Hai, semuanya!

Saya kembali dengan fic Eyeshield 21, pair-nya masih Akaba-Mamori.

Fic ini adalah sekuel dari fic Di balik Kebetulan. Kali ini akan diceritakan mengenai kelanjutan hubungan dari Akaba dan Mamori. Bagi yang belum membaca fic sebelumnya silakan dibaca terlebih dahulu (Di balik Kebetulan dan Di balik Gitar), tapi mau langsung baca fic ini juga tidak masalah.

Semoga kalian menyukainya dan saya ucapkan selamat membaca.

Warning! Mamori POV, OOC (bila ada), dan jika ada kekurangan lainnya.


Eyeshield 21

Riichiro Inagaki dan Yusuke Murata

Di Balik Penantian

Neary Lan

Aku pernah bertemu dengannya saat pertandingan menegangkan antara timku, Deimon Devil Bats dan timnya, Bando Spiders. Pertandingan penting bagi tim kami untuk mendapatkan tempat ketiga agar bisa melaju ke Turnamen Kanto dan mewujudkan impian semuanya ke Christmas Bowl. Berkat pertandingan itu pun aku jadi mengetahui identitas sebenarnya dari Eyeshield 21, yaitu Sena. Pemuda yang sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Aku mulai menyadari bahwa Sena sudah tidak membutuhkan perlindunganku lagi, dia sudah bisa melindungi dirinya sendiri dan berdiri di lapangan sebagai seorang pahlawan untuk Devil Bats. Aku benar-benar kagum pada perkembangan adik kecilku itu.

Berkat pertandingan itu juga aku dapat bertemu denganmu. Pemuda berambut dan bermata merah yang mengakui dirinya sebagai Eyeshield 21 yang sebenarnya. Hayato Akaba. Orang yang patut diwaspadai selama pertandingan selain temannya yang suka menyisir itu. Kalau tidak salah namanya Kotaro Sasaki dan tendangannya sangat akurat. Pertandingan itu pun membuat Musashi kembali dan menjadi penyelamat tim kami. Tetapi kami tidak bisa lega sepenuhnya karena dia masih menjadi ancaman yang besar.

Ia benar-benar lawan yang berbahaya. Bahkan kurasa kecerdasannya hampir menyamai Hiruma. Dengan mudahnya ia mendorong Kurita yang berbadan besar dan terus-terusan menyerang Sena hingga membuatku cemas setengah mati. Tetapi aku harus percaya pada Sena dan kami pasti menang. Pada akhirnya kami pun memenangkan pertandingan. Tentu saja itu kabar yang sangat menggembirakan. Satu langkah menuju Christmas Bowl.

Jika mengingat pertandingan itu selalu membuatku teringat padanya. Si mata merah dari Bando Spiders yang suka membawa-bawa gitar. Hayato Akaba. Pada awalnya aku hanya mengagumi kemampuannya, tidak kupungkiri juga kalau dia memiliki wajah yang tampan. Namun, entah sejak kapan aku merasa tertarik padanya. Aku tidak bisa mendefinisikan dengan jelas bagaimana rasa tertarikku itu. Yang kutahu aku hanya tertarik padanya dan berharap dapat bertemu dengannya.

Rasa tertarikku semakin kuat setelah aku kebetulan bertemu dengannya di taman. Saat itu ia sedang bermain gitar dan dilihat oleh semua orang. Entah mendapat keberanian dari mana aku pun menghampirinya dan ia terkejut melihatku. Kami pun berbicara. Hanya pembicaraan singkat dan ia memutuskan untuk pergi setelah mengajukan pertanyaan yang tidak kujawab. Saat itu sikapnya benar-benar cuek padaku. Setelah hari itu seminggu kemudian kami bertemu kembali dan kali ini aku nekat memintanya untuk memainkan gitarnya. Tanpa kuduga ia menyanggupi permintaanku. Aku sangat kagum dengan kemampuan lain yang dimilikinya selain bermain American football.

Setelah pertemuan itu rasa tertarikku semakin meningkat. Aku tidak bisa melupakan sorot matanya, wajahnya, suaranya yang indah, kata-katanya yang selalu bercampur dengan istilah musik, dan sikap tenangnya. Apalagi setelah aku mengatakan bahwa jika kami bertemu kembali aku ingin membicarakan tentang American football bersamanya. Dia hanya tersenyum dan terlihat meragukan ucapanku. Mungkin ia berpikir tidak ada alasan untuk bertemu kembali, tetapi aku tidak peduli. Aku masih tidak percaya bisa dua kali kebetulan bertemu dengannya. Kurasa ini takdir karena aku telah meyakini sesuatu dalam diriku, walaupun ada sedikit keraguan.

"Kurasa aku menyukai Akaba."

