Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto

*Not own anything of Naruto.

*This story is originally made by me.

A Little Secret

Written by Shady (DeShadyLady)

Chapter 1 - Meeting (Pertemuan)


A failed past, will affect the future.

But, will something failed in the past will fail in the future, too?

Kegagalan masa lalu, dapat berpengaruh pada masa depan.

Tapi, akankah sesuatu yang gagal di masa lalu juga akan gagal di masa depan?


Prolog

Sore ini seperti sore lain pada biasanya. Angin bertiup sepoi-sepoi, menghantam wajah seorang wanita paruh baya. Kerutan semakin tampak pada wajah wanita itu, menandakan ia telah melewati banyak asam garam kehidupan ini. Ia duduk diam memandangi pemandangan matahari terbenam dari belakang rumahnya. Tampak seorang remaja laki-laki menghampiri wanita tersebut.

"Mama, aku dan kakak akan pergi berlatih sebentar." ucap remaja laki-laki itu.

"Ya, pergilah. Hati-hati. Kembalilah sebelum makan malam." balas wanita itu.

"Hn." Remaja laki-laki itu menunduk mengerti.

'Syuut' remaja laki-laki itu menghilang dari hadapan wanita yang ia panggil mama.

Wanita itu kembali memandangi langit senja berwarna jingga kekuningan itu. Tidak lama setelah matahari terbenam, langit mulai berubah warna menjadi biru kehitaman. Wanita itu masuk kembali ke dalam rumah yang sudah ia tempati selama belasan tahun itu bersama kedua anaknya itu.

Ia berjalan memasuki rumahnya, menatap salah satu foto yang ada di dinding rumah itu.

"Itachi, apakah kamu lihat? Anak kita sudah besar. Aku harap kamu selalu melindungi mereka berdua dari atas sana." gumam wanita itu pada foto yang ia pandang. Lalu ia tersenyum hangat memandang foto itu.

Kemudian wanita itu berjalan ke ruangan dapur dan mulai memasak. Ia hanya tersenyum dan terus tersenyum, ia memasakkan makanan kesukaan kedua anaknya itu.


POV: Normal

"Hei, Borutooooo!" teriak seorang gadis berkacamata.

"Gawat, aku harus bersembunyi." gumam seorang anak laki-laki berambut kuning dan ketakutan itu. Ia kemudian berlari sekencang mungkin.

"Jangan kabur, Boruto!" teriak gadis itu lagi.

"Aaaaaaaaa, lariiiii!"teriak Boruto sambil lari terbirit-birit.

"Hei, Boruto, Sarada, hentikan!" teriak pria dewasa yang memakai seragam jounin, ia adalah guru dari kedua bocah itu, Konohamaru.

"Tidak, Konohamaru-sensei! Boruto itu sudah menyiram bukuku tadi! Ini buku kesayanganku." ucap Sarada tidak terima. Ia menunjukkan bukunya yang basah karena ulah Boruto.

"Ia tidak sengaja kan?" ucap Konohamaru.

"Tentu saja ia sengaja, ia mengerjaiku! Dia dengan jahil mendorong minumannya, sewaktu aku sedang duduk membaca di depannya. Chouchou, Inojin, dan Shikadai juga melihatnya tadi."

"Hm.. begitu ya. Maafkan saja dia Sarada, minta ia ganti dengan yang baru."

"Huh, aku tidak bisa terima." ucap Sarada sambil menunjukkan wajah cemberutnya.

"Ya sudah, lepaskan dia untuk sekarang. Lebih baik pulang ke rumah, Sarada. Matahari sudah terbenam, mamamu pasti mengkhawatirkanmu." balas Konohamaru dengan senyum.

"Ya, baiklah sensei. Jaa ne." jawab Sarada menuruti gurunya itu.

"Jaa ne." balas Konohamaru tersenyum dan melambaikan tangannya.

Sarada berbalik badan, ia berjalan menuju rumahnya. Tidak lama berjalan, Sarada tiba di rumahnya. Ia membuka pintu rumah dan masuk ke dalam.

"Tadaima." ucap Sarada sambil melepaskan alas kakinya.

"Okaeri, Sarada." jawab seorang wanita yang sedang menyapu lantai rumahnya.

"Mama, laki-laki itu selalu bodoh ya." ucap Sarada dengan wajah murungnya.

"Hn? Ada apa, Sarada?" tanya seorang pria berbadan tegap yang muncul dari belakang.

"Boruto, menyiram bukuku tadi, dengan sengaja." jawab Sarada dengan ekpresi kesal. Kemudian ia menunjukkan bukunya yang basah kepada ayah yang sangat disayanginya itu. Ini terkesan sedikit mengadu. Tapi biarlah, pikirnya, ia tidak pernah manja seperti ini sebelumnya kepada ayahnya.

"Apa? Dia berani seperti itu padamu?" ucap pria itu dengan penuh emosi.

"Aku akan buat perhitungan dengan si Usuratonkachi." sambung pria itu lagi sambil mengambil jubah hitam yang tergantung di samping rak sepatu itu.

"Anata, jangan emosi begitu." ucap wanita tadi sambil menahan pria itu dengan tangannya.

