Title:Di Balik Kegelapan – Lelaki Buta, Suatu Sore
Author:nanaspineapple
Pairing:Kaisoo, slight!Chanbaek, mentioned!Hunhan, bff!Sekai
Genre:Drama, blind!Kyungsoo, dancer!Sekai
Rating:T
Disclaimer:Kesamaan nama tokoh memang disengaja
Word Count:4,193
Summary:Tidak peduli seberapa mustahilnya Kyungsoo menyadari adanya cahaya, Jongin tetap bersikeras bersinar untuknya.


CHAPTER 1 – Lelaki Buta, Suatu Sore

Udara semakin mendingin. Dedaunan yang rontok sudah menumpuk tinggi, dan selalu bertambah setiap hari. Jalanan penuh daun, udara dingin, dan jaket yang semakin dieratkan untuk menghangatkan tubuh. Frekuensi orang-orang keluar rumah tidak sebanyak bulan lalu saat masih musim panas, semakin dingin udara semakin malas mereka keluar. Mereka menapakkan kaki di luar rumah jika ada perlu saja.

Sore itu di taman, hanya ada beberapa orang tua berjalan-jalan dengan anjing masing-masing. Anak-anak SD dan TK yang tadi siang bermain di situ sudah disuruh pulang oleh ibu mereka. Taman itu penuh obrolan ringan, canda dan tawa.

Tapi tidak untuk seorang lelaki yang berjalan memasuki taman itu dengan wajah kusut.

Lelaki itu tampan. Tinggi, rambutnya dicat cokelat dan turun menutupi dahinya dengan begitu indah, kulitnya gelap, bibirnya penuh, kakinya panjang, tatapan matanya menawan. Jaket hitam dengan tudung yang ia kenakan diritsleting sampai atas, sneakers biru tuanya semakin pudar karena terlalu sering dipakai. Ekspresi wajahnya begitu marah—terlalu jelas sampai bisa dilihat orang dari jarak 5 meter. Mungkin karena terlalu marah, wajahnya sampai memerah, bibirnya digigit dengan begitu keras, langkah kakinya menghantam tanah dengan tidak menyenangkan, dan matanya berair.

Saat ini yang ada di pikiran lelaki itu hanyalah ia ingin sendiri, ia ingin menenangkan hatinya yang begitu mendidih. Ia seolah bisa merasakan uap dari didihan hatinya itu keluar dari kepalanya, dan sisa uap yang tidak keluar mengembun di matanya. Berkali-kali jemarinya mengusap matanya dengan kasar hanya agar air mata tidak menetes ke pipinya.

Lelaki tidak menangis. Lelaki tidak menangis.

Ia melempar diri ke salah satu bangku taman dengan kasar, duduk di ujung kiri. Ada lelaki lain yang duduk di ujung kanan bangku itu dan sepertinya tidak menyadarinya. Gerakannya yang terlalu kasar membuat apapun yang ada di atas bangku itu bergetar—baik dirinya, lelaki lain itu, dan sebuah tongkat yang ia tidak sadar disandarkan di sana.

Suara klontang yang cukup keras mengagetkannya dan ia membelalak pada tongkat putih yang menggelinding menjauh dari bangku itu. Ia menoleh ke kanan, melihat lelaki lain yang sedang duduk itu menoleh ke kiri, lalu tangannya menggapai-gapai, berusaha mencari tongkatnya, tapi yang berhasil dicengkeramnya hanya udara yang menyeruak keluar dari sela jemarinya.

Ia menatap lelaki lain itu dengan bingung, lalu menyadari tatapan kosong dan bola mata yang begitu pucat. Orang itu buta. Secepat mungkin ia berjongkok dan mengejar tongkat yang terbaring tak berdaya di tanah, lalu menyodorkannya sampai sisi tongkat itu menyentuh jemari lelaki buta itu.

"Maaf," katanya dengan suara yang parau—ia masih berusaha menahan tangis. "Aku tidak sengaja."

Lelaki buta itu tersenyum sambil menggenggam tongkatnya, lalu mengamankannya dengan kedua tangannya. "Tidak apa-apa." Ia kembali duduk, kali ini lebih perlahan. Ia menghela napas, tidak sadar bahwa bahkan helaan napasnya begitu bergetar dengan sedih. Lelaki buta itu menoleh ke arahnya. "Hei," panggil lelaki buta itu pelan. Ia menoleh. "Kau baik-baik saja?"

"I-iya, aku baik-baik saja."

"Tapi kedengarannya tidak begitu." Lelaki buta itu masih tersenyum. "Siapa namamu?"

Ia merasakan matanya semakin berair. Ditanyai nama oleh orang buta yang ia tidak kenal bahkan tidak terpikirkan untuk jadi hal terakhir yang ingin ia lakukan hari ini. Tapi biarpun begitu tidak sopan jika mengacuhkan pertanyaan orang, jadi ia menjawab saja. "Jongin."

