Aku tertahan, terjerat dalam segala pesona dan perasaannya...
Meski ia tak selalu sama
Meski ada saat dimana aku kan terluka
Namun ia, sekali lagi buatku jatuh
Aku tak bisa pergi; aku telah tertawan
Hanya ia tempatku untuk pergi, ataupun pulang
Ia—hidupku.
.
.
Naruto by Masashi Kishimoto
.
.
Dae Uchiha present
Her Life
©2012
.
.
Standard warning applied
Extra warning: Semi M for kissing scene and violence, not for child under 15.
.
.
PLAK!
Gadis itu hanya terdiam, membiarkan badannya menggigil tak tertahan, sementara wajahnya semakin memucat. Ditundukkannya wajah cantik yang kini dihiasi lebam di kedua pipinya itu, namun tak bertahan lama karena jemari panjang seseorang mencengkram pipinya, memberikan jalaran rasa perih pada lebam yang baru ia dapatkan. Jemari itu memaksanya menengadah dan menatap pemilik jari itu. Gadis itu bisa merasakan hembusan napas panas yang memburu itu di wajahnya.
"Jangan menangis!" Tidak, itu bukanlah kalimat yang diucapkan dengan nada lembut dan bisa membuat Hyuuga Hinata menghentikan airmata yang entah kenapa masih mengalir, melainkan kalimat dengan nada perintah yang nyaris menyerupai ancaman.
Hinata tak perlu repot menjawab, karena memang itu adalah kata-kata retoris. Perlahan cengkraman pemuda itu mengendur, diiringi dengan wajahnya yang semakin mendekat. Sebelah tangannya yang bebas digunakan untuk memeluk Hinata, yang lainnya mengusap pipi gadis itu lembut, bersamaan dengan tekanan yang Hinata rasakan di bibirnya.
Sementara jade itu terpejam dan menikmati apa yang sedang ia lakukan, Hinata memperhatikan lekuk wajah sang pemilik dirinya itu. Rambutnya yang merah berantakan, tatto dengan kanji 'Ai', lingkaran hitam di sekeliling mata pemuda itu, hingga hidungnya yang bersentuhan dengan hidung Hinata. Hinata tersenyum dalam hati, turut memejamkan mata dan larut semakin dalam pada sentuhan pemuda di hadapannya ini. Kedua lengan kekar pemuda itu memeluknya, berbagi kehangatan yang memang dibutuhkan Hinata karena baju yang ia kenakan basah kuyup.
Kehujanan seharusnya bisa menjadi hal yang wajar, namun tidak dengan gadis yang kini duduk di kelas dua Sato-gakuen Senior High School itu, karena hujan menjadi alasan keterlambatannya untuk sampai di apartemen yang ia tempati bersama kekasihnya itu. Tak peduli dengan alasan dan permintaan maaf yang diberikan Hinata, pemuda itu menampar Hinata dengan tuduhan perselingkuhan. Hinata hanya terdiam, tak berusaha membantah atau melawan karena ia tahu itu sia-sia. Siapapun tahu keposesifan seorang Sabaku Gaara, pentolan Konoha-gakuen terhadap sang kekasih. Tak ada gunanya berusaha menyadarkan pemuda itu.
Hinata?
Gadis itu sendiri tak tahu kenapa ia tak pernah berusaha pergi dari kehidupan Gaara yang membuat hidupnya sendiri suram. Ketika Hinata memikirkan hal itu, gadis itu selalu sampai pada kesimpulan bahwa ia benar-benar sudah jatuh cinta pada Gaara—jatuh pada pesona pemuda itu, terjerat dan tak menemukan jalan keluar. Karena hanya Gaara yang bisa membuatnya jatuh cinta berulang kali, meski dengan segala sifatnya yang menyulitkan Hinata.
Hinata mengerjap, berusaha mempertahankan kesadarannya diantara lumatan Gaara yang semakin intens. Tapi badannya yang lemah tak bisa diajak berkompromi, berlarian menembus hujan karena bus terakhir sudah pergi bukanlah keahliannya. Kepalanya terasa sangat berat dan tubuhnya seolah mati rasa. Dan yang terakhir gadis itu ingat adalah bibir Gaara yang—seperti biasa—terasa lembut di bibirnya.
