Disclaimer: JK. Rowling, the Master.

First, saia makasih banget buat yang udah review FF saia, Mrs Malfoy. Semoga cerita ini lebih baik dari itu. Dan dimohon dengan sangat atas REVIEW-nya :D


Hermione Granger melongo kagum melihat pemandangan di depannya. Ya ampun, betapa indahnya pemandangan ini, batinnya. Ia melangkahkan kakinya untuk masuk, sebelum seseorang menabrak bahunya dengan sengaja.

"Hei!"

Laki-laki itu berbalik, melihat siapa yang telah ditabraknya. Sorot matanya tajam, dan tidak ada kebaikan sama sekali di dalam mata biru-kelabu itu. Ia menatap Hermione dari ujung kaki sampai ujung rambut, dan tersenyum sinis sambil masuk ke dalam. Menghampiri si penjaga kebun yang menyambutnya dengan senyuman.

"Apa-apaan—?"

Hermione sempat mendengar yang dikatakannya pada penjaga itu.

"…gadis kotor itu kemari?" dia menatap Hermione seperti ingin berkata, 'kau tak pantas ada di dunia.'

Hermione berjalan cepat-cepat ke arahnya, dan menarik bahu kekarnya yang tegap.

"Maaf, Mister," katanya menekankan kata terakhir yang diucapkannya. "Sepertinya ada yang tidak menyenangkan di sini?"

Orang itu menepis tangan Hermione, dan membersihkan jasnya yang seolah-olah terkena kotoran lumpur yang tidak bisa dicuci.

"Anda perhatian sekali, Miss."

"Siapa yang Anda sebut gadis kotor, Mister?" tanya Hermione tajam. "Kalau aku boleh tahu?"

"Kurasa kau tahu siapa, Miss Mudblood. Setidaknya kau menyadarinya."

Hermione melayangkan tangannya sebelum orang itu menangkapnya, dan mencengkramnya keras-keras.

"Jangan layangkan tangan putih kecil kotor ini lagi, Miss. Kalau kau merasa masih punya kehormatan?"

Hermione menarik tangannya yang merah, dan berjalan menelusuri perpustakaan—atau 'kebun' yang super besar itu. Perpustakaan Wizards Here! terletak di dekat Diagon Alley yang tidak terlalu ramai sekarang. Tentu, ini, kan, jam setengah enam sore. Perpustakaan itu memang baru didirikan saat dirinya masih bersekolah di Hogwarts pada tahun ketujuhnya. Baru sekitar 2 tahun kurang. Tapi baru kali ini Hermione bisa menyempatkan waktunya untuk singgah sebentar di kebun terkaya ini.

Oh, God. Bagaimana mungkin aku bertemu dengannya lagi? Mau apa dia ke sini? Hermione mengangkat roknya yang panjangnya di bawah lutut, dan berjalan menaiki tangga setengah lingkaran berkarpet merah jambu itu. Terserah, aku tidak peduli padanya, batin Hermione.

Di lantai 2 itu tidak ada siapa-siapa. Lengang. Ia tersenyum girang ketika matanya menangkap sebuah papan besar bertuliskan 'Wizards' Stories'. Sudah lama ia tidak menghabiskan waktunya untuk membaca novel-novel para penyihir yang sangat menggugah hatinya. Ia masih ingat pertama kali ia membaca sebuah novel karya Pablo de Feauxio saat ia berlibur di Paris 14 tahun yang lalu. Novel setebal 637 halaman itu sanggup dibacanya dalam waktu tiga jam kurang. Dia menghampiri rak-rak jumbo di bawah papan besar yang berjajar rapi itu, dan memutuskan untuk memilih buku di rak yang paling ujung dan paling dekat dengan jendela. Ia mengambil sebuah buku berwarna merah darah berjudul 'The Tragedies' karya Jenna Lucas, penulis yang terkenal dengan karya-karyanya yang tragis. Yang Hermione dengar, Lucas sudah berumur sekitar 93 tahun, dan masih gemar mengarang novel atau cerita pendek yang berakhir tragis. Walaupun karyanya rata-rata sad ending, para penggemarnya tidak pernah bosan membaca buku-bukunya yang sudah terbit sejak tahun 1920. Saat umurnya masih 16 tahun. Usia yang muda, tapi buku pertamanya langsung meledak di pasaran.