"Tidak bisa kubiarkan, Sakura. Apa-apaan si Boruto itu. Kau tahu Sarada itu kesayanganku, aku tidak peduli meski Boruto itu muridku atau posisi dobe yang sebagai hokage sekarang. Apa si Hinata juga tidak mengajari anaknya untuk bersikap baik pada temannya sendiri?" omel pria itu lagi, ya memang tidak biasanya pria itu berbicara sepanjang ini. Sarada sedikit terkejut melihat ayahnya yang sedang mengomel itu.

"Sabar, Sasuke-kun. Jangan bertindak saat emosi begini. Lagipula hari sudah malam, Sarada juga pasti lapar." ucap Sakura.

"Tapi, lihatlah Sarada. Buku itu sangat berharga untuknya." balas Sasuke, kali ini dengan nada yang sedikit melembut sekarang.

"Ya aku tahu, kita akan jumpai Boruto sialan itu besok pagi, ya?" ucap Sakura mencairkan suasana penuh amarah itu.

"Huh, baiklah. Lihat saja dia besok." jawab Sasuke mengalah.

"Ayo, kita makan dulu yah, Sarada sayang, Anata?" ucap Sakura sambil menatap anak dan suaminya itu bergantian.

"Iya, ma. Papa jangan emosi lagi ya, Sarada baik-baik saja." jawab putri semata wayang mereka itu.

"Hn." jawab Sasuke sambil menghela nafas panjang.

Setelah selesai berdebat, keluarga ini berjalan ke ruang makan dan menyantap makan malam bersama.


POV: Normal

"Katon, Goukakyuu no Jutsu!" ucap seorang remaja laki-laki. Bola api disemburkan keluar dari mulutnya.

Ia sedang berlatih di samping sebuah sungai yang dekat dengan rumahnya.

"Shuichi, ayo pulang, ibu pasti mengkhawatirkan kita." panggil seorang laki-laki yang perawakannya tidak jauh berbeda dengan remaja laki-laki tadi. Hanya saja remaja laki-laki ini punya mata onyx yang tajam dan garis tegas di bagian bawah matanya, hingga ke samping hidung. Rambutnya hitam cepak, sedikit berantakan tapi tetap tampan. Sedangkan remaja laki-laki yang sedang berlatih tadi memiliki mata onyx yang sama persis dengan kakak yang memanggilnya itu. Rambut hitam yang belakangnya terlihat cepak, dilengkapi poni yang terkesan mengarah ke samping kiri tapi tidak menutupi wajah tampannya, serta garis di wajahnya yang terkesan samar. Benar-benar bagaikan pinang dibelah dua, hanya garis di wajah dan model rambut yang dapat membedakan mereka berdua.

"Ya, nii-san. Sebentar lagi." ucap si adik yang tadinya berlatih.

"Ayo, jangan menunda lagi." balas sang kakak dengan tegas.

'Syuut' laki-laki remaja itu menghilang dari hadapan adiknya.

'Syuut' adik laki-laki itu menyusulnya.

"Tadaima." ucap si kakak yang lebih dulu tiba dan memasuki rumah.

"Tadaima." sambung si adik.

"Okaeri, Ryouichi, Shuichi. Ayo, makan dulu selagi hangat." ucap sang ibu yang sudah menyiapkan makan malam untuk kedua putra yang sangat ia sayangi itu.

Rumah yang mereka tempati tidak terlalu besar, sehingga dari arah pintu masuk tampak meja makan yang terletak dekat dengan dapur rumah tersebut.

"Wah, nasi kare ya?" ucap Ryouichi sambil berjalan menuju meja makan.

"Hn, sepertinya, wangi sekali." sambung Shuichi yang berjalan di belakang kakaknya itu.

"Ayo, segera dimakan, kalian pasti lelah karena berlatih seharian." ucap sang ibu.

"Ya, itadakimasu." ucap kedua bersaudara itu bersamaan.

"Itadakimasu." balas sang ibu.

Wanita itu tersenyum melihat kedua putra kembarnya yang kini sudah mulai beranjak dewasa, mereka berdua akan berumur 17 tahun seminggu lagi. Mereka berdua menyantap masakan ibunya sambil mengangguk-anggukan kepala, masakan ibu mereka memang selalu cocok di lidah kedua anak itu.

"Ryouichi, Shuichi, besok temani mama belanja ya? Bahan makanan sudah mau habis."ucap ibu kedua anak itu.

"Baiklah, jam berapa ma?" balas Ryouichi.

"Mungkin siang hari, habis makan siang."

'Uhuk-uhuk' terdengar suara batuk dari Shuichi.

"Shuichi, apa kamu sakit nak?" tanya sang ibu dengan perhatian dan wajah cemas.

"Hn, tidak apa-apa, mama. Aku istirahat saja, besok juga sembuh." jawab Shuichi.

"Baiklah, mama akan menyiapkan jahe hangat untukmu besok pagi."

"Hn."

"Shuichi, jangan 'hn' seperti itu saat bicara kepada mama, tidak sopan tau." tegur Ryouichi pada Shuichi.

"Hn."

"Sudahlah, tidak apa-apa, Ryouichi. Shuichi itu sangat sayang kepada mama kok, meski ia begitu. Benar begitu 'kan Shuichi?" jelas sang ibu.

"Hn. Aku selesai, aku istirahat dulu ya, Ma, nii-san." jawab Shuichi.

"Ya, oyasumi nasai. Istirahatlah." sahut Ryouichi.

"Oyasumi nasai." lanjut wanita yang mereka panggil 'mama' itu.

"Oyasumi nasai." balas Shuichi.


