Summary : Pertemuan tak terduga, hubungan yang tak pernah terpikirkan, dan kisah cinta yang rumit antara keduanya dimulai di musim dingin. Akankah ikatan mereka tetap kuat meskipun berbagai masalah rumit menimpanya?
Disclaimer : HP punya Tante Rowling, Winter Sonata punya penciptanya, tapi fic ini punya gua.
Warn : Hogwarts AU. Draco-fem!Harry, Cedric-fem!Harry (slightly), mamanya Cedric & adeknya Harry OC. Untuk kebutuhan cerita, Draco surname-nya jadi Black dan Cedric surname-nya jadi Malfoy. Adaptasi dari anime Winter Sonata dengan sedikit pengubahan. Di chap ini, bayangin Tom Felton yang sekarang aja. Karena di animenya, Joon-sang juga udah berubah penampilan.
Happy read! ^^v
'Seharusnya aku tak pernah bertemu denganmu. Tidak, jika aku hanya bisa menyakitimu'
Rasa sesal melekat kuat di hati Draco Black. Ia tak ingin menyakiti satu-satunya gadis yang ia cintai, namun apa daya. Setelah lama berpisah, bertemu lagi, takdir memaksa keduanya untuk berpisah sekali lagi. Dan untuk kedua kalinya, Draco jugalah yang mengawali perpisahan itu.
Di lain sudut di bandara, Harrieta -Harry- Potter berlari dan terburu-buru. Berharap ia bisa bertemu dengan Draco dan mencegah kepergiannya. Sebisa mungkin ia tidak ingin berpisah lagi dengan lelaki yang dicintainya itu. Ia melihat-lihat sekelilingnya, naik dengan eskalator dengan terburu-buru, namun tak juga melihat jejak keberadaan Draco.
Pada papan informasi jadwal keberangkatan, tertulis pesawat tujuan ke New York akan berangkat pukul sembilan malam. Tak berpikir panjang, Harrieta berlari ke tempat di mana pesawat tujuan New York akan berangkat. Pandangannya beredar ke sekitarnya, memindai jejak keberadaan lelaki bermarga Black itu. Tak juga menemukannya, ia pun menghampiri petugas gate.
"Permisi. Apakah pesawat tujuan New York masih menunggu berangkat?" tanya Harry dengan napas tersengal.
"Maaf, nona. Pesawat tujuan New York sudah tinggal landas tiga menit lalu" jawab petugas gate itu.
Harry kecewa. Sudah terlambat. Sekali lagi, ia dan Draco berpisah. Kemungkinan untuk waktu yang lama, sama seperti perpisahan mereka yang pertama di masa lalu. Kecewa, ia melihat ke atas langit. Teringat bahwa Draco sudah terbang menembus awan.
Di udara, Draco hanya bisa melihat-lihat ke bawah lewat jendela pesawat. Menyaksikan kelap-kelip lampu kota yang baru ditinggalinya dari kejauhan. Masih dengan rasa bersalah yang bersarang di hatinya.
'Maafkan aku, Harry. Selamat tinggal' ucapnya dalam hati. Kemudian, ia kembali bersandar di kursinya.
6 bulan kemudian
Sudah musim gugur di New York. Sore itu, Draco memutuskan untuk berjalan-jalan di Central Park. Taman cantik itu tak pernah benar-benar sepi. Banyak orang beraktivitas di sana. Ada yang mengajak anjingnya berjalan-jalan, ada yang lari sore, ada pula anak-anak yang bermain di sana.
Hari mulai beranjak senja dan Draco masih belum juga beranjak dari Central Park. Ia melihat ada banyak anak-anak yang bermain dan melempar-lempar sekumpulan daun yang berguguran. Draco terpaku, kemudian ia teringat masa lalunya bersama Harry. Masa di mana ia dihukum untuk membersihkan tempat pembakaran sampah di belakang sekolah bersama Harry yang berubah menjadi acara saling lempar daun gugur.
Kenangan yang tak bisa ia lupakan. Indah, namun membuat miris hatinya.
Sudah enam bulan berlalu semenjak Draco tiba di New York. Banyak sekali daun-daun berguguran di Central Park. Pertanda bahwa musim dingin akan segera datang.
Draco kemudian memandangi gedung pencakar langit yang gagah menjulang, tapi tak lama penglihatannya memburam. Spontan, ia melepas kacamatanya dan memijat sudut dalam matanya pelan supaya penglihatannya kembali jelas. Saat itu, ponselnya berdering dan Draco menjawab panggilan di ponselnya.
"Halo, ibu? Aku hanya berjalan-jalan sebentar. Aku akan segera pulang" ucapnya di telepon. Semenjak kondisi kesehatan Draco dinyatakan memburuk, ibunya seperti jadi lebih peduli.
.
.
.
Di Paris, Harry berjalan sendirian. Langkahnya terhenti ketika ia melihat sepasang kakek-dan nenek yang duduk berdua di tengah keramaian. Seketika ia teringat masa lalunya dengan Draco. Teringat saat mereka berdua berboncengan menaiki sepeda mengelilingi taman di musim gugur. Air muka Harry berubah sendu saat mengingatnya.
