Tidak ada yang bisa di lakukan seorang pelayan.

Ada benarnya.

Namun, tidak ada yang bisa menebak masa depan seorang pelayan. Menebak masa depanku, Inuyasha.

Bisa menjadi baikkah? Burukkah? Gagal atau tenggelam dan di lupakan? Mampu menjadi sebuah simbol sebuah perdamaian?

Para raja boleh menunjuk seseorang untuk duduk di sebelahnya karena si calon mempunyai komposisi yang cocok untuk jadi pemimpin. Pangeran boleh memilih satu juta wanita untuk menghangatkan ranjang mereka tanpa ada seorangpun selir ratu yang memberontak. Para maniak boleh melakukan pertikaian sesuka hati selama mereka kuat.

Yang kaya dan berkuasa punya kupon keberuntungan —boleh melakukan apapun— lebih banyak dari pada yang miskin dan bukan siapa-siapa.

Namun, takdir tidak akan memilih-milih orang untuk mencoba peruntungan.

Bahkan, aku yang pelayan ini di beri kesempatan untuk mencicipi keburuntungan setingkat langit ketujuh.

…:0-0-0:…


© All Story Rights Reserve. DESTINY chapter I

©INUYASHA belong to ;
TAKAHASHI Rumiko

©INUYASHA Fanfic, DESTINY belong to ;
AUTHOR

Genre: drama, romance. Tragedy.

Warning: MATURE CONTENTS.
Author plot universe; alternative universe in Edo setting, explicit sexual content. Adult-view only.


…:0-0-0:…

Menghilangkan kotoran di kaki para pengunjung, memoles lantai sampai berkilat, menggosok pakaian dan hal lain yang di lakukan seorang pelayan sejak matahari ada di sebelah timur lalu kembali tenggelam di ufuk semestinya, begitulah hari-hari seorang pelayan terus berlanjut sampai tubuhnya membungkuk dan berakhir bersama tanah.

Aku seorang pemuda berumur sembilan belas, mempunyai keinginan memimpin Edo dan ribuan prajurit berbaris di bawah komandoku. Tinggal di kastil bersama Ratuku dengan damai sehidup-semati bersama anak-anak kami. Tentu saja, harus kaya. Mimpi yang kelewat indah. Namun keinginan itu harus kubuang jauh-jauh. Menginjak umur seperti ini, aku bahkan tidak pernah menghunus benda tajam. Hanya pisau, untuk memotong daging makan malam.

Aku di tugaskan menjadi pelayan, pelayan di rumah bordil.

Rumah bordil, yang mungkin bahasa sederhananya rumah pelacuran. Namun rumah pelacuran kami tidak bisa di datangi oleh pria yang tidak memiliki kekuasaan. Anak raja, kaisar, para samurai yang julukannya tidak bisa kuingat, para pembesar dari negara yang tidak pernah aku dengar namanya, atau simpanan dari kerajaan.

Para perempuan disini menolak menamai rumah pelacuran, dan lebih tersanjung dengan panggilan rumah bordil, yang terdengar lebih kebarat-barataan, lebih terdengar penuh dengan kesanjungan. Karena sejatinya, geisha tidak selalu identik dengan pelacuran, mereka tidak jauh berbeda seperti guru seni Jepang. Tapi untuk turis yang asalnya jauh dari luar negara ini, geisha sama saja seperti pelacur, hanya saja mereka ini pelacur berkelas.

Ada begitu banyak orang-orang dengan pangkat eksibionis. Tampan. Kaya. Serba meriah dan keemasan.

Tapi ada satu orang yang sangat menarik perhatianku.

Seorang tuan yang kemungkinan berumur lebih tiga puluh. Dewa di satu-sisi, disisi lain seperti iblis berwajah bagus. Aku selalu menatapnya dari belakang meja pelayan, ia duduk di ruangan bertirai sutera, tempat dimana biasa para manusia penting duduk, bersama wanita-wanita berarorama wangi yang di beli dengan harga tertinggi.

Ini sudah belasan kali tuan ini singgah. Dan aku bahkan ingat benar warna kimono yang ia gunakan sejak awal kedatangannya sampai sekarang ini tanpa ada kesalahan dalam pengurutannya.

