Seringai lebar, terlalu lebar untuk wajah pria itu. Warna merah pekat menghiasi bibir dan pipinya, warna merah yang sama dengan mata yang memandangnya dengan tatapan ingin tahu.
Tubuhnya bergidik, ngeri.
"Yagami Sayu … sayang sekali sisa umurmu masih panjang."
.
…*…
.
Disclaimer: Death Note belongs to Tsugumi Ohba, Takeshi Obata.
Saya tidak mendapatkan keuntungan material apapun dari pembuatan fanfiksi ini.
Warning: Crack Pair, OC, OOC, Semi-Canon, Miss Typo(s), etc.
Didedikasikan untuk event Crack Pairing Celebration dan turut meramaikan pair langka yang jumlahnya hanya 6 biji di FFn.
Banyak fakta di Death Note yang saya selewengkan.
Termasuk kematian BB. Anggaplah Death Note tidak berhasil membunuh BB dan dia sedang dalam masa pelarian di Jepang. Alasannya akan dijelaskan di bagian omake. Waktu saat Kira membunuh BB pun saya geser, anggap saja saat Light dan L dirantai, Kira sudah mencoba membunuh BB.
.
...*...
.
Yagami Sayu.
Putri bungsu keluarga Yagami yang telah mengarungi hidup selama lima belas tahun. Terus berada di kegelapan, di balik bayang-bayang kakaknya. Kakaknya yang serba bisa. Kakaknya yang tampan, jenius, baik dan mampu melakukan segalanya dengan sempurna.
Sementara dia? Dia hanyalah gadis yang terlalu biasa saja.
Dia cantik. Rambut cokelat gelap dengan mata cokelat bulat yang menampakkan kepolosan khas seorang remaja. Namun bukan tipe yang dapat mengalihkan pandangan saat kau berpapasan dengannya. Dia cerdas. Namun bukan masuk golongan yang mencengangkan.
Dia baik. Dia membantu ibunya setiap pagi dan memberikan receh sebagai bentuk apresiasi seni pada musisi jalanan, dan itu bukan jenis kebaikan yang bisa membuatnya menonjol.
Dia pun dapat melakukan segala hal. Mulai dari musik hingga komputer, dia dapat melakukannya dengan baik. Namun tetap saja, dia tidak akan pernah bisa sebaik kakaknya.
Dia mulai merasa jika keberadaannya di dunia ini hanyalah sebagai bayangan. Bayangan yang keberadaannya tak dianggap. Sosoknya akan dilupakan seiring berjalannya waktu, tak akan ada yang mengingatnya. Dan dia tak akan dikenang.
Tangannya terulur, ragu hendak mengambil botol selai strawberry ataukah tidak. Dia menggeleng pelan, mendengus membodohi diri sendiri. Orang itu belum mesti muncul hari ini. Dan makanan itu akan sia-sia saja. Dia menarik kembali tangannya.
"Kenapa?" Sebuah tangan pucat ganti mengambil benda itu dari balik tubuhnya. "Padahal saya menginginkan satu."
Sayu tersentak. Menjauh beberapa langkah dari sosok yang bertanya. Matanya yang membulat kaget berganti menyipit, bibir mengembangkan senyum tipis. "Ryuzaki, kau membuatku kaget. Mengapa ada di sini?"
"Saya melihat Sayu-san masuk ke sini," jawab sang pemuda.
"Kau mengikutiku." Sayu kembali mengamati sosok eksentrik di hadapannya. Rambut hitam berantakan, kantung mata gelap, kulit putih pucat dan postur tubuh yang bungkuk. Lengkapilah sosoknya dengan kaus putih dan celana jeans longgar, sepatu dipakai dengan bagian tumit yang diinjak, ketiadaan kaus kaki menambah kadar unik dalam dirinya.
"Saya pikir Sayu-san akan membelikan saya satu, mengingat selai strawberry adalah makanan kesukaan saya."
"Aku akan membelikanmu beberapa kalau kau berjanji untuk mengubah cara makanmu yang berantakan itu."
"Untuk hal itu, saya tidak dapat menjanjikannya. Namun saya akan sangat senang jika Sayu-san mau membelikannya untuk saya."
Sayu tersenyum, mengambil beberapa botol selai strawberry lainnya dan memasukkannya ke dalam keranjang belanja. "Aku tak menyangka kau akan muncul hari ini." Dilangkahkannya kaki menyusuri deretan rak berisi bermacam saus. "Kau selalu saja muncul dan pergi tiba-tiba. Aku tak pernah bisa meramalkan kedatanganmu—seperti hari ini. Kalau kau bilang kapan kau akan datang, sudah pasti aku akan menyiapkan satu untukmu."
"Saya memiliki banyak pekerjaan," jawab pemuda yang dipanggil Ryuzaki itu. Mengekor di belakang Sayu sambil mengamati sang gadis mengambil beberapa botol saus.
"Dan sampai sekarang kau bahkan tidak pernah mengatakan padaku apa tepatnya pekerjaan yang kau lakoni itu."
Pemuda itu memiringkan kepalanya. "Jika saya mengatakan saya tengah mencari Kira, apa Sayu-san akan percaya?"
"Kuharap kau hanya bercanda. Sudah terlalu banyak orang yang terobsesi pada Kira di sekelilingku. Ayahku, kakakku, semua orang hanya memikirkan Kira, Kira dan Kira. Semua orang berlomba-lomba untuk mengirimnya ke tiang gantungan. Aku bosan mendengarnya." Sang gadis mendengus pelan. Mengacungkan dua botol saus berbeda merk ke hadapan Ryuzaki. "Menurutmu mana yang lebih enak?"
"Saya tidak suka makanan pedas," Ryuzaki menjawab pertanyaan terakhir sang gadis lebih dulu. "Namun kalaupun saya memang mencari Kira, saya tidak akan mengirimkannya ke tiang gantungan."