Aku tahu ini kesimpulan yang terlalu cepat. Tetapi entah bagaimana caranya hanya dengan dua kali bertemu langsung dia telah berhasil menjerat hatiku, walaupun sikapnya terlihat biasa dan terkesan cuek padaku. Aku yakin kalau aku menyukainya. Jatuh cinta pada pandangan pertama, mungkin. Banyak yang selalu menduga aku memiliki hubungan dengan si kapten iblis Deimon, Hiruma. Aku hanya menganggap Hiruma teman biasa seperti yang lainnya. Aku perhatian padanya hanya karena sifatnya yang tidak suka berterus-terang. Dia tidak akan bilang dirinya sakit secara terang-terangan, karena itulah aku sering cemas padanya.

Untuk semakin meyakinkan perasaanku padanya aku ingin bertemu dengannya kembali. Lagi dan lagi. Tetapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Lalu sebuah ide terlintas dipikiranku. Setelah sepulang sekolah atau setiap ada kesempatan aku pasti akan rutin ke taman itu untuk memastikan keberadaannya. Ternyata tidak mudah. Ia tidak selalu berada di taman itu dan aku pun tidak pernah bertemu dengannya di tempat lain. Aku tidak ingin cepat patah semangat. Kalau terus berusaha pasti hasilnya akan kudapatkan.

Akhirnya usahaku tidak sia-sia. Aku berhasil bertemu dengannya lagi. Walaupun hanya dalam keheningan aku tetap merasa senang. Hari demi hari aku semakin sering bertemu dengannya. Dia selalu merasa kami kebetulan bertemu, padahal sebenarnya aku yang sering rutin ke taman itu. Aku tidak peduli jika orang lain menganggap tindakanku aneh. Hanya itu satu-satunya cara yang kumiliki. Aku benar-benar terperangkap oleh jaring laba-laba yang dimilikinya.

Setelah sekian kali bertemu akhirnya aku bisa berteman dengannya. Dia pun juga tidak keberatan memberikan nomor telepon dan alamat emailnya. Bukan mudah untuk berteman dengannya. Dia selalu berkata ingin mencari ketenangan dan senang menyendiri. Itulah alasannya memilih ke taman itu. Secara tidak langsung aku merasa telah mengganggu ketenangannya. Aku pun berusaha untuk membuatnya berteman denganku, bagaimana pun caranya ia harus melihatku. Biasanya hanya aku yang bicara sementara dia hanya mendengarkan atau sesekali berkomentar. Dia menjadi banyak bicara setelah kusinggung mengenai musik. Karena itulah aku mencoba mempelajari tentang musik lebih dalam bahkan sampai bertanya kepada guru atau anak-anak klub musik.

"Fuh, selain menguasai pengetahuan tentang American football kau juga tahu tentang musik. Rupanya kau tertarik juga pada seni. Kau benar-benar hebat, manajer Deimon," pujinya.

"Ah, tidak juga. Pengetahuan Akaba lebih hebat dariku," kataku malu mendengar pujiannya. "Tetapi aku sebenarnya buruk di seni menggambar bahkan Hiruma selalu mengejekku. Dia bilang gambar anak TK masih lebih bagus dari gambarku," kataku cemberut mengingat komentar menyebalkan Hiruma.

"Separah itukah? Apa aku boleh melihat langsung kemampuanmu?" tanyanya.

"Ti-tidak. Aku tidak mau melakukannya. Gambarku benar-benar jelek," kataku menolak halus permintaannya.

"Fuh, baiklah. Aku tidak akan memaksamu untuk memainkan melodi yang sumbang. Kalau begitu boleh aku tahu apa lagu favoritmu?"

Aku bersyukur dia tidak memaksaku untuk menunjukkan kelemahanku itu. Tetapi aku masih belum terbiasa dengan cara bicaranya yang suka bercampur dengan istilah musik terutama saat membicarakan American football. Kurasa dia benar-benar terobsesi pada musik. Seperti seseorang yang terobsesi pada senjata-senjata mengerikan yang entah didapatnya dari mana.

Semakin mengenalnya aku jadi mengetahui betapa cerdasnya dan narsisnya dia, tetapi dia bilang temannya yang bernama Kotaro itu masih lebih narsis darinya. Kurasa mereka tidak ada bedanya, hanya tidak ingin mengakui. Dia tidak akan pernah lupa membawa gitarnya kemana pun dia pergi bahkan saat latihan pun dibawanya. Aku merasa gitar itu sudah seperti pacarnya dan aku tidak perlu cemburu kepada benda mati. Ternyata dia juga memiliki sisi yang jahil, misalnya ketika ia mengerjaiku saat aku memintanya untuk memakan kue sus. Dia berhasil mengerjaiku dan membuatku malu.

"Oh, apa yang membuatnya berpikir seperti itu? Dia memintaku menyuapinya dengan mulutku sendiri. Bukankah itu artinya aku dan dia akan ci-ci… Argh, aku tidak bisa mengatakannya!"