Hermione membuka lembar pertamanya, di sana tertulis; 'Sediakan tisumu sebelum kau jatuhkan air matamu'. Lucas memang selalu mencantumkan kalimat itu di setiap bukunya. Berlebihan memang, tapi itu benar. Lucas selalu membuat pembacanya meneteskan air mata dengan pemilihan kata-katanya yang menusuk. Bahkan, ketika Hermione meminjamkan salah satu buku Lucas yang dimilikinya pada Ginny, Ginny bersumpah kalau dia tidak bisa tidur, dan sering memimpikan buku berjudul 'I Give You My Tears' itu tahun lalu.

Hermione membuka lembar-lembar selanjutnya, dan berhenti pada lembar ketiga. Kebetulan, yang dibacanya sekarang adalah sebuah novel yang di dalamnya ada satu-dua cerita tragis tambahan. Di lembar itu tertera sebuah judul yang sederhana: Blood.

"Sepertinya akan ada beberapa waktuku yang terbengkalai," gumamnya.

Sebelum membaca paragraf awal, ia merasa ada seseorang yang datang. Yang menghentak-hentakan kakinya di karpet merah di tangga setengah lingkaran. Yang mengganggu waktu membacanya.

"Mulai membaca cerita-cerita cengeng, Miss Granger?" cemooh orang itu.

Hermione menutup bukunya, dan berbalik. Ia tak kaget dengan penglihatannya. Sudah 7 tahun ia melihat wajah memuakkan orang itu. Dan tadi ia melihatnya juga. Keangkuhannya masih ada, tidak tertinggal sedikitpun. Oh, Hermione benci melihatnya.

"Mau apa lagi kau? Tak cukupkah waktu tujuh tahun untuk menggangguku?"

Cowok itu menyeringai. Seringai andalannya. Betapa Hermione ingin menghapus seringai itu dari bibirnya yang tipis.

"Jangan berpikir negatif, Granger. Aku tidak mengganggumu. Hanya mencuri waktu berhargamu."

"Oh, Malfoy! Bisakah kau melakukan hal-hal berguna selama sisa hidupmu?"

Draco Malfoy memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, dan berjalan menghampiri Hermione. Tampak memukau, membuat siapapun terpesona dengan penampilannya kali ini. Tapi Hermione jelas tidak. Penampilan sederhana—tidak seperti biasanya—namun memukau. Dia memakai jas hitam dan celana panjang dengan kemeja putih yang keluar dari celananya, dasinya terpasang acak-acakkan di lehernya. Bukan dasi Slytherin yang berwarna hijau-perak lagi, melainkan dasi hitam bergaris-garis. Rambutnya tidak ditata rapi seperti biasanya, tapi sebaliknya, berantakan. Tapi sinar di mata biru-kelabunya tetap sama. Indah, namun angkuh. Penampilannya memang mirip seperti yang dilihat Hermione dulu-dulu. Badboy. Tapi sekarang dia terlihat lebih parah dari badboy. Sepertinya, ada sesuatu yang tidak beres padanya, tapi tentu saja Hermione tidak peduli.

Dia bersandar di rak buku—tempat Hermione mengambil bukunya tadi, dan melipat kedua tangannya. Hermione masih berdiri di sana, hanya berjarak beberapa sentimeter dengannya.

"Terima kasih atas saranmu, Miss Brilian."

Hermione duduk di kursi empuk panjang berwarna kuning di belakangnya. Draco berdiri tepat di depannya. Memandangnya seperti tontonan memuakkan, namun juga mengasyikan. Hermione membuka lembar cerita yang tidak jadi dibacanya, tadi. Mulai berkonsentrasi, menganggap si pirang itu tidak ada, dan dia hanya sendiri di sana. Ia pun mulai membaca novel itu dalam hati.