Sayu mengerutkan alisnya, tampak tak terlalu mengerti akan pernyataan sang pemuda. "Jangan bilang jika kau adalah salah satu dari orang-orang yang menganggap Kira adalah penyelamat. Aku tak mau mendengar omong kosong seperti itu."
"Kira adalah penjahat pertama yang membuat L kerepotan seperti ini. Saya tertarik padanya. Saya ingin melihat orang seperti apa yang sudah berhasil mengalahkan saya. Dan setelah melakukannya, saya akan membutikan jika saya jauh lebih baik dari dia."
"Jujur saja, aku tak mengerti apa yang kau katakan." Dimasukkannya kedua buah saus itu ke dalam keranjang belanjanya, melanjutkan langkah ke rak selanjutnya untuk mencari sayur segar. Matanya mencuri pandang pada pemuda yang berjalan dengan tangan dimasukkan ke saku, mengikutinya seperti seekor anak itik dengan induknya. "Tapi sejak pertama kali bertemu pun kau sudah aneh. Kau meramalkan usiaku dan membuatku ketakutan."
"Saya tidak meramalkannya," bantah sang pemuda. "Saya melihatnya."
Sayu menoleh cepat, mendapati sepasang mata merah darah menatapnya dengan antusias. Tidak, mata itu tidak menatapnya, mata itu menatap udara kosong di atas kepalanya. Kembali Sayu merasakan hawa aneh di sekitarnya. Namun dia tak bisa melepaskan pandangan dari sepasang mata merah itu.
Mata merah itu memang begitu … indah.
"Kalau itu benar, maka … kau benar-benar aneh … Ryuzaki Rue…"
.
…*…
.
Hari hujan.
Tiap orang berjalan dengan payung melindungi tubuh mereka. Beberapa memutuskan berlari dengan menggunakan jaket atau tas sebagai penggantinya. Namun, dari sekian banyak orang itu, ada seorang gadis, yang berjalan pelan, membiarkan hujan membasahi seluruh tubuhnya meski payung ada di tangan kanannya. Matanya terus memandang kosong, tak mengacuhkan tatapan heran orang-orang yang melihatnya.
"Nanti jika Ibu bertanya, aku tinggal mengatakan jika aku tak bisa membuka payungku … besinya berkarat dan tak bisa digerakkan." Sang gadis bicara pada dirinya sendiri. Menunduk sambil menendangi genangan air bewarna kecokelatan. "Dan jika Ibu mencoba membuka payung itu dan berhasil, aku hanya perlu berteriak kaget dan menepuk kepalaku … dan semuanya akan berakhir dengan Ibu yang meganggap ini hanyalah satu dari sekalian banyak kebodohan yang kulakukan …" Dia merencakan kebohongannya.
Satu tetes air mata jatuh, hilang bersama dengan air hujan, menggenang di trotoar. Satu lagi jatuh, dan kembali hilang. Satu lagi, satu lagi, satu … satu … satu … dan semuanya hilang.
'Sayu, lihat kakakmu. Dia berhasil mendapatkan nilai tertinggi, sementara kau? Kau hanya mendapatkan nilai rata-rata.'
"Aku sudah berusaha keras … aku sudah belajar selama seminggu penuh untuk ini …"
'Yagami-san, kau akan kerepotan untuk melanjutkan ke sekolah pilihanmu jika nilaimu seperti ini. Mungkin kau harus minta kakakmu untuk membantumu belajar."
"Aku sudah melakukan yang terbaik … Aku sudah melakukan semua yang aku bisa tanpa bantuan Kakak …"
'Sayu-chan, kudengar kakakmu masuk ke Universitas Tooh ya? Keren sekali! Sayu-chan pasti ingin masuk ke sana juga ya …"
"Aku bukan Kakak … aku … aku …"
Ia menengadahkan kepalanya. Membiarkan air hujan jatuh lebih banyak ke wajahnya. Menyiram tiap tetes air mata yang ada dan menyembunyikannya. Sebuah senyum terpaksa tersungging di wajahnya, membuatnya terlihat semakin menyedihkan. "Sayu, kau tidak boleh menangis. Kau harus tertawa. Kau harus tetap tertawa apapun yang terjadi. Dengan begitu maka sedikitnya orang lain akan mengingatmu. Maka dari itu, kau harus tetap … tertawa …"
Dia mengehentikan langkahnya. Satu tangan dibawanya ke mata untuk mengusap air yang menggenang. Senyuman hilang di wajahnya. "Sudah tidak bisa. Aku tidak bisa tertawa lagi."
Dia mengepalkan tangannya. Mendalami rasa sakit yang ada dalam dirinya. Dia benci dibandingkan. Terutama jika kakaknya lah yang dijadikan bandingannya. Dia sangat membencinya, amat sangat membencinya. Karena dia tahu, dia bukan bandingan sang kakak.
Mengapa dia harus terlahir di keluarga Yagami?
Mengapa dia harus terlahir sebagai adik seorang Yagami Light?
Mengapa dia tidak terlahir dengan pribadi yang sempurna seperti kakaknya?
Sayu ingin menyalahkan kakaknya. Atau lebih jauh, dia ingin menyalahkan Tuhan. Dia ingin menyalahkan siapapun yang dapat disalahkannya. Padahal sesungguhnya dia tahu, satu-satunya orang yang pantas disalahkan adalah dirinya. Dirinya yang terus lari dari kenyataan dan tak mau menghadapi dunia. Dirinya yang terus menyalahkan orang lain tanpa pernah berpikir untuk berubah.
"Aku … tidak ingin hidup lagi …"
"Benarkah?" sebuah suara menimpali.
