[From : Takao Kazunari
Subject : Makan Siang
Tecchan! Besok makan siang bareng, yuk! :3 Aku menemukan restoran unik di daerah Shibuya, temani aku wisata kuliner ke sana, yaaa! \(*~*)/ Onegaaaai!]
Sekali lagi, aku menghela napas berat saat melihat pesan dari Takao-kun. Entah sudah ke berapa kalinya, mungkin ini sudah ke sekian puluh kalinya ia memintaku menemaninya berwisata kuliner. Padahal laki-laki yang kini mengambil kuliah jurusan Sastra Inggris itu bisa saja meminta Midorima-kun yang menemaninya. Meski ia memiliki julukan Raja Tsundere di antara anggota grup Basuke All Star 2009, tapi kalau Takao-kun yang meminta, pasti dituruti (seringnya sih begitu).
[To : Takao Kazunari
Subject : Re: Makan Siang
Kali ini Takao-kun mau makan dimana?]
Aku menyesap secangkir kopi mocacinno setelah membalas pesannya.
Cangkir itu kutaruh lagi ke tempat semula, di samping kanan laptop yang sedang kugunakan untuk menyicil proyek novel pertama buatanku. Kedua tanganku bergerak dengan luwes di atas keyboard laptop. Jalan cerita yang sempat kupikirkan tadi pagi mulai kutuang menjadi sebuah jalan cerita yang utuh dan nyaman saat dibaca. Aku ingin membuat novel dengan bahasa yang baku tapi santai.
Ponselku bergetar lagi.
[From : Takao Kazunari
Subject : Re: Makan Siang
Oke~ Aku tunggu di restorannya langsung, ya! ;) Jam 12.30, namanya One on One Resutoran. Lokasinya tepat di samping Kinokuniya Shoten, Shinjuku! :3 Ditunggu, ya~
Note: Dilarang masuk restoran berdua, makanya diusahakan datangnya jangan bersamaan, ya.]
Shinjuku?
Aku memeriksa agendaku yang tergeletak di atas kasur.
"Sekalian beli novel baru, deh," gumamku.
Kuroko no Basuke disclaimer by Fujimaki Tadatoshi-sensei
One on One Resutoran kara, Shinjuku Eki made by Oto Ichiiyan
Rate : T
Genre : Romance, Hurt/Comfort, Drama, Angst
Pair : AkaKuro
Warning : Two-shoot. Full of Kuroko's POV. OOC, typos, etc. Niatnya mau buat fanfic fluffy singkat, tapi jadi kepanjangan dan malah two-shoot. Don't like, don't read. I've warned you, 'kay?
Sesuai janji, aku sudah sampai di depan One on One Resutoran lima menit lebih awal dari perjanjian. Biasanya Takao-kun telat beberapa menit, kadang on time juga, sih. Tetap saja 'biasanya' telat. Aku menatap papan nama restoran dengan mendongakkan kepala ke atas pintu masuk.
Perasaanku mendadak jadi tidak enak.
Apalagi Takao-kun berpesan untuk datang sendiri saja. Memangnya kenapa?
[To : Takao Kazunari
Subject : Sampai
Aku sudah di depan restoran. Takao-kun dimana?]
Kakiku melangkah menjauhi pintu masuk, takut menghalangi pelanggan lain yang ingin masuk. Tak lama, pesan balasan masuk ke ponselku. Segera kubuka pesan tersebut.
[From : Takao Kazunari
Subject : Re: Sampai
Langsung masuk saja! Kalau ditanya oleh pelayannya, kau cukup bilang, "Saya datang sendiri". Oke? :"D]
Mataku menyipit.
Ini aneh. Sangat aneh.
Firasatku mengatakan kalau Takao-kun sedang merencanakan sesuatu. Aku mulai mengerti sediki demi sedikit sifatnya yang satu ini karena sudah satu tahun aku dekat dengannya. Sebagai teman lho, ya. Terlebih kami sama-sama masuk jurusan literatur dan satu kampus. Berulang kali aku dikerjai olehnya, tapi anehnya kenapa aku tidak pernah kapok, ya?
[To : Takao Kazunari
Subject : Re: Sampai
Kau sedang merencanakan sesuatu, ya?]
