Menjadi orang lumpuh itu tidak enak, ya 'kan?

Terlebih jika kau mendapatkan mata di sebelah kirimu buta, dan mendapatkan perban di kepalamu.

Sungguh tidak mengenakkan, 'kan?

Jika kau tidak mempunyai seseorang untuk mendorong kursi rodamu, lalu apa yang akan kau lakukan?

Aku akan menggerakkannya sendiri.

Tapi kau lumpuh.

Lumpuh tidak berarti untuk tidak bergerak sama sekali.

Jika kau ingin pergi ke kamar mandi, apa yang akan kau lakukan?

Entahlah. Tapi aku akan mencari cara.

Bagaimana?

Aku juga tidak tahu.

Apakah kau pernah berpikir untuk mengakhiri hidupmu?

Aku pernah memikirkannya. Tetapi aku tidak akan melakukannya karena aku tahu Tuhan sudah merencanakannya.

Lalu apa yang 'akan' kau lakukan sekarang?

Mencoba untuk hidup.


Wheelchair

Len x Miku

Warning: ujung-ujung pasti alurnya bakalan kecepetan (saya bukan orang yang bisa buat cerita, ok?), typo(s), drama gagal, dll.

Vocaloid Yamaha © Crypton Future Media.

.

.

.

.

.

.


—Chapter 1: Dia Bukan Kekasihku—


Ruangan tempat ia berdiam sangatlah gelap. Hanya lampu redup yang menerangi tempat di sekelilingnya.

Suara tetesan air yang berada di dalam kamar mandi terdengar sampai ke kamar di mana ia terdiam lemas—menandakan bahwa kamar itu sangatlah sunyi. Bahkan suara pendingin ruangan tidaklah terdengar.

Orang itu terduduk lemas di kasurnya. Wajahnya pucat —dia belum makan— dan nafasnya bergerak secara teratur.

Orang itu, gadis itu, Miku, sedang berpikir bagaimana untuk menemukan cara agar dia bertahan hidup sampai ajal benar-benar menjemputnya.

Gadis itu tidak memiliki marga. Ia adalah anak yang tidak diketahui dari mana asalnya dan siapa keluarganya.

Seorang suster rumah sakit ini menemukan Miku yang tengah bersembunyi di bawah pondok tua di sebrang jalan raya. Karena merasa kasihan, suster tersebut membujuk Miku agar ia ikut dengan suster itu.

Walaupun ada beberapa tolakan dari Miku, syukur saja gadis remaja tersebut akhirnya menerima ajakan suster baik hati tersebut.

Dan dibawalah Miku ke rumah sakit dimana suster tersebut bekerja.

Beberapa hari yang lalu suster tersebut menanyakan siapa keluarganya. Tapi Miku hanya menggeleng.

"Aku tidak tahu."

Suster tersebut juga menanyakan kenapa dia berada di pondok tersebut.

"Aku juga tidak tahu."

Hal tersebut membuat suster itu bingung. Awalnya, dia ingin menanyakan beberapa pertanyaan lagi kepada Miku. Tapi dilihat dari raut wajah gadis remaja itu, suster tersebut sudah menyerah.

Dia memang merasa kasihan terhadap gadis itu.


Hari demi hari sudah tergantikan.

Wajah pucat sebelumnya sudah tergantikan dengan wajah cerah nan cantik milik Miku. Gadis itu tidak tahu kenapa hari ini dia merasa sangat bahagia.

Sebuah senyuman selalu terukir di bibir manisnya. Miku juga tidak tahu kapan terakhir kali ia memasang senyuman itu di wajahnya.

Tetapi senyuman tersebut langsung menghilang ketika pintu kamarnya terbuka perlahan.

Suster itu —yang sudah merawat Miku dengan sangat ikhlas— dan seseorang lelaki berdiri di sampingnya berdiri di perbatasan kamar dan koridor rumah sakit.

"Miku," ucap suster tersebut dengan tenang seraya melihat ke arah Miku yang tengah dilanda kebingungan. Lalu suster tersebut menghadap lelaki yang berada di sampingnya.

"Laki-laki ini ingin menjengukmu," lanjutnya. Lalu suster tersebut mempersilakan lelaki itu masuk ke dalam kamar Miku.

Satu per satu lelaki itu menginjakkan sepatunya ke lantai sembari mendekat ke arah Miku dan duduk di kursi di samping kasurnya.

Perlahan, lelaki tersebut mengambil telapak tangan Miku lalu menciumnya dengan lembut.

"Miku. Aku kembali."

Dengan wajah yang terkejut dan memerah karena marah, Miku langsung menarik tangannya kembali, "K-kau—untuk apa kau datang ke sini?"

Lelaki itu langsung menyambar kembali kedua tangan Miku lalu menggenggamnya, "Aku datang ke sini untuk menjengukmu. Tentu saja. Aku datang ke sini untuk menjengukmu."

"B-bagaimana bisa kau tahu kalau aku berada di sini?"

"Kalau tentang itu aku tidak ingin menjawabnya. Dan tolong izinkan aku untuk bertanya kepadamu, Miku."