'Tidak ada yang tidak tahu apa yang disebut dengan darah. Cairan berwarna merah yang mengalir di tubuh kita. Yang bersarang di salah satu alat tercanggih ciptaan Tuhan: jantung. Darah juga adalah cairan yang keluar jika kita terluka secara fisik. Antibodi super ampuh yang tidak bisa diciptakan oleh manusia terpintar manapun. Darah adalah abadi, walaupun kita mati. Darah memang akan membeku saat itu, tapi tak pernah hilang dari tubuh. Jika kita menghabiskannya—'

"Kau mau mengacuhkanku, Miss?"

Hermione mendongak memandang wajah pucat yang terlihat lebih pucat itu. "Kau mau apa, Malfoy?"

"Kau mengacuhkan pria paling tampan sepertiku hanya demi sebuah buku sampah tak berguna itu? Bodoh sekali," katanya menyeringai.

"Aku tidak punya waktu untuk meladenimu," kata Hermione kesal.

Draco tersenyum—bukan senyum yang pantas ditiru. "Kau menyebalkan, Granger."

"Oh ya? Lalu apa yang kau tunggu dari orang menyebalkan sepertiku?"

"Dan kau ingin tahu?"

"Lupakan, Malfoy," kata Hermione sambil membaca kembali bukunya. Mengacuhkan pandangan si pirang yang masih memperhatikannya tanpa tahu maksudnya.

'--maka kita tidak akan pernah mendapatkannya lagi.

Julie van Halven, anak dari pasangan petani Muggle yang tidak pernah sekalipun mendengar kata 'sihir'. Maka ketika sebuah sekolah sihir di Inggris mengundangnya untuk masuk, orang tuanya patuh saja. Yang penting anaknya bisa sekolah. Julie dibesarkan dengan ekonomi keluarga yang pas-pasan. Dia bahkan harus menunggu 1 tahun untuk mendapat semua buku pelajaran yang dibutuhkannya dengan utuh. Untungnya, sekolahnya berbaik hati meminjamkan buku-buku yang diperlukannya selama ia bersekolah di sana. Julie tidak pernah punya teman. Ia selalu menjadi bahan cemoohan teman-temannya, dan tak pernah—'

"Kau pakai rok?"

Ya ampun! Lagi-lagi dia menggangguku! batin Hermione.

"Apa urusanmu, Mister? Kau mau coba?"

Draco menaikan sebelah alisnya penasaran. "Apa ukuranmu pas untukku?"

Jujur saja, mendengar pertanyaan itu, Hermione tertawa dalam hatinya, dan menyunggingkan senyum di ujung bibirnya. Hermione mengabaikan pertanyaan itu, dan meneruskan bacaannya.

'--ada yang mau berteman dengannya. Anak malang, dia bersekolah di sekolah sihir bermayoritas Pureblood. Dan dia hanya sendirian di sana—anak yang berdarah Muggle-Born. Semua penghuni sekolah menganggapnya sampah, hanya segelintir guru yang menganggapnya ada, dan sama seperti Pureblood-Pureblood lainnya. Hanya karena dicap kotor oleh hampir seluruh sekolah, tidak membuatnya putus asa.'

Hermione menghentikan bacaannya, dan mendongak untuk melihat Draco yang masih berdiri angkuh di depannya. Mengapa dia masih di sini? batin Hermione. Mata si mantan Slytherin itu memandang awan putih di balik jendela, menerawang jauh, meninggalkan tempatnya berdiri sekarang. Ada yang aneh dengannya. Biasanya, dia tidak pernah mau menghabiskan waktu lama-lama bersama Hermione, tapi sekarang?