Otakku mulai membayangkan hal yang tidak-tidak. Aku memilih untuk mendiamkannya sesaat. Ia pun buru-buru minta maaf. Aku yang tidak terima dikerjai olehnya berniat untuk membalasnya. Dia jadi terpaksa memakan kue sus yang kusuapi. Hal yang mengejutkan adalah dia mengatakan aku manis sambil tersenyum. Ini pertama kalinya dia berbicara seperti itu padaku. Tentu saja aku merasa senang.

Selanjutnya banyak lagi kejadian menarik yang kualami bersamanya. Kami semakin akrab dan pertemuan kami berjalan rutin. Pernah terlintas dipikiranku kalau kami seperti sedang kencan. Biasanya kami akan membuat janji terlebih dahulu karena takut mengganggu waktu satu sama lain. Aku tidak mungkin mengabaikan tugasku sebagai manajer Devil Bats. Karena sering bertemu dengannya membuat Suzuna mencurigaiku. Dia selalu ingin tahu kemana akhir-akhir ini aku pergi bahkan selalu menolak ajakannya untuk bermain di akhir pekan. Aku tidak pernah memberitahukan dia yang sebenarnya.

"Kak Mamori mau kemana?" tanya Suzuna ketika melihatku bersiap-siap untuk pergi.

Aku hanya diam sesaat dan terus memasukkan barang-barangku ke tas. Hari ini latihan lebih cepat selesai karena Hiruma ada urusan. Tentu ini kesempatanku untuk menemuinya. Sebenarnya kami memang sudah berjanji akan bertemu karena aku ingin memberikannya kue yang pernah kubuat untuk anggota klub.

"Ah, aku ada janji dengan temanku," kataku setelah memasukkan barang yang terakhir. "Memangnya ada apa, Suzuna?"

"Ada janji, ya. Sayang sekali, padahal aku ingin mengajak kakak dan yang lainnya ke taman hiburan. Tidak apa-apa kalau kakak tidak bisa," katanya sambil menyembunyikan kekecewaannya.

"Aku benar-benar minta maaf tidak bisa ikut dengan kalian," kataku sedikit menyesal. Melihat wajah kecewanya membuatku tidak tega, tetapi aku sudah lebih dulu membuat janji dengannya. "Sekali lagi maaf, ya, Suzuna."

"Ah, tidak apa-apa, Kak Mamori. Kakak 'kan sudah janji dengan teman kakak jadi kakak tidak boleh melanggarnya. Kalau begitu aku pergi dulu, Kak. Sampai jumpa," katanya berlalu dari ruang klub.

Aku hanya mengangguk singkat sebelum pintu ruang klub ditutupnya. Perlahan kudekati pintu dan kubuka sedikit. Terlihat Suzuna bersama Sena dan Monta sedang membicarakan sesuatu. Aku mencoba menguping pembicaraan mereka.

"Bagaimana? Apa Kak Mamori bisa ikut?" kudengar suara Monta bertanya.

Suzuna hanya menggeleng. "Tidak bisa. Katanya dia ada janji."

"Apa? Janji dengan siapa?" tanya Monta.

"Dia tidak bilang."

"Apa boleh buat. Kita tidak mungkin memaksanya, 'kan," kata Sena.

"Kamu benar, Sena. Ya, sudah kita pergi sekarang. Yang lain sudah menunggu di gerbang sekolah," kata Suzuna. Sena dan Monta pun mengikutinya.

Aku benar-benar sudah membuat mereka kecewa. Pertemuanku dengannya memang kurahasiakan dari yang lain. Semenjak kejadian itu aku jadi semakin berhati-hati menentukan waktu untuk menemuinya. Pertemuan itu memang bukan kencan, hanya sekedar bertemu teman. Tetapi, aku merahasiakan dari yang lainnya. Aku tidak ingin mereka tahu kalau aku menyukainya, terutama Hiruma dan Suzuna. Hiruma akan senang mendapat bahan ancaman baru dan Suzuna tidak akan berhenti menggodaiku. Aku sudah cukup sabar ketika dia sering menggodaku dengan Hiruma.

Sampai saat ini aku tidak tahu apa dia menyadari perasaanku atau tidak. Entah dia menyukaiku atau tidak. Dia tidak pernah menolak jika kuajak bertemu begitu pun sebaliknya. Katanya bersamaku sangat menenangkan karena aku tidak seperti gadis kebanyakan yang suka tertawa cekikikan melihatnya. Dia tidak tahu kalau setiap kali bertemu dengannya aku sama sekali tidak bisa mengendalikan jantungku yang berdegup kencang. Wajahku terus merona jika ia menatapku dalam-dalam sehingga aku sering gugup jika lama-lama bersamanya. Aku pun jadi sering berpikiran yang aneh-aneh. Menyesakkan tetapi aku menikmatinya karena perasaanku untuknya semakin besar.