Sayu berjengit, menoleh pada gang gelap tempat suara itu di atas salah satu bak sampah, tengah menjilati jarinya sendiri, seorang pria duduk. Seringainya lebar, terlalu lebar untuk wajah pria itu. Warna merah pekat menghiasi bibir dan pipinya, warna merah yang sama dengan mata yang memandangnya dengan tatapan ingin tahu.
Tubuhnya bergidik, ngeri.
"Yagami Sayu … sayang sekali sisa umurmu masih panjang. Kalau tidak, dengan senang hati aku akan 'bermain' denganmu."
.
…*…
.
"Ryuzaki?"
Pemuda yang tengah duduk berjongkok di atas kursi taman sambil menjilati jarinya yang penuh dengan selai strawberry menoleh.
"Mengapa kau senang sekali bertingkah seperti seorang psikopat?"
Pemuda itu memiringkan kepalanya. Mengamati Sayu yang duduk sambil memakan es krimnya. Kantung belanjaan ditaruh di tanah, di dekat kaki sang gadis. "Apakah saya tidak tampak seperti seorang psikopat?"
"Tidak, justru kebalikannya." Sang gadis menggelengkan kepala pelan. "Dulu saat aku bertanya mengapa cara makan selaimu sanggat berantakan pun, kau menjawab karena selai strawberry merah seperti darah. Dan itu membuatmu terlihat seperti baru saja melakukan aksi kanibalisme. Kau seolah terobsesi menjadi seorang psikopat."
"Terobsesi? Saya?" Ryuzaki tampak berpikir sejenak. Menekan-nekan bibirnya seperti tiap kali dia tengah berpikir. "Mungkin Sayu-san ada benarnya juga. Saya terobsesi. Namun bukan pada psikopat."
"Benarkah? Pada siapa?"
Ibu jari semakin menekan bibir. Mata merahnya bergerak-gerak pelan, tampak antusias dengan topik yang tengah diangkat. "Lawliet … ya itu namanya."
"Maaf, tapi aku tidak tahu siapa Lawliet itu."
"Tidak ada yang tahu siapa Lawliet. Dia terkenal dengan nama lainnya. Dan dia juga memiliki banyak nama untuk dirinya sendiri. Namun tetap saja, orang itu adalah Lawliet. Meski dia tidak lagi menggunakan nama itu untuk menyebut dirinya."
Gadis itu mengubah posisi duduknya, menjadi lebih condong ke arah pemuda dengan gaya duduk yang di luar kebiasaan orang biasa. "Pasti Lawliet adalah orang yang sangat hebat hingga kau terobsesi kepadanya."
"Ya. Dia sangat hebat dan memiliki segalanya. Semua orang kagum padanya."
Angin berhembus, menerbangkan anak-anak rambut Sayu. Wajah gadis itu berubah sendu. Tampak tengah mengenang kembali perasaan kerdil yang dirasakannya. Pohon hati tempat kecemburuan dan iri hati tumbuh tinggi, daun-daun kekecewaan tumbuh, bunga rendah hati mekar dan akhirnya buah-buah kebencian mulai memunculkan sosoknya. "Seperti kakakku."
"Namun saya tidak berminat menjadi sepertinya. Saya berminat untuk menghancurkannya, membuktikan jika saya jauh lebih baik dari pada dia. Maka dari itu, saya mengambil jalan yang berlawanan dengannya." Mata merah itu tampak semakin gelap. Seringai lebar tersungging di wajah pemuda itu, menghilangkan kesan polos dan kekanakan yang ada. "Namun saya kalah. Dan akhirnya dia mendapatkan lawannya yang seimbang."
"Dan apakah dengan itu maka obsesimu telah selesai?"
Mata merah itu balas memandang Sayu. "Apakah suatu kegilaan ada akhirnya?"
"Tidak," jawab sang gadis. "Hanya kematian saja yang dapat mengakhiri suatu kegilaan. Karena meski sudah layu, pohon iri hati masih selalu menyisakan benihnya, yang dengan sedikit air saja akan tumbuh besar."
Pemuda itu menjilati jarinya, dua botol selai strawberry habis dalam satu jam, sementara dua lainnya dimasukkan ke dalam saku, hendak dijadikan persediaan. Perlahan dia bangkit berdiri. "Sudah saya duga. Sejak pertama kali bertemu dengan Sayu-san, saya sudah dapat merasakannya. Jika kita berdua mirip."
Sayu ikut berdiri, merogoh saku seragamnya dan mengeluarkan sebuah sapu tangan putih dengan motif bunga. Diulurkannya sapu tangan itu untuk mengusap selai yang mengotori bibir dan pipi Ryuzaki. "Karena kita adalah bayangan orang lain."
"Ya," dia membenarkan. Digenggamnya tangan Sayu untuk menghentikan gerakannya. "Namun Saya dan Sayu-san berbeda. Saya sudah tidak bisa lari lagi dari takdir saya, sementara Sayu-san masih memiliki kesempatan itu. Sayu-san masih memiliki kesempatan untuk mengambil jalan yang berbeda dengan yang saya tempuh."
Mereka terpaku pada posisi itu. Sayu memandang mata merah yang ada di hadapannya. Selain nama—yang belum tentu nama asli, dia sama sekali tak tahu apapun tentang Ryuzaki Rue. Berapa umurnya? Mengapa dia selalu menggunakan make-up tebal untuk wajahnya? Di mana rumahnya? Apa pekerjaannya? Apakah dia memiliki saudara? Seperti apa masa kanak-kanaknya? Mengapa pemuda itu bisa tahu namanya saat pertama kali mereka berjumpa?
Sayu merasa dia telah menceritakan segalanya tentang hidupnya, namun dia sama sekali tak tahu apapun tentang Ryuzaki, kecuali kenyataan jika pemuda itu memiliki seseorang yang membuatnya terobsesi bernama Lawliet.
"Ryuzaki … nama Ryuzaki Rue itu … bukan namamu yang sesungguhnya bukan?"