Tak ingin tenggelam dalam memori masa lalunya dengan Draco, ia memutuskan untuk pergi meninggalkan keramaian itu dan kembali ke tempat tinggalnya.
.
.
.
Segera setelah meninggalkan Central Park, Draco menemukan seorang anak perempuan yang bermain sendiri melompat dengan satu kaki. Anak perempuan itu mengingatkannya dengan Harry yang suka sekali 'uji keseimbangan' dengan melompat satu kaki.
Anak itu melompat ke arahnya, kemudian menabraknya. Sedikit merasa bersalah, anak itu tertawa polos pada Draco. "Anda tahu? Jika aku jatuh, aku bisa celaka" ujar anak kecil itu. Draco hanya tersenyum mendengar perkataan bocah itu.
Tak juga kapok, bocah itu melompat sekali lagi dan hampir jatuh. Draco refleks menolong anak itu sehingga anak itu tak jadi jatuh. "Terima kasih" ucap anak itu tulus. Draco melihat ada sebuah buku tergeletak tak jauh dari tempatnya dan anak itu berdiri. Ia pun memungut buku itu dan melihat sampulnya.
Kisah Negeri Bayangan. Kisah yang sama yang ia ceritakan pada Harry saat keduanya berjalan-jalan berdua di taman semasa SMA.
Tak ingin terlalu lama tenggelam dalam kenangan lamanya, Draco pun menyerahkan buku tersebut pada anak itu, kemudian menepuk bahunya sambil tersenyum pada anak di hadapanya. Anak itu hanya tertawa polos.
"Ayo pulang!" ajak ayah anak itu. Tahu bahwa sudah waktunya pulang, anak itu tersenyum lalu berpamitan pada Draco. Draco hanya balas melambai sebagai perpisahan pada anak itu.
Tiba-tiba, penglihatannya kembali buram.
'Mungkin ini waktunya' ucap Draco dalam hati.
'Aku tak tahu sampai kapan aku bisa melihat lagi. Mungkin, aku akan hidup di Negeri Bayangan milikku sendiri mulai sekarang' ujarnya pasrah dalam hati.
Seberkas ingatan muncul di otak Draco. Ingatan ketika ia berkonsultasi pada dokter mengenai gangguan penglihatan yang diidapnya.
'Maaf aku mengatakan ini. Tapi sepertinya, penglihatan anda akan terus terganggu' ucap sang dokter.
'Jika ini takdir, aku tak akan lari. Setidaknya, aku masih bisa melihat senyummu saat aku memejamkan mataku' ujarnya lagi dalam hati.
Saat penglihatannya kembali jelas, Draco terus berjalan dan sampai pada sebuah pohon natal besar yang dipajang di tengah kota dengan kelap-kelip lampunya yang indah. Tanpa sadar, sudut bibirnya terangkat membentuk seulas senyum simpul ketika melihatnya.
Sebuah kenangan muncul lagi di pikirannya. Kenangan saat ia bertemu Harry di bawah hujan salju ditemani kelap-kelip lampu pohon cemara di pinggir jalan.
Kalau begini, mustahil rasanya untuk Draco benar-benar meninggalkan Harry.
.
.
.
Keesokan harinya di Paris, Harry bertemu dengan seorang teman di sebuah kafe kopi terkenal. Setelah puas mengobrol dengan temannya, Harry memutuskan untuk tinggal sebentar di kafe itu. Ia mengeluarkan sebuah buku catatan dan bolpoin dari dalam tasnya, kemudian menulis sebuah surat.
'Surat' untuk Draco.
Dear Draco,
Apa kabar? Sekarang aku sedang berada di sebuah kafe. Baru saja aku bertemu dengan seorang teman. Kafe ini terkenal dengan kopinya dan macaroon-nya. Kapan-kapan kau harus kemari dan mencobanya.
Bagaimana keadaanmu sekarang? Sudah sehatkah? Apa kau makan dengan benar? Apa kau kesepian?
Draco, sejujurnya ada banyak hal yang aku ingin tanyakan padamu. Aku ingin mengenal lebih banyak tentangmu. Kau tahu? Hari ini aku duduk di sini dan teringat padamu. Aku ingat bahwa kita pernah berjanji untuk mengukir kenangan bersama sampai kita mati.
Tapi, bagaimana mungkin kita bisa mengukir kenangan itu, mengingat banyak hal tentang kita yang aku lupa? Sebisa mungkin aku mencoba mengingatnya kembali, namun aku tak bisa.
Kau pernah bilang padaku untuk terus melanjutkan hidup dan berbahagia, demi dirimu. Bagaimana jika merindukanmu adalah satu-satunya kebahagiaan untukku?
Aku tahu, sampai kapanpun surat ini tak akan pernah sampai ke tanganmu. Tapi, dengan 'berbicara' padamu lewat tulisan seperti ini, hatiku terasa lebih tenang.
Sampai jumpa. Besok aku akan menulis lagi, ya?