"Jadi, mereka terus berusaha sampai saat terakhir tetapi tiba-tiba semuanya menjadi berantakan. Aku jadi ingin tertawa kalau mengingatnya," kataku menoleh kepadanya dan mendapati dirinya yang tertidur. "Eh, tertidur? Sejak kapan?"

Aku kaget melihatnya tertidur dan kesal karena sejak tadi aku hanya berbicara seorang diri. Padahal aku sedang seru bercerita tentang kekonyolan anak-anak Devil Bats saat pesta tahunan SMU Deimon. Melihat tidurnya yang nyenyak membuatku tidak tega membangunkannya apalagi mengomelinya. Mungkin dia kelelahan dan kurang istirahat. Aku jadi teringat Hiruma yang tak pernah ingin saat lelahnya diketahui oleh orang lain. Kupikir dia juga orang yang seperti itu.

"Kenapa tidak bilang kalau kamu lelah?"

Aku hanya diam mengamatinya. Baru kali ini kulihat wajahnya setenang ini, walaupun biasanya dia juga tenang. Wajah tidurnya benar-benar damai dan tetap tampan. Aku jadi ingin menyentuhnya.

"Apa yang kamu pikirkan, Mamori? Singkirkan pikiran gila itu!"

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Wajahku memerah. Batinku sedang berperang dengan akalku. Kembali kulirik dirinya dan tanganku terangkat ingin mencoba menyentuh rambutnya yang ditiup angin sepoi-sepoi. Aku terus memberanikan diri untuk menyentuhnya. Tiba-tiba sebelah tangannya memegang tanganku. Aku terkejut apalagi ketika mendengar suaranya.

"Apa yang ingin kau lakukan, Anezaki?" tanyanya sesaat setelah matanya terbuka.

Mata merahnya yang tanpa kacamata langsung menatap kedua mataku dalam-dalam. Seperti ingin menembus diriku. Aku tidak kuat menatap mata itu lama-lama sehingga memilih untuk mengalihkan wajahku yang sangat memerah dan panas. Aksiku ketahuan olehnya tentu saja membuatku malu. Tetapi jika dia mengetahui tindakanku itu artinya dia hanya berpura-pura tidur. Aku kembali dikerjainya.

"Le-lepaskan aku, Akaba," pintaku. Tanganku masih dipegang erat olehnya. "A-aku tidak melakukan apa pun."

"Fuh, benarkah? Lalu kenapa tanganmu mengarah padaku?" selidiknya.

"Uh, jadi kamu pura-pura tidur, ya? Kamu mengerjaiku," kataku berpura-pura kesal dan tidak menjawab pertanyaannya.

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Anezaki," katanya sambil mendekatkan wajahnya padaku. Aku hanya menahan nafas didekati seperti itu.

Aku mencoba mencari alasan di waktu terdesak seperti ini, tetapi sama sekali tidak kutemukan. Tidak sengaja mataku melihat sehelai daun di atas rambutnya. Aku tidak tahu kapan daun itu jatuh, tetapi itu menjadi penolong bagiku.

"A-aku hanya ingin mengambil daun yang ada di atas kepalamu," kataku gugup berharap ia mempercayai alasanku.

Dia terlihat kurang percaya. Tangannya terangkat dan mendapati sehelai daun di atas kepalanya. Tidak heran jika banyak daun berguguran di musim gugur. Dia mengamati daun itu sesaat dan kembali menatapku. Aku hanya diam sambil berusaha melepaskan tanganku yang dipegangnya semakin erat. Kemudian ia menghela nafas dan melepaskan pegangannya di tanganku.

"Maaf," kataku.

"Maaf? Untuk apa?" tanyanya. "Seharusnya aku yang minta maaf. Tanganmu tidak apa-apa? Kuharap aku tidak lepas kendali mengeluarkan tenagaku," katamu sedikit khawatir.

"Ah, tanganku tidak apa-apa. Tetapi aku kesal padamu," kataku cemberut. "Ternyata sejak tadi kamu berpura-pura tidur. Kamu mengerjaiku, Akaba."

"Fuh, soal itu. Aku malas mendengarmu bercerita tentang teman-temanmu di Deimon. Musikalitasmu menjadi tidak berkembang," ujarnya. Kemudian ia melirikku. "Kenapa kau tidak menceritakan tentang dirimu saja?"

"Eh?" Aku terkejut mendengar perkataannya. "Kenapa harus mengenaiku?"

"Fuh, itu kalau kau tidak keberatan. Mungkin kau bisa memberitahuku tentang tipe hewan kesukaanmu."

"Bukannya aku sudah pernah mengatakannya padamu," kataku.

"Aku tidak keberatan mendengarkannya dua kali. Asalkan kau tidak menyampaikannya dengan nada fals dan irama yang kurang harmoni," katamu dengan menggunakan istilah musikmu yang biasanya. Itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan tipe hewan kesukaanku.

