalnya sedetik tadi. Erwin sudah mati, pasukan pengintai yang masih tersisa bisa dihitung dengan jari, tapi kenapa—kenapa, kenapa—dia sampai punya keinginan menggenggam tangan Levi di sampingnya, yang sekarang tampak merenung, tercenung, dan sedikit bingung?

Pasti karena dia ingin meyakinkan bahwa Levi bukan ilusi. Atau paling tidak, menyadarkan diri bahwa dunia ini nyata dan dia tidak bermimpi.

Mereka masih hidup.

Hanji ikut terpaku. Malas rasanya bergerak, apa lagi melahirkan spekulasi. Berat rasanya pergi dan berperang lagi. Dia ingin di sini, di atas atap berteman bintang dan kopi, mungkin dengan Levi dan tanpa mayat-mayat rekan seperjuangannya. Dia akan menceritakan kisah legenda, Levi akan terus berkata bahwa kacamata busuk itu akan pecah kalau Hanji tidak diam. Dari bawah, Erwin melambaikan tangan pulang ke rumahnya. Mike dan Nanaba berbalas sapa. Ada Eren dan Mikasa yang akhirnya jalan berdua, diiringi Armin yang mengoceh entah apa pada Annie. Dari bangunan seberang, Farlan dan Isabel memanggil mereka berdua lalu tertawa bersama.

Mereka masih hidup. Tapi dunia juga masih mengekang mereka untuk berkumpul dengan orang-orang tercinta.

Levi tiba-tiba menyentil dahinya. "Berhenti menatap Erwin seperti itu. Jangan buat dia terbebani."

Hanji meringis karena rasanya lebih baik daripada menangis. Dia tidak protes. Karenanya, mata Hanji sekarang mengubah fokus pada Levi, yang jelas kehilangan lebih banyak orang berharga. Sekonyong-konyong dia bertanya, "Levi, apa kau percaya Tuhan?"

Hanji menemukan lelaki itu merenung lagi. Ah, matanya kosong menerawang, mungkin berusaha mencongkel jawaban dari genting, siapa tahu?

"Ya."

Suatu kejutan. "Kenapa—maksudku, di mana Dia? Aku tidak pernah melihatnya."

"Kau tak perlu melihat untuk tahu angin itu nyata, dasar idiot."

Hanji mengedipkan mata. "Tapi ..."

"Kadang apa yang kau rasakan lebih bisa dipercaya ketimbang apa yang bisa kau lihat."

Ah...

Perlu beberapa detik untuk Hanji menyadari Levi menatap langit sekarang. Perlu beberapa detik untuknya mencerna keadaan lalu mengangguk pelan.

Mungkin mereka terlalu lelah. Mungkin Hanji masih merasa berkunang-kunang karena menggunakan satu mata. Levi tidak bisa mengatainya mata empat sekarang. Beberapa hal tidak pernah tetap konstan kecuali fakta bahwa Levi benar. Kecuali fakta bahwa Hanji percaya pada akhirnya. Kecuali fakta bahwa mereka hidup.

Dan mereka bersama.

Hanji mungkin harus menahan diri untuk menggenggam tangan itu. Tapi dia berkata tenang saat Levi membalas tatapannya, "Kau tahu?Aku percaya. Dan karenanya aku meminta untuk terus hidup mewakili mereka yang meninggalkanmu. Kau masih punya aku, Levi."

Kau masih punya aku.

Maka, jangan pernah menyerah, ya.