Sang pemuda mengedipkan mata sekali dua kali. "Apa yang membuat Sayu-san beranggapan demikian?"
"Kau menyembunyikan segalanya dariku. Namun ada satu hal yang aku tahu pasti tanpa harus menunggumu bicara. Kau bukan orang Jepang. Nama itu sudah pasti bukan nama asli … kan?"
"Jadi Sayu-san memang benar-benar putri keluarga Yagami, ya." Pemuda itu melepaskan tangan Sayu, mengambil sapu tangan yang ada di sana. Melap wajahnya sendiri dengan keras, hingga bedak putih tebal yang digunakannya untuk menyaru pun luntur. "Ya, Ryuzaki Rue memang bukan nama asli saya. Namun saya juga tidak yakin saya benar-benar memiliki nama asli. Karena jika saya memilikinya, maka seharusnya sekarang saya sudah mati dalam penjara. Serangan jantung saya rasa."
"Kira …" bisik Sayu. Mundur satu langkah hingga kakinya menabrak kursi taman tempatnya duduk tadi. "Tapi … bukankah Kira hanya membunuh seorang krimi … nal?" Secepat pertanyaan itu datang, secepat itu pula kesadaran menghantam Sayu. "Ryuzaki … kau …"
Mata merah itu bergerak pelan mengikuti setiap perubahan ekspresi pada sang gadis. Tampak sama sekali tak keberatan dengan ekspresi ngeri yang tergambar di sana. Justru sebaliknya, dia sangat menikmatinya. "Saya akan mengatakan satu rahasia. Dan Sayu-san akan menjadi satu-satunya orang di dunia yang akan mengetahuinya." Tubuh itu membungkuk, rambut hitam berantakan jatuh di pundak Sayu. Bibir menempel di telinga gadis itu. Membisikkan sesuatu.
Mata cokelat terbelalak lebar. Sang gadis jatuh terduduk sambil menutup mulutnya, tampak tak percaya.
"Saya pergi dulu Sayu-san. Sapu tangannya akan saya kembalikan jika kita bertemu kembali."
"Tunggu …" jari-jari mungil itu menggenggam ujung kaus putih Ryuzaki menahannya untuk pergi.
Sang pemuda menoleh, memandang sang gadis sejenak sebelum mengangguk kecil sebagai ganti untuk bertemu kembali dan membuat Sayu melepaskan pegangannya. Rue Ryuzaki berjalan pergi. Pohon-pohon di sisi timur taman menelan sosoknya.
Sayu terdiam di bangku taman. Memandangi tangannya sendiri yang mengepal di pangkuan. Tahu jika akan makan waktu yang amat sangat lama hingga dia dapat bertemu dengan pemuda itu lagi.
"Ryuzaki … Rue …"
.
…*…
.
Sepasang mata lain yang tak sengaja melintas memandang kaget. "Sayu-chan dan … Ryuzaki?"
.
…*…
.
L sedang duduk sambil menyusun balok gula menyerupai menara, meniru tingkah salah satu penerusnya di panti asuhan dengan dadu, Light duduk tak jauh darinya, tampak serius meneliti dokumen persebaran pembunuh Kira. Pintu terbuka keras, seorang pria muda masuk dengan terburu-buru. Mengernyit melihat L dengan tumpukan tinggi gula yang tak mungkin dibuat dalam waktu singkat.
"Matsuda-san, kau tampak terburu-buru," Light menyambut, tak mengalihkan pandangannya dari dokumen yang tengah dibacanya.
Matsuda mengedipkan mata dua kali, lalu menguceknya, tampak tengah berpikir. "Ryuzaki, apa seharian ini kau ada di markas?"
Pemuda yang dipanggil menoleh, mencomot satu balok gula dan mengemutnya. Menjilati jari-jari tangan yang terasa manis. "Saya sudah ada di sini sepanjang hari, sepanjang minggu dan sepanjang bulan."
"Kau tidak pergi ke taman?"
Suara rantai yang bergemerincing menjawab pertanyaan Matsuda secara tak langsung. Light ikut menoleh merasa pembicaraan ini bukan hanya sekedar salah satu kebodohan Matsuda yang biasanya. "Saya tidak bisa pergi ke kemanapun dengan rantai ini, Matsuda-san."
"Benarkah?"
"Light-kun adalah saksi saya."
Light mengangguk pelan membenarkan. "Ryuzaki tidak pergi ke manapun hari ini. Bahkan meninggalkan ruangan ini pun hanya karena aku memaksa pergi mandi—dan dia berjaga di depan pintu sambil makan strawberry cake, aku melihat bayangannya di pintu. Memangnya ada apa Matsuda-san?"
Detektif muda itu tertawa sejenak, menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Aku bertemu dengan Sayu-chan barusan. Sepertinya dia baru selesai berbelanja dan tengah duduk-duduk di taman."
"Sayu? Sudah lama juga aku tidak bertemu dengannya. Bagaimana keadaannya?"
"Ah, Sayu-chan kelihatan sehat, namun dia tampak sedikit sedih. Kurasa itu karena Light-kun lama tidak pulang ke rumah."
L menyela. "Lalu apa hubungannya dengan saya?"
Matsuda tampak sedikit ragu saat mengatakannya. "Aku merasa melihat Ryuzaki bersamanya di taman." Lalu dia tertawa terbahak-bahak untuk menghindari kecanggungan yang dia ciptakan sendiri. "Tapi mungkin aku saja yang salah lihat. Ryuzaki tidak mungkin meninggalkan tempat ini kecuali sedang dalam penyelidikan kan?"
L diam. Light hanya memandangi rekannya yang tengah menekan-nekan bibir dengan ibu jari. "Apa Matsuda-san yakin yang Matsuda-san lihat adalah saya?"