"Jongin," ulang lelaki buta itu. "Aku Kyungsoo."

Kyungsoo, ulang Jongin di kepalanya. Ia menatap wajah Kyungsoo yang tidak sempat ia cermati. Ternyata Kyungsoo cukup tampan. Wajahnya bulat, rambutnya hitam dan tebal, matanya besar biarpun tatapannya kosong dan bola matanya pucat, dan yang menarik perhatiannya adalah mulutnya yang berbentuk hati saat ia tersenyum.

"Kedengarannya kau baru mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan," ujar Kyungsoo. Kedengarannya. Tentu saja, Kyungsoo tidak bisa melihat. Tapi Jongin sadar sejak tadi suaranya memang terdengar berbeda dan ia tidak tahu kalau ia ternyata mudah terbaca. "Sepertinya kau belum curhat pada siapapun. Kau memang tidak mau cerita atau tidak ada yang mau mendengarkanmu?"

Baiklah. Jongin terlalu mudah terbaca.

"Dua-duanya," jawab Jongin, mulai terisak. Ia menghela napas dengan berat, lalu menjilat bibirnya. Ia menoleh lagi ke arah Kyungsoo. "Boleh aku cerita padamu?"

Senyum Kyungsoo melebar. "Tentu saja."

"Hari ini aku merasa tidak salah apa-apa, astaga," geram Jongin, membuat Kyungsoo tersentak karena suaranya terdengar sangat marah. Memang bukan cara yang bagus untuk mengawali sebuah cerita, tapi Jongin merasa tidak bisa mengontrol emosinya lagi. "Aku tidak terlambat datang ke studio, aku memberi pengarahan seperti biasa dan semuanya memperhatikan. Aku memberi contoh dengan perlahan dan sabar, aku mengingatkan mereka untuk melakukan pemanasan dengan baik tapi kenapa masih ada yang tidak mendengarkanku?! Sudah berapa juta kali aku berkata bahwa pemanasan itu sangat penting?! Itu selalu kutekankan sejak mereka mulai masuk kelasku!"

Kyungsoo terdiam, dari suara Jongin ia bisa merasakan gelombang amarah yang begitu besar, bergulung dengan keras menjadi ombak kesedihan dan hancur menghantam karang, hingga pada akhirnya hanya menjadi sapuan air mata yang membelai pantai yang menjadi tepian kenyataan di mana itulah batas amarahnya dengan begitu lembut. Sangat lembut sampai rasanya menyakitkan.

"Bukan salahku kalau dia tidak mau pemanasan dengan baik! Kenapa aku yang disalahkan saat pergelangan kakinya terkilir sampai membiru? Aku sudah pelan-pelan mengatakan padanya bahwa dia seharusnya melakukan pemanasan dengan lebih baik, tapi apa haknya untuk menyalahkanku sampai memanggil orangtuanya segala?!"

Air mata bisa dirasakan Jongin mengalir ke pipinya. Ia harusnya tidak menangis, ia sudah memperingatkan dirinya sendiri sejak tadi, tapi masih banyak yang tidak bisa ia sampaikan dari mulutnya—terutama umpatan. Dan daripada mengumpat di depan orang asing yang dengan baik hati mau mendengarkan ceritanya, Jongin lebih memilih menangis. Toh Kyungsoo tidak bisa melihatnya.

Selama satu menit, yang terdengar hanyalah isakan Jongin. Lelaki berkulit gelap itu bersyukur taman itu sepi sehingga tidak ada yang memperhatikannya, kecuali Kyungsoo, tentu saja.

Jongin memaksa dirinya sendiri untuk berhenti menangis, lalu menatap Kyungsoo yang kepalanya mengarah padanya. Jongin ingin tersenyum, tapi sekali lagi ia ingat Kyungsoo tidak akan bisa melihatnya jadi Jongin menyentuh lengan Kyungsoo. "Terima kasih, ya."

"Eh? Aku nggak melakukan apa-apa, kok," sanggah Kyungsoo sambil tersenyum.

"Kau sudah mendengarkanku. Ternyata aku memang butuh seorang pendengar. Sekali lagi terimakasih," ujar Jongin tulus. Ia merasa nyaman saat melihat Kyungsoo tersenyum padanya. Ia terdiam saat merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, bersamaan dengan otaknya yang berpikir bahwa Kyungsoo sangat manis.

"Kyungsoo-ya?" panggil seseorang. Jongin dan Kyungsoo sama-sama menoleh ke sumber suara dan Jongin melihat seorang lelaki berkulit putih dan berbibir tipis menghampiri mereka. Senyum pengertian di wajah Kyungsoo menunjukkan kalau ia mengenali suara itu. Lelaki itu berdiri di sebelah Kyungsoo dan menyentuh pundaknya lembut. "Kupikir kau ke mana," desahnya, terdengar lega. "Ayo, pulang. Chanyeol datang, lho."

