Aku terdiam di salah satu ruang tempatku terduduk, memandang setiap-setiap kejadian di balik pintu geser ini. Aku gemetar, tidak sanggup bicara. Yang aku cemaskan adalah, keluargaku ada di luar sana sedang berjaga-jaga dan memintaku untuk tetap di sini, bersembunyi.
Aku bisa mendengar suara-suara menggelegar di luar sana, suara perempuan berteriak, suara pecahan barang entah barang apa, dan suara kilat muncul di ruangan ini beserta cahayanya.
Aku mendengar suara bunyi tembakan mengguncang dinding kayu di sekitarku. Aku ketakutan. Dan aku butuh mereka di sampingku. Tapi, aku tidak mampu memanggilnya.
Sementara aku mengintip, berharap ada seseorang yang aku kenali. Aku melihatnya! Aku melihat Ayahku berada di depanku. Aku mau keluar, tapi⦠mata kecilku terbelalak melihat noda darah keluar dari tubuh Ayahku. Juga ujung pedang menembus jantung miliknya.
Aku mau berteriak, tapi tertahan di tenggorokan. Saat Ayahku berputar arah untuk melihatku, memintaku untuk tidak berisik. Aku mengangguk, menahan air mata hampir menetes di pelupuk mataku. Suaraku tercekat. Menelan ludah pun susah.
Melihat sang pembunuh Ayahku, tapi aku tidak bisa melakukannya karena terhalang gelapnya ruangan ini dengan penuh noda darah yang berceceran di lantai tatami. Saat aku mau pingsan, aku bisa melihatnya. Cahaya bulan mengizinkanku.
Tubuhnya tertutupi pakaian berwarna hitam. Dia memiliki wajah kaku dan dingin. Mata hitamnya mampu membius siapa saja yang melihatnya.
Setelah membunuh Ayahku, aku terlonjak kaget. Rasa kantukku dan lemas menghilang. Dia, sang pembunuh, mendekatiku.
Apa dia mengetahui tempatku berada?
Semoga tidak!
"Hei!"
Sang pembunuh itu menghentikan langkah kakinya, melihat orang yang memanggilnya lewat bahunya. "Ada apa?"
"Kita harus pergi. Polisi datang secepat yang kita duga."
"Aku mengerti."
Sang pembunuh berbalik pergi mengikuti seseorang tadi berbicara dengannya. Aku pun bernapas lega. Aku menjadi lemas seketika saking leganya. Menutup kedua mataku dan berharap ini semua mimpi. Semua hanya mimpi.
Air mataku muncul, mengiringi diriku yang tertidur pelan-pelan di dalam tempat persembunyian. Sebelum aku tertidur pulas, aku mendengar suara seseorang dan mengangkat tubuhku ke dalam pelukannya. Seperti membawaku pergi dari tempat persembunyianku.
"Kamu aman bersamaku."
.
Without You
.
DISCLAIMER: NARUTO belong to Masashi Kishimoto
Warning: Alternate Universe, Out Of Characters, Miss typo, Deskripsi seadanya. Kalimat Italic adalah masa lalu Hinata POV (1st POV). Kalimat normal adalah orang ketiga (3rd POV). Genre: Crime, Mystery, Romance and Family.
.
Chapter 01: Dream Sanctuary
Kedua mata perak gadis itu terbuka dari tidurnya yang panjang. Tertidur di tengah-tengah padang hijau penuh keindahan yang luar biasa. Gadis itu bangkit ke posisi duduk, menghembuskan napas berat karena tadi dia bermimpi tentang masa lalunya yang kelam. Hatinya tidak bisa menggambarkan bagaimana keinginannya untuk mengembalikan masa-masa yang hilang itu.
"Ternyata kamu ada di sini, Hinata."
Seseorang lega karena gadis itu tidak lari. Dia menoleh ke arah datangnya suara, tersenyum kecil. Dia bangkit dari duduknya, melangkah mendekati orang yang memanggilnya. Mengulurkan tangan agar bisa menggapai orang itu.
Orang itu menangkap tangan Hinata, menghembuskan napas lega. "Hinata, kamu tidak boleh pergi sendirian. Kami selalu khawatir padamu, kalau kamu pergi ke mana-mana."
"Aku selalu baik-baik saja, Tenten." Hinata menaikkan tangannya ke atas, menyentuh bahunya dan mengusapnya. "Biar aku buta, aku bisa melakukannya sendiri. Aku bisa mandiri."
Orang yang bernama Tenten, gadis bercempol dua, menggeleng cepat. "Bukan begitu. Aku bisa dimarahi Minato karena ini. Kamu bisa dibunuh oleh orang-orang mafia."
"Mafia?"
"Ups!" Tenten menutup mulutnya, meringis karena mengatakan hal tidak sepantasnya dikatakan. Ditarik tangan Hinata pergi dari tempat itu, "Ayolah, Hinata. Kita harus bersiap-siap. Kamu tidak mau kan dimarahi sama Minato."