Light mengernyitkan alis. "Tapi kau sama sekali tidak pergi ke manapun hari ini."
Matsuda menggaruk kepalanya lagi. "Tidak juga. Mungkin hanya aku yang salah lihat. Tapi … kalian benar-benar mirip. Cara berpakaian, rambut, kulit bahkan cara berjalan yang bungkuk dengan tangan di dalam saku pun sangat mirip. Tapi aku tak melihat wajahnya. Mungkin memang salah orang."
"Menurut Matsuda-san, ada berapa orang di dunia yang memiliki penampilan dan gerak-gerik yang menyerupai saya?"
Sang detektif muda kepolisian kembali diam. L bukanlah sosok yang sering terlihat berkeliaran di antara masyarakat. Kalaupun iya, satu banding semiliar akan ada orang yang terinspirasi dan meniru penampilannya yang jauh dari kata wajar. Kalaupun sanggup menirunya, tidak mungkin hingga tahap sempurna seperti itu. "Mungkin tidak ada. Hanya kau saja."
L mengangkat jari telunjuknya. Membentuk angka satu. "Sebenarnya ada satu orang lagi."
"Eh?"
Seruan kaget itu tidak hanya datang dari Matsuda, namun juga Light.
"Ryuzaki, kau tidak sedang bercanda kan?"
"Saya tidak pernah bercanda. Light-kun bisa menganggap orang itu adalah adik saya." L menekan-nekan bibirnya semakin kuat. Berjalan ke arah salah satu komputer dan membuka daftar panjang kriminil yang telah dibunuh oleh Kira. Matanya berhenti pada salah satu halaman yang penuh dengan nama-nama asing. "Namun seharusnya dia sudah meninggal sekarang."
Light ikut mengamati dari balik punggung. Mencoba menerka satu dari banyak nama yang dimaksud L. "Dan orang yang sudah meninggal tidak mungkin menemui adikku di taman hari ini."
"Light-kun ada benarnya juga."
Namun mata hitam itu masih memandangi layar komputernya.
"Apa … ada kemungkinan jika 'adikmu' itu belum meninggal?"
"Jika Kira dapat melakukan kesalahan, maka hal itu bukan tidak mungkin terjadi." Mata gelap itu membulat, tampak antusias sekaligus tertantang. Namun Light juga dapat melihat sedikit rasa takut ada di sana. "Namun jika sampai itu terjadi, maka saya tidak dapat memprediksi apa yang mungkin terjadi. Dia … adalah seseorang yang jauh di luar nalar saya. Saya tidak dapat menerka jalan pikirannya."
Dan Light bertanya-tanya orang seperti apa yang mampu membuat L—sang detektif nomor satu dunia dengan segala keeksentrikannya—berkata seperti itu. Dia sama sekali tak dapat membayangkannya. "Apakah itu mungkin terjadi?"
"Kemungkinannya nol koma dua persen."
"Terlalu kecil. Kemungkinan lainnya itu hanyalah salah satu dari imajinasi Matsuda saja bukan?"
Mengabaikan Matsuda yang berteriak tidak terima, L mengangguk. Kembali ke tumpukan tinggi gulanya dan meletakkan satu potong lagi sebagai pelengkap bangunan—Light mengenalinya sebagai salah satu kompleks bangunan tinggi di Kanto. "Ya, kecil. Sangat kecil. Namun bukan pula hal yang mustahil."
.
…*…
.
Seperti sapu tangan yang tak pernah kembali, Sayu menghabiskan waktunya dengan menunggu kedatangan pemuda itu yang seperti angin. Kenyataan yang dulu pernah disampaikan tak lagi merisaukan hatinya. Internet adalah suatu substansi gaib di mana segala hal dapat ditemukan. Hanya dengan mengetikkan kata kunci yang sesuai, maka dia akan mendapatkan informasi yang ia mau.
Dan segala informasi yang ia dapat itu telah melengkapi sisi kosong puzzle misteri dari Ryuzaki Rue.
Gadis itu menggelengkan kepala. Memainkan rambut yang sedikit bergelombang. Beberapa tahun berlalu begitu saja. Dia sudah bukan gadis remaja sekarang, dia sudah menjelma menjadi seorang wanita muda. Di luar sana, mungkin Ryuzaki Rue pun sudah berubah. Tak lagi menggunakan make up pucat, berjalan tegak dan makan selai strawberry seperti orang normal—entahlah. Jika mereka bertemu pun, mungkin mereka sudah tak lagi saling kenal.
Ia mengeratkan pegangannya pada tas yang dibawanya. Sebotol selai strawberry berdenting bersenggolan dengan pena, benda itu selalu ada di sana, hanya dikeluarkan dan diganti tiap kali masa kadaluarsa nyaris lewat. Berharap suatu saat nanti akan datang seorang pemuda eksentrik yang menagih membelikannya benda itu.
Diputarnya kenop pintu. "Aku pulang."
Lima pasang mata yang tengah duduk di ruang tamu menoleh melihat kedatangannya. Tampaknya rumahnya sedang kedatangan tamu. Seorang gadis pirang berdiri dan melambaikan tangannya bersemangat. "Selamat datang, Sayu-chan!"
"Selamat datang, Sayu," Ibunya turut menyambut.
"Ah, Kakak, Misa. Lama kalian tidak berkunjung ke sini. Aku merindukan kalian."
"Aku merindukanmu juga!" jawab sang gadis.
Sayu berjalan, tersenyum pada salah satu tamu yang tersisa dalam ruangan. Pria muda yang dikenalinya sebagai salah satu anak buah ayahnya. "Dan Anda … Matsuda-san, benar?"
Yang disapa memerah malu, salah tingkah. "Y-ya."
Sayu membungkuk sopan. "Sudah lama tidak berjumpa. Terima kasih sudah menjaga Ayah selama ini."