"Chanyeol?" tanya Kyungsoo, suaranya terdengar ceria. "Ya ampun, sudah lama sekali dia tidak datang! Apa dia akan masak untuk kita?"

"Haah, kau kayak nggak tahu dia saja. Pokoknya, sekarang pulang dulu. Yuk." Lelaki itu menarik lengan Kyungsoo sampai lelaki buta itu berdiri. Sebelum melangkah, Kyungsoo menoleh ke arah Jongin.

"Aku duluan, Jongin. Sampai jumpa," pamitnya sambil melambai.

Sampai jumpa?

Apa itu artinya… kita akan berjumpa lagi?

"Eh? Oh, iya. Hati-hati," jawab Jongin. Lelaki yang menarik Kyungsoo mengerut saat melihatnya, lalu sambil mendorong punggung Kyungsoo keluar dari taman itu, ia bertanya sesuatu pada Kyungsoo, dan Jongin cukup yakin pertanyaannya pasti mengenai dirinya. Jongin menghela napas, ia tersenyum karena merasa lebih tenang sekarang. Ada suatu beban di kepalanya yang secara ajaib terangkat setelah ia bicara dengan Kyungsoo. Jongin masih tersenyum. Kyungsoo benar. Ia hanya perlu orang yang mau mendengarkannya.

oooooooooooooo

"Jongin, aku bersumpah aku sudah meneleponmu seratus kali!" raung Sehun saat Jongin sampai rumah. Lelaki berkulit gelap itu hanya tersenyum saat ia melepas sepatunya, lalu membiarkan Sehun menaikkan rambutnya yang hampir menutupi matanya.

"Maaf, ya. Sepertinya baterai ponselku habis," ujar Jongin, dan seolah untuk mengecek kebenaran kata-katanya sendiri, ia mengeluarkan ponselnya dari saku dan memencet tombolnya, lalu mengangguk puas karena baterainya memang habis. "Maaf aku nggak kasih tahu, aku salah tadi langsung pergi begitu," sesalnya sambil menggaruk bagian belakang kepalanya.

"Sudahlah, tidak apa. Tapi, ya, aku juga mau bilang kalau sebaiknya yang tadi siang itu jangan dipikirkan. Memang kupikir kalau anak terlalu manja begitu sebaiknya jangan ikut dance. Aku yakin Hyukjae hyung sudah berusaha menahan sabarnya. Tadi Yixing hyung juga menegur orangtua anak itu buatmu, jadi jangan khawatir."

Jongin tertawa. "Terima kasih, ya. Dasar orang-orang aneh. Padahal kalian nggak perlu melakukan itu, lho."

Tatapan penasaran Sehun sedikit membuat Jongin tersentak. "Kau kelihatan senang."

"Masa?"

"Entah. Senyummu… nggak biasa."

Jongin masih tersenyum saat ia berjalan melewati Sehun dan meninju lengan sahabatnya itu pelan, karena ia memang merasa senang tapi ia berpikir kalau ditanya lebih jauh ia tidak akan bisa menjawabnya, dan ia bersyukur karena Sehun juga diam saja.

oooooooooooooo

Jongin menaikkan ristleting hoodie hitamnya sampai ke depan dada, lalu memakai snapback hitamnya sebelum melempar tudung ke atas kepalanya. Ia lalu mengambil jaket merahnya dan memakainya tanpa dikancing. Sehun menatapnya dengan bingung.

"Jongin-ah, memangnya sudah sedingin itu, ya? Kok pakai bajunya rakus banget," canda Sehun.

"Hoodieku tipis, tahu. Kalau berkeringat terus kena dingin, nanti aku malah masuk angin. Memangnya kau mau mengurusiku?" cibir Jongin, dan mendapat tinju yang sedikit terlalu keras dari Sehun di lengannya sebagai balasan. Ia mengaduh tapi tertawa karena tahu Sehun hanya bercanda.

"Makanya mandi dulu baru pulang! Kau pikir kenapa mereka repot-repot bikin kamar mandi di studio, dasar bodoh."

"Nanti saja lah di rumah mandinya, kau kan tahu aku selalu mandi tepat sebelum tidur."

"Terserah." Sehun memutar matanya. Tapi melihat Jongin menutup tasnya dan menyampirkan strap tas di bahunya, ia tersentak dan merogoh kantungnya. "Kau mau pulang, Jong? Aku mau ke rumah Luhan hyung dulu, nih bawa kuncinya," ujarnya sambil menjulurkan kunci ke arah Jongin.

"Oke, aku bawa kuncinya." Jongin menyambar kunci itu dari tangan Sehun dan mengantonginya. "Malam ini makannya jajan saja, ya? Di rumah kulkas kosong, kan? Nanti aku beli ayam yang biasa."

"Sip. Beliin bubble tea yang di depan taman, dong," pinta Sehun saat Jongin berjalan ke arah pintu keluar. Jongin mengacungkan jempolnya dan Sehun tersenyum lebar karena kalau ada yang bisa membuatnya tersenyum seperti itu adalah Luhan dan bubble tea.