Hinata mengangguk, menyetujui. Dia pun berjalan bersama-sama dibantu oleh Tenten selangkah demi selangkah. Dia mengangkat kepalanya, merasakan semilir angin lembut menerpa wajah manisnya. Suara burung-burung bersenandung terdengar di pendengarannya. Sepertinya mereka sangat mengetahui perasaannya saat ini.
Sepuluh tahun berlalu tidak terasa oleh waktu. Kenangan terkelam, terburuk dan penuh dengan darah mampu memberikan gadis ini kebutaan karena tidak mau melihat apa yang terjadi di dunia ini. Bukan karena trauma, tetapi karena penyakit yang merupakan stroke yang hebat hampir memperparah pada retina. Bukan karena syaraf-syaraf di tubuh, saja.
Sepuluh tahun yang pas buat mempelajari hidup tanpa kedua mata yang bisa melihat. Dia tidak sanggup melihat darah dan pembunuhan. Lima tahun yang lalu adalah trauma dan dia juga tidak mau bertemu sang pembunuh keluarganya.
.
.
Pria setengah baya lagi membereskan segala keperluan buat kepindahannya ke negara lain, membawa beberapa anak-anak akan dibawanya. Dia tidak terlihat capek dalam situasi seperti ini, karena ini memang tugasnya.
Saat terdengar pintu terbuka, Minato menghentikan pekerjaannya. Memutar tubuhnya dan melihat Tenten dan Hinata masuk ke dalam. Senyum tersungging di bibirnya.
"Lama sekali kalian berdua."
"Ini bukan kesalahanku, Minato-san. Ini kesalahan Hinata yang terus-terusan menghilang," Tenten menyela Minato agar dia tidak dituduh macam-macam.
Hinata menunduk, meminta maaf. "Aku minta maaf padamu, Minato-san. Seharusnya aku berada di sini untuk membantu keperluan kita, tapi aku malahan pergi."
"Bukan kesalahan kalian berdua," kata Minato memaafkan kesalahan mereka. "Karena seminggu lagi kita berangkat, kalian boleh pergi ke mana pun kalian suka. Asalkan jangan lama-lama. Takutnya kalian belum pulang."
"Bukankah kita masih ada di Paris?" tanya Tenten melipat kedua tangan di belakang kepalanya, menengadah melihat atap langit. "Aku malas bepergian. Aku bisa saja mengantar Hinata pergi ke mana pun dia suka. Kami pasti pulang sebelum malam."
"Aku serahkan padamu, Tenten. Jagalah Hinata sampai yang lain pulang," harap Minato kepada sang kepercayaannya di tempat ini, yayasan panti asuhan milik keluarga Namikaze.
"Oke, Minato-san."
Hinata menunduk dan berterima kasih. Dibantu Tenten berjalan dan mengarah ke pintu keluar. Barulah Minato merasakan ini saat paling tepat membawa Hinata dan lainnya pergi dari Paris.
Paris, tempat persembunyiannya selama ini dari pembunuh-pembunuh yang mengincar anak-anak yang diasuhnya selama sepuluh tahun belakangan. Hatinya tidak mempercayai penglihatan, pendengaran dan perasaannya setelah mendengar sang pembunuh adalah orang itu. Orang yang dulu berbagi hidup dengan seseorang paling penting baginya yang telah meninggal dunia akibat kecelakaan mengerikan.
Anak itu sudah besar sekarang. Walau usianya terbilang sangat muda dan dua puluh tahun adalah kemungkinan usianya sekarang 28 tahun ke atas. Apakah Minato bisa bertemu anak itu, lagi? Anak yang diambil oleh orang yang menganggapnya sang pembunuh anaknya yang kecelakaan lalu lintas? Dia tidak tahu itu. Tidak pernah tahu.
Setelah membawa Hinata pergi dari sana, tempat di mana semua keluarga dibunuh atas perintah orang itu. Minato membawanya ke mana pun, di mana tidak seorang pun bisa mengejarnya. Dan tempat singgahan terakhir adalah Paris. Paris, kota terindah di mana semua orang bisa diminta bantuannya. Di sinilah tempatnya dia menjaga Hinata, Tenten dan anak-anak dari korban orang itu.
Minato memandangi pemandangan di luar jendela, berwajah kelam. "Dua puluh tahun tahun yang sangat berat dan juga membahagiakan. Inilah keinginan kita bersama, Kushina."
-To be continued-
.
A/N: WY muncul! Ini adalah drabbles kedua saya, lho. Maaf deh, agak aneh. Saya mau belajar buat crime untuk pertama kalinya. Semoga saja bagus. Buat tokoh-tokohnya, sesuai apa yang ada: NaruHina dan sisanya akan muncul di chapter-chapter selanjutnya. Heu Heu Heu.
Yosh! Selamat membaca, ya! ^^
Sign,
Zecka Fujioka
Makassar, 05 Maret 2014
