Beetwen Angeles And Devils
aku masih belum mengerti sampai sekarang. Menngerti apa? Mengerti semuanya!! Aku, berdiri disini, berusaha mengerti semuanya yang terjadi sekarang. Mencoba mengerti mengapa Nii-san ada di depanku bersama gadis itu dan… dia. Mencoba mengerti kenapa dan bagaimana aku bisa di'hipnotis' oleh nya walaupun aku belum pernah dihipnotis sebelumnya. Bagaimana aku bisa tau aku dihipnotis? Kalau jantungku selalu berdetak lebih kencang ketika menatapnya, kalau aku tak sanggup berkata-kata saat ia didepanku, kalau aku tak bisa mengalihkan wajahku darinya, kalau aku selalu memikirkannya, apa itu namanya bukan hipnotis? Kalau bukan lalu apa? Sekarang, aku tak ingin dihipnotisnya karena itu aku tak berani menatapnya. Aku hanya menunduk, melihat gelombang air di genangan becek di sebelah sepatuku.
Aku tak peduli lagi!! Tak peduli pada semuanya! Tak peduli akan kepalaku yang pusing karena terkena hujan deras. Tak peduli pada bajuku yang basah kuyup. Tak peduli akan badanku yang kedinginan. Dan… yang paling penting, aku tak peduli padanya. Tapi aku tak bisa! Aku tak bisa tidak peduli padanya! Segiat apapun usahaku melupakannya, aku tetap tak bisa!! Frustasi? Ya!! Aku sangat frustasi!! Aku tak sanggup melupakannya…. Semakin aku mencoba melupakannya, semakin aku mengingatnya. Bahkan sekarang aku mencoba untuk tak menatapnya. Mencoba untuk melupakannya. Walaupun sia-sia, kepalaku lebih memilih melihatnya daripada mengikuti kata hatiku. Otakku memerintahkan mataku menatap mata yang membuatku meleleh itu. Otakku tak mau menuruti hatiku. Dan hebatnya, mata, kepala, dan (sepertinya) seluruh tubuhku lebih memilih menuruti otakku, bukan hatiku.
Ya, aku menatapnya sekarang. Matanya. Lalu jantungku, entah yang keberapa kalinya berdetak kencang, makin kecang, lebih kencang lagi. Dan ia menatapku dalam-dalam. Sama seperti aku menatapnya lebih dalam. Aku mencoba mencari celah dalam matanya, berusaha mencari hatinya, dan membukanya untuk tau siapa yang ada disana. Aku kembali menatap matanya, dan menemukan bayanganku disana.
Lalu….
Aku tahu…, aku sadar.... Ini bukan hipnotis. Ini… cinta…?
"Aku mencintaimu, Rukia."
*
Flashback;
The first meeting
Aku berjalan cepat menuju kamar mandi. Satu jam pelajaran kosong sebelum bel istirahat. Sebenarnya aku ingin melakukannya nanti istirahat, tapi nanti di temukannya lama. Hm… nggak seru. Jadi, aku minta ijin ke toilet kepada si ketua kelas bodoh, Renji (tak usah tanya kenapa aku bilang dia bodoh) diiringi tatapan mata 'sahabat-sahabatku'. Aku berjalan santai menuju toilet murid. Harusnya sekolah ini mempunyai 4 toilet; toilet siswi, toilet siswa, toilet guru wanita, toilet guru pria. Tapi sekolah ini hanya mempunyai 2 toilet, toilet murid dan toilet guru. Hmm… mungkin aku memang sangat tidak suka dengan pengaturan toilet ini, tapi untuk 'skenario'-ku toilet ini sangat mendukung. Aku memasuki toilet jorok ini dan mondar-mandir sesaat memilih bilik yang paling bersih. Setelah kuteliti lebih lanjut, sepertinya bilik nomer 5 yang berada pojok yang paling bersih. Sebelum aku memasukinya aku mengambil sebuah plastik hitam di atas pintu bilik nomer 2 sebelah westafel. Aku melompat sebentar untuk mengambilnya, tapi sia-sia. Beginilah resiko orang pendek, aku mengakuinya kok. Aku memanjat westafel lalu mengambil plastik itu dan melihatnya sambil tersenyum senang. Aku memasuki bilik pilihanku itu dan memulai 'skenario'-ku.