Begitu Jongin keluar studio, ia menggigil sedikit karena dingin. Hari ini moodnya jauh lebih baik dari pada kemarin karena murid yang kemarin kakinya terkilir tidak masuk ("Makan tuh kaki busuk!" seru Jongin gembira saat diberi tahu Yixing soal itu.) dan semua muridnya yang lain menurutinya dengan baik. Tidak ada yang lebih membanggakan selain melihat anak-anak itu berhasil melakukan apa yang dia ajarkan.

Jongin memutuskan untuk beli bubble tea dulu karena taman lebih dekat dari restoran ayam tempat ia dan Sehun biasa langganan. Taman sore itu sepi seperti kemarin, tapi lalu ia menangkap sesuatu di matanya yang menarik perhatiannya. Seorang lelaki berkulit putih, berwajah manis dan bermata kosong yang duduk di ujung bangku sendirian dengan tongkat putih disandarkan di sebelahnya. Tanpa sadar Jongin tersenyum dan menghampirinya.

"Kyungsoo-ya?" panggil Jongin begitu ia cukup dekat. Kyungsoo menoleh ke arahnya, lalu tersenyum karena mengenali suaranya.

"Hai, um…"

"Jongin."

"Oh, iya. Jongin," ulang Kyungsoo, lelaki itu tersenyum tetapi terdengar bersalah karena lupa namanya. Jongin duduk di bangku itu, kali ini lebih dekat dengan Kyungsoo. "Kau terdengar ceria hari ini. Semuanya sudah baik-baik saja?"

"Iya. Anak yang kemarin terkilir tidak masuk. Kuharap dia cepat sembuh," ujar Jongin, dengan percaya diri menyilangkan jarinya karena tentu saja ia tidak mau anak itu cepat sembuh. Ia ingin kaki anak itu membiru untuk selamanya. Ia dalam hati memarahi dirinya sendiri karena berpikir jahat seperti itu, tapi apa boleh buat. "Kau sering ke sini, ya?"

"Eh? Iya, setiap sore. Kalau pagi sampai siang aku di rumah terus, sih. Tadinya Baekhyun tidak mengizinkanku tapi Chanyeol setuju kalau aku butuh udara segar, jadi akhirnya Baekhyun membiarkanku duduk di sini setiap sore. Biasanya sih sekitar dua jam, tapi seringnya sih lebih lama jadi Baekhyun harus menjemputku." Kyungsoo terdiam, tapi sadar Jongin butuh waktu lama untuk membalasnya, ia langsung tersadar. "Oh, um, anu, Baekhyun itu teman kosanku. Chanyeol itu pacarnya dan teman kecilku."

"Ooh." Jongin tertawa kecil, berpikir kalau Kyungsoo sangat manis. "Tapi suasana di taman ini kalau sore memang bagus. Tidak ramai, suara tawa di mana-mana. Apalagi di musim gugur ini udaranya enak. Aku mengerti kenapa kau suka duduk di sini."

Kyungsoo tersenyum dan Jongin merasa jantungnya berdetak lebih kencang, dan ia jadi terdiam karena alasan lain. "Kau baru pulang kerja, ya? Tempat kerjamu dekat sini?"

"Eh? Enggak dekat, kok, sekitar lima blok dari sini, sih," jawab Jongin, tiba-tiba ingat tujuan utamanya datang ke taman itu. "Apa kau suka bubble tea?"

"Bubble tea…" ulang Kyungsoo, lalu tersenyum. "Sudah lama aku tidak minum itu."

"Di dekat sini ada toko bubble tea yang enak, lho. Mau beli?" tanya Jongin. Senyum Kyungsoo menghilang dan ia langsung terlihat panik, lalu menolak dengan melambaikan kedua tangan di depan tubuhnya.

"Wa, enggak usah. Aku… aku tidak bawa uang…"

"Tidak apa, akan kubelikan. Teman kosanku juga nitip, sih. Suka yang rasa apa?"

Setelah memaksa-maksa sebentar, akhirnya Kyungsoo memberi tahu Jongin rasa bubble tea kesukaannya. Jongin permisi sebentar untuk pergi membeli tiga gelas bubble tea. Kyungsoo meminum teh susu itu dengan malu-malu dan Jongin memberitahunya untuk tidak usah sungkan. Mereka mengobrol sambil minum, dan Jongin tersedak waktu tahu Kyungsoo lebih tua setahun daripada dia ("Ma-maaf aku enggak tanya dulu, Hyung." "Tidak apa, santai saja.").

Mereka minum bersama sampai Baekhyun datang menjemput Kyungsoo, Jongin melambai pada Kyungsoo biarpun tahu lelaki itu tidak bisa melihatnya. Senyuman Kyungsoo begitu membutakan matanya sampai Jongin hampir lupa membeli ayam untuk makan malamnya dengan Sehun.