"M-Malfoy," kata Hermione. Draco menoleh. Tatapannya berubah menjadi seperti biasanya. "Apa—apa aku…" dia tidak menyelesaikan kata-katanya. Dia tidak berani untuk menanyakan hal itu.

"Kau apa?"

Hermione menggeleng, dan menunduk menatap bukunya yang terbuka. Dia hanya ingin mengatakan empat kata saja, tapi tidak bisa. Dia tidak berani, karena kata-kata itu pasti akan menyakiti hatinya. Dan dia sulit membayangkan, apa yang akan dijawab Malfoy.

"Kau bicara apa, Granger?"

"T-tidak… Lupakan…"

Draco mengangkat bahu, dan mengambil sebuah buku cukup tebal di belakang kepalanya. Ia membaca judul yang tertera di sampul buku kecoklatan seperti lumpur itu; 'The Muggle-Borns: Bad and Good Sides.'

"Kau sudah baca buku ini?" tanyanya.

"The Muggle-Borns? Bad and Good Sides? Karya Cassie Stuxford?

Draco mengerling nama pengarang di bawah judul buku itu. Kemudian ia menggeleng. "Tebakan salah, Granger. Di sini tertulis; karya Eve Bark."

Hermione mencibir. "Yang kutahu, buku itu karangan Cassie Stuxford."

Draco menyeringai. Sebenarnya buku itu memang karangan Cassie Stuxford, tapi Draco ingin melihat reaksi si Kutu Buku itu ketika salah menjawab. Ternyata, cukup buruk. Dia sudah terbiasa merasa paling benar, batin Draco. Draco berjalan menuju kursi empuk panjang berwarna kuning yang sama seperti Hermione. Namun ia duduk di ujung satunya, sementara Hermione di ujung lainnya. Tidak ingin dekat-dekat dengan gadis itu, tentu saja.

"Kenapa kau baca buku itu?" tanya Hermione.

Draco mengangkat buku yang dipegangnya. "Apa urusanmu?"

Hermione bungkam tanpa suara. Kata-kata itu selalu membuatnya diam. Lagipula, tidak ada untungnya juga bagi Hermione tahu alasannya. Hermione meneruskan bacaannya, dan mulai berkonsentrasi lagi.

'Padahal, bisa dibilang, Julie adalah gadis tercantik di sekolahnya. Wajahnya putih bersih, pipinya mulus berwarna merah muda, bibirnya kecil merah merekah, dan matanya biru cemerlang bagai samudera. Rambutnya pirang bergelombang, tergerai indah di punggungnya, dan badannya tinggi semampai. Tapi tidak seorang pun laki-laki yang menganggapnya ada. Walaupun ada, dia akan menganggap Julie sabagai mainan. Alfarello van Duff, bangsawan terkaya di kotanya—anak laki-laki yang menganggapnya ada, tetapi selalu memperlakukannya tak lebih dari seorang pembantu. Alfarello adalah anak laki-laki yang tampan. Mata hazel-nya selalu berkilauan, tapi cenderung angkuh. Rambutnya coklat gelap, dan tertata rapi, cukup keren untuk ukuran anak seumurannya.'

"Granger?"

"Apa?"

Draco menggeleng. "Tidak…"

"Apa, Malfoy?"

"Tidak ada."

Hermione memutar bola matanya, dan terus membaca. Dia sedang error mungkin, pikirnya.

'Alfarello juga anak laki-laki yang sangat Julie benci. Darahnya selalu menyala ketika melihat sedikit dari seluruh bagian tubuhnya yang menurut Julie menjijikan.'

'"Mr. van Duff, Yang Mulia."'

'Panggilan itu selalu membuat Julie muak. Apa, sih, yang orang-orang bodoh itu harapkan dengan memanggilnya sebagai 'Yang Mulia' ?

'Dan sekarang, Julie sedang berada di sana. Di sekolahnya yang mengerikan. Panas bagai neraka.'

Hermione mengerling Draco yang juga sedang asyik membaca bukunya. Ada kemiripan di cerita ini. Tapi Hermione yakin kalau itu hanya kebetulan. Ketidaksengajaan.