" ... "

"Apakah kau mau memaafkanku?"

Mata Miku langsung menyipit dan menatap lelaki itu dengan tajam, "Memaafkanmu? Ha!" ia meninggikan suaranya seolah-olah dirinya sedang menyindir seseorang yang berada di depannya.

"Dengan semua apa yang telah kau lakukan—kau ingin permintaan maaf dariku? Kau ingin aku memaafkanmu karena perbuatanmu di masa lalu itu yang menyebabkan kau menginginkan permintaan maaf dariku?—"

"Miku."

"— Kau kira aku akan memaafkanmu dengan mudah, begitu? Dalam mimpimu, Tuan Kagamine!"

"M-Miku!" suara teriakan menggema di dalam ruangan tersebut. Kedua pasang manik yang berbeda kepemilikan tersebut langsung melesat pada seorang suster yang baru saja berteriak.

Dengan raut wajah yang gugup dan hati yang berdebar-debar, suster tersebut berjalan mendekati kasur Miku. Dia berdiri di samping lelaki yang sedang duduk di samping kasur tersebut.

"Sabar, Miku. Kau tidak boleh marah. Atur emosimu—tarik nafas dalam-dalam, lalu buang secara perlahan," suster itu menggigit bibirnya, "Seharusnya kau tidak boleh bersikap seperti itu jika ada orang yang sedang menjengukmu. Lelaki ini adalah tamu-mu, Miku."

"Tamu?" Miku langsung tertawa tak jelas. "Sejak kapan penghianat ini adalah tamuku?"

Dengan cepat, kebingungan langsung melanda suster itu, "K-kalian saling mengenal satu sama lain?"

Miku menggeleng—tetapi lelaki itu mengangguk. Dan sebuah perkataan —yang membingungkan bagi sang suster— keluar dari mulut mereka berdua secara bersamaan.

"Dia adalah orang asing."

"Dia adalah kekasihku."


Suster itu sangat bingung.

Rambut merah muda berkilaunya terus dibasahi oleh keringatnya sendiri. Padahal pendingin ruangan telah menguasai kamar tersebut. Tetapi tetap saja keringat suster itu terus mengalir.

Megurine Luka, suster yang telah baik hati menolong Miku, terus berpikir kenapa Miku dan lelaki itu bisa saling berbeda pendapat. Yah, Luka tahu jika semua orang pasti memiliki pendapat yang berbeda-beda.

Tapi kasus ini berbeda. Ini bukanlah musyawarah atau semacamnya. Ini adalah kasus yang sangat rumit.

Kenapa lelaki tersebut dan Miku ...

"Dia adalah orang asing."

"Dia adalah kekasihku."

Walaupun Luka sudah tau siapa yang lebih jujur diantara kedua orang tersebut, tapi Luka masih bingung.

Kenapa Miku menganggap lelaki tersebut adalah orang yang asing baginya, padahal itu sudah jelas bahwa lelaki itu adalah kekasihnya sendiri?

Luka sudah bisa melihat dari sikap Miku.

Ini sudah sangat jelas ketika Miku membalas perkataan lelaki itu dengan kasar—Miku tidak mengakuinya. Miku terlihat sangat marah dan kesal terhadap lelaki tersebut. Makanya Miku menganggap lelaki itu adalah orang asing karena Miku memang tidak ingin mengakuinya. Gadis itu sudah terlanjur marah terhadap lelaki pirang itu.

Dan mata biru Luka langsung melesat pada jam di tangannya.

"Miku. Ayo kita makan malam," ajak Luka dengan lembut.

Miku langsung mengembungkan kedua pipinya seraya melipat kedua lengannya di depan dadanya, "Suruh orang ini pergi terlebih dahulu."

"Aku tidak bisa. Aku tidak mempunyai hak untung mengusir orang, Miku."

"Kalau begitu...," Miku langsung menatap lelaki yang ada di sampingnya, "Pergi."

"Tidak."

"Pergi."

Lelaki itu menggeleng.

"Pergi atau kuhabisi kau, Kagamine Len," Miku langsung terkejut. Ia tidak menyangka bahwa ia akan mengucapkan nama itu lagi.

Nama itu.

Membuat semua kenangan terputar kembali di otaknya.

Ketika mereka bermain bersama.

Ketika lelaki itu memberikan sebuah bunga kepadanya.

Ketika keduanya berkencan.

Dan...hal yang tak terlupakan bagi mereka.

Lalu lelaki itu pergi.

Meninggalkan dirinya.

Dan kenangan pahit bercampur manis.

Kemudian sekarang...

Dia kembali.

Meminta maaf.

Apakah ini lebih sakit daripada lumpuhmu itu, Miku?


To be continue.


A/n: huahaha #ditimpuk.

Oke. Jadi, cerita itu terinspirasi dari gambaran saya sendiri. Saya juga gatau dapet ini beginian dari mana.

Bagi yang merasa kalo ff ini fluff, jangan salahin saya ngepostnya di bulan Ramadhan, ya. Saya ngepostnya pas malem.

Review?