Plastik itu berisi tali tambang, baygon cair, dan cutter. Kemarin aku membelinya sepulang sekolah bersama Inoue, salah satu 'sahabat'ku. Dia memang sempat heran ketika aku membeli ini semua di minimarket. Aku bilang kalau aku membeli cutter buat tugas Kesenian, baygon untuk nyamuk-nyamuk di rumahku, dan tali tambang untuk Byakuya 'nii-sama'-ku. Dan untungnya, Inoue yang polos itu percaya saja. Hmp… lucu sekali.
Aku jadi penasaran akan reaksi 'sahabat-sahabat'ku nanti. Mungkin kalian heran, mengapa pake tanda kutip? Karena semuanya palsu. Bohong. Tadinya saat SMP aku adalah murid nakal, terkenal 'dekat' dengan guru BP dan menjadi satu-satunya cewek yang masuk dan menjadi ketua geng yang hampir seluruh anggotanya murid-murid di blacklist guru. Lalu,saat aku kelas 3 mau ujian, Nee-chan-ku dipanggil. Aku dan Nee-chan diintrogasi oleh guru-guru karena kelakuanku. Sekolah masih mempertahanku karena nilai-nilai yang melambung tinggi. Aku memang tinggal bersama Nee-san dan suaminya.
Aku menatap hasil 'skenario' buatanku puas. Aku mundur selangkah untuk melihat lebih luas dan tanpa sengaja punggungku terbentur pintu bilik.
"Ng?" kunci pintunya rusak. Baguslah, sepertinya rencanaku akan berjalan dengan lancar. Aku kembali menatap 'skenario'-ku itu. Tali tambang itu membuat jalinan bulat, tempat leherku nanti.
Crrrssshhh.
Aku terkejut. Siapa itu? Aku mengintip di balik pintu bilik. Ah, cowok. Tinggi dan berbadan bagus. Ototnya terlihat dari kemejanya yang pas di badan. Sepertinya bukan murid sini, terlihat dari bajunya. Ia memakai kemeja putih tadi dan celana jins yang belel sekali hingga warnanya putih, bahkan kupikir tadinya itu celana putih, bukan jins. Ia memakai sepatu tali putih butut. Mungkin ia seorang otaku atau maniak anime, karena rambutnya bewarna oranye cerah. Ia sedang mencui tangan di westafel yang kunaiki tadi. Aku penasaran dengan wajahnya. Aku berusaha melihat wajahnya dari kaca. Ah, berhasil….
Wajahnya… terlihat keras namun lembut secara bersamaan. Hidungnya menukik tajam, membentuk lereng terjal. Rahangnya keras, telihat dewasa. Pipinya basah, dibasuh air. Alisnya bertautan, entah mengapa. Rambut oranye itu menutupi rambutnya. Dan... matanya… tajam…, bewarna coklat..., tapi mata itu... menatapku??
Ketauan sudah tempat persembunyianku. Karena sudah ketauan, kubuka saja pintu bilik rusak ini dan menampakkan wajahku.
Ia memalingkan wajahnya dan bersandar di westafel dengan tangan di lipat dan kaki di tekuk sebelah. Aku menatapnya tajam. Oh Tuhan… di cermin buram nan kusam itu saja wajahnya terlihat tampan, apalagi kini ia menatapku tanpa perantara!
Kami terdiam cukup lama. Aku ingin memberanikan diri untuk bertanya, tapi rasanya mulutku tak mau terbuka. Suaraku tak sanggup keluar.
"Kau… mau bunuh diri ya?" tanyanya sambil—aku tak tahu ia menyeringai atau tersenyum—tapi… sangat manis. Senyumnya—atau seringainya—seolah telah menghipnotisku. Sangat tampan… seandainya kalian bisa melihatnya, kalian pasti sudah pingsan.
Aku lagi-lagi berusaha membuka mulut dan lagi-lagi gagal.
"Hmp…," ia menutup mulutnya yang masih memamerkan senyum-seringainya dengan setengah tangan. "Semoga berhasil."
Apanya yang lucu? Tapi sebelum aku membuka mulut ia sudah berlalu begitu saja. Aneh, kenapa aku tak bisa berkata-kata hanya karena menatap senyuman-seringainya atau wajahnya?
Aku segera kembali menjalankan rencanaku. Yah, tebakan cowok tadi betul. Aku mau bunuh diri.
Kalian pasti bertanya kenapa.
Kenapa?
Karena aku sudah bosan dengan kehidupan penuh kebohongan ini. Jenuh! Tak ada tantangannya. Kalian tau? Setelah nee-chan di panggil dan diinterogasi guru-guru sialan itu, nee-chan mati. Ya, mati!! Meninggal!!