Aku melihatnya berbeda dengan para laki-laki lain. Ia tuan besar, aku yakin, bahkan aura tuan besar mengalir dengan mulus ke seluruh ruangan setiap ia datang ke tempat ini. Dia di sanjung, aku mengerti bagaimana mata seluruh orang menekuk dengan kerendahan diri setiap ia melangkah. Dia sangat kelaki-lakian, tidak menampar perempuan dan membuat para perempuan menjerit-jerit di koridor, juga tidak keluar dalam keadaan memalukan dengan pakaian berserakan dan menjadi gila karena mabuk.

Tuan Sesshomaru.

Satu hal yang jarang —sulit di temukan.

"Inuyasha?"

Suara nyonya terdengar saat aku sedang melicinkan cangkir-cangkir sake.

"Iya, nyonya?"

Bakiaknya yang tebal menyeret lantai kayu, ia berjalan ke belakang meja, menghampiriku sambil melihat ke sekeliling. "Dimana Miroku? Kau melihatnya?"

"Dia menyembelih domba, nyonya. Kita kekurangan orang untuk menyambut tuan yang nanti akan datang untuk jamuan makan malam. Apa nyonya melupakannya?"

"Astaga, kenapa aku bisa melupakan itu?" Nyonya menyibak kipasnya dan melakukan gerakan khas seorang geisha yang sedang mengipasi diri. Mereka tidak benar-benar melakukannya karena cuaca yang panas, kau tau, itu adalah tindakan sakral para geisha dengan kelas. Gerakan menggoda.

"Saya senang bisa mengganti Miroku-san untuk membantu anda, Nyonya."

"Ini bukan hal yang seperti itu."

Aku melanjutkan pekerjaan yang ada di tanganku, menggulir botol-botol sake yang tersusun menurut ukuran botolnya di rak-rak petak berlapis. Aku mendengar nyonya bertanya-tanya pada pelayan lain dengan suara yang tergesa-gesa. Nyonya jarang terburu-buru dan merasa khawatir, dia adalah wanita paling kaya dan pemilik rumah bordil paling bernilai di seluruh penjuru. Tidak ada hal yang membuatnya harus repot-repot merasa khawatir dan terburu-buru.

"Sungguh nyonya, saya bukan Miroku-san, namun hal apa yang dilakukan oleh Miroku-san namun tidak bisa saya lakukan?"

"Pekerjaan yang berhadiah puluhan kotak perak." Nyonya mengepak kimononya, "Pekerjaan pelampiasan."

"Wah kalau saja itu menjadi pekerjaan saya," Aku meletakkan gelas terakhir berjejer ke dalam laci penyimpanan dan penutupnya, "Walau saya tidak mengerti apa itu pelampiasaan yang nyonya katakan."

Tapi kemudian nyonya berputar secara dadakan ke arahku, hiasan rambutnya bergoyang sangat kencang, "Kau!"

Nyonya menatapku dengan teliti, dari ujung kepalaku sampai ujung kaki, kemudian nyonya melepas celemek yang terikat di belakang punggung dan pinggangku, merapat ke tubuhku begitu dekat sampai hampir mencium pipiku. Kemudian kembali meneliti.

"Dewa! Bodohnya aku yang terlalu buta padamu selama ini!"

Alisku menukik, "Apa saya melakukan sesuatu, nyonya?"

Nyonya menutup kipasnya dan membuang celemekku ke tempat sampah. Wajahnya merekah dan satu sisi bibirnya terangkat.

Seperti firasat buruk.

"Ikut aku ke kamar berias, Inuyasha."

.

.

.

Aku menyibak tirai penghalang dengan lengan lemas yang bergetar-getar. Panggulku terasa akan bergeser dan terlepas dari tubuhku, begitupun kakiku berubah menjadi selembar papan kayu yang mampu di patahkan dengan satu tangan. Obi kimono yang terikat kencang di bagian perut membuat tarikan napasku memendek dan terasa sesak. Nyonya menyikut punggungku karena aku berjalan terlalu pelan.

Satu langkah terasa lebih menyesakkan dari langkah sebelumnya, dan nyonya semakin keras mendorong punggungku dengan ujung kipas Mahoninya.