POV: Normal

Pagi ini matahari bersinar cerah, semua masyarakat di Konoha mengerjakan kegiatan mereka masing-masing. Ada yang berbelanja, ada yang sedang jogging, bahkan para shinobi juga sudah mulai melaksanakan misi yang mereka terima dari sang hokage.

Saat ini jabatan hokage sudah memasuki generasi ketujuh, dan yang menjabat adalah Uzumaki Naruto, sang pahlawan yang sudah menyelamatkan banyak nyawa. Pria bertubuh tegap dan berambut kuning cepak itu sedang berada di kantor hokage. Cup bekas ramen instan serta beberapa minuman kaleng yang sudah kosong terletak di mejanya. Lagi-lagi sang hokage ketujuh, nanadaime, tertidur di ruang kerjanya.

'Clek' suara pintu ruangan hokage itu terbuka.

"Haaah, dasar Naruto. Sudah ku bilang pulang dan istirahat saja, masih tidak mau dengar." ucap seorang pria dengan rambut ikat satu ke belakang yang menyerupai buah nanas.

"Sudahlah, Shikamaru. Kau tahu Naruto itu, dia selalu bertanggung jawab. Aku yakin ia juga kecapaian karena chakra-nya juga terkuras membuat begitu banyak bunshin untuk membantu penduduk desa. Ia juga kelihatannya tidak memakai chakra Kurama. Belum lagi ia harus lembur mengerjakan seluruh pekerjaan kertas-kertas seperti ini."ucap seorang pria berambut putih abu-abu yang tiba-tiba muncul. Ia menatap seluruh kertas yang berada di ruang kerja hokage itu.

"Hm, ya aku mengerti, Kakashi-sensei. Tapi harusnya ia juga memikirkan kesehatannya. Ini sudah melewati batas." balas Shikamaru.

"Haha, ia memang keras kepala. Akan aku panggil Hinata kesini untuk memanggilnya pulang." ucap Kakashi yang tidak tahan lagi melihat kelakuan Naruto yang lembur selama sebulan ini. Ia bermaksud memanggil Hinata, istri Naruto. Mungkin wanita itu dapat membujuk suaminya, batin Kakashi.

"Heh? Apa itu tidak merepotkan?" tanya Shikamaru dengan malas.

"Hm, mengingat kau adalah penasehatnya, kau saja yang panggilkan Hinata?"

"Tidak mau, merepotkan saja. Naruto bukan anak kecil."

"Ya, memang bukan. Hanya pria dewasa yang kelelahan memikul tanggung jawab. Sudahlah, aku akan panggil Hinata."

"Ya, ya, pergilah. Kalau bisa cepatlah."

Kakashi berjalan pergi dari Shikamaru sambil melambaikan tangannya. Kakashi yang merupakan mantan hokage, sangat mengerti beratnya pekerjaan seorang hokage. Naruto bahkan sudah hampir sebulan ini tidak pulang ke rumah. Kakashi hanya dapat menggelengkan kepalanya. Ia mempercepat langkahnya menuju kediaman Naruto dan Hinata.

- Sementara itu, di kediaman Naruto dan Hinata..

'Ting tong ting tong' terdengar suara bel pintu depan.

"Ya, sebentar." ucap Hinata dari dalam rumah.

Hinata segera membukakan pintu depan rumahnya.

"Konnichiwa, Hinata." ucap Sakura sambil tersenyum.

"Konnichiwa, Hinata-basan." sambung Sarada.

Kedua wanita Uchiha itu menyapa si tuan rumah, sedangkan Sasuke hanya diam dengan tatapan datarnya itu sambil menatap Hinata.

"Ah, Konnichiwa, Sakura. Silahkan masuk, Sakura, Sasuke, dan Sarada." jawab Hinata, mempersilahkan keluarga Uchiha itu masuk ke dalam rumahnya. Ayah dan anak itu diam saja dan masuk ke dalam rumah hokage ketujuh itu, sedangkan Sakura tersenyum pada Hinata.

"Wah, Konnichiwa ji-san, ba-san, dan Sarada-neechan!" seru Himawari, adik Boruto, anak kedua Naruto dan Hinata.

Sasuke dan Sakura menatap putri kecil Naruto dan Hinata itu dengan senyuman.

Sasuke menatap Himawari sejenak, batinnya mulai berbicara sendiri, bisa juga si dobe membuat anak selucu ini. Dobe itu bahkan mewariskan garis di wajahnya yang membuatnya tampak menggemaskan dengan senyumnya. Tapi tentu saja, Saradaku lebih menggemaskan, hahaha, batin Sasuke. Ia terkekeh kecil setelah berpikir seperti itu, ia pasti akan gila jika terus membanding-bandingkan kedua putri mereka. Ya, persaingan antara ia dan Usuratonkachi itu memang tidak ada habisnya.

"Konnichiwa, Himawari." balas Sarada dan tersenyum pada Himawari. Sapaanya dibalas senyum manis oleh Himawari.

"Kaa-san, Hima mau mandi dulu ya."ucap Himawari sambil berjalan ke kamar mandi.

"Ya, mandilah." jawab Hinata kepada Himawari.

"Mana si dobe?" tanya Sasuke tanpa basa basi.

"Eh, itu.. Kurasa dia masih di kantor hokage." jawab Hinata dengan senyum yang terkesan sedih.

"Hn? Baiklah, aku ke-" ucapan Sasuke tersela.