("Kok bubble teanya tinggal satu?" tanya Sehun saat ia baru pulang. "Punyamu mana?"

"Sudah kuminum tadi."

"Bukannya kau nggak suka minum sendiri, ya. Biasanya tunggu aku dulu. Minum sama siapa?"

Jongin tidak langsung menjawab. "Ada, deh.")

oooooooooooooo

Datang ke taman setiap selesai mengajar jadi kebiasaan baru Jongin. Tujuannya antara lain hanyalah menemui seorang lelaki buta berwajah manis yang selalu duduk di ujung bangku. Entah Jongin yang banyak omong atau Kyungsoo yang terlalu ramah, dua orang itu dengan cepat jadi akrab. Bahkan suatu hari Jongin berkenalan dengan Baekhyun dan menawarkan diri untuk sesekali mengantar Kyungsoo pulang. Lelaki berbibir tipis itu melempar tatapan kurang percaya pada Jongin, tapi Kyungsoo mengizinkannya.

Jongin dan Kyungsoo saling bertukar cerita. Jongin memberitahunya tentang pekerjaannya sebagai tentor dance di sebuah studio dan kadang mengisi pertunjukan, tentang hobinya menari sejak kecil, tentang betapa menyebalkannya Sehun di rumah, makanan kesukaan, keluarganya, anjing-anjingnya, dan Kyungsoo selalu mendengarkan dengan baik.

Sebaliknya, Kyungsoo juga sama. Sebenarnya ia lebih pendiam dari pada Jongin, tapi Jongin ingin Kyungsoo bercerita padanya. Biarpun sedikit ragu, tapi Kyungsoo bercerita soal kecelakaannya dua tahun lalu hingga menyebabkannya kehilangan penglihatan, soal betapa ia merepotkan keluarganya karena sempat kehilangan pekerjaan, soal Baekhyun dan Chanyeol yang selalu menjaganya, soal penungguannya mendapatkan donor mata, dan Jongin berakhir dimarahi Baekhyun karena membuat Kyungsoo menangis sore itu.

Karena semakin akrab, Jongin mulai mengajak Kyungsoo untuk berjalan-jalan keluar taman sesekali. Pada awalnya Baekhyun tidak membolehkannya, tapi Jongin berjanji akan menjaga Kyungsoo dengan baik dan setelah tiga kali mereka berjalan-jalan Kyungsoo selalu pulang dalam keadaan utuh dan ceria, Baekhyun semakin percaya padanya.

Di sisi lain, Sehun selalu bertanya-tanya kenapa Jongin jadi sering pulang lebih malam padahal ia yakin dalam keadaan normal temannya itu lebih suka pulang cepat agar bisa tidur lebih lama. Jongin selalu mengelak untuk menjawab, tapi binar mata dan senyum bahagianya sudah cukup menjelaskan semuanya. Sehun sampai tidak tahu sudah berapa lama ia kenal Jongin sampai ia bisa semudah itu membaca wajahnya.

"Jonginku lagi jatuh cinta~" ujar Sehun saat ia sedang makan ramen dengan Jongin berdua di sebuah restoran kecil. Jongin yang sedang mengangkat mi dari mangkuk dengan sumpitnya terdiam, lalu menatap Sehun dengan agak membelalak. "Jangan lihat aku begitu, Kkamjongie. Kau itu terbuka seperti buku anak-anak. Tidak banyak tulisan dan mudah dimengerti."

"Ramenmu nanti dingin, makanlah." Jongin mulai menyeruput ramennya dan betapa Sehun harus memutar mata pada kekeras kepalaan Jongin dalam mengganti topik pembicaraan. Lagipula ramen mereka baru saja sampai dan Sehun bersumpah ia bisa melihat kuahnya masih sedikit mendidih saat baru diantar ke meja mereka.

"Jadi siapa orang beruntung yang menangkap perhatianmu kali ini, Jongin? Apa dia cantik dan tinggi seperti Soojung mantanmu itu? Ah~ tapi kupikir di umur segini harusnya kau sudah sadar akan orientasi seksualmu jadi sepertinya kau tidak akan tertarik pada perempuan?"

"Sehun-aaaahh ayo kita makan dengan tenang dan jangan bicarakan ini," gerutu Jongin sambil melempar kepalanya ke belakang.

"Kenalkan dia padaku, dong, Jongin. Aku yakin dia manis. Kau kan suka orang yang mukanya manis, makanya kau nempel terus padaku," ujar Sehun, akhirnya mengambil sumpit untuk mulai makan. Jongin mendecak pada kenarsisan Sehun yang tiada berujung.

"Kalau kau manis, itu artinya kalau nempel Luhan hyung aku bisa kena diabetes."

"Ha! Aku sudah tahu kalau semua orang mengakui kalau pacarku memang paling manis sedunia—hei jangan alihkan pembicaraan lagi! Kau kenal dia di mana, Jongin?"