Aku menyenderkan kepalaku di tembok dan menatap langit-langit. Aku mengingat seluruh kejadian itu. Waktu itu….
Flashback:
"Rukia," panggil nee-chan memanggilku. Aku berjalan cepat meninggalkannya dengan wajah bersungut-sungut, keluar gerbang sekolah. Nee-chan memanggilku lagi dan berlari menghampiriku.
"Rukia…," panggil nee-chan lagi, menyamai langkahku. "Kau kenapa? Sejak outo-san dan okaa-san meninggal, kau jadi sering berkelahi, saat aku menikah, kau jadi semakin nakal. Kau ini kenapa? Dulu kau tidak seperti itu?"
Aku tak menatap kakakku itu. Kami berjalan menyeberang karena mobil kami ada di seberang jalan. Eh, mobil 'nii-sama' ku sebenarnya… cuh!
Sialan! Lampu hijau! Aku harus menunggu mobil-mobil itu dulu! Mana hujan lagi.
"Eh?" aku terkejut. Nee-chan memayungiku.
"Jangan hujan-hujanan… nanti kamu sakit," ujar nee-chan tersenyum menepuk pipiku. "Rukia nggak boleh nakal. Nanti di marahin outo-san, lho…."
Apaan sih? Emangnya gua anak kecil?? Seruku dalam hati. Tapi walaupun begitu, aku bohong kalau aku bilang aku tak peduli padanya. Bagaimanapun juga ia adalah kakakku satu-satunya, yang melindungiku, yang berkerja serabutan di tengah-tengah sekolahnya untuk menafkahiku, yang menyayangiku. Tapi tetap saja aku tak suka kalau ia menikah dengan si Byakuya itu. Apa yang bisa dilihat dari Byakuya Kuchiki selain tampan dan kaya? Mengapa kakakku bisa menikah dengannya? Cinta pada pandangan pertama? Yang benar saja, ini sudah abad berapa sih?? Saat itu aku benar-benar muak dan kesal. Dan kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku.
"Kakak tahu?? Aku jadi begini karena siapa?? Kakak!! Aku begini karena outo-san dan okaa-san meninggalkanku begitu saja saat aku masih butuh kasih sayang mereka! Dan tahukah kau? Aku hanya mendapat kasih sayang itu darimu saja, tapi itupun hanya sedikit. Sedikiiitt sekali!! Kau selalu sibuk! Siang sekolah, malam kerja serbutan, part time di sana-sini…"
"Rukia!!" nee-chan terkejut. Ia tampak tak habis pikir. "Bicara apa kau? Aku melakukan itu semua demi kau!"
"Nee-chan," ujarku pelan, mukaku menunduk dalam-dalam lelah dengan semua ini. "Taukah nee-chan, betapa aku menyayangimu? Tapi saat kupikir kau menerima pekerjaan tetap dan aku bisa bermanja-manja denganmu, kau malah menikah dengan Byakuya!!"
"Rukia!" desis Hisana dengan raut muka khawatir dan cemas.
"Kenapa?? Aku butuh kasih sayang!! Aku ingin di perhatikan!! Aku ingin nee-chan sadar, aku ada disini!! Setiap kita punya waktu luang, kau pasti hanya menasihatiku atau bercerita tentang Byakuya-Byakuya dan Byakuya! Pernahkah kau bicara tentangku pada Byakuya-mu itu?"
"Ru—"
"Fuck you!!" seruku menunjuk nee-chan dengan jari tengahku, marah. Puas? Puas kan dengar semua keluhanku? Enak ya, di nasehatin kaya tadi, sama enaknya saat kau menasihatiku. Itu belum seberapa.
"Rukia!!" seru nee-chan. Ekspresinya susah digambarkan, antara marah, sedih, kecewa, khawatir, semua bercampur aduk. Matanya melotot marah tapi di ujungnya terlihat bulir air mata. Alisnya berkerut-kerut menandakan ia kecewa dan khawatir.
Aku mengalihkan pandanganku darinya dan tak sengaja mataku melihat lampu lalu lintas yang sekarang sudah bewarna merah. Mungkin lampu itu sudah bewarna merah dari tadi, saat aku marah-marah pada nee-chan? Ya sudahlah, aku akan buru-buru menyeberang dan berlari kencang lalu nee-chan takkan pernah melihatku lagi.
Tapi perkiraanku waktu salah. Salah besar.
Yang benar adalah, aku takkan pernah melihat nee-chan lagi.