"Baiklah. Semoga kamu tidak bosan mendengarnya. Aku suka kucing yang berbulu putih dan lembut, berkaki pendek, lalu aku sangat suka jika mereka mengeong," kataku menjelaskan.

Aku jadi teringat pada Monta yang waktu itu tiba-tiba muncul dengan dandanan yang aneh sampai membuatku dan Suzuna terkejut. Tanpa sadar aku tersenyum dan membuatnya bingung. Ketika dia bertanya aku hanya mengatakan tidak ada apa-apa dengan tawa yang kutahan.

"Sekarang giliranku. Aku ingin tahu tipe hewan kesukaanmu, Akaba. Waktu itu kamu tidak mau mengatakannya," tuntutku.

"Hewan kesukaanku?" tanyanya sambil memetik senar gitarnya. "Aku suka kucing."

"Eh, kupikir kamu suka laba-laba," kataku menahan tawa, tidak percaya laki-laki sepertinya juga suka kucing.

"Kenapa? Tidak pantas jika aku menggendong seekor kucing?" tanyanya yang tidak terima.

Aku hanya menggeleng sambil membayangkan dirinya yang sedang menggendong seekor kucing. Sepertinya manis juga. "Entahlah."

"Fuh, walaupun nama timku Bando Spiders dengan simbol laba-laba bukan berarti hewan kesukaanku laba-laba."

"Baiklah, seperti apa kucing kesukaanmu itu?"

"Fuh, biar kupikirkan. Aku suka kucing berbulu cokelat putih yang lembut, bermata biru, berekor panjang, kakinya jenjang, manja dan selalu ingin kuelus," katanya mengakhiri penjelasannya. "Aku tidak begitu tahu jenis kucing, tetapi aku suka kucing seperti itu."

Aku hanya tersenyum sambil membayangkan rupa kucing kesukaannya. Bahkan aku ragu yang dikatakannya itu tipe kucing. Kami terus terlibat pembicaraan mengenai kucing tanpa menyadari matahari telah terbenam. Aku pun harus berpisah dengannya.

Pernah terlintas dipikiranku untuk mengutarakan isi hatiku yang sebenarnya. Tetapi aku terlalu takut. Takut dia tidak membalas perasaanku. Aku tidak bisa menebak apa yang dipikirkannya tentangku. Padahal aku terus berdebar-debar jika melihatnya. Pertemuan ini terus berjalan seperti biasanya. Tetapi perasaanku semakin sesak ketika aku tidak bisa lagi melihatmu seperti dulu. Kesibukan kita yang padat menyita segalanya. Semuanya pun kembali seperti di awal.

Akhir-akhir ini Hiruma sering mengajakku pergi bersamanya, hanya sebatas urusan klub. Beban pekerjaanku ditumpuknya. Seharian aku terus bersamanya di ruang klub karena ia mengawasiku. Bahkan terkadang ia yang mengantarku pulang. Aku terkejut dengan tindakannya yang tidak biasa. Aku tidak berani bertanya padanya. Walaupun tidak bisa bertemu kami masih tetap berkomunikasi lewat telepon dan email. Terkadang aku mencuri-curi waktu untuk menemuinya di waktu yang sangat singkat.

Selama jarang bertemu rasa rinduku padanya semakin meningkat. Aku ingin melihatnya lagi. Beberapa anggota klub menyadari perubahan sikapku yang sering melamun bahkan jarang meladeni ejekan Hiruma. Suzuna sering menanyakan apa yang sedang kupikirkan tetapi aku belum bisa membagi rahasiaku dengannya. Belum waktunya sampai aku tahu perasaannya padaku.

"Aku rindu padamu, Akaba. Apa kamu juga rindu padaku? Ah, apa yang kamu pikirkan, Mamori. Kalian 'kan tidak punya hubungan apa-apa selain berteman. Ya, hanya berteman. Hanya aku yang punya perasaan sepihak."

Di saat pikiranku penuh akan dirinya, tiba-tiba saja ponselku berdering tanda email masuk. Kubaca pesan darinya yang berisi kalau ia ingin menemuiku di taman itu. Tentu saja aku menyanggupinya. Aku merasa sangat senang dan senyumku terus terkembang. Kuhiraukan ajakan Suzuna dan yang lainnya ke karaoke. Tujuanku hanya satu. Ke taman itu dan bertemu dengannya.

Aku telah tiba di taman itu dan menunggunya dengan perasaan yang berdebar-debar. Akhirnya saat yang dinanti pun tiba. Aku kembali bertemu dengannya. Tindakannya yang tiba-tiba membuatku terkejut, ia memelukku sambil berbisik kalau ia merindukanku. Saat itulah baru kusadari bahwa perasaanku tidak hanya sepihak apalagi setelah ia meminta waktu khusus bersamaku, ia menolak untuk mengakuinya sebagai kencan. Tanpa ragu-ragu aku menyanggupi permintaannya. Setelah itu kami kembali berpelukan, saling mencurahkan rasa rindu sambil mendengarkan degup jantung kami yang berirama kacau.