"Apakaumenganggapkutaklebihdaripembantumu?" tanya Hermione cepat.

"Apa?" Draco menghentikan bacaannya.

"Tidak ada."

Hermione menghela napas pelan. Aneh. Rasanya ada suatu hal yang berbeda di antara mereka. Sejak tadi, sejak di pintu masuk perpustakaan. Sejak dia menabrak bahu Hermione. Tapi Hermione masih belum yakin, hal itu belum begitu terasa. Keheningan yang berkali-kali menyelimuti mereka menyita semua perhatiannya dari bukunya. Benar-benar ada yang berbeda di sini. Kenapa Malfoy tidak pergi? Mau apa dia kemari dan menghampiriku dengan tiba-tiba? Dan ada apa dengan penampilannya yang berubah jauh dari sebelumnya? Hermione membuang pertanyaan bodoh itu jauh-jauh, dan meneruskan bacaannya.

'"Permisi, Miss van Hole," cemooh Alfarello. "Kau sudah mencuci sarung tanganku yang terkena bersin si bodoh Randoux?"'

'"Memang kau siapa? Majikanku, Mr. van Dumb?"'

'Alfarello menjambak rambut pirang Julie keras-keras. Sampai ada empat-lima helai rambutnya yang rontok. Alfarello tersenyum puas melihat Julie yang kesakitan, dan berjalan pergi dengan angkuhnya bersama teman-temannya yang tak jauh beda darinya—sebelum Julie menginjak sepatu cemerlangnya yang masih baru dengan sengaja.'

'"Dasar kau Mudblood kecil kotor!"'

Hermione agak tersentak membaca kalimat itu. Mudblood kecil kotor. Panggilan yang selalu diucapkan oleh orang yang duduk di sebelahnya. Entah kenapa, hatinya seolah bergetar.

"Sudah kuduga, Mudblood memang seperti ini!" sahut Draco.

Mudblood…

"Apa yang kau katakan barusan, Ferret?"

Draco menoleh dengan wajah tanpa dosa. "Kau bilang apa?"

"Kubilang, tutup mulutmu, Ferret!" kata Hermione sambil menutup bukunya dengan keras. "Mengapa kau tidak bisa berhenti mengucapkan kata kasar itu dari mulutmu untuk sehari saja?"

"Kata kasar apa?" tanya Draco bingung. Jelas dia tidak menyadarinya, karena asyik sendiri dengan bacaannya.

"Kau bodoh, eh? Jelas-jelas kau menyebutkan kata itu tadi! Jangan menghina kami hanya karena kami—" Hermione berhenti sejenak. Kemudian dengan suara bergetar, dia melanjutkan, "—karena kami Mudblood! Memang kau pikir darahmu yang paling bersih? Yang paling agung? Oh, Yang Mulia, Draco Malfoy!"

Hermione bangkit dari tempat duduknya, dan beranjak meninggalkan tempat itu. Mata biru-kelabu Draco mengikuti tubuhnya yang bergerak menuruni tangga dengan tatapan bingung.

"Mungkin yang dimaksudnya—Mudblood?"


Hermione melihat jam besar di perpustakaan itu. Pukul 10.00 p.m. Sudah larut. Sudah empat jam dia di sana. Berganti-ganti buku yang berbeda isinya. Tapi dia belum melanjutkan ceritanya yang pertama. Masih belum.

Hermione berdiri tegap, mengedarkan pandangannya dengan teliti. Sudah tidak ada orang lagi selain dia di sana. Perpustakaan sudah akan tutup—sepertinya mereka menunggu Hermione yang belum keluar dari sana. Ia meletakan setiap buku pada raknya masing-masing, dan menunduk memandang buku terakhir yang belum dikembalikannya. Ia menguap, dan berjalan menuju tangga. Salah satu penjaga—yang ditemui Hermione tadi sore—melihatnya, dan memanggilnya.