'Ting tong'suara bel terdengar lagi.

"Wah, sepertinya hari ini banyak tamu ya. Sebentar ya, Sakura, Sasuke." ucap Hinata.

Hinata segera berjalan ke arah pintu dan segera membukanya.

"Konnichiwa, Kakashi-sensei." sapa Hinata kepada pria di depan pintunya itu.

"Eh, ya, konnichiwa, Hinata. Aku kesini karena Naruto. Dia tertidur lagi dan sepertinya sangat kecapaian. Bujuklah suamimu itu agar mau pulang, Hinata." ucap Kakashi terus terang.

"Ba-baiklah. Maaf, Naruto malah merepotkan." jawab Hinata sambil menunduk hormat, ia tak menyangka suaminya itu bekerja hingga kelelahan seperti itu.

"Kau tidak perlu minta maaf seperti itu, Naruto yang keras kepala." tutur Kakashi berusaha memenangkan Hinata yang terlihat mulai khawatir itu.

"Eh? Sasuke? Sakura? Wah, bahkan ada.. siapa namanya? Aku lupa, hehe." sambung Kakashi yang terlihat sedikit terkejut karena melihat keluarga lengkap Uchiha itu mengunjungi rumah Naruto pagi-pagi.

"Sarada." jawab Sasuke sambil menatap gurunya dengan datar.

"Oh iya, si manis Sarada. Um, Hinata, boleh aku masuk?"ucap Kakashi.

"Ah iya, Silahkan masuk, sensei. Kalian dapat duduk dan berbincang di ruang tamu sebentar. Dan jangan sungkan untuk minum ocha yang ada di atas meja. Aku akan segera membangunkan Boruto."

Mereka berempat kemudian membuka alas kaki dan masuk ke dalam ruang tamu rumah keluarga Uzumaki itu. Dan, sebelum sempat duduk..

"Ah, Kakashi-sensei! Aku sungguh merindukanmu!"ucap Sakura sambil tersenyum manis dan berjalan mendekat pada Kakashi.

"EHEM!" Sasuke berdeham keras.

"Hei, Sakura. Jangan buat aku dibunuh suamimu." ucap Kakashi menjauh dari Sakura. Ia paham betul sifat Sasuke yang sangat protektif itu.

"Oh, dia. Ah, kamu tidak cemburu kan, anata? Aku 'kan hanya menyapa sensei kita yang baik hati ini." tanya Sakura sambil menggoda Sasuke, ia sengaja memancing amarah pria itu.

Sasuke diam dan hanya menatap tajam Sakura.

"Papa, mama. Ini rumah orang lain." Sarada angkat bicara.

"Hahaha, oh lihatlah, siapa yang merupakan orang dewasa sekarang." ucap Kakashi sambil memandang kedua muridnya itu bergantian.

"Konnichiwa, Kakashi-jisan."sapa Sarada.

"Konnichiwa, Sarada. Semakin besar semakin mirip sekali dengan Sasuke. Benar-benar anakmu, Sasuke."Kakashi membalas sapaan Sarada kemudian menggoda Sasuke.

"Tentu saja, emang kau kira anak siapa, hah? Anakmu?" ucap Sasuke sambil menatap tajam Kakashi.

"Hei, sudah lama tak bertemu kau masih saja sama ya. Sama kurang ajarnya. Lagipula kalau ia anakku, kurasa Sarada akan lebih senang punya papa sepertiku." ucap Kakasih memberi tatapan malas kepada muridnya itu.

"Apa kau bilang?" Sasuke mulai emosi.

Sakura hanya tersenyum geli melihat tingkah suaminya itu. Ia kemudian menuntun suaminya yang sedang emosi itu untuk duduk di sofa ruang tamu. Sarada juga terlihat mengikuti mama dan papanya. Kakashi duduk di sofa samping Sarada, ia mendekat ke Sarada, berbisik ke telinganya.

"Sarada, jangan terikut sifat ayahmu yang tsundere itu ya." bisik Kakashi di telinga Sarada.

"Aku bisa dengar, sensei. Hentikan ini atau akan kupastikan kau benar-benar tidak bisa punya anak." ucap Sasuke yang masih dengan setia menatap tajam Kakashi. Ia mengancamnya sekarang.

"Hihihi, wah, ternyata papa dan ji-san dekat juga ya. Apa dulu papa nakal, ji-san?" ucap Sarada sambil tertawa kecil, sedikit geli melihat sikap papanya itu.

Mendapat pertanyaan seperti itu, Kakashi malah bingung mau menjawab apa. Tidak mungkin ia memberitahu Sarada kalau papanya itu berambisi membunuh kakaknya sendiri, dingin, dan selalu tidak peduli pada sekitarnya. Tidak lama setelah itu, papanya menjadi missing-nin, menjadi buronan. Bahkan dibentuk tim khusus untuk mengejar papanya itu. Mamanya selalu ingin membantu papanya itu untuk keluar dari kegelapan, selalu setia mencintai pria brengsek tanpa kepastian seperti papanya. Pada akhir perang shinobi keempat pun, Sasuke masih bersikeras dengan revolusi dan tidak mau menoleh sedikit pun pada Sakura. Ah, sudahlah, semua sudah masa lalu, saat ini Sasuke sudah banyak berubah, dan juga mungkin kehadiran Sakura dan Sarada merubahnya menjadi Sasuke yang sedikit lebih lembut, meski mulutnya tetap tidak lembut, batin Kakashi.

