Naruto belongs Masashi Kishimoto.

Drabble. Soon to be anthology.

...

Thick Bundle

by daffodila

One: Shooting Star

...

Ada sebuah jemari yang menunjuk ke langit untuk menandai adanya sebuah bintang yang melesat jatuh. Mata beriris hijaunya memantulkan apa yang menghiasi langit malam saat ini. Kepalan tangan gadis itu mengerat, membuat kusut kain yang melapisi lengan Sasuke yang berada di dalamnya.

"Apa?" tanya Sasuke, mengikuti direksi jemari Sakura.

Sakura menoleh, kemudian tersenyum. "Ada bintang jatuh, ayo buat permohonan!"

Mata Sasuke membeliak. Ia masih kekanakan. Sekarang atau saat berumur dua belas, jiwa gadis itu masih sama. Yang diharapkan berbeda adalah jiwa lelaki yang berada di sampingnya.

Sasuke menarik napas panjang. Jika ia mengeluhkan sikap Sakura yang masih sama saja, maka ia tidak boleh berperilaku seperti apa yang ia keluhkan sendiri. Ia harus berubah. Jika jiwa berumur dua belasnya masih di sini, ia akan dengan mudahnya menjawab tidak. Namun, kali ini—

"Aa," gumamnya. Mata yang terpejam erat serta bibir yang terbuka tertutup seperti sedang berbisik mengikuti. Ia membuat sebuah permohonan seperti apa yang Sakura minta.

Sakura melepaskan senyumnya. Ia mengikuti apa yang Sasuke lakukan saat ini. Sasuke membuka matanya terlebih dahulu sebelum Sakura selesai.

"Apa permohonanmu?" tanya Sasuke setelah melihat sebegitu sungguhnya Sakura ketika membuat permohonan, meski tak diucap dengan lisannya.

Sakura tersentak. Ia menimbang-nimbang akan menjawab atau tidak. Dari tatapan menunggu yang Sasuke berikan, ia sepertinya tak bisa mengatakan tidak. Ia menggaruk tengkuknya canggung dan memamerkan deretan giginya. "Aku ingin Sasuke-kun bahagia."

Sasuke bergeming. Ia tak menyangka permohonan yang gadis itu minta bukanlah untuk dirinya sendiri. Salah satu sudut bibirnya terangkat. "Kalau kau bahagia, aku juga sama."

Kedua mata Sakura melebar. Ia memegang kedua pipinya yang memanas. "Jadi, kau mencintaiku kan? Ayo katakan!" kekehnya. Sasuke hanya pernah mengatakan itu satu kali, karena itu Sakura merasa perlu untuk menanyakannya lagi.

Sasuke mengerang. "Jangan paksa aku mengatakannya."

"Oh?" Sakura menarik kain yang melapisi lengan Sasuke. "Aku memaksa!"

Sasuke memutar kedua bola matanya. Ia memalingkan wajah dari Sakura. "Tch. Kau benar-benar mengganggu."

"Hmph. Aku masih menunggu."

Sasuke masih bergeming. Lidahnya kelu jika harus mengatakannya lagi. Itu memang apa yang dirasakannya tentang Sakura, tapi ia tak begitu suka mengutarakannya dengan lisan. Lisan itu bisa saja palsu, meski apa yang seharusnya meluncur dari bibirnya bukanlah sesuatu yang palsu.

"Sasuke-kun!"

"Hei, Sasuke-kun!"

"Sasukeeeee-kun!"

"Sakura."

Sakura menghentikan tarikan tangannya pada kain yang melapisi lengan Sasuke. Tiba-tiba tempo dari degupan jantungnya menjadi semakin cepat. "Hm?"

"Berisik."

Sakura nyaris saja membiarkan kepalan tangan yang menggenggam pakaian Sasuke meluncur melukai lelaki itu, jika saja tubuh Sasuke tak merengkuhnya erat. Ia menempelkan ujung dagunya pada pundak Sakura dan mengecup lekukan lehernya.

Sakura secara otomatis menahan napasnya. Ia merasakan Sasuke menyeringai di atas permukaan kulit lehernya. Tubuhnya mendadak kaku, meski ia ingin menggeliat geli karena sahutan napas Sasuke di cerukan lehernya. Ia merasakan embusan napas itu semakin naik ke atas, hingga ke daun telinganya.

"Diamlah." Sasuke berbisik. "Aku mencintaimu, Sakura." Ia mengucapkannya dengan sepenuh hati. Sakura semakin bergeming. Jika ia adalah coklat, ia pasti sudah sama rata dengan tanah, meleleh.

Jiwa Sasuke yang ini dan yang berumur dua belas memang masih sama, tapi, memiliki sikap yang berbeda.