Beberapa menit berlalu, aku masih setia menunggu pesan balasan dari Takao-kun.
Kruyuuuk.
Sial. Perutku mulai kelaparan.
Sekali lagi aku menatap papan nama restoran. Seorang pelanggan masuk ke dalam dan melewatiku begitu saja. Sepertinya ia tidak menyadari kehadiranku. Aku ingin masuk ke dalam juga, tapi kalau masuk bersamaan dengan pelanggan barusan...
Mungkin pelayannya tidak akan menyadari kedatanganku.
Pintu restoran tertutup setelahnya.
Aku menarik napas lalu membuangnya secara perlahan lewat mulut. Entah kenapa aku jadi gugup, mungkin karena aku baru pertama kali datang ke restoran ini. Kaki melangkah mendekati pintu kemudian membukanya. "Permisi," salamku.
Pelayan perempuan biasa menyambutku. "Datang sendiri, Nona?"
Nona?
"Aa, mm, otoko no ko dakedo[1]...," balasku dengan nada datar.
Pelayan itu menutup mulut sebentar sebelum membungkukkan badan. "Maaf atas kelancangan saya, Tuan. Apa Tuan datang sendiri?" tanyanya lagi.
Kalau ditanya oleh pelayannya, kau cukup bilang, "Saya datang sendiri". Oke?
"Ya. Saya datang sendiri."
"Kalau begitu, mohon ikuti saya."
Tanpa sadar kedua tanganku mencengkeram tali tas selempang yang kugendong di bahu kanan. Aku terus mengikutinya sampai ke meja di pojok ruangan. Ia menyuruhku duduk di kursi kosong. Aku menatap heran sang pelayan, bermaksud untuk minta penjelasan. Tapi ia hanya senyum.
"Tuan, mau pesan apa?" tanyanya.
Ia memberikan menu padaku.
Berusaha tidak mengacuhkan keganjilan yang ada, aku pun memesan satu porsi bukkake udon dan teh sakura. Pelayan itu pun pergi. Mataku memandang sekitar. Agak sepi, hanya ada empat pelanggan kalau tidak salah.
Sekali lagi aku menatap heran apa yang ada di hadapanku. Depan, kanan, dan kiri mejaku disekat. Secara tidak langsung, pelanggan tidak diperbolehkan saling menatap dan melihat. Berbincang pun sepertinya sulit karena mejanya khusus dibuat untuk satu orang. Di sisi kiriku ada semacam tablet yang kemungkinan sengaja dinyalakan. Apa untuk memanggil pelayan, ya?
"Maaf menunggu lama, Tuan."
"Terima kasih."
Dengan telaten, pelayan yang lain dari sebelumnya datang dengan membawa satu nampan berisi pesananku. Ia menata serapih mungkin pesananku di atas meja, walau terlihat agak kesulitan. Gara-gara penyekat, pergerakannya jadi terbatas.
Sebenarnya ini restoran apa, ya?
Ingin bertanya tapi ragu.
"Silahkan dinikmati," kata si pelayan sambil tersenyum misterius padaku.
Lagi-lagi aku hanya diam memperhatikannya sampai sosok itu menghilang dari pandangan. Kedua tanganku menggeratak ke dalam tas, mencari ponsel flipku untuk menghubungi Takao-kun. Aku merasa tidak nyaman di restoran ini. Dua pelayan tadi memberikanku kesan misterius, seolah menyimpan rahasia.
Tapi menunya aman, kan?
Mataku memandang lurus ke atas meja.
Begitu mendapat ponsel, aku langsung mencari kontak Takao-kun. Menelponnya lebih efektif sekarang karena pesan sebelumnya tidak dibalas. Ugh, sekarang aku semakin yakin, ia sedang mengerjaiku.
Tuuuut... Tuuuut...
Tuuuut... Tuuuut...
Tuuuut... Tuu-tut, tut, tut, tut, tut...
Takao-kun mematikannya!
Diserang rasa panik, aku kembali menelponnya. Tapi malah suara operator yang menjawab. Astaga... Aku benar-benar dikerjai...
[To : Takao Kazunari
Subject : Sialan
Takao-kun, kau serius mengerjaiku sekarang!? Awas kalau ketemu besok di kampus!]