"Hm.. Bagaimana ya? Papamu itu jenius, keturunan Uchiha semua pintar. Termasuk dirimu. Kemudian ia tidak terlalu peduli pada lingkungan sekitarnya. Dan kemudian… kau bisa tanya sendiri pada papamu 'kan, nak?" ucap Kakashi berusaha menjelasakan, ia harap ia tidak salah menjawab pertanyaan anak ini.

"Tapi, setiap kali aku bertanya, papa pasti akan bilang bahwa dia adalah shinobi terkuat hingga saat ini." jawab Sarada sambil memandang malas Sasuke.

"Oh, betulkah Sasuke? Hahaha." tawa Kakashi menggema di ruang tamu itu.

Pertanyaan Kakashi hanya mendapat jawaban tatapan mematikan dari Sasuke.

"Tapi, ucapan papamu itu ada benarnya, nak. Hanya papamu yang dapat menandingi Naruto, Nanadaime." sambung Kakashi.

"Be-benarkah? Papa sekuat itu?" tanya Sarada tidak percaya.

Seringaian tipis tampak pada bibir Sasuke. Sangat tipis sekali, mungkin hanya Sakura yang dapat menangkap senyum tipis suaminya itu.

"Ya. Kurasa kau sudah lihat 'kan aksinya saat ia melawan dua manusia aneh yang memasuki Konoha beberapa waktu lalu saat ujian Chuunin berlangsung? Aku melihat foto kelima kage beserta papamu dan Naruto, oh ada juga si Boruto tergantung di ruang kerja Naruto."

"Oh itu, iya iya. Papa memang kuat sih, hm.." jawab Sarada sambil mulai memutar ulang memori ia melihat kekuatan papanya dan nanadaime saat melindunginya dan Boruto waktu itu.

"Oh ya, ngomong-ngomong soal Naruto. Hinata, apakah kita akan berangkat sekarang?" tanya Kakashi sedikit berteriak, berharap Hinata mendengarnya.

"Kenapa lagi si dobe?" akhirnya Sasuke angkat bicara.

"Dia kelelahan. Tertidur di kantor hokage, ini sudah hari ke tiga puluh ia begini." jawab Kakashi.

"Cih, sudah tua masih saja cari perhatian." balas Sasuke dengan ekspresi malas.

"Heh? Memangnya kau ti-" ucap Sakura yang langsung ditutup mulutnya oleh tangan besar Sasuke. Wajah Sasuke mulai memerah. Oh bersiaplah Sakura, mungkin Sasuke akan 'menghukummu' saat pulang nanti.

"Hahaha, kalian berdua memang lucu sekali. Bahagia sekali ya papa mama mu, Sarada." ucap Kakashi, ia tidak dapat menahan tawanya lagi.

"Hn, asal ji-san tahu, mereka seperti anak kecil jika dirumah." ucap Sarada sambil mengangkat kedua bahunya.

"Sarada!" teriak Sasuke dan Sakura bersamaan.

"Hahaha, hahaha. Sudah, kalian mau ikut bertemu Naruto tidak? Bujuklah dia untuk pulang. Hm, jika Hinata tidak bisa, mungkin kau bisa, Sasuke?" tanya Kakashi.

"Kau membuatku terdengar seperti seorang gay. Aku tahu kau mengkhawatirkan Naruto, sensei. Tapi lebih baik urus saja dirimu sendiri, cepat cari istri dan menikahlah, lalu lahirkan anak yang banyak." jawab Sasuke panjang lebar.

"Hahaha, kau kan sahabatnya. Ya kan, teme? Eh, tiba-tiba kau perhatian dengan hidupku?"

"Sekarang kau terdengar sepertisi dobe itu. Hanya saran jika kau tidak ingin menua sendirian. Kau tahu apa maksudku."

Tidak lama kemudian, muncul Hinata yang baru saja turun dari lantai 2.

"Maaf lama, sensei. Boruto tidak mau bangun." ucap Hinata.

Tampak Boruto bersembunyi di belakang ibunya. Boruto sungguh takut, ia takut pada Sasuke, ayah Sarada itu yang sekaligus adalah sensei-nya. Sungguh ia tidak bermaksud menumpahkan air ke buku Sarada kemarin. Tapi, jika dipikir-pikir, itu memang ulah jahil Boruto. Ia kesal karena ucapannya tidak dibalas Sarada yang sedang membaca saat itu.

"Boruto, tidak perlu sembunyi. Laki-laki harus menanggung perbuatannya dengan jantan." ucap Sasuke dengan tegas.

"Ma-maafkan aku, sensei, Sakura-basan, Sarada. A-aku benar-benar tidak bermaksud menumpahkan air ke buku Sarada kemarin." ucap Boruto terbata-bata, saat ini ia benar-benar terdengar seperti Hinata saat kecil.

"Apa? Kamu merusak buku Sarada? Jawab kaa-san dengan jujur." tanya Hinata, kini ia benar-benar terkejut. Ia menatap anak laki-lakinya itu dengan senyum yang dibuat-buat, Boruto sendiri langsung takut melihat senyum ibunya itu.

"Ma-maaf, kaa-san. Aku benar-benar tidak sengaja. Maaf, maaf, aku jahil. Sarada tidak menjawab saat aku berbicara dengannya. Ia asik dengan bukunya itu." jawab Boruto jujur sambil menundukkan kepalanya.