"Oh … wow, Sayu. Kau tumbuh tinggi dan … sangat cantik," katanya. Menggerakkan tangannya setinggi dada. "Terakhir kali aku melihatmu, kau baru setinggi ini."
Misa tertawa terbahak-bahak. Menunjuk Matsuda yang salah tingkah sambil menutup mulutnya. Memasang cengirannya yang paling menyebalkan. "Matsu! Wajahmu merah sekali!"
"A-apa?! Tidak!"
Yagami Soichiro bersedekap dengan wajah serius. Sama sekali tidak menoleh atau menunjukkan ekspresi apapun mendengar tuduhan Misa akan Matsuda. "Aku tidak akan membiarkan Sayu menikah dengan seorang detektif."
"Eh?"
"Aku juga tidak menginginkan hal itu." Yagami Sachiko menimpali. Wajahnya tampak serius.
"A-apa? Benarkah?" Matsuda tampak kecewa. Menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala. "Padahal aku belum melamarnya atau menyatakan cinta padanya … Ayah, Ibu …"
"Ayah?!"
"Ibu?!"
Pertanyaan kompak dari pasangan Yagami, dibarengi dengan suara nampan yang berbentur dengan lantai akibat pegangan longgar Nyonya Yagami yang terkejut.
Sayu tertawa sejenak. Membungkuk sambil tersenyum manis ke arah Matsuda. "Oh ya, sebenarnya aku menganggap Matsuda-san adalah orang yang sangat menarik."
"Apa?!" Matsuda yang tadi tampak sedikit depresi langsung menoleh mendengarnya. Merasa mendengar suara tulang lehernya sendiri berderak karena terlalu cepat melakukannya. Salah tingkah kembali mendera. "A-apa kau serius, Sayu-chan?"
"Ya, tentu saja." Sang gadis tersenyum kecil sebelum melanjutkan kata-katanya. "Aku akan dengan senang hati berkencan denganmu jika kau sedikit lebih muda."
Matsuda membaringkan kepalanya di atas meja dengan wajah kecewa. Soichiro mencuri pandang sejenak pada pemuda yang tengah meratapi hilangnya usia muda dalam waktu singkat itu. Light tertawa. "Kau harus hati-hati dengan adikku, Matsuda-san. Sayu memiliki lidah yang tidak dapat diterka."
"Oh ya, sekarang Sayu-chan jauh lebih dewasa dibandingkan Matsu," Misa menimpali. Langsung memeluk lengan pemuda yang menjadi kekasihnya dan tersenyum lebar. "Dan Light-kun sama sekali tidak berubah sedikitpun, dia tetap sama mengagumkannya sejak pertama kali kami bertemu.
Sayu memutar tubuhnya. Tak ingin keluarganya melihat iri hati yang terbias pada wajahnya. Tidak, dia tidak ingin menumbuhkan kembali pohon kecemburuan yang mati-matian dia layukan selama ini. Namun melihat sang kakak dapat bersama dengan kekasihnya membuat Sayu lelah. "Kakak, kau sudah mendapatkan pekerjaan yang bagus. Berhentilah diam-diam tinggal bersama dan segeralah menikah." Dia melangkahkan kakinya ke kamar. Hal terakhir yang dia dengar adalah suara Misa yang mengatakan jika dia setuju dengan ide Sayu.
Pintu kamar dibuka perlahan, hati-hati agar tak terbanting saat menutupnya. Sayu menyandarkan tubuhnya pada pintu, menghela napas panjang dan mengelus dadanya. Ini bukan kali pertama dia mendapatkan lamaran secara implisit ataupun cemburu melihat kebersamaan Light dan Misa. Namun tetap saja, dia masih selalu kelelahan saat mengatasinya. Tubuhnya melorot pada pintu.
"Lucu sekali aku mengatakan hal seperti itu pada Matsuda-san … padahal dia mungkin jauh lebih tua daripada Matsuda-san … ah, aku masih belum dapat menerka umurnya …"
Ia membenamkan wajahnya pada lutut. Menggumamkan permohonan yang entah ditujukan pada siapa. "Sapu tangan itu, kau tak berniat untuk memilikinya selamanya kan? Kau pasti akan mengembalikannya padaku kan? Aku sudah menuruti maumu, aku sudah menerima diriku sendiri dan berhenti menjadi bayang-bayang Kakak. Aku sudah menjalani hidupku dengan baik dan berubah dari gadis manja menjadi wanita dewasa. Maka dari itu, kumohon, meski hanya sekali … temui aku."
Angin berhembus dari sela-sela jendela yang terbuka—meski seingat Sayu dia telah menutupnya pagi ini, menerbangkan kelambu putih transparan yang berkibar bagaikan gaun hantu.
Sayu terbelalak. Di atas meja belajarnya, tempat dia meletakkan selai strawberry yang masa kadaluarsanya akan jatuh esok hari. Di sana hanya terdapat botol kosong dengan selai yang berceceran—beberapa mengenai buku kuliahnya—seperti darah, merah pekat. Namun aroma manisnya memberikan kesan familier tersendiri.
Ia bangkit dan berlari menghampiri jendela, mencoba mencari entitas yang mungkin masih ada di sana setelah kegiatan menyelinap masuk. Nihil. Bisa saja orang itu datang beberapa jam sebelumnya dan kini sudah di negara yang berbeda—siapa tahu.
Sayu tersenyum. Mengusap air mata yang hampir jatuh. "Kau bodoh … menyelinap masuk ke rumah polisi … benar-benar seorang kriminil kau … Ryuzaki Rue."
Namun setidaknya dia tahu, orang itu masih mempedulikannya.
.
…*…
.