Flap!
Dengan kasar, aku memasukkan ponsel ke dalam tas.
Misuh-misuh tidak jelas memang bukan kebiasaanku saat marah. Aku hanya menatap semangkuk bukkake udon dalam diam. Tapi gigiku terdengar bergemeletuk. Aku menghela napas, mencoba untuk menetralkan emosiku yang tengah bergejolak.
Kedua telapak tanganku bertemu.
"Ittadakimasu."
Samar-samar ada pelanggan baru datang. Aku kembali fokus pada pesananku yang sudah terlihat tengah menggodaku untuk dimakan dengan berucap, "Cepat makan aku". Tangan kananku mengambil sumpit sejak tadi ditaruh di antara mangkuk dan gelas.
Tanpa berucap, aku mulai menyantap udon dingin yang kupesan tadi.
Terdengar sebuah percakapan dari arah seberang. Meja di restoran ini dibuat mirip seperti warnet atau warung internet. Namun penyekatnya lebih tebal, sampai aku tak bisa mendengar apa yang dibicarakan oleh pelanggan yang baru saja datang.
Aku juga tak peduli soal itu, yang terpenting aku harus cepat-cepat keluar dari sini.
Walau sudah makan secepat yang kubisa, udonnya masih tetap terlihat banyak. Masih setengahnya. "Ini ukuran medium apa large? Tapi di menu tadi tak ada ukurannya. Berarti normal, kan?" gumamku.
Aku kembali menyuap udon ke dalam mulut.
Ting!
Tablet yang ada di sisi kiriku berbunyi.
Setelah menelan udon yang kumakan, aku membaca tulisan di layar tersebut.
Mohon diisi kuisioner ini. Apa Anda ingin ditemani?
Aku tersedak karena kaget. Padahal udonnya sudah kutelan sampai tak bersisa. Aku mengedipkan mata beberapa kali. Kuisioner? Ingin ditemani?
...
...
...
Tangan kiriku bergerak mendekati layar yang masih betah menampilkan kuisioner itu. Di bawahnya ada gambar tombol 'Yes' atau 'No'. Aku menggigit bibir bawahku. Penasaran, kalau kutekan tombol 'Yes', memang siapa yang mau menemaniku?
Mungkin ini hanya candaan belaka.
Iya, mungkin saja.
Aku pun menekan tombol tersebut. Layar berubah jadi penuh kembang api, disusul tulisan 'Omedetou!'. Tuh 'kan, hanya candaan—
—flap!
Mataku berkedip sekali.
Aku merasa sekat di depan mejaku bergerak. Sontak aku menengok ke depan. Benar, sekatnya bergerak ke atas. Mataku mengikuti sekat itu, mencoba menerka apa yang terjadi. Tadi aku hanya menekan tombol 'Yes' karena iseng. Lalu sekatnya terangkat.
"Kuroko?"
Deg! Jantungku berhenti berdetak seketika.
Suara ini... Mestinya milik...
Pelan-pelan kepalaku bergerak turun, sekilas aku melihat rambut berwarna merah marun di depanku. Mulutku bergerak kaku, ingin terbuka tapi malah terkatup lagi. Aku mengedipkan mata beberapa kali sebelum menyebut nama seseorang yang sedang duduk berhadapan denganku sambil memandangku bingung.
"Akashi...-kun?"
"Sepertinya kita sedang dikerjai, ya?"
Akashi Seijuurou, 'teman' yang sebenarnya tak ingin kutemui akhir-akhir ini tengah duduk di hadapanku. Dengan kata lain... ia yang akan menemaniku makan di restoran ini. Tubuhku jadi kaku seketika. Masih belum paham tentang apa yang terjadi barusan. Ia terlihat santai-santai saja, bahkan tersenyum ramah padaku sambil menyangga dagu dengan tangan kanan.
Aku berusaha membuka mulut. "A-aku... mau ke toilet... sebentar," izinku.
Tanpa mendengar balasannya, aku langsung pergi mencari kamar mandi yang ternyata ada di dekat tangga. Begitu masuk ke dalam kloset, tanganku merogoh kantung celana. Mm, gawat. Aku lupa kalau ponselku masih kutaruh di dalam tas. Terus untuk apa aku ke kamar mandi!?