"Jahil? Oh, akui saja perbuatanmu itu disengaja, Boruto! Jika Sarada tidak menjawab, apa tidak bisa dengan memanggilnya lagi? Haruskah menyiram bukunya?" ucap Sakura dengan lancar, hampir tidak ada titik-koma dalam ucapannya.

"Sarada, kau juga tidak boleh mengacuhkan temanmu, itu tidak baik, kau tahu? Kau bisa membaca di rumah 'kan?" sambung Sakura lagi, kali ini ia menegur Sarada.

Kini Sarada juga diam dan tertunduk. Sasuke hanya bisa diam dan mendengar, ia tidak mau membela anaknya. Karena menurutnya, mamanya itu lebih berhak mengatur anaknya ketimbang ia yang menganggap dirinya tidak pantas menjadi ayah Sarada karena sudah meninggalkannya selama bertahun-tahun lamanya.

"Hei, hei. Lanjutkan nanti di depan Naruto. Aku yakin dia juga ingin tahu bahwa anaknya membutuhkan perhatiannya." ucap Kakashi sambil berjalan keluar rumah.

"Dasar, Usuratonkachi. Sudah tua, masih saja manja." gumam Sasuke

"heh? Bukankah kamu lebih manja ya, Anata?" bisik Sakura pada Sasuke, seketika amarahnya hilang karena ingin menggoda suaminya itu.

"Tidak disini, Sakura. Atau akan ku 'hukum' kau pulang nanti." jawab Sasuke sambil memberi senyum mematikannya pada Sakura. Oh harus Sakura akui, ia sungguh mengerti apa arti senyuman suaminya itu.

"Ti-tidak! Aku lelah hari ini. Semalam aku bergadang mengerjakan salah satu jurnal penelitian kesehatan." ucap Sakura cepat.

Sasuke menatap istrinya itu dengan seringaian kemenangan. Ya, dia memang selalu bisa membuat mulut jahil Sakura diam dengan ancamannya, yang tentu saja tidak serius. Mana mungkin ia tega memaksa istri yang begitu ia cintai untuk melakukan keinginan butanya semata.

"Ayo, cepat. Kita bangunkan si dobe itu." ucap Sasuke mengajak.

"Kau bersemangat sekali?" tanya Kakashi heran.

"Tentu, aku ingin menghajar si dobe itu." jawab Sasuke ketus.

"Haaa, terserahlah. Kalian berdua selalu seperti kucing dan anjing ya, tak pernah dewasa." tutur Kakashi.

'Syuut' Kakashi melompat dengan cepat, dan melewati atap-atap. Kemudian tampak Hinata, Himawari dan Boruto.

"Kakashi-jisan bersemangat sekali. Himawari, ayo naik ke punggungku." ucap Boruto.

"Tidak, onii-chan. Aku sudah masuk akademi ninja. Aku bisa melakukan ini." jawab Himawari menolak tawaran Boruto.

"Baiklah, ayo." ucap Hinata mengajak.

'Syuut' mereka bertiga menyusul Kakashi dari belakang.

"Sensei sialan, seenaknya saja pergi sendiri. Ayo, Sakura, Sarada." gumam Sasuke.

Tanpa jawaban, anggota keluarga Uchiha itu segera menyusul keluarga Uzumaki dan Kakashi.


POV: Normal

Seorang remaja laki-laki dan wanita paruh baya itu sedang berbelanja di salah satu kedai di Konoha.

"Mama, apa belum selesai?" tanya Shuichi.

"Sabar, nak. Mama menunggu uang kembalian." balas ibu dari Shuichi itu.

"Baiklah, baiklah." jawab Shuichi berusaha bersabar.

"Ah, ini sudah. Ayo kita ke sana." ucap ibu dari anak itu setelah menerima uang kembaliannya.

Sang ibu berjalan terlebih dahulu, Shuichi berjalan dibelakang ibunya sambil mengangkat belanjaan.

'Bruukk' tiba-tiba ada seseorang yang terjatuh dari arah atas dan menabrak ibunya.

"Ma-mama!" teriak Shuichi terkejut, ia segera menyusul ibunya.

"Sakura!" langkah Sasuke terhenti sejenak, melihat istrinya terjatuh dari atap yang sedari tadi mereka panjat untuk berpindah tempat.

"Ma-maaf. Aku tidak se-sengaja." ucap Sakura sambil menahan perutnya.

"Ah, tidak apa-apa. Apakah anda tidak apa-apa? Anda terlihat pucat." balas ibu dari Shuichi.

"Tidak, terima kasih. Ah, kaki Anda terluka. Bolehkah aku mengobatinya?" tanya Sakura.

"Tidak apa-apa, lebih baik Anda yang ke rumah sakit. Ini hanya luka lecet." balas ibu Shuichi sambil menggeleng.

Kedua pria yang berdiri di belakang kedua wanita itu menatap satu sama lain. Ekspresi mereka sama-sama heran, bertemu dengan orang yang mirip satu sama lain. Sama-sama berponi dan matanya juga sama-sama hitam. Sasuke sedikit tersentak, ia seperti melihat dirinya saat berumur 16 atau 17 tahun, namun dengan wajahnya yang diganti dengan wajah Itachi. Terdiam sejenak, kedua laki-laki itu membuyarkan lamunan masing-masing. Sekarang keduanya lebih mementingkan wanita yang berada di depan mereka.