Ledakan matahari baru saja di jatuhkan di depan mataku.

Tuan Sesshomaru ada disana.

"Maaf menunggu, tuan."

Aku menelan air mulutku dan mencoba mengintip tuan ini dari bawah bulu mataku. Dia lebih kelihatan indah dari jarak dekat, pesonanya berpendar dan menusuk-nusuk bola mataku. Aku melihatnya duduk di altar dengan bantal di antara kakinya, menyandarkan satu tangannya di sandaran kayu berukir naga. Bahasa tubuh yang sangat berkelas.

Senyuman paling tipisnya menyambutku —kami, mataku buta sesaat.

"Jadi, dia ini yang bernama… Miroku?"

"Tidak, tuanku," Nyonya menghempas kipasnya sambil tersenyum, garis lipatan dimatanya terukir dalam. "Ini Inuyasha. Dia sudah lama bekerja denganku. Dia bukan pelayan yang saya maksud tadi, tapi dia bersih, seperti anak baru lahir. Rasanya pasti manis. Tuanku bisa melakukan apapun padanya."

Kengerian meledak di dalam diriku. Apa tuan ini memakan manusia? Apa dia siluman? Sejenis manusia jejadian?

"Aku tidak ingin di kecewakan. Dan aku harap dia tidak melakukannya sebagai laki-lakiku yang pertama."

Nyonya mengibas tangan di depan wajahnya dengan tawa-tawa ala geisha, "Duh, tuanku tidak akan pernah diragukan oleh saya."

"Aku tidak akan tau sebelum aku memastikannya sendiri." Aku mendengar tuan ini menangkat cangkir sakenya, lalu berkata, "Tunjukkan wajahmu, bocah."

Aku mulai gemetar, tenggorokanku seperti tersangkut tusuk dango, aura di dekat tuan itu terasa tidak baik dan menerjang ke arahku seperti badai, aku meremat tanganku sebelum akhirnya wajahku berhadapan ke arahnya, namun tuan ini malah melebarkan matanya dan melotot.

Tuan ini akan membunuhku.

"Apa benar dia seorang laki-laki? Tidakkah dia terlalu menawan untuk jenis kelaminnya?"

"Tuanku dapat memeriksanya. Seperti yang saya katakan, dia sangat bersih, tuanku tidak akan merasa kecewa. Dan tuan tidak perlu memikirkan umurnya, dia sudah siap."

Aku melihat ke arah nyonya, "Nyonya, apa yang anda katakan?"

"Berapa harga yang kau letakkan untuknya?"

Tidak! Aku bukan seseorang yang dibayar! Aku hanya pelayan! Kata-kata itu tersusun rapi di dalam kepalaku. Tapi sekeras apa aku mendorong kata-kata itu ke mulutku, suaraku tidak terdengar, atau malah tidak keluar sama sekali.

Aku melihat nyonya. Matanya sudah seperti gila uang, dan kalau ini sudah terjadi maka tidak ada lagi hal yang bisa menahannya untuk berbisnis. Satu sifat yang tetap membuatnya menjadi berlimpah kepingan emas dan perak.

"Anda boleh membayar sesuai dengan kepuasaan anda dengannya." nyonya mendengus kecil dengan celutukan-celutukan pelan, "Tapi saya yakin itu seharga beberapa karung dari kepingan emas, tuanku. Tidak bermaksud lancang."

Cangkir sake yang kosong di letakkan lagi di tempatnya, "Baiklah, Izayoi, kau boleh pergi."

Tatapan anak anjing yang meminta belas kasih tidak mempan, tanpa menatap, nyonya bergerak mundur dan meninggalkanku dengan tuan maniak di ruangan bertirai sutera emas. Tolong Tuhan, mati di rumah bordil bukanlah keinginanku untuk mengakhiri hidup.

.

.

.

Aku berdiri di depannya tanpa melakukan apapun, dengan kepala tertunduk, seperti aku adalah laki-laki paling bersalah di muka bumi ini. Walau tidak melihat langsung ke dalam matanya, aku tau tuan ini sedang mencoba menilai komposisiku, seperti dagangan manusia yang akan di beli.

