Be a Good
1
Tokyo Ghoul-
Keep Bleeding
√Rei Suzuya - Tokyo Ghoul
Shonen, gore, fiksi penggemar, psychology, fiksi remaja, tokyo ghoul.
Zen San
.
.
.
Sebuah gereja sederhana tanpa listrik dan terisolasi, di panti asuhan yang terasing jauh dari perkotaan. Di antara gunung yang di tanami nisan melambangkan makam-makam orang yang tak satupun mereka kenal, mengalir sungai bermuara lautan yang membelah pada tepian kota. Memisahkan diri dari kelompok manusia. Sekitarnya belantara belukar yang sesekali jika beruntung bisa bertemu beruang ganas, dan kau bisa melihat cakar dan taringnya menancap pada daging tebal di paha atau mengeluarkan isi perutmu.
Seorang remaja, dengan kulit putih pucat yang bermain di kaki bukit seorang diri. Menjauhi keramaian dan sibuk dengan permainan yang di buatnya sendiri. Ia menunggu, orang bodoh yang mengikutinya dan menyerahkan dirinya untuk di mangsa.
"Rei! Apa yang kau lakukan?" suara seorang wanita membuat anak kecil dengan wajah pucat itu menoleh perlahan. Kantung matanya sedikit terlihat, gelap di bagian bawah matanya. Sumringah melihat betapa manisnya kulit halus anak perempuan yang menyerahkan diri pada permainan yang akan di buatnya. Anak bernama Rei yang selalu menjauhi keramaian, usianya baru delapan tahun.
"Aku sedang bermain? Kenapa kau datang ke sini? Anak perempuan tidak baik pergi jauh dari rumah! Ingat kata ayah!" Rei bangkit dari posisi sebelumnya, ia mendekati anak perempuan yang hanya beberapa langkah darinya sambil tersenyum. Tatapannya sedikit bingung, apa ia tersesat bisa sampai ke sini? Begitu polosnya anak itu memikirkan tentang keadaan Rei.
Suara gemerisik dedaunan dan belukar jadi sangat menganggu dan menyeramkan. Anak perempuan itu mulai ketakutan, Rei menjaga jarak darinya. Permainannya akan segera di mulai, kesenangan yang ia nikmati seorang diri.
"Rei! Ayo kita pulang! Di sini berbahaya bagaimana jika-" ucapan anak perempuan dengan wajah polos itu terhenti. Bersama bayangan besar yang muncul dari belakang tubuhnya jatuh memanjang karena sinar matahari sore.
Kulit berlapis daging tebal dan keras yang menunjukan cakarnya menghantamnya tepat pada kepalanya, membuatnya jatuh tersungkur menghantam pepohonan. Ketakutan, tentu saja siapa yang bisa menolongnya sekarang? 'Ayah? Rei?'
Beruang buas, dengan tubuh tambun besar dan bulu yang sedikit kotor coklat dan taring yang mencuat menunjukan kekuatannya di tempat yang ia kuasai.
"Ah! Datang-" anak lelaki dengan wajah pucat itu melompat pada pepohonan yang sangat tinggi. Terus naik dan memanjat dengan tangannya yang cekatan seperti segera mengambil kursi penonton dengan pemandangan paling indah.
"Rei! to- tolong!" rekan satu panti asuhan itu menggapai berharap anak lelaki itu menolongnya. Anak perempuan dengan rambut coklat dan bola mata kehijauan yang indah dalam ekspresi ketakutan. Airmatanya mengalir saat ia berhadapan dengan sosok besar berbulu dengan darah di cakar-cakarnya yang hitam dan besar.
"Aaaaaaaa- Ayah!" hanya ayah sosok yang teringat saat ia dalam ketakutan yang sangat menekannya.
Lengkingan merdu seakan mengusir para penghuni hutan. Burung-burung yang bertengger memperhatikannya sejak tadi jadi pergi mengepakan sayang meninggalkan lokasi perburuan yang sedang di lakukan Beruang besar itu. Berburu, berburu manusia.
"Maaf! Tapi aku tidak ingin merusak kesenangannya!" Rei tak memberi balasan, ia hanya berdiam berdiri di titik buta yang membuatnya tak bisa di sadari beruang tersebut. Bagaimana menyenangkan memberi makan hewan buas yang mengerikan.
Menangis dengan penuh ketakutan, anak perempuan tak bisa mengingat apapun setelahnya lagipula ia tak butuh ingatan saat ia meregang nyawa. Hanya sakit dari belulang patahya, serta koyakan dan luka yang menghancurkan dan melumat dagingnya.
"Beruang san! Selamat makan!" Rei tak bergeming, ia hanya berbisik di balik rimbun yang menyembunyikan dirinya.