"Mama, apakah mama tidak apa-apa? Astaga, kaki mama terluka." ucap Shuichi sambil membantu ibunya berdiri.

"Tidak apa-apa, nak." balas si ibu berusaha meyakinkan anaknya.

"Diamlah sebentar, ma." ucap Shuichi sambil tersenyum ke ibunya.

Shuichi mengobati ibunya dengan ninjutsu medis. Ia menutup mata, berkonsentrasi sejenak, chakra hijau keluar dari tangannya. Tidak lama kemudian, luka mamanya itu sudah tidak berdarah lagi. Shuichi mengeluarkan plester dari tasnya, menempelkan plester tersebut pada kaki ibu yang sangat disayanginya itu.

"Sakura, apa yang terjadi? Apakah perlu ke rumah sakit? Wajahmu pucat sekali." ucap Sasuke, ia benar-benar khawatir sekarang. Ia membantu Sakura berdiri.

"Mama, apa yang terjadi pada mama? Harusnya mama istirahat saja dirumah jika sakit." lanjut Sarada yang tidak kalah khawatir dengan papanya itu.

"Aku tidak apa-apa, Anata, Sarada. Tenanglah." jawab Sakura.

"Eem, ba-san, bolehkah aku mengobatimu juga? Jika kau tidak keberatan tentunya. Aku lihat ba-san terus memegang perut daritadi." tawar Shuichi pada Sakura dengan sopan. Meski dengan wajah datar, ia benar-benar ingin membantu.

"Eh? Um, baiklah." jawab Sakura menyetujuinya.

Shuichi menyentuh lengan Sakura, memejamkan matanya. Ia berbakat dalam hal mengobati atau rasa-merasa seperti ini, sepertinya sudah dari sejak lahir. Kepalanya tersentak sejenak, ia menemukan sebab Sakura menjadi pucat seperti ini. Ada janin di dalam perutnya. Shuichi berusaha memeriksa janin itu, ia dapat merasakannya hanya dengan menyentuh salah satu lengan Sakura.

Perlahan, ia mengeluarkan chakra hijau dari tangannya dan hal ini tentu saja membuat Sakura merasa lebih baik dari sebelumnya. Tidak lama kemudian, Shuichi melepas tangannya. Saat ini wajah Sakura sudah tidak sepucat tadi. Sasuke menghela nafas lega, untung saja ada anak ini, batinnya.

"ba-san, jangan kelelahan ketika mengandung. Kandungan ba-san masih lemah, mungkin masih beberapa minggu ya? Sekarang sudah tidak apa-apa, ba-san hanya perlu banyak istirahat." ucap Shuichi dengan jujur.

"A-apa? Sa-Sakura, ka-kau.." ucap Sasuke terbata-bata, masih tidak percaya apa yang di dengarnya.

"Ya, anakmu, tepatnya anak kita, tuan Uchiha Sasuke. Memangnya kau kira anak siapa lagi?" balas Sakura sambil tersenyum jahil pada Sasuke.

Mendengar kata 'Uchiha', Shuichi dan ibunya sedikit tersentak. Ekspresi wajah mereka sedikit berubah.

"Wah, aku akan punya adik?" tanya Sarada sedikit terkejut.

"Iya, Sarada. Mungkin imouto atau otouto." balas Sakura pada Sarada.

"Kenapa tidak memberitahuku?" tanya Sasuke, ia mengacuhkan Sarada. Saat ini pikirannya hanya terfokus pada Sakura yang terlihat lemah, meski tidak sepucat tadi.

"Aku juga baru tahu tadi pagi, aku berencana memberitahumu malam ini. Tapi aku malah jadi merepotkan begini. Maaf ya, anata." jawab Sakura dengan senyumnya.

"Tidak, tidak. Tidak merepotkan sama sekali. Jangan bicara begitu. Ayo, kita pulang saja. Istirahatlah di rumah." ucap Sasuke dengan lembut.

"Baiklah. Aku ingin berterima kasih dulu. Terima kasih, um.. siapa namamu?" ucap Sakura pada Shuichi.

"Shui." jawab Shuichi. Ia tidak diperbolehkan memberitahu nama aslinya, atau bahkan marganya pada siapa pun. Itu larangan dari ayahnya, ia hanya menurutinya saja.

"Shui. Um, Shui, saja?" tanya Sakura lagi. Menurutnya nama itu terlalu pendek.

"Shuichi." jawab Shuichi dengan senyum tipis yang hampir tidak tampak. Baiklah, tampaknya Shuichi saja tidak akan jadi masalah, batinnya.

"Margamu?" tanya Sakura lagi penasaran. Tidak biasanya berkenalan tanpa marga di Konoha.

Shuichi terdiam, ia memandang ibunya yang berdiri di sampingnya itu. Ibunya hanya tersenyum padanya, kemudian ibunya memberanikan diri untuk bertanya.

"Maaf, aku ingin bertanya sesuatu." ucap ibu Shuichi dengan sopan pada Sakura.

"Jangan sungkan, tanya saja." balas Sakura dengan lembut.

"Kalian dari keluarga.. U-Uchi-Uchiha? Lambang baju itu.. lambang Uchiha 'kan?" tanya ibu Shuichi.

"Hn. Ada apa, ya?" jawab Sasuke ketus.

"Ti-tidak, maaf sudah lancang bertanya." jawab ibu Shuichi itu.