Aku berlar menyebrang sambil menjatuhkan payung yang daritadi nee-chan pegang untukku. Ia terkejut dan menoleh pada payungnya sementara aku berlari di tengah hujan.
Aku menoleh kebelakag, memperlambat lariku sedikit. Nee-chan hampir menggapaiku dan aku berusaha menghindar tapi bukannya ia menarikku, ia malah mendorongku. Aku berbalik ingin tahu yang terjadi.
"Ruukii—akh!!"
CRASH!!!
Aku menoleh dan kakiku berhenti tak berlari lagi. Mataku melotot dan wajahku sepucat kapas. Badanku kaku.
"No-Nona Rukia!!" supir keluarga yang menungguku dan nee-chan di seberang yang melihat kejadian itu menghampiriku.
Aku masih berdiri kaku dan memegangi wajahku yang terkena cipratan darah segar. Seluruh badanku lemas. Aku terduduk kaku, memegangi jasad nee-chan yang tak terlihat lagi bentuknya.
"Ne—nee-chan…, nee-chan…," panggilku. "Jangan bercanda. Ini ke-keterlaluan. Ne-nee-chan… bangun…."
"Nona…," sela supir itu lagi.
"Nee-chan…," mataku mengeluarkan air mata. "Nee-chan, sudah berhenti bersandiwara!! Bahan apa yang kau gunakan yang menyerupai darah ini! Benda ini mengotori wajahku!" aku menunjuk percikan darah di mukaku.
"Nee-chan… nee-chan… bilang ini cuma saos, nee-chan… nee-chan… bangun!!!" aku mengguncang-guncangkan tubuhnya.
"Nona…," sela supir itu lagi.
"Diam!! Bantu aku membangunkan nee-chan! Dia hanya pingsan!" bentakku.
"Nona!!" seru supir itu lagi. "Nyo-nyonya Hisana-sama su-sudah me-…."
"DIAM!!!" jeritku. "Tau apa kamu??? Dia belum… dia belum… belum…."
"No-nona…," supir itu berjongkok di sebelahku.
"Belum… belum… nee-chan belum me-me-," aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku. "Kenapa?? Kenapa kau mendorongku?? Kenapa kau mengejarku?? Seandainya kau tak mengejarku, mungkin aku yang akan mati!! Biarkan aku mati menggantikanmu!!! Biar aku saja yang matii!!!!"
Aku tak peduli bagaimana tampangku saat itu. Yang jelas orang-orang mengerubungi kami dan beberapa sudah memanggil ambulans. Sementara si penabrak pergi begitu saja.
"Bunuh aku!!! Bunuh aku, Hisagi!!" seruku kepada supir itu sambil mencengkram bajunya.
"Nona…."
"Biarkan aku pergi!! Biarkan aku saja yang menggantikanmu, nee-chan…," aku memeluk jasad nee-chan sambil menangis keras. Aku mengusap wajahku yang terkena darah nee-chan lalu mengusapnya ke badan nee-chan.
"Bangun, nee-chan… banguun…," ujarku lagi.
"NEE-CHAAN!!!!!!!!" jeritku di tengah hujan, di tengah jalan, di antara kerumunan orang.
End of Flashback:
Begitulah, sekarang aku disini. Di dalam bilik toilet yang pintunya tak terkunci. Bagus sekali. Semuanya mendukung.
Ah, tunggu. Kalian masih belum mengerti apa alasanku berbohong pada semua orang? Karena aku ingin menjadi apa yang nee-chan inginkan. Dan ketika aku yakin aktingku ini sudah cukup, aku akan pergi menggantikan nee-chan dan menemuinya di alam sana. Kalau bisa.
Seandainya aku bisa bertemu lagi dengannya…, pikirku sambil melamun, naik ke atas kloset. Aku akan meminta maaf-nya karena ucapan terakhirku padanya dan… aku juga ingin bertanya… kenapa dia mendorongku bukan menarikku? Aku mengalungkan tali tambang itu di leher.
TENG-TENG
Ah, pas sekali! Sudah istirahat. Aku menendanng pintu sedikit agar orang-orang bisa melihatku nanti. Aku mengambil napas. Hm…, aku mendengar suara yang sangat kukenal. Ya-ya-ya…, merekalah yang pertama melihatku. Aku penasaran ingin melihat wajah mereka nanti dari atas sana. Aku bersiap-siap melompat dari kloset. 1…2…
Dan aku melompat.
TBC..