Love,
Harry
.
.
.
Di apartemennya, Draco Black memutar sebuah piringan hitam. Alunan lagu klasik terdengar segera setelah piringan hitam itu berputar. Draco duduk di sofa dan kemudian mulai hanyut dalam bacaannya.
Tak lama, ia menyudahi kegiatan membaca ringannya. Ia melanjutkannya dengan merenung sambil bertopang dagu. Merenung tentang Harry, masa lalu mereka, dan gangguan penglihatannya. Semua tak lagi sama.
Draco, di tengah perenungannya, mendengar piringan hitam yang diputarnya rusak. Sebagian lagu terdengar berulang-ulang. Kemudian Draco berjalan menyetop musik itu. Ia sudah tak butuh mendengarkan musik lagi.
Draco haus. Ia ingin menyeduh kopi sendiri. Kemudian ia berjalan ke arah dapur. Saat ia berjalan, tiba-tiba penglihatannya kembali kabur dan tubuhnya tak seimbang sehingga ia terjatuh. Tak sengaja, ia menabrak meja dan menjatuhkan koin 5 sickle yang ada di atas meja tersebut.
Ia kemudian memijat pangkal hidungnya pelan untuk menetralkan penglihatannya kembali. Segera sesudah itu, ia memungut koin yang tergeletak di atas lantai tak jauh dari tempatnya duduk.
Lagi, ia teringat akan Harry.
.
.
.
Malam itu, hujan lebat mengguyur kota Paris. Harry berjalan sendirian di Pont Au Change dengan payung hijaunya. Harry kemudian berhenti sejenak. Matanya menatap ke arah langit yang hitam kelam.
'Draco, kau ada di sana, 'kan? Kau berjanji bahwa kau akan selalu menjadi Polaris untukku, bukan?' ucapnya penuh harap dalam hati.
Sayang, tak ada satu bintang pun di sana. Pun Polaris tak menunjukkan cahyanya.
.
.
.
Di New York, langit sore sudah mulai menggelap. Draco tahu itu dari sinar matahari di jendelanya yang mulai sirna. Ia mulai memandangi kota dari jendela apartemennya.
Semenjak menetap di New York, Draco punya kebiasaan baru. Ia selalu memandangi langit malam dan mencari Polaris. Berharap bahwa Harry juga mencari dan melihat bintang yang sama di manapun ia berada.
'Aku yakin. Kebahagian sekecil apapun, pasti akan lenyap dan terenggut dariku' ujar Draco dalam hati sambil menatap koin lima sickle di genggamannya.
'Meskipun waktu berlalu, ingatlah ini, Harry. Sejauh apapun dirimu berada, Polaris-mu ini akan selalu berada di tempat yang sama. Di hatimu' ujar Draco lagi. Seolah ingin menyampaikan kata-katanya pada Harry di tempatnya sekarang.
.
.
.
Sementara itu, di apartemennya, Harry bangun agak siang. Ia kemudian berkutat dengan pekerjaannya. Merasa jenuh, ia beranjak dari kursinya dan menuju ke jendela apartemennya untuk melihat pemandangan kota. Ia selalu suka memandang Paris dari jendela apartemennya.
Langit mulai mendung. Seperti akan hujan. Tak lama kemudian, salju turun setitik demi setitik. Hari pertama musim dingin di tahun ini sudah tiba. Sembari memandangi salju musim dingin itu, Harry merindukan Draco.
Di New York, salju juga sudah turun dan menyelimuti berbagai tempat di seluruh kota. Di bawah rintik salju, Draco berdiri di Bow Bridge dan memandangi koin lima sickle di genggamannya. Tiba-tiba Draco melempar koin lima sickle itu ke danau di dekat Bow Bridge. Entah apa tujuannya.
Ingin merasa lebih hangat, Draco pun memasukkan tangannya ke kantung mantelnya. Ia memejamkan matanya dan mulai memikirkan tentang Harry.
Harry di apartemennya di Paris dan Draco di Central Park di New York, melihat langit yang sama dan memandang salju yang turun setitik demi setitik.
Dan tentunya, saling merindu.
TeBeCe
Hola! Gua Naru, author fic ini. Untuk kalian yang nemu fic ini di wattpad dengan judul yang sama, jangan kuatir. Itu bukan plagiat. Itu gua juga yang bikin.
Untuk temen-temen yang udah ngefave dan ngereview fic ini sebelumnya, terima kasih.
Tapi dengan sangat menyesal, gua meminta maaf kalo gua remake fic ini dan merubah semuanya dari chapter 1 supaya lebih runtut dan lebih relevan ama animenya. Gua merasa chap 1 yang sebelumnya udah gua publish somehow nggak terlalu masuk ama chapter-chapter selanjutnya dan malah berakhir meninggalkan plot hole yang cukup critical.
Occult, emang. Tapi tetep aja fatal.
Once again, truly sorry and hope all of you enjoy this fic. Maaf juga kalo di sini Drarry-nya masih belum kerasa.
Sin cera,
Naru