"Ah, tidak, tidak apa-apa. Lagipula aku harus berterima kasih pada anakmu ini. Jangan ketus begitu, anata. Jika tadi tidak ada anak ini, mungkin keadaanku sudah semakin buruk, kau tahu?" ucap Sakura sambil memandang ibu Shuichi dan suaminya bergantian.

"Tidak apa-apa, ba-san. Aku tulus melakukannya." jawab Shuichi dengan senyum tipis.

"Jadi, siapa nama lengkapmu?" tanya Sakura lagi, dia benar-benar penasaran.

Lagi-lagi Shuichi terdiam, ia menatap ibunya dalam-dalam, seperti meminta persetujuan.

"Katakanlah, nak." ucap ibu Shuichi.

"Uchiha, Shuichi Uchiha." ucap Shuichi tegas.

Kelima orang yang berada di situasi itu, terdiam dan membatu. Sampai ada seseorang yang datang dan menghampiri mereka.

'Syuut' seorang laki-laki remaja menghampiri mereka.

"Shui, apa ibu sudah selesai disini?" tanya Ryouichi. Ia datang sambil membawa beberapa belanjaan yang ibunya pesan. Mereka memang berpisah untuk mempercepat proses belanja ini.

"Hn." jawab Shuichi.

"Kau tidak sopan sekali dengan aniki-mu, hah?" balas Ryouichi tidak terima perlakuan adiknya itu.

Tersadar akan adanya kehadiran orang lain yang memperhatikannya, Ryouichi menjadi segan, terlebih lagi orang-orang itu sepertinya menatapnya dengan dalam.

"Eh, ma-maaf. Aku muncul tiba-tiba dan mengagetkan kalian. Salam kenal, aku Ryou." ucap Ryouichi menatap Sasuke, Sakura dan Sarada bergantian, ia tersenyum pada mereka. Ibu mereka memberitahu untuk tidak mengucapkan nama lengkap atau nama panjang mereka kepada siapapun yang mereka temui, begitulah kata ibunya mengenai perintah ayahnya. Mengingat pesan ayahnya yang disampaikan oleh ibunya itu, Ryouichi hanya menyebut namanya dengan 'Ryou' saja dan memanggil adiknya dengan 'Shui' saja jika tidak di rumah.

"Mereka siapa, mama, Shui?" bisik Ryouichi dari belakang ibu dan adiknya. Ia heran dengan tiga orang yang menatap mereka dengan ekspresi yang lebih heran lagi.

Seketika keenam orang itu terdiam dan saling memandang.

Sakura mulai berpikir, Uchiha? Apakah ada Uchiha lain, selain Sasuke? Kemudian berkeluarga dan punya anak? Atau, apakah mungkin Sasuke berseling-, ah, tidak mungkin. Shuichi memang sangat mirip dengan keturunan Uchiha lainnya, matanya hitam, rambutnya juga. Shuichi juga terlihat sangat berbakat. Ah lalu muncul lagi, anak ini, Ryou. Hm, mungkin namanya Ryouichi, atau Ryouta? Wah, dia tampak seperti seseorang yang pernah aku lihat, tapi dimana ya? Hm, aku sedikit lupa. Um, setelah dipikir, aku tidak tahu kalau dalam sejarah, ada Uchiha yang dapat melakukan ninjutsu medis. Ah, aku harus mencari tahu kebenaran dibalik semua ini.

Sedangkan Sasuke, rasa keingintahuannya memuncak ke ubun-ubun. Siapa mereka? Berani sekali memakai marga Uchiha? Apakah memang ada Uchiha lain selain diriku? Aku tidak berselingkuh dari Sakura, sekali pun tidak pernah. Aku sangat mencintai keluargaku ini. Tapi, anak yang bernama Ryou ini mirip sekali dengan.. dengan.. Nii-san. Apa.. Apakah mungkin mereka anak Itachi? Yang bernama Shuichi ini juga mirip sekali dengan Itachi, hanya saja garis wajahnya lebih samar. Oh terlebih lagi si Ryou ini, wajah tegas dengan garis itu benar-benar mengingatkanku pada Itachi. Apa apaan ini? Tiba-tiba muncul dua orang yang sangat mirip dengan Itachi? Oh, apa ini hukumanmu karena aku membunuhmu, Itachi? Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?

Sarada, yang tidak kalah terkejutnya dengan kedua orang tuanya itu, mulai berfikir. Jika mereka memang benar anggota keluarga Uchiha, siapa ayah mereka? Jika papa selingkuh, anaknya juga tidak mungkin berusia lebih tua dariku, jelas-jelas mereka tampak lebih tua 4 sampai 5 tahun dariku. Baiklah, siapakah kedua laki-laki dihadapanku ini? Jika mereka memang benar keluarga Uchiha, aku akan sangat senang mendapat 3 saudara baru sekaligus, termasuk adikku yang masih dalam kandungan mama, hehe!


To Be Continue


Ini cerita baru yang tiba-tiba saja hadir di benak author, hehe.

Tenang saja, Future Depends On You juga akan dilanjutkan ke Ch.6 dan dipastikan segera di update beberapa hari lagi, sabar ya, hehe.

Terima kasih kepada semua yang sudah membaca :D

Jangan lupa review ya? hehe.

Shady masih butuh banyak komentar, kritik dan saran :))

Sincerely,

Shady.