Datang dengan diam-diam membiarkan anak lain mengikutinya, kemudian tersesat di kaki bukit yang jauh dari keramaian dan Panti mereka. Memberi makan malam untuk hewan buas yang memberikannya hiburan, seandainya ia bisa melakukan hal sekejam itu? Seandainya ia memiliki cakar kuat untuk mencabik daging dan mematahkan tulang seperti beruang itu, pasti menyenangkan.
Rei tertawa tipis berusaha tak bersuara, lengkung tipis dengan tatap kepuasan. "Yah! Seperti itu! Kunyah dia saat dia masih hidup! Pasti sangat segar!" Suzuya terkekeh, ia begitu bahagia melihat teman buasnya sedang menikmati buruannya. Daging anak perempuan dengan lapis halus kulitnya yang di koyak. Sorot mata yang pupilnya mengecil, bibirnya mengalirkan merah segar karena tubuhnya yang menghantam pepohonan. Beruang besar tanpa ampun itu, dengan lengan kuat dan cakar di ujung tangannya memisahkan lengan dari badan mangsangya dengan taring yang runcing, deret gigi tajam, besar dan mengerikan.
"To! Tolong-" bahkan, jemarinya masih bergerak. Saat lengannya sudah berpisah dari tubuhnya, anak perempuan itu masih hidup.
Seisi perutnya sudah keluar, merah seperti temali dari dalam perutnya. Organ dalam yang di kunyah tapi tetap membuat anak itu dalam kesadaran saat seluruh tubuhnya sudah berantakan.
"Rei! Tolong!" suaranya parau lirih, samar terbawa hembusan angin senja yang lembut dingin. Potongan pakaiannya menjadi merah, basah, indah dalam terpaan sinar matahari senja.
"Kenapa? Kenapa aku harus menolongmu?" anak laki-laki dengan tatap datar membiarkan perempuan yang tinggal satu atap dengannya itu menjadi daging yang tercacah dengan berantakan.
"Ah, beruangnya sangat lapar ya. Kau baik sekali memberikan tubuhmu untuk makanannya hihihi.." terkekeh dengan simpul tipis di bibir pucatnya. Rei hanya diam dalam dedaunan di dahan pohon tinggi besar yang membuatnya tak terlihat. Bolamata yang menikmati warna merah darah segar yang menyerap ke tanah. Bayangan pepohonan yang jatuh karena matahari sudah hampir jatuh ke garis cakrawala.
"Bagaimana rasanya? Bisa memotong manusia semudah itu? Tuan beruang-" suara samar dalam gumaman. Makhluk besar dengan tatap bringas dan bulu-bulu coklatnya yang menjadi lengket karena darah dari mangsanya.
Beruang yang sangat besar, dia harus berterimakasih pada Rei yang telah memberikannya makanan. Beruang itu terlalu terburu-buru, ia membawa kepala yang tersisa. Belulang dari rusuk dan lengan yang ia sisakan untuk anjing-anjing yang mengiba meminta sisanya.
"Ah- dia sudah selesai? Aku harus segera pulang."
"Anjing-anjing itu jumlahnya banyak, aku pasti kesulitan membunuh mereka nanti." Rei tersenyum. Permainan hariannya usai, firasatnya mengatakan ia akan mendapat cara main yang baru setelah ini.
Menjadi penonton membosankan, ia ingin menjadi pemain dalam permainannya. Walau dalam cerita hanya ada satu pemeran utama. Bukan pemeran lainnya juga punya peran penting dalam kehidupan singkat tak berarti mereka. Manusia lahir dan mati memang seperti itu seharusnya, apa yang harus di takuti dan sesali?
.
.
.
Muncul dari semak belukar, rambut berwarna terang dengan tatap antusias membawa potongan telapak tangan dan pakaian yang sudah berubah warna menjadi merah.
Kenang-kenangan yang beruang san berikan padanya, ah manisnya telapak tangan lemah yang penuh noda dan pakaian yang masih memberi tetes darah sesekali.
"Rei! Rei! Tangan siapa itu?" beberapa anak yang tinggal di panti asuhan yang sama dengannya. Bergerombol mengelilinginya yang berjalan santai dengan lengkung senyum yang menghiasi wajahnya. Darah yang mengaliri tangannya, membuat semua anak di sana begitu takut, ngeri dan miris bagaimana Rei bisa sesenang itu?
"Hei, itu tangan-" beberapa anak perempuan tak bisa menahan rasa mual setelah melihat bangkai itu. Melihat orang lain merasa jijik dan tak kuat itu membuat Rei sangat kesenangan dan tertawa menganggap anak lain begitu lemah.