Tunggu, tunggu.
Ini di luar skenario.
Aku tidak pernah berpikir akan bertemu dengannya hari ini. Bahkan di restoran aneh yang direkomendasikan Takao-kun! Tapi kalau kupikirkan lagi, inilah rencana Takao-kun yang sebenarnya. Ia mengajak ke restoran ini lalu kemungkinan Midorima-kun menjebak Akashi-kun untuk datang kemari juga.
Sebenarnya apa tujuan mereka?
Bukan itu masalahnya.
Kenapa mesti sekarang?
Percuma aku menghabiskan waktu di sini, lebih baik aku kembali sebelum Akashi-kun mencurigaiku. Atmosfer terasa canggung saat aku kembali duduk di atas kursi. Tanpa menatapnya, aku mulai lagi acara makan siangku yang sempat tertunda. Sambil sesekali melirik, aku berusaha mencari topik pembicaraan.
"Mm, Akashi-kun kenapa bisa ada di sini?" tanyaku.
"Midorima minta ditemani berwisata kuliner, tapi sepertinya ini hanya jebakan, ya?" jawabnya.
"Midorima-kun? Wisata kuliner?"
Akashi-kun tersenyum tipis. "Itu hobi barunya akhir-akhir ini."
Melihatnya tersenyum, aku juga ikut tersenyum. "Efek dari Takao-kun, sepertinya."
"Mereka masih bersama, ya?"
"Iya, Midorima-kun diam-diam mau jemput Takao-kun di stasiun."
"Dengan gerobak?"
Kekehan pelan keluar dari mulutku. "Lebih modern lagi, pakai sepeda tandem[2]. Mereka patungan membelinya, lho," ceritaku dan tanpa sadar jadi mengingat kejadian saat Takao-kun menceritakan hal itu padaku. Bahkan aku sempat melihatnya sendiri. Midorima-kun datang dengan sepeda itu menjemput Takao-kun ke kampus. Padahal jarak kampusnya dan kampus kami lumayan jauh. Aku merasa Midorima-kun jadi banyak berubah, lebih peduli lagi pada orang lain, terutama pada Takao-kun.
"Kau tahu banyak tentang mereka, ya?" sahut Akashi-kun.
"Takao-kun yang cerita," kataku memberi alasan seraya meminum teh rasa sakura pesananku.
Kami kembali larut dalam keheningan setelahnya. Aku menyibukkan diri dengan memakan udon sambil sesekali memainkan ponsel. Akashi-kun juga sama. Mata kami sering bertemu, tapi aku memilih memalingkan pandangan ke arah yang lain. Aku berpikir lagi, mencari topik pembicaraan yang pas untuk kami bicarakan.
Sejujurnya ada beberapa hal yang ingin kutanyakan akhir-akhir ini. Tapi aku ragu karena itu adalah masalah privasinya, mungkin? Karena bingung, aku pun meringis pelan.
"Ada yang ingin kau tanyakan?"
Tubuhku terkesiap. "Mm, tidak ada."
"Tapi wajahmu mengatakan sebaliknya, Kuroko," sahut Akashi-kun dengan senyuman geli di wajah. "Biar kutebak. Kau ingin bertanya tentang hubunganku dengan Furihata?" Ia agak menundukkan wajah lalu menyantap sup tofunya.
"...maaf. Furihata-kun tidak cerita apa-apa, tapi kelihatannya dia sedang tidak baik-baik saja," akuku.
Aku sempat bertemu memang dengannya beberapa hari yang lalu. Saat aku pulang dari kampus, aku sempat melihatnya di stasiun dan sedang termenung di kursi tunggu. Pandangannya kosong menatap ke depan. Aku ingin menyapa dan sedikit berbincang-bincang, tapi ia sudah keburu pergi menaiki kereta. Begitu kutanya lewat pesan atau lewat chatting, Furihata-kun tidak membalasnya. Hanya sekedar membaca pesanku.
Jadi, akan percuma kalau kutanya langsung padanya. Mungkin Akashi-kun tahu masalah Furihata-kun. Tapi tadi katanya... hubungan mereka?