Sayu berlari pelan, satu tangan menggenggam handphone, hendak mengirim pesan untuk ibunya jika dia akan pulang terlambat akibat kereta yang macet tiba-tiba. Sebuah mobil hitam berhenti tak jauh darinya. Dua orang laki-laki berbadan besar keluar dari dalamnya. Dia tak peduli. Masih terus berlari, dia harus membantu menyiapkan makan malam hari ini.
Dua laki-laki itu dilewatinya tanpa peduli. Setidaknya itulah yang hendak dilakukannya andai salah satunya tak menangkap lengannya secara kasar. Dia sudah hendak berteriak dan memaki andai pria yang lain tidak menutup mulut dan hidungnya dengan sapu tangan.
Aroma mawar yang pekat tercium.
Sayu ingat ayahnya pernah menceritakan tentang ini, namun dia tak ingat apa pastinya. Sesuatu tentang penculikan, tebusan, gadis muda, pelacuran atau apa. Dia tak bisa mengingatnya sekarang.
Satu per satu gambaran masuk dalam benaknya.
Ibu yang memasak sendirian di dapur. Kakak dan ayahnya yang bekerja di ruangan penuh komputer. Misa yang memilih-milih baju sambil terkikik. Dosen yang memarahinya meminta dia lebih serius pada proyeknya. Teman-teman kuliahnya yang tertawa puas sambil makan parfait.
Gambaran-gamabaran itu secara acak singgah dalam benaknya, membuatnya penuh sekaligus kosong. Hingga akhirnya semua gambaran itu memburam, menyisakan seorang pemuda berambut hitam berantakan dengan kaus putih dan celana jeans kedodoran yang mengulurkan tangan penuh selai strawberry ke arahnya.
"Ryuzaki … to … long …"
Sayu jatuh dalam kegelapan.
.
…*…
.
Musim gugur.
Daun-daun yang jatuh ke tanah. Dia bergerak, berjalan melintasi deretan batang-batang gundul tak berdaun. Namun dia tak berjalan. Kakinya tak berayun. Bahkan kakinya pun tak menapak pada permukaan tanah yang berlapis daun busuk.
Apa yang terjadi?
"Udara hari ini segar ya, Sayu. Cocok sekali untuk berjalan-jalan." Sayu mendengar suara ibunya. Kali ini begitu lembut dan halus, tidak tegas seperti biasanya.
Ia ingin menjawab, atau sekedar menoleh pada sang ibu. Namun dia tak bisa. Dia hanya duduk sambil memandang dedaunan yang jatuh di sekitarnya. Ah ya, dia ingat. Dia diculik dan dibawa ke Amerika, lalu ayahnya datang menyelamatkannya dan menukarnya dengan sebuah buku hitam yang dikatakan dapat membunuh. Dan setelah itu … dia ada di rumah sakit, dokter dan psikolog berlomba menenangkannya yang menjerit dan mengamuk seperti orang gila. Tak sudi disentuh siapapun. Trauma. Itulah hasil diagnosanya.
Sekarang dia ingat segalanya.
Aku sudah keluar dari rumah sakit. Tapi … aku di mana? Apa yang kulakukan? Kuliahku … ah, dosenku pasti marah jika aku tidak menyelesaikan proyekku. Aku harus pergi … sekarang. Tapi di luar sana … orang-orang …
Selai stawberry. Di mana selai strawberry-nya? Harusnya benda itu ada di tas? Apa yang harus dilakukannya jika Ryuzaki datang dan dia tak memiliki selai? Dia harus membawa selai itu. Karena selama aku masih memilikinya, maka Ryuzaki mungkin akan datang.
" … ai …"
Ibunya menghentikan kursi roda yang digunakannya untuk berjalan-jalan. Air mata menetes di sudut matanya. "Ya, Sayu?"
" … selai … selai …"
"Kau ingin makan roti dengan selai?" Sachiko mencoba menebak, berganti posisi ke hadapan putrinya dan duduk berlutut sambil menggenggam tangan yang terkulai di pangkuan. Pandangan sedihnya tertangkap mata Sayu.
" … selai strawberry …"
Sachiko meteskan air matanya. Menunduk dan terisak. Tubuhnya yang tergerogoti waktu terguncang bersamaan dengan air mata yang jatuh. Putrinya yang cantik, putrinya yang tegar dan ceria, putrinya yang selalu menjadi penopang kesedihannya akibat keluarga yang tak lengkap. Yagami Sayu yang seperti itu itu sudah menghilang. Dia adalah korban dari kegilaan dunia.
Sachiko menghapus air matanya, berusaha bersikap tabah. "Roti dengan selai strawberry ya? Baiklah. Ibu akan membawakannya ke sini. Cuaca hari ini cerah, cocok sekali untuk makan di luar. Tunggu sebentar ya … Sayu?"
Sang gadis tidak menimpali. Dia hanya menatap sebuah daun yang jatuh dari dahannya. Bergoyang pelan tertiup angin dan mendarat di pangkuannya, dekat dengan tangannya. Dia ingin mengibaskannya hingga jatuh, namun jari-jarinya terasa kaku.
Sebuah tangan ganti melakukan untuknya.
"Yagami Sayu … sayang sekali sisa umurmu masih panjang."
Sang gadis mendongakkan kepalanya sedikit, memandang sosok yang baru saja datang. Membelakangi matahari, membuat wajahnya diselimuti oleh bayangan kegelapan. Di satu tangan terdapat selai strawberry yang sudah terbuka, setengah isinya raib ke mulut dan pipi sang pemiliknya. Mata merah memandangnya tajam.
"Sisa umur Sayu-san masih sangat panjang, dan Sayu-san harus melewatinya dengan kondisi seperti ini. Bukankah ini sama saja dengan kematian?"