"Ayah!" langkah kecilnya memasuki gereja tua, dengan cahaya remang yang jatuh dari matahari yang menyisakan cahaya saat sudah tenggelam.
Lilin mulai menyala tipis, seorang pria dengan pakaian gereja. Salib di kalungnya dan senyum ramah yang sangat lembut. Anak-anak yang mengikuti Rei berhenti di pintu gereja memperhatikan keduanya. Ayah angkat dan anak panti asuhan yang mengerikan.
"Seorang dari kita! Telah di makan oleh beruang di hutan! Ayah-" nada polosnya sedikit nyaring memenuhi ruangan yang hanya ada mereka berdua.
Pria itu seakan memberi isyarat untuk menutup pintu yang membuat orang-orang dapat melihat mereka. Tak bersuara, kecuali seringai mengerikan dari ekspresinya yang tidak seperti manusia.
'Kita akhiri saja, permainan ayah dan anak ini.'
Rei melangkah menjatuhkan tangan anak lain yang di genggamnya, sisa makanan dari Tuan beruang. Tersenyum dengan wajah sumringah dan membuat beberapa anak yang melihatnya mundur menjaga jarak darinya. Ia mengerikan dengan wajah sumringah dan tatap polos penuh keceriaannya.
"Bukankah kematian memang akan jatuh pada siapa saja."
jemari merahnya yang kotor menutup pintu gereja. Tak membiarkan salah satu dari anak-anak seusianya itu melihatnya, lagi.
.
.
.
Itu adalah malam terakhir, saat para pasukan penyergapan Ghoul mengetahui adanya panti asuhan ini. Ghoul, pemakan manusia dengan wujud yang menyerupai manusia. Hati, jiwa dan akal yang berkerja persis seperti yang manusia lakukan dengan benar seperti manusia normal.
Bahwa pemilik, panti asuhan itu. Seseorang yang mereka panggil ayah. Tatap kemerahan dengan bolamata hitam dan kekuatan di balik tubuh manusia mereka.
Seorang ghoul, mengambil anak-anak terlantar yang di abaikan pemerintah. Menampungnya menjadi satu dan mengasuh mereka dengan sangat baik. Kemanusiaan, kasih sayang, dan pengajaran. Pada akhirnya anak-anak itu hanyalah, 'ternak' yang dipelihara dengan baik.
Gereja yang di bumi hanguskan dengan lengking ketakutan anak-anak yang berhamburan tak tentu arah. Para penyergap pasukan pemburu Ghoul tak bisa mengamankan anak-anak berjumlah puluhan itu. Hutan begitu luas dengan malam yang menyembunyikan mereka.
Beberapa Ghoul kelas tinggi yang mendapat kabar penyergapan ini segera memberi kekuatan. Ups, maksudnya kekuatan untuk ikut mencuri hewan ternak yang berlarian tanpa Tuan dan arah tujuan. Sepandai apapun, dengan kualitas sebagus apapun ternak tetaplah ternak yang harus di pelihara dan di jaga. Pada akhirnya mereka akan di nikmati gembalanya.
"Ikutlah denganku!" seorang wanita dengan pakaian mewah. Menghentikan Rei yang melangkah melarikan diri dari manusia-manusia yang membakar panti asuhannya.
"Panggil aku, Big Madam. Kau anak yang baik kan?"
Rei menyambut uluran tangan wanita tambun dengan make up tebal dan perhiasan yang menghiasi seluruh tubuh penuh daging dan lemah itu. Bibirnya merah dan warna lain di kelopak mata dan shading pipinya.
Masuk ke dalam helikopter, bersama beberapa anak lainnya. Suara gemuruhnya pasti membuat para pasukan pemburu ghoul segera mengetahui mereka jika mereka tak segera pergi.
Satu hal yang Rei pikirkan saat bertemu wanita tambun itu. Rei tanpa pikir panjang akan mengikuti perempuan besar dan senyum mengerikan itu. Anak lain berkumpul ketakutan melihat ekspresi keji yang di tunjukan wanita itu. Tatapannya yang kejam dengan jelas menunjukan bahwa ia memang bukan seorang manusia.
Seperti apa wajahnya saat ia merasakan daging tebal di lengan dan kakinya di sayat pelan-pelan. Daging yang di cacah begitu tebal dengan aroma darah yang menyenangkan. Rei hanya memikirkan kapan? Ia bisa melakukannya.
'Big Madam!' dia juga bukan seorang manusia. Kesenangan apa yang bisa Rei mainkan setelah ini. Selain bermain dengan peliharaan buasnya, jadi kali ini Rei lah yang menjadi hewan peliharaannya.
To be Contiuned-
entah kapan update. :)
Tokyo Ghoul FF
Zen San