"A-aku tidak tahu kalau kalian sedang punya masalah atau apa. Aku hanya mengkhawatirkan Furihata-kun yang tidak pernah membalas pesanku," sanggahku. Mudah-mudahan ia tidak berpikir hal negatif kenapa aku menanyakannya. "Mm, kalau Akashi-kun tidak ingin cerita juga tak apa. Itu masalah privasi kalian, kan?" tambahku.
Iya, dengan kata lain, aku tak boleh ikut campur.
Walau... aku cukup penasaran.
"Hanya masalah sepele, tapi Furihata malah terbawa perasaannya. Mirip perempuan yang sedang PMS," ungkap Akashi-kun dengan nada tak peduli.
"Akashi-kun sudah menanyakan titik permasalahannya?"
"Dia bungkam mulut saat kutanya."
"Tidak ada niat untuk memaksanya membuka mulut?"
"Aku tidak sesadis itu, Kuroko."
Diam-diam aku berdecak. Tidak sadis? Dilihat dari mana pun, sikapnya ke arah sana. Furihata-kun sendiri pernah cerita kalau dirinya sering dipaksa ini-itu olehnya. "Lalu? Intinya kalian bertengkar dan belum menyelesaikannya?" simpulku.
"Mungkin?"
"...begitu."
Aku memandanginya sebentar lalu menatap udonku yang tinggal 3-4 suapan lagi akan habis. Sekali lagi aku menyuap sambil berpikir.
Apa yang Akashi-kun pikirkan tentangku sekarang, ya?
Sudah setahun lebih sejak hari itu, dan selama itu pula aku berusaha bergerak maju. Move on dan melupakan perasaanku pada Akashi-kun dengan berbagai macam cara. Kami juga jarang bertemu, berkomunikasi, atau semacamnya, dan membuatku bisa bernapas dengan tenang. Setidaknya aku jadi terlihat tidak menyedihkan lagi karena... cintaku bertepuk sebelah tangan tanpa sempat kunyatakan padanya.
Nafsu makanku jadi menghilang. Apa yang terjadi pada mereka membuatku sedikit banyak mengharapkan hal yang tidak-tidak. Mendadak aku seperti pemain antagonis di sini.
Haaah...
"Bagaimana denganmu, Kuroko?" tanya Akashi-kun.
"Mm, biasa saja. Tentang kuliah, kan?" tanyaku balik, mengkonfirmasi apa yang ia tanyakan.
"Tentang pacar atau semacamnya."
Aku sempat tersedak dan batuk mendengarnya. "T-tumben?"
Akashi-kun terkekeh pelan. "Kudengar ada kabar menarik yang bersangkutan denganmu akhir-akhir ini," ungkapnya.
"Mm, maksudnya tentang apa?" tanyaku tidak mengerti.
"Kudengar hubunganmu dengan Momoi jadi lebih dekat sekarang."
Oh, soal Momoi-san...
"Bisa dibilang aku hanya pengganti Aomine-kun. Tahu sendiri 'kan, sekarang dia sedang ada di asrama kepolisian," jelasku. Aku tersenyum sambil mengapit tenpura. "Lagipula, aku sudah tidak terlalu memikirkan hal itu. Tentang cinta, maksudku." Aku menutup penjelasanku dengan menyuap tenpura ke dalam mulutku, tanpa ada niat untuk melihat ekspresi Akashi-kun.
Kami sama-sama tahu tentang hubungan kami selama ini. Tentang perasaanku dan perasaannya juga. Ia sudah tahu sejak lama kalau aku memendam perasaan padanya, walau bukan dari mulutku sendiri.
Melainkan dari Furihata-kun.
Iya. Furihata-kun yang mengatakan semuanya pada Akashi-kun.
Meski sampai sekarang, Akashi-kun tidak pernah mengungkit hal itu. Tapi dengan sekali melihat, aku sudah tahu. Ia agak kesulitan jika aku ada di sekitarnya, setelah ia mengetahui perasaanku. Entah itu ada Furihata-kun atau tidak. Atmosfernya terasa beda, seperti sekarang.
"Begitu. Masih belum bisa move on?"
Deg.
Tanpa sadar aku menahan napas. Buru-buru aku merilekskan badan, bersikap biasa saja.