Menyadari betapa mencekamnya situasi ini membuat sarafku mengerut. Jantungku berdegup lebih kencang dan kegelisahan yang kurasakan meledak naik keatas tubuhku. Aku melirik pedang bersarung emas di sebelah kursi duduknya, pegangan timah yang biasa digunakan untuk menebas, menambah kesan neraka di dalam imajinasiku. Perlahan, aku mengambil langkah pergi sedikit demi sedikit dengan kakiku yang bergetar.

"Inuyasha?" tuan itu berbicara, suaranya yang teredam begitu rendah seketika membuatku menegang.

"Y-ya, tuan?"

"Apa yang akan kau lakukan dengan menunduk seperti itu? Kau sedang menjalani hukuman pancung?"

Aku tidak mengerti dimana letak lucu dari candaanya —atau tuan ini memang benar-benar akan melakukannya— aku tidak bisa tertawa. Suara tuan ini bergema di dalam ruangan dan membuat ketegangan semakin meluap-luap di sekitar. Mulutku terbuka, ingin menjawab ucapannya, tapi tidak ada suara yang keluar.

"Duduklah. Turuti perintahku dan kau tidak akan celaka."

Celaka. Jadi ada kemungkinan celaka? Aku menelan buntalan besar ke dalam tenggorokanku, "Te-tentu, tuan."

Aku menarik satu kursi tepat di depan altar. Seharusnya aku duduk di bawah kakinya, atau duduk berada sejauh beberapa langkah, menimbang tingkatan pelayan dan tuan besar ibarat langit-bumi, tapi dia mencegah, dan memberi isyarat agar aku duduk di tempat yang ia perintahkan.

Aku terdiam untuk waktu yang cukup lama. Menduga-duga apa yang tuan ini akan lakukan padaku. Aku mendesak pikiran menakutkan dari tubuhku. Penelitianku tentang tuan ini sedikit mengurangi ketakutanku, berharap saja kalau penelitian ini benar, maka aku hanya akan duduk disini untuk menemani sampai gelas sakenya kosong.

"Apa yang kau lakukan di tempat ini, Inuyasha?"

Nyonya mengatakan berhati-hatilah saat berbicara dengan tuan itu, dia tidak suka jawaban bodoh dan monoton. Oh nyonya. Bagaimana bisa aku menjawab dengan kata-kata yang bagus sementara aku sendiri tidak pernah belajar memahami bahasa berkelas.

"Saya menjadi pelayan, tuan."

"Pelayan? Kau melayani seseorang atau kau melayani anjing-anjing di luar sana?"

Keberanianku benar-benar terkunci di suatu tempat di dalam diriku. Terlalu takut untuk membalas ucapannya, seakan-akan setiap kata-kataku bisa berubah menjadi tawaran menggiurkan untuk hidup dan matiku. Aku ingin bicara dan berunding, tapi sekali lagi, kata-kataku bisa berubah menjadi tawaran menggiurkan untuk hidup dan matiku.

"Kau tidak menjawab?"

"Sa-saya hanya membersihkan lantai dan menggosok meja-meja, tuan. Dan melakukan pekerjaan laki-laki seperti memberi pakan domba dan memotong kayu bakar."

"Pelayan yang menggunakan kimono bagus?"

Aku tersendat, "Nyonya, nyonya menyuruh saya menggunakannya, barusan saja, tuan."

"Apa yang di lakukan Izayoi padamu?"

"Nyonya menyuruh saya mandi sebanyak tiga kali secara menyeluruh, kemudian merendam tubuh saya di air hangat. Pengharum manis diusap keseluruh kulit saya, juga menyuruh saya menungang cairan itu dua kali di bagian tertentu. Kemudian memakaikan saya kimono bagus, tuan."

Aku menemukan bibirnya terangkat beberapa detik, tersenyum dengan berbagai arti misterius.

"Pernah sebelumnya di perlakukan baik?"

Aku menggeleng, "Nyonya dan semua selalu berkelakuan baik kepada saya, hanya saja pelayanan yang seperti itu belum pernah di berikan kepada saya. Aneh saja, saya pelayan dan pelayan tidak butuh pelayan tambahan. Selain pelayan kerajaan, pelayan kecil seperti saya hanya tunduk pada orang dan orang tidak tunduk pada saya."