"Sehun-ah makan ramenmu."

"Tapi kau belum menjawab—"

"Makan."

"Harusnya kau—"

"Aku lebih tua. Nurut."

Sehun terdiam mendengar kata-kata itu. Biasanya ia akan menyangkal karena ya ampun, Sehun lebih muda tiga bulan saja dan harusnya jarak umur yang terlalu sempit itu tidak usah terlalu dipermasalahkan. Kalau saja Sehun lahir di bulan 10 atau 11 atau 12 ia mau saja memanggil Jongin dengan hyung. Hanya saja kali ini Jongin terlihat kesal dan Sehun tidak mau Jongin membanting meja di tempat ramai begini jadi ia menurut.

oooooooooooooo

Sejujurnya kata-kata Sehun di warung ramen malam itu dibenarkan oleh bagian hati Jongin yang paling dalam.

Hatinya mengiyakan, tapi akalnya menolak. Ia jatuh cinta pada Kyungsoo? Sebenarnya itu cukup menjelaskan kenapa jantungnya berdegup lebih cepat, kenapa ia selalu ingin tersenyum setiap mereka bersama, kenapa ia selalu ingin menjaganya, kenapa Kyungsoo selalu jadi hal pertama yang ia ingat saat bangun dan hal terakhir yang ia ingat saat sebelum tidur.

Kadang Jongin bersyukur karena Kyungsoo sedang buta, dengan begitu ia tidak tahu kalau Jongin tidak bisa berhenti menatap wajahnya yang begitu indah, kalau mata Jongin sering jatuh ke bibirnya yang penuh, kalau Jongin sebenarnya sering mendekatkan wajah mereka sambil menahan napas untuk mengagumi wajah Kyungsoo.

Pada akhirnya Jongin berpikir, akan lebih baik kalau ia segera menyatakan perasaannya.

"Kyungsoo Hyung," ujar Jongin suatu sore, "sebentar lagi aku akan tampil di acara pembuka untuk festival kembang api. Aku sedang berlatih keras untuk itu. Rasanya lelah sekali karena aku masih harus mengajar sorenya."

"Jonginie fighting! Aku tahu kau bisa melakukannya!" Kyungsoo mengepalkan tangannya sambil tersenyum, lalu menurunkan tangannya. "Festival kembang api, ya… tahun lalu, juga tahun sebelumnya lagi aku tidak kemana-mana saat festival…"

"Kau harus pergi ke festival, Hyung. Saat festival harusnya dinikmati, jangan mengurung diri."

"Tapi Baekhyun biasanya tidak mengizinkanku pergi. Tahu sendiri kan festival kembang api selalu penuh orang dan dia tidak mau aku terdorong-dorong. Aku merasa tidak enak karena aku tahu sebenarnya Chanyeol ingin pergi dengan Baekhyun, tapi Baekhyun memilih menemaniku di rumah."

"Mereka menyayangimu, Hyung. Mereka tidak ingin kau terluka."

"Aku tahu." Kyungsoo mengangguk, senyumannya terlihat sedih. "Seandainya aku bisa melihatmu tampil… aku… entah kenapa ingin pergi…" lirihnya.

"Kalau begitu pergi saja!" ujar Jongin tiba-tiba, membuat Kyungsoo kaget. "Kau bisa pergi bersama Baekhyun hyung dan Chanyeol hyung, lalu kalau aku sudah selesai, kita pergi bersama-sama. Bagaimana?" tawar Jongin.

"Tapi… penampilanmu… aku…" Kyungsoo terlihat ragu, Jongin tiba-tiba sadar apa yang ingin Kyungsoo katakan dan bermaksud menghentikannya, tapi terlambat. "Aku tidak bisa melihatnya…"

Bukan Kim Jongin namanya kalau kehabisan akal. "Kalau kau tidak bisa melihatnya… kau masih bisa merasakannya… kan?"

"Eh?"

"Ikut aku, Hyung," ajak Jongin sambil menarik Kyungsoo untuk berdiri. "Aku akan Line Baekhyun hyung bahwa aku mengajakmu pergi lagi malam ini."

"Ke mana?"

"Sudah, ikut saja dulu."

Biarpun bingung, tapi Kyungsoo percaya pada Jongin jadi ia mengikuti ke mana anak itu membawanya. Mereka tetap mengobrol seperti biasa dalam perjalanan, seperti biasa Jongin yang mendominasi pembicaraan. Jongin membicarakan soal penampilannya saat festival Chuseok nanti dan memasang earphone di telinga Kyungsoo untuk memperdengarkan lagu yang akan mengiringi tariannya. Kyungsoo sadar perjalanan mereka cukup lama tapi ia tidak banyak tanya.

Ia sadar mereka memasuki sebuah bangunan karena ia bisa merasakan angin dari AC dan pencahayaannya pun berbeda. Ia mendengar Jongin menyapa beberapa orang di sana, tapi ia masih belum bertanya.