"Miss!" Hermione berbalik. Pakaian penjaga itu sudah diganti, sepertinya bersiap-siap akan pulang. Terlihat tergesa-gesa. "Perpustakaan akan tutup sebentar lagi."

Hermione tersenyum. "Aku hanya mau mengembalikan buku ini sebentar."

Penjaga itu mengangguk, dan duduk di kursi lipat di depan pintu. Hermione mengangkat roknya lagi, dan berjalan menaiki tangga. Lampu-lampu di lantai 1-5 sudah dimatikan. Namun cahaya di lantai 2 itu cukup menerangi langkahnya, karena dibantu cahaya bulan yang gemerlapan di balik jendela kaca besar. Hermione berhenti sejenak untuk memandang bulan penuh, matanya berdecak kagum. Bulan belum pernah seindah itu sebelumnya. Ia tersenyum kecil, dan meneruskan langkahnya.

Hermione mengerling papan besar bertuliskan 'Wizards' Stories' yang didatanginya beberapa jam yang lalu. Rak-rak jumbo itu tidak terlalu terlihat karena minimnya cahaya. Dia berjalan perlahan, dan meletakan buku itu di raknya yang tadi.

"Besok akan kupinjam," gumamnya.

Hermione berbalik, dan mengernyit. Ia melihat dasi hitam bergaris-garis yang dilihatnya beberapa jam yang lalu, tergeletak di karpet coklat yang diinjaknya. Tapi, ke mana Malfoy? Mengapa dia meninggalkan dasinya tergeletak di sini?

"Miss?" panggil si penjaga perpustakaan. Sepertinya ia ingin cepat-cepat pulang.

"Sebentar!" sahut Hermione. Ia masih bingung. Sejak tadi, ada yang aneh dengan cowok itu.

"Itu dasiku."

Hermione berbalik, dan matanya melebar. Dia benar-benar tidak mempercayai penglihatannya. Ia mundur selangkah, mencengkram dasi yang dipegangnya erat-erat.

"K—kau…"

"Jam 10, terlalu malam untuk seorang gadis seusiamu. Kau masih menungguku, eh?"

Hermione menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Dia masih memegang dasi itu erat-erat. Orang itu berkemeja putih polos yang keluar dari celananya, tanpa jas hitam yang tadi dikenakkannya. Wajahnya pucat seperti mayat—Hermione bahkan sempat berpikir kalau dia inferi, bibirnya yang tipis dihiasi luka-luka dengan darah yang masih segar. Matanya menembus mata Hermione. Liar, seperti singa yang siap menerkam buruannya kapan saja. Dia benar-benar mengerikan dalam pikiran Hermione. Apa benar yang ada di depannya ini adalah—

Draco Malfoy yang tadi dilihatnya?

"K—kau… Apa yang terjadi?" tanya Hermione.

"Miss? Anda sudah selesai?"

Orang—yang Hermione curigai itu bukan Malfoy—menjilat bibirnya yang menyeringai. "Rupanya masih ada gadis lain di sini, eh?"

"Miss? Saya tinggalkan kuncinya di meja saja, ya? Saya ada urusan penting," dan Hermione mendengar pintu perpustakaan besar itu tertutup. Sekarang ia benar-benar menyadarinya: bahwa hanya dia dan makhluk yang mengaku Malfoy itu yang berada di sini.

"Takut, Miss Granger?"

Hermione menatapnya dengan menantang. Pasti ini hanya akting amatirnya!

"Jangan berakting, Malfoy," Hermione tertawa mengejek. Mengacungkan tongkatnya dari sakunya. "Aku tahu trikmu."

Ia mundur lagi, tampak waspada. Draco berjalan mendekatinya, memperkecil jarak di antara mereka.

"Jangan main-main denganku, Malfoy!" teriak Hermione. "Kalau kau lakukan satu gerakan kecilpun—" Draco maju selangkah, membuat Hermione tersentak. "Reducto!"