"Pintar juga… bicaramu."

Uh-oh. Apa ini, kesalahan berbahaya?

"Tapi seandainya aku mengeluarkan titah yang berisi untuk tunduk padamu, tentu saja, semua orang akan tunduk padamu."

Suara 'Waaaw' diam-diamku terdengar oleh tuan ini.

"Waw. Hanya itu reaksimu?"

Tuan berdiri dari altar dan meninggalkannya, kemudian berjalan ke kursiku, lalu duduk di dekatku. Aku bisa mendengar kursi tuan itu berderik, kaki kursi yang menggesek ubin kilap yang baru saja aku pernis tadi pagi. Aku menduga tuan ini begitu dekat denganku, cukup dekat sehingga aku dibanjiri oleh kehangatan tubuhnya.

"Kau sedang bicara dengan tanah, nak?"

"Ti-tidak tuan." Aku menegakkan wajahku, sedikit demi sedikit meliriknya takut melalui bulu mataku yang bergetar-getar.

Tuan itu menatapku. Tidak melotot —tidak dengan tatapan membunuh— dan tidak memaksa. Aku seperti di telan hidup-hidup saat kedua mata tuan ini berkeliaran di seluruh tubuhku.

"Pernah melayani seseorang sebelumnya, bocah?"

"Saya melayani nyonya saya, tuan."

"Bukan yang melayani seperti itu. Seperti melayani seseorang dan masuk ke dalam kamarnya saat malam hari, lalu melakukan sesuatu."

Aku menekuk alisku, "Ma-maksud tuan, membersihkan kamar nyonya saat malam hari dan melakukan sesuatu seperti… menyapu, begitu, tuan?"

Tuan itu tertawa dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Sesaat. Hanya sesaat. Lutut tuan itu menabrak lututku. Sebuah aliran aneh membuat darah di nadiku berdesir kencang. Sehingga aku bisa mendengar suara tabuhan taiko di belakang telingaku, atau mungkin itu suara jantungku.

"Bukan melayani semacam itu. Menyapu? Aku tidak butuh seseorang yang sepertimu menyapu di kediamanku." Sake dengan wangi yang menusuk di tuangkan ke dalam wadah yang lebih kecil. Seharusnya itu tugasku, menuangkan minumannya, tapi dia mencegahnya. "Pernah melayani kelamin pria sebelumnya?"

Seperti berjalan di padang rumput yang sepi dan mencekam, lalu mendadak seseorang menombakmu dari kejauhan, langsung menembus melalui jantungmu sampai ke luar kulit punggungmu, ditembak langsung. Yang kurasakan sekarang adalah hal ini. Hanya saja aku tidak berdarah. Namun rasa takut, kecemasan dan ketakutan berlarian di dalam tubuhku, tertawa dengan lantang.

Tuan ini akan melakukannya denganku? "Sa-saya, i-itu bukan peker-pekerjaan saya, tuan. Para perempuan yang melakukan itu, tuan."

Tuan ini tersenyum padaku.

"O ya? Tau apa kau memang, soal pekerjaan perempuan?" tanyanya.

Aku meremas tanganku yang lembab berulang kali. Kenapa ada begitu banyak pertanyaan? Apa tuan ini sedang mengujiku?

"Mereka melakuakan… sesuatu."

"Sesuatu, yaa… sesuatu. Kau juga akan melakukannya tidak lama lagi." Tuan ini tertawa.

Pada saat tawa kecilnya mengisi udara, aku tidak lagi merasa sesak.

Mataku melihat ke arahnya. Semakin di perhatikan, keagungan tuan ini semakin meledak-ledak. Wajahnya di luar dugaan begitu lembut namun tetap berwibawa. Bagian bawah wajahnya, rahangnya, begitu kuat. Tubuhnya yang besar dilapisi kimono berwarna keemasan yang cerah. Rambut peraknya menjuntai ke depan pundaknya, bersinar. Sesuatu di dalam kelopak matanya menyala, seperti cahaya matahari di pagi hari.