"Haai, Yixing Hyung," sapa Jongin.

"Lho, Jongin? Ngapain balik lagi, kan kau—wow, siapa anak manis ini?"

Wajah Kyungsoo memerah pada pujian itu dan ia menunduk. "Ini Do Kyungsoo, Hyung. Kyungsoo Hyung, ini Zhang Yixing, senior dan rekan kerjaku," ujar Jongin. Kyungsoo menyalami Yixing dan lelaki Cina itu menyambutnya sambil memperkenalkan diri. "Aku ke sini mau menunjukkan tarianku padanya. Studio tiga kosong, kan? Aku boleh pakai?"

"Eh? Boleh, sih…" Yixing menggaruk kepalanya. Ia menatap Kyungsoo yang tentu saja tidak akan bisa melihat tarian Jongin dan Jongin hanya tersenyum padanya, mengisyaratkan untuk tidak berkata apapun tentang itu. "Um, kalau begitu aku cari makan di luar dulu. Jangan kelamaan, ya, Jongin. Senang berkenalan denganmu, Kyungsoo-ya."

Dari cara Jongin memanggil dan bicara pada Yixing, Kyungsoo menyimpulkan bahwa Yixing juga lebih tua darinya jadi ia membungkuk lebih dalam dari pada yang Yixing duga. "Sama-sama, Hyung."

Jongin kembali menarik Kyungsoo, kali ini masuk ke dalam studio. Jongin meninggalkan Kyungsoo sebentar untuk menghidupkan lampu dan AC serta speaker. Tangan Jongin berkutat dengan kabel-kabel speaker untuk memutar lagu dari ponselnya. Begitu lagunya mulai, ia menghampiri Kyungsoo dari belakang dan menempelkan dadanya ke punggungnya.

"Jo-Jongin-ah?" Kyungsoo tersentak kaget dan menjatuhkan tongkatnya. Jongin menendang tongkat itu ke pinggir ruangan, lalu memegangi kedua pergelangan tangan Kyungsoo.

"Aku akan membuatmu merasakan dancenya, Hyung."

Selanjutnya, yang Kyungsoo tahu adalah Jongin menggerakkan tangan dan kakinya mengikuti musik. Kadang ia berbisik untuk melangkah ke depan, kadang ia tertawa karena Kyungsoo begitu canggung, dan biarpun kesannya sedikit memaksa, Kyungsoo menyukainya. Ia suka karena Jongin sangat lembut memperlakukannya, ia suka saat napas Jongin menyebar di lehernya, ia suka…

… pada Jongin.

Ketika lagunya selesai, Kyungsoo berkeringat dan sedikit terengah-engah tapi ia tersenyum pada Jongin dan berkata gerakan-gerakannya sangat bagus dan elegan dan Kyungsoo yakin tarian Jongin akan sangat hebat. Sayangnya rentetan pujian itu tidak dibalas apapun oleh Jongin.

"Jongin-ah?" tanya Kyungsoo bingung. Mereka berdiri saling berhadapan dan Jongin memegangi kedua lengannya, tapi Kyungsoo tidak tahu kenapa Jongin diam saja. Kadang di saat seperti inilah Kyungsoo berharap kebutaannya tiba-tiba sembuh secara ajaib agar ia bisa melihat ekspresi Jongin.

"Hyung," panggil Jongin akhirnya. Matanya tidak berhenti menatap bibir Kyungsoo.

"I-iya?"

"Kau… cantik," puji Jongin sambil mengelus pipi Kyungsoo dengan jemarinya, dan Kyungsoo bisa merasakan wajahnya memanas setelah mendengarnya.

"Ti-tidak, aku… wajahku biasa saja…" sangkal Kyungsoo. Jempol Jongin mengusap bibir bawah Kyungsoo, membuatnya tersentak. "Jong-Jongin—apa—" Kyungsoo berusaha mendorong Jongin, tetapi pegangan lelaki itu di lengannya justru makin kuat.

"Hyung," panggil Jongin sekali lagi, suaranya terdengar lembut dan Kyungsoo merasa tubuhnya bergetar. "Apa kau tahu… apa yang sedang kupikirkan?"

"A-apa?" tangan Kyungsoo naik dan balik memegangi lengan Jongin untuk menjaga jarak mereka, ia tidak tahu harus bagaimana kalau tubuh mereka jadi lebih dekat dari ini.

"Kau."

Wajah Kyungsoo kembali memerah. "Apa… yang kau pikirkan tentangku?"

"Bibirmu."

"Bi—"

Kyungsoo nyaris mengulang kata itu, tapi ia memutuskan untuk diam saja. Ia hampir bertanya kenapa, tapi ia juga memutuskan untuk menelannya. Ia menelan, tidak tahu harus menjawab kata-kata Jongin. Apa pembicaraan ini… mengarah ke sana? Kyungsoo tidak mau terlalu berharap, tapi saat ia merasakan sepasang bibir di bibirnya, ia menutup mata dan entah kenapa terisak.