"Hm, sudah move on, kok. Hanya saja, aku ingin fokus kuliah dan membuat novel," kataku, setengah berbohong.
"Begitu..."
Pikiranku jadi blank. Baru kali ini ia mengungkitnya secara langsung. Setelah satu tahun lebih dan dalam kondisi yang tidak stabil untuk hubungannya dengan Furihata-kun.
Ugh, aku ingin pergi dari sini secepatnya.
Sejujurnya aku tidak terlalu suka berbohong. Tapi kalau urusan perasaan, aku jadi sering melakukannya. Sial, jadi terbawa perasaan begini...
Bukkake udon pesananku sudah habis. Akashi-kun masih menyesap kuah sup. Gerakannya terlihat tak ada minat untuk memakannya lagi. Aku meminum teh dan menyisakan sedikit sebelum pergi keluar restoran. Sekali lagi aku mencari topik pembicaraan. Tapi tak ada ide yang muncul di kepalaku.
"Setelah ini, mau pergi kemana?"
"Eh? Aa... Pulang?"
"Langsung pulang?"
"Tak ada kegiatan lagi, jadi yaaa pulang saja?"
Aku ragu ingin pulang sekarang. Mungkin tak ada salahnya kupakai me time-ku sekarang? Toh, rumah sedang kosong. Nigou dibawa Otousan untuk pemeriksaan bulanan. Okaasan sibuk di kantor. "Akashi-kun sendiri, ada rencana lain? Atau ingin menemui Furihata-kun?" tanyaku.
"Tidak ada. Mungkin kalau kau ada rencana ingin pergi ke suatu tempat, aku bisa menemanimu, Kuroko," jawab Akashi-kun.
Aku meringis lagi.
"Itu pun kalau kau mau," tambahnya.
"Aku tak ingin ada salah paham. Jadi, kalaupun aku ingin pergi, aku akan melakukannya sendiri," tolakku halus. Aku bersiap pergi dari sini, mengambil uang dari dompet dan memeriksa sekitar. Takut ada barang yang kemungkinan akan tertinggal.
"Mm, sepertinya tak ada alasan lagi untuk aku berada di sini. Jadi, aku keluar duluan. Terima kasih sudah menemaniku makan hari ini," pamitku seraya bangkit dari posisi duduk.
Tiba-tiba Akashi-kun ikut berdiri. "Ada yang ingin kubicarakan lagi, Kuroko," katanya.
Aku masih dalam posisi berdiri, tapi kakiku tak ada niatan untuk melangkah. Mataku menatap ke arah yang lain, berusaha tidak bertemu pandang dengan kedua mata ruby-nya.
"Bisa kita jalan bersama sampai stasiun?"
"Baiklah."
To Be Continued
[1] Tapi saya laki-laki
[2] Sepeda yang khusus untuk dipakai dua orang, dipakai lho ya, bukan goncengan kayak sepeda mini :3
~(*~*)~
Hai! Saya balik lagi dengan fanfic two-shoot! Apa kali ini bisa dianggap sequel Photo? :) Setting-nya maju satu tahun setelah fanfic tersebut. Fanfic Phantom Kiss itu prequel-nya, sewaktu hubungan AkaKuro masih TTM-an. :3
Happy ending atau bad ending, saya sendiri maunya happy ending. Tapi saya gak mau buat Kuroko jadi PHO atau semacamnya, jadi... kita lihat perkembangannya di chapter dua, oke? Saya usahain secepatnya update sebelum saya mulai ngampus. :D
Mungkin juga fanfic ini jadi salam perpisahan karena saya akan ambil jalan 'hiatus' lagi. Kalau memang saya dapat ide (terutama untuk meng-happy ending-kan fanfic lanjutan AkaKuro), saya akan publish kok. :3
Oh iya, ada yang tahu tema dari restoran One on One di atas? :3 Ayo main tebak-tebakan! Tapi maaf, gak ada hadiahnya, ya... #kabur
#nongollagi Lupa! Terima kasih banyak untuk para readers yang sudah me-review, mem-fav, mem-follow, dsb! Maaf gak bisa bales satu-satu, tapi respon kalian sangat saya hargai! #bow
OKE~
Bye, bye! CHAU!