" … ki …"
Jari telunjuk masuk ke dalam botol selai, membawa benda berwarna merah bersamanya saat keluar. "'Adik' saya tampaknya memperlakukan Sayu-san dengan buruk," katanya sambil menjilat jari telunjuknya, memperparah mulut yang sudah belepotan selai. "Namun Sayu-san tak perlu takut. Dia tidak akan mengganggu Sayu-san lagi. Lagipula … usianya tak akan lama lagi …"
"… zaki …"
"Saya datang untuk memenuhi janji saya. Maaf membuat Sayu-san lelah menunggu." Tangannya masuk ke dalam saku celana, mengeluarkan sebuah sapu tangan dengan motif bunga-bunga. Diletakkannya di atas tangan sang gadis. "Saya ingin mengembalikan sapu tangan ini pada Sayu-san."
Jari itu kembali masuk ke dalam botol, membawa selai, dan kali ini tidak ditujukan untuk dirinya sendiri. Selai berwarna merah itu dioleskannya pada bibir Sayu, membuat warnanya yang pucat tampak jauh lebih hidup. "Maafkan saya yang tak bisa melakukan apapun untuk Sayu-san. Karena peran saya sudah selesai. Karena saya sudah mati. Dan seseorang yang telah mati tak akan dapat melakukan apapun lagi."
"Ryuzaki …"
"Selama beberapa tahun ini, saya mencoba menebus segalanya yang pernah saya lakukan. Saya mengapus semua kenangan saya di masa lalu dan menjauhkan apapun yang masih membuat saya dapat dicurigai. Saya akan memulai dari awal lagi kehidupan saya, menjadi individu yang baru lagi. Maka dari itu … tolong ucapkan selamat datang untuk saya, Sayu-san."
Mata cokelat kosong itu memandang mata merah di hadapannya. Senyum tipis tersungging. " … Selamat datang … Ryuzaki Rue …"
.
…*…
.
"Saya akan mengatakan satu rahasia. Dan Sayu-san akan menjadi satu-satunya orang di dunia yang akan mengetahuinya …
" … Saya adalah Beyond Birthday. Pembunuh paling kejam yang pernah ada dalam sejarah modern. Dan masihkah Sayu-san akan menerima saya setelah mengetahui kebenaran ini?"
.
…END…
.
Terima kasih sudah membaca FF ini.
Aku bener-bener nggak percaya aku bisa nulis BB x Sayu. OTP yang terlupakan karena jarangnya asupan TTwTT. Tapi … entah mengapa aku nggak bisa nulis kisah yang manis untuk fandom Death Note (sebenernya aku memang nggak pernah bisa nulis kisah manis sih). Aku berharap dengan menulis FF ini maka akan ada beberapa yang mau ikut nulis pair crack ini.
Alasan sebenernya aku ngeship mereka karena aku fujo pecinta pair Light x L, dan dulu pernah kepikiran ide gimana reaksi Soichiro kalau dua anaknya bawa 'calon' yang 'sama'. Hahaha, dan entah kenapa jadi jatuh hati sama crack pair ini.
Judul Zima sendiri diambil dari Bahasa Rusia yang berarti musim dingin, merujuk pada alur yang 'beku' menurutku.
Mungkin ini saja yang bisa aku sampaikan, mohon kritik dan sarannya ya ^^
.
…OMAKE …
.
Dia pernah menjadi pembunuh nomor satu dunia. Dia pernah merasakan euforia saat tangannya mengoyak tubuh-tubuh bernyawa dan melihat kesakitan di wajah mereka. Dia pernah menjadikan kehancuran detektif nomor satu dunia sebagai tujuan keberadaannya di dunia ini.
Namun siapalah dia sekarang. Hanya seorang pelarian. Dia tahu cepat atau lambat Kira pasti akan membunuhnya. Maka dari itu, dia memutuskan untuk pergi. Pergi dengan cara yang salah yang tak akan pernah kau ingin tahu teknisnya.
Memutuskan untuk menjadi penonton kehancuran sang detektif—oleh lawan baru yang diakuinya lebih tangguh dibandingkan dirinya—dia memutuskan untuk pergi ke Jepang. Tempat di mana panggung sandiwara utama L vs Kira dilaksanakan.
Namun dia terpaksa menunda setiap rencana yang telah dirancangnya. Sepasang mata cokelat yang menatap langit hujan penuh keputusasaan mengubah alur hidupnya. Gadis muda, mungkin seusia dengan 'adiknya' di panti asuhan. Dia masih mengenakan seragam, payung di tangan kanan, tak dibuka meski hujan lebat mengguyur seluruh badannya.
Dia merasa bercermin, bercermin dan melihat bayangan sosok dirinya beberapa tahun lalu. Dia ingin menggapai sosok itu, melindunginya dan menjaganya. Berhati-hati agar hati yang rapuh seperti es di permukaan danau musim dingin itu tidak hancur berkeping-keping dan menjelma menjadi sosoknya kini.
"Aku … tidak ingin hidup lagi …" gadis muda itu berbisik.
"Benarkah?" dia menimpali.
Sang gadis berjengit, menoleh kearahnya dengan wajah ketakutan. Tubuh mungilnya bergidik, ngeri.
Ia menatap nama dan sisa umur yang mengangbang di atas kepala sang gadis penuh minat. Entah mengapa dia terlahir dengan mata yang dapat melihat yang tak dapat dilihat manusia biasa, namun dia mensyukuri kelebihannya ini. Dengan begini dia tak akan kesulitan mencari nama seseorang.
Tentu saja, dia tak akan 'bermain' dengan anak ini. Dia belum ingin 'kematian'-nya terbongkar dan dia harus mendekam lebih lama di jeruji besi khusus. Namun tak ada salahnya untuk memberi sedikit ancaman bukan?
"Yagami Sayu," dia mengeja nama itu. Tersenyum senang melihat angka yang tertera di bawahnya. "… sayang sekali sisa umurmu masih panjang. Kalau tidak, dengan senang hati aku akan 'bermain' denganmu."
.
…END…
.