"Manis…" bisik Jongin, dan ia kembali menciumi Kyungsoo. Tangan Jongin berpindah dari lengan Kyungsoo ke pinggangnya untuk menghilangkan jarak di antara mereka. Tangan Kyungsoo bertahan di kedua bahu Jongin, sama sekali tidak ada keinginan untuk mendorongnya.

Ciuman mereka bertambah dalam, dan Jongin tidak butuh waktu lama sampai Kyungsoo membuka mulutnya, dan Jongin memanfaatkan kesempatan itu untuk merasakan lidah Kyungsoo. Satu tangan Jongin naik ke kepala Kyungsoo, jemari menyelip di antara rambutnya yang lembut. Kyungsoo juga tidak menginginkan ada jarak di antara mereka, jadi tangannya naik untuk memeluk leher Jongin.

Bibir Jongin sangat hangat. Caranya mencium begitu lembut dan Kyungsoo merasa nyaman, merasa dilindungi, merasa dicintai. Rasanya begitu membahagiakan sampai ia menangis.

"Hyung," panggil Jongin, bibirnya masih menempel dengan bibir Kyungsoo. "Mungkin ini egois… tapi, aku ingin kau jadi milikku seorang…"

"Tidak, Jongin," isak Kyungsoo sambil meletakkan tangan di bahu Jongin lagi, dan jawaban itu membuat Jongin membatu. "Kau tahu keadaanku, aku hanya akan membebanimu—kalau—kalau teman-temanmu tahu mengenai aku pasti kau merasa malu… aku… aku cacat, Jongin, aku tidak sepertimu…"

"Aku tidak peduli dengan perkataan orang lain," ujar Jongin sambil menangkup kedua pipi Kyungsoo. "Kalau ada yang cacat itu adalah hatiku, karena ada ruang kosong yang hanya bisa diisi olehmu, dan hanya itu cara supaya hatiku, dan hidupku lebih sempurna…"

"Kau tidak mengerti, Jongin…" Kyungsoo menggeleng, air mata menetes ke pipinya. "Aku hanya akan merepotkanmu, aku bahkan tidak bisa melihatmu menari, aku tidak tahu wajahmu, aku tidak tahu seperti apa mata dan senyummu… aku tidak pantas menerima semua ini…"

"Aku mencintaimu, Hyung," aku Jongin, dan kali ini Kyungsoo yang membatu. "Aku menyukaimu karena kau begitu baik dan lembut. Kau tidak memandang orang dari penampilannya. Dari pertama kita bertemu aku sangat terkesan pada keramahanmu…"

Jongin mengecup kedua kelopak mata Kyungsoo dan itu justru membuatnya makin ingin menangis.

"Aku tidak peduli soal matamu, karena kau mencinta dengan hati… kan? Kau tidak butuh mata untuk melihat hatiku, kan? Apa… apa semua yang kulakukan padamu belum cukup untuk menunjukkan hatiku? Bukannya… kau sudah tahu?"

Kyungsoo mengangguk-angguk. "Aku… aku tahu, Jongin… aku tahu…"

"Kalau begitu, apa aku boleh menjadikanmu milikku?"

Jongin membelalak saat Kyungsoo memeluk lehernya lagi dan menciumnya. "Iya, Jongin… iya…" bisiknya di sela-sela ciuman mereka, biarpun sebenarnya ia tidak perlu menjawabnya karena Jongin juga, sudah tahu hatinya.

(Yixing menutup pintu studio tiga yang terbuka sedikit sepelan mungkin, berusaha agar tidak menggangu dua orang di dalamnya.)

(Baekhyun hampir memarahi Jongin lagi saat ia mengantar Kyungsoo pulang karena mereka pulang kemalaman, tapi rona di wajah Kyungsoo menjelaskan sesuatu yang lain, dan itu membuatnya diam.)


Halo.
Uh... ada yang kangen saya? (digampar)
Iya iya maaf saya hiatus setahunan ada kali ya. Dalam waktu setahun itu banyak sekali yang terjadi. Dalam waktu setahun itu juga saya hampir sama sekali gak baca dan nulis ff lagi. Saya pusing...
Tapi! Saya juga bosen dengan rutinitas saya yang sekarang. Belajar mulu. Elah.
Makanya saya memutuskan untuk ~berusaha~ aktif lagi di fandom sebagai penulis ff. Susah, sih. Kemampuan saya buat menulis udah banyak hilang. Serius. Ff ini saya tulis setahun lalu, dan baru saya post sekarang. Ya ampun...

Buat kalian yang udah tau saya dari dulu, hai, senang bertemu kalian lagi.
Buat kalian yang baru tau saya, hai, tolong sambut dengan baik.

Akan ada 3 chapter.
Insyaallah up tiap kamis sore-malam.

Yehey.

Makasih buat yang udah nyempetin baca, terutama yang nyempetin review :B