Aku terlalu terpaku padanya. Lalu mata kami bertemu. Menyebabkan rasa panas menjalar di tubuhku. Karena takut terbakar dengan aura tuan ini. Aku mengalihkan pandanganku.

"Tanyakan aku satu hal. Inuyasha."

Aku melihat ke arahnya.

Tuan itu terbatuk kecil, "Kau boleh bertanya satu hal padaku tentang apa saja."

"Tidak tuan, saya tidak pantas untuk berta—"

"Kau tidak mendengarku tadi, turuti perintahku dan kau tidak akan celaka."

Sebenarnya ada begitu banyak pertanyaan yang muncul saat pertama kali tuan ini datang. Siapa dia adalah pertanyaan paling dasar. Lalu menyusul darimana asalnya, apa yang membawanya kesini karena aku tidak pernah melihatnya sebelumnya, apa yang membuatnya begitu bersinar, sekaya apa dia, apa dia memiliki keluarga, apa keluarganya kelihatan semegah dia, apa anak laki-lakinya akan mewasiri rambut peraknya yang berkilauan, apa—

"Anda memiliki istri?"

Butuh waktu yang lama sampai dunia nyata menubrukku dengan keras dan membangunkanku dari lamunan. Aku menatap ke arahnya. Tunggu, apa yang aku katakan padanya? Butuh waktu lagi untuk mengingat apa yang diucapkan mulutku sehingga membuat tuan ini begitu terkejut.

Aku membelakkan mata. Apa aku baru saja menanyai tentang—

"Istriku?"

Persetan.

Aku melihat ke arahnya. Menelan ludah. "Maaf tuan, saya tidak bermaksud menyinggung anda. Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut saya tanpa saya sadari."

Dia memandang kosong lukisan yang menancap di dinding-dinding, menarik napas dan menghembuskannya, kemudian wajahnya kembali lagi ke arahku. "Aku tidak punya seseorang yang seperti itu."

Aku yakin aku baru saja melihat wajah sedihnya untuk beberapa detik. Tapi kemudian wajahnya terangkat. Tuan ini tersenyum hingga membuat bibirnya melebar. Aku sudah sejuta kali mengatakannya, dan tidak akan bosan mengucapkannya bahwa tuan ini benar-benar sangat tampan.

Aku mencari sesuatu yang sirna di dalam diriku. Kemana perginya semua ketakutan yang tadi berlarian di dalam tubuhku, mereka menghilang, tidak lagi terasa. Aku merunduk lagi karena tuan ini memajukan wajahnya, sehingga napas pekat beraroma sake mengusik penciumanku.

"Kau tau namaku?" tanyanya.

Aku mengangguk, "Sesshomaru-sama."

"Bagus," tuan ini berdiri. Aku bisa merasakan gemetar tanganku saat tangan tuan ini mendekat, tanpa menyentuh, hanya menggoda, "Aku akan datang lagi, pastikan kau menyambutku di gerbang depan, Inuyassha."

Dia berdiri menjauh, menyisakan semerbak kehangatan dan pertanyaan aneh di dalam kepalaku.

TO BE CONTINUED.


Selama hiatus —alasan saja padahal memang tidak punya ide sama sekali— author masih menerima dukungan dan semangat berupa review dan fav/like di kotak masuk author. Yang entah kenapa membuat author bersemangat dan memutuskan untuk kembali ke fandom-fandom tercinta.

Sejak hiatus, akhirnya author muncul lagi untuk pertama kali dan membawa cerita InuYasha. Author memikirkan seting masa depan untuk fandom InuYasha, tapi entah kenapa ceritanya jadi tidak menarik sama sekali. Seakan-akan jaman perang dan strata pelayan-tuan memang yang paling cocok —bagi author— untuk membuat cerita.

Ke depan, semoga tensi cerita ini tidak turun. Berhubung sedang bulan ibadah, author memutuskan untuk menaikkan pelan-pelan tema dewasa di setiap chapter, ini tidak seperti author yang selalu menembak jatuh cerita menjadi Straight to the porn story #tanpamalu

Sekali lagi, author mohon dukungan dari pembaca, review dan fol/fav di butuhkan... Kritik dan saran di terima dengan senang hati.