Kejadian di taman itu membuatku sama sekali tidak bisa tidur. Janji di waktu khusus yang kami buat telah ditetapkan. Waktu di mana jawaban yang selama ini ingin kuketahui akan terungkap. Aku sama sekali tidak sabar menantikannya. Karena terlalu senang beberapa anggota klub kembali bingung dengan perubahan sikapku yang terlampau ceria dan tidak mempan dengan ejekan Hiruma. Suzuna seperti biasa mulai curiga kepadaku. Anak itu benar-benar selalu ingin tahu mengenaiku terutama masalah percintaanku.

"Akhir-akhir ini Kak Mamori selalu ceria, ya. Apa ada sesuatu yang bagus sedang terjadi?" tanyanya saat kami sedang mempersiapkan air minum dan handuk untuk dibawa ke lapangan.

"Ah, tidak juga. Bukankah aku selalu ceria dan semangat setiap hari apalagi saat melaksanakan tugasku sebagai manajer Devil Bats," kataku tersenyum.

"Benar juga. Tetapi kakak biasanya akan berubah ketika menghadapi Kak You."

"Berubah bagaimana?"

"Ya, berubah galak melawan Kak You sambil memegang sapu. Bertengkar seperti biasa karena Kak You meledek kakak," katanya sambil membuka pintu ruang klub. "Tetapi yang kulihat sekarang kakak jarang bertengkar dengan Kak You. Kalau Kak You mengejek Kak Mamori cuma tersenyum."

Aku baru menyadari perubahan sikapku seperti itu dan kagum dengan pengamatan Suzuna yang jitu. Aku perlu mewaspadai kemampuannya itu.

"Oh, soal itu. Aku hanya merasa tidak perlu sering-sering meladeninya dan belajar menghadapinya dengan kepala dingin," kataku mencoba meyakinkan Suzuna.

"Benarkah?" tanyanya ragu. Aku hanya tersenyum. "Yaa, padahal aku lebih suka melihat kalian bertengkar. Bertengkar itu menunjukkan kemesraan kalian."

Aku terkejut mendengar ucapannya. Nyaris saja botol-botol minum yang kubawa terjatuh.

"Kamu bicara apa, Suzuna? Apanya yang menunjukkan kemesraan?" tanyaku memaksa tawa.

"Yaa, Kak You dan Kak Mamori itu 'kan pasangan yang serasi. Kalian bahkan bisa saling mengerti apa yang dibicarakan hanya dengan saling berkirim kode jari," katanya berbinar-binar.

"Kamu bisa saja, Suzuna. Hubunganku dengan Hiruma tak lebih dari kapten dan manajer. Saling berkirim kode itu 'kan hanya saat pertandingan saja," kataku mencoba meluruskan pembicaraan. Aku tak ingin ada kesalahpahaman.

"Aku tahu. Tetapi Kak Mamori harus lebih sering memperhatikan gerak-gerik Kak You," katanya misterius. "Aku duluan, ya!"

Belum sempat aku ingin bertanya maksud pertanyaannya, Suzuna sudah meninggalkanku di belakang. In-line skate yang selalu dipakainya membuatnya lebih cepat sampai di lapangan daripada aku. Setelah sampai di lapangan aku dan Suzuna segera membagikan minuman dan handuk kepada mereka yang sedang istirahat dari latihan neraka Hiruma. Aku selalu mencemaskan mereka semua terutama Sena, tetapi aku percaya kalau latihan ini sangat diperlukan. Hanya saja anggota Devil Bats harus berlapang dada dipimpin oleh kapten seperti Hiruma.

Aku menghampiri Hiruma yang duduk sendirian sambil berkutat dengan laptopnya dan memberikan minuman dan handuk padanya. Dia hanya menerimanya tanpa menatapku, hal yang sudah biasa kuterima. Setelah itu aku kembali ke tempat yang lain beristirahat. Kata-kata Suzuna tadi masih terngiang di kepalaku dan membuatku melirik sekilas ke Hiruma. Tidak ada yang aneh dengannya, masih seperti biasa. Mungkin sikapnya padaku beberapa hari yang lalu memang tidak biasa, tetapi itu hanya sebatas urusan klub.

Suzuna memang selalu berpikiran yang terlalu jauh antara aku dan Hiruma. Aku memang kagum pada kemampuan Hiruma, tetapi tidak untuk sikap buruknya. Dia orang yang sangat penting untuk Devil Bats walaupun semuanya juga sama pentingnya. Aku sama sekali tidak memiliki perasaan apa pun padanya. Perasaanku hanya untuk dia, si mata merah maniak musik dari Bando Spiders. Hayato Akaba yang berhasil menjerat manajer malaikat Deimon Devil Bats di jaring laba-labanya, aku tahu itu berlebihan. Aku tidak tahu apa yang akan dikatakan yang lain jika seandainya aku menjalin suatu hubungan lebih dengannya. Kurasa aku tidak perlu mendengar tanggapan yang lain karena dia pilihanku.