Draco terlempar ke belakang, menabrak rak besar yang bergoyang. Dia gila! Dia benar-benar gila! Hermione berlari cepat-cepat ke arah tangga, dan menengok ke belakang. Draco tidak ada di tempatnya. Hermione berlari di depan jendela kaca besar tempat bulan purnama menampakkan diri. Ia terus berlari, sebelum Draco muncul dari balik rak buku besar yang gelap, dan menjatuhkannya. Menabrak tubuh Hermione dengan keras. Draco menepis tongkat Hermione hingga terlempar ke belakang rak, dan mencengkram kedua tangan Hermione erat-erat. Pandangannya menerawang menatap Hermione. Begitu aneh. Bukan Draco Malfoy yang dikenalnya. Ia membangunkan Hermione, dan mendorongnya menuju jendela kaca besar yang diterangi bulan purnama. Hermione menjerit ketika Draco menahan kedua tangannya dengan tangannya yang kuat. Sementara tangannya yang lain meraba leher Hermione, dan sesaat kemudian—

Dia mencekik Hermione.

"Lepaskan aku!!!" Hermione berteriak. Mencoba berontak. Tapi badan Draco menekan badannya, mendesaknya, memaksanya untuk tetap diam. Kedua kaki Draco menginjak kaki Hermione dengan sepatunya yang berat. Ia berdiri di atas kaki Hermione. Tubuhnya tegang, pandangan matanya masih menatap Hermione, namun tatapannya aneh. Tatapan yang bergejolak. Liar. Hermione sudah merasakannya, dia berbeda.

"Bunuh aku! Bunuh aku!" raungnya serak.

"Malfoy!!!" Hermione berteriak lagi. "Apa yang kau lakukan?! Ini aku, ini aku! Aku Granger! Aku Mudblood!"

Tapi Draco tidak mengacuhkannya, mencekik lehernya perlahan-lahan tapi pasti. Hermione memperhatikan darah yang mengalir di bibir Draco. Sayatan-sayatan itu terlihat jelas di matanya. Bukan sayatan pisau—atau benda tajam lainnya. Hermione tak tahu pasti.

Napas Draco mulai naik, terengah-engah. Seolah menghindari sesuatu yang harus dihindarinya. Ia membenturkan kedua tangan Hermione yang membiru ke kaca yang kuat itu. Benturannya cukup keras, tapi dia tidak membuat kacanya pecah. Kaca itu terlalu kuat. Kemudian Draco menginjak kaki Hermione yang masih mencoba untuk lepas, berontak. Tapi matanya masih diam di depan mata Hermione, memandanginya seperti sesuatu yang berbeda. Yang tak disadarinya sebelumnya. Hermione tidak menangis. Belum. Tapi ketika Draco mencekiknya lebih keras, dan menekan tubuhnya, butiran-butiran air mata itu jatuh di tangannya. Tangan Draco yang kuat. Leher Hermione mulai ungu, ia sangat butuh udara. Mulutnya megap-megap, berusaha mencari sedikit udara untuk mengisi paru-parunya yang berkerut.

Apa mungkin, dia akan mati di sini?

Dia menangis lagi, membanjiri tangan Draco yang masih mencekiknya. Mata Draco memandang air mata yang jatuh tertahan di mata Hermione. Tapi kini, Hermione bisa melihat, matanya memberi kesan kesejukkan. Keteduhan yang baru kali ini dilihatnya—dan Hermione pun tidak percaya dengan penglihatannya. Ia mengendurkan cekikkannya, turun dari atas kaki Hermione yang mati rasa, dan kemudian tangan yang tadi mencekiknya merambat ke atas. Ke rahang Hermione.

"Aku—" dia tidak meneruskan kata-katanya, dan menutup kembali mulutnya yang bergetar. Napas Hermione tersengal, meminta udara. Namun bibirnya yang terbuka langsung tertutup. Karena—

Draco menciumnya.


Gimana? Baguskah? Mohon kritik, saran, dan komentarnya, ya!