Hari yang dinanti pun tiba. Sekarang hampir memasuki bulan November, masih musim gugur. Cuaca mulai dingin dan jalan-jalan penuh dengan guguran daun. Aku sudah mempersiapkan diriku dengan sebaik-baiknya. Padahal malam harinya aku sama sekali tidak bisa tidur karena terlalu gugup. Aku tidak tahu apa yang akan dikatakannya jika melihat penampilanku. Tidak ingin terlambat aku pun segera menuju ke tempat janjian di depan taman. Setelah sampai di taman aku sudah melihat dirinya sedang berdiri sambil menenteng tas gitarnya. Tidak kusangka kalau ia tetap membawa gitarnya. Kurasa gitar itu benar-benar saingan beratku untuk mendapatkannya.

"Akaba," panggilku sambil melambaikan tangan. Ia membalas lambaian tanganku. "Maaf, aku terlambat."

"Fuh, kau tidak terlambat. Masih tersisa sebelas menit dari waktu yang ditentukan," katanya melirik jam tangannya. "Jadi, kau tidak perlu terburu-buru, manajer Deimon."

Aku benar-benar terpesona melihat senyuman serta penampilannya hari ini. Biasanya dia selalu mempesona, tetapi hari ini berbeda. Mungkin saja karena pertemuan kali ini juga berbeda. Dia tidak mengatakannya kencan, tetapi bagiku ini kencan. Aku terdiam beberapa menit menatapnya. Kali ini ia mengenakan kemeja merah marun yang kerahnya terbuka lebar dengan celana panjang hitam. Penampilan kasualnya yang biasa dan tak lupa kacamata yang selalu menyembunyikan mata merahnya. Padahal aku lebih suka melihat mata merah itu secara langsung, walaupun pada awalnya terlihat menyeramkan. Tetapi masih lebih menyeramkan Hiruma yang berwajah seperti setan dengan telinga dan giginya yang runcing serta kukunya yang tajam.

"Akaba benar-benar tampan."

Dia menyadari lamunanku. "Anezaki, kamu tidak apa-apa?"

"Ah, iya. Aku tidak apa-apa," kataku cepat. Malu ketahuan menatapnya seperti itu.

"Syukurlah. Kupikir kamu demam panggung," katanya diselingi tawa.

"Aku 'kan tidak sedang melakukan pertunjukan jadi mana mungkin demam panggung. Ah, jadi kita mau kemana?" tanyaku penasaran. Dia sama sekali tidak memberitahuku tempat mana yang akan dikunjungi.

"Kau akan tahu nanti," katanya misterius. "Jadi, jangan lepaskan tanganmu dariku."

Tanpa kusadari tanganku telah berada digenggaman tangannya. Tentu saja aku terkejut dengan tindakannya. Semakin lama ia semakin berani bertindak dan aku harus selalu siap menghadapinya. Beberapa orang yang lewat mulai memperhatikan kami.

"Tidak keberatan, 'kan?" tanyanya padaku yang masih gugup.

"Ti-tidak apa-apa," kataku. Kuyakin wajahku sangat memerah.

"Fuh, baguslah. Tetapi kau tidak perlu segugup itu padaku, santailah seperti biasa, Anezaki. Stabilkan ritmemu dan buatlah melodi yang indah, atur juga tempomu menjadi sedang," katanya dengan campuran bahasa musiknya. Mendengar perkataannya justru membuatku pusing.

"Bi-bisa pakai bahasa yang mudah dimengerti?" pintaku.

"Fuh, kau harus tenang. Kalau seperti ini saja kau sudah gugup bagaimana aku bisa melakukan hal yang lainnya," gumamnya.

"Apa maksudmu?"

"Lupakan. Ayo kita jalan," katanya menarikku. "Fuh, seharusnya kukatakan ini di awal. Hari ini kamu cantik sekali, Anezaki."

Aku kembali dibuatnya terkejut. Dia mengatakan kalimat tadi sambil tersenyum. Kurasa baju pilihanku sudah tepat. Dress selutut berwarna lembayung dipadu dengan cardigan putih.

"Terima kasih," kataku malu.

Hanya itu yang bisa kukatakan. Sebenarnya aku juga ingin memujinya, tetapi semua kata-kata itu hanya terucap di dalam hati. Aku tidak berani mengutarakannya secara langsung, terlalu malu. Kulirik tanganku yang berada digenggaman tangannya. Tangan kuat seorang atlet, tangan yang sering memainkan gitar, tangan laki-laki yang kusukai. Sangat hangat berada digenggamannya. Ragu-ragu kubalas genggamannya hingga ia semakin mengeratkannya. Tidak kusangka debaran jantungku tak mau berhenti sejak bertemu tadi. Wajahku pun terus memerah.

Kami menentukan kencan ini di hari minggu sehingga tidak heran jika suasananya sangat ramai. Semua orang memang memanfaatkan hari seperti ini untuk bersantai. Kami terus berjalan sambil sesekali mengobrol. Di dalam hati aku berkata bahwa hari ini kami benar-benar terlihat seperti pasangan. Aku sangat mengharapkan hal ini benar-benar terwujud.

"Bolehkah aku berharap, Akaba?"

Tak lama kemudian kami telah tiba di taman bermain. Tak kusangka dia akan mengajakku kencan di tempat seperti ini. Dia menoleh ke arahku sambil tersenyum.

"Mau melepas lelah di sini?" tanyanya.

Aku hanya terdiam sesaat sebelum menjawab. "Ya, tentu saja. Kenapa tidak?" kataku tersenyum.

Dia kembali tersenyum dan kami segera memasuki taman bermain tersebut. Sebelumnya kami mengantri di loket untuk membeli tiket. Antriannya sangat panjang. Wajar saja mengingat kalau hari ini hari minggu. Banyak keluarga mulai dari anak-anak hingga orang dewasa mendatangi tempat ini. Setelah mendapat tiket kami segera memasuki arena taman bermain tersebut dan disambut dengan berbagai macam wahana permainan yang sangat menarik. Sudah lama juga aku tidak kemari. Terakhir kali aku ke sini mungkin beberapa bulan yang lalu bersama anggota klubku. Itu pun tidak bisa disebut menikmati liburan karena Hiruma memanfaatkan setiap wahana sebagai tempat latihan. Aku benar-benar tidak mengerti caranya yang menikmati waktu bersantai.

"Mau main wahana yang mana?" tanyanya yang membuyarkan lamunanku.

"Ah, aku juga bingung mau main yang mana dulu," kataku sambil menatap ke sekeliling.

"Fuh, kita mulai dari yang ringan dulu. Bagaimana kalau Cangkir Putar itu?" sarannya sambil menunjuk wahana yang tidak jauh dari kami.

"Hm, boleh juga," kataku tersenyum.

Kami segera menuju ke tempat wahana tersebut. Saat berjalan aku memperhatikan sekelilingku. Selain keluarga banyak sekali pasangan yang datang kemari. Wajah-wajah mereka terlihat bahagia. Aku hanya tersenyum menatap pasangan-pasangan tersebut dan sedikit merasa iri. Tetapi tidak sedikit juga yang melirik ke arah kami seolah-olah mengira kami pasangan. Walaupun hari ini aku kencan dengan laki-laki yang kusukai, tetapi dia bukanlah pacarku. Namun, kalau dia mengajakku kencan mungkin saja dia juga punya perasaan yang sama denganku. Selain itu dia bilang ada yang ingin dikatakannya padaku. Bisa saja dia ingin menyatakan perasaan padaku. Memikirkan hal ini membuatku malu.

"Apa yang kamu pikirkan, Mamori? Jangan langsung berpikir ke sana. Nikmati saja waktu bersenang-senangmu dengan Akaba."

Aku berusaha meyakinkan diriku untuk bersenang-senang dengannya.

"Tetapi tidak ada salahnya berharap, 'kan? Untuk apa Akaba mengajakku kencan kalau dia tidak punya maksud lain. Jangan-jangan dia memang suka padaku."

Batinku menjerit dan menyerukan isi hatiku yang sebenarnya. Hal ini sudah mengganggu pikiranku sejak kemarin. Aku tahu kalau aku terlalu berharap akan terjadi sesuatu di kencan ini. Aku berharap dia akan menyatakan perasaannya padaku. Jika dia memang benar-benar akan melakukannya, maka aku harus mempersiapkan hati dan mentalku.

"Kau baik-baik saja, Anezaki? Ada yang sedang kau pikirkan?" tanyanya yang kembali membuyarkan lamunanku.

"Ah, tidak. Tidak ada apa-apa," kataku berusaha mengelak.

Dia hanya tersenyum dan mengeratkan genggaman tangannya padaku. Sebelah tangannya yang tadi memegang tas gitar kini tengah mengelus pelan pipiku. Aku menikmati sentuhan tangannya di pipiku hingga tanpa sadar kupejamkan mataku. Mataku terbuka ketika mendengar suaranya.

"Santai saja, Anezaki. Jangan banyak berpikir dan bersenang-senanglah," katanya.

Aku tersenyum menanggapi perkataannya. Nada bicaranya tadi sangat lembut hingga membuatku sulit mengendalikan detak jantungku. Sangat menenangkan dan berbeda dari nada bicaranya yang biasa.


Bagaimana tanggapan kalian dengan fic ini? Silakan tuliskan komentar kalian di kolom review.

Terima kasih bagi para pembaca yang sudah membaca fic ini. Sampai ketemu di chapter selanjutnya.


October, 2012

Neary Lan