.
.
.
Hinata menggeliat pelan, berusaha semakin menyamankan diri dalam kehangatan yang menyelubunginya itu sementara wajahnya diterpa sinar matahari pagi. Menyerah, Hinata membuka kelopak dan menampilkan sepasang pearl miliknya. Gadis itu tersenyum ketika menyadari bahwa kehangatan itu berasal dari Gaara yang memeluknya erat, ditambah dengan selimut yang menyelubungi mereka berdua. Hinata mengarahkan tangannya dan mengelus pipi pemuda itu, mengecup hidung Gaara pelan. Sepertinya Gaara baru tidur, Hinata tahu betul insomnia akut yang sering menyerang orang yang ia sayangi itu.
Puas memandang wajah kekasihnya, Hinata mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan menyadari bahwa ini bukanlah kamar di apartemen mereka, melainkan kamar yang dikenalinya sebagai kamar sang kekasih di Sabaku Mansion. Pertanyaan yang berkelebat di kepalanya buyar ketika melihat seorang wanita paruh baya yang kini juga sedang menatapnya setelah wanita itu selesai membuka semua gorden di kamar besar itu. Hinata tersenyum sopan, tak bisa menahan semburat merah di pipinya karena dilihat dalam keadaan yang cukup mesra, meski ini bukan yang pertama kalinya.
"Pagi," Ibu cantik itu memutuskan untuk menyapa, tak membiarkan Hinata semakin merah. Ia bisa melihat Hinata yang kikuk karena posisinya saat ini. "Kau sudah baikan?"
Hinata tampak bingung. Bibirnya menggumamkan kata "baikan" dengan nada bertanya.
Sabaku Karura mendesah. Anaknya itu benar-benar ... "Kemarin kau pingsan, ingat?"
Ingatan Hinata teralihkan pada ciuman Gaara, dan itu tidak membuat wajahnya terlihat lebih baik.
"Badanmu demam, Gaara membawamu kesini semalam karena tak tahu harus melakukan apa." Karura kembali tersenyum lembut saat kekasih anaknya itu masih bingung. Sudah satu tahun ini ia sering melihat Gaara membawa Hinata ke Sabaku Mansion. Dari percakapan mereka, Hinata—gadis yatim piatu itu—adalah seorang gadis yang lembut dan santun, meski tak jarang Nyonya Sabaku itu menemukan lebam atau luka di tubuh yang tak tertutupi pakaian gadis itu. Seperti tadi malam, Gaara membawa Hinata dalam gendongannya ke Mansion dengan lebam di pipi gadis itu. Meski raut wajah datar itu tak berubah, Karura yakin Gaara takkan mengelak jika ditanya apakah dia cemas dengan keadaan Hinata. Kadang Karura tak tahu apa yang harus ia lakukan dengan sifat posesif Gaara, dan yang ia bisa lakukan adalah membantu menjaga gadis itu semaksimal mungkin, membuat gadis itu terus nyaman dalam rengkuhan Gaara sehingga ia tak bisa lepas. Agak kejam mungkin, tapi Karura tahu gadis itu akan mendapat yang lebih buruk jika berusaha 'meronta'. "Gaara tampak cemas melihatmu, Hinata-chan."
"O-Oka-sama t-terlalu berlebihan." Hinata menunduk, menyembunyikan wajahnya yang terasa semakin panas.
Karura tertawa anggun, kemudian berbalik. "Nah, Hinata, sekarang tugasmu adalah membangunkan Gaara dan mengajaknya sarapan. Kami tunggu dua puluh menit lagi."
Hinata masih menatap Karura yang menutup pintu kamar, sebelum menghela napas dan kembali mengalihkan perhatiannya pada Gaara. Disentuhnya pipi pemuda itu, mengusapnya lembut. "Gaara, bangun." Merasa respons Gaara hanya berupa pelukan yang semakin mengerat, Hinata mencoba sekali lagi. "B-bangun, Gaara." Hinata menempelkan keningnya pada kening Gaara, mengalungkan tangannya di leher pemuda itu, membiarkan napas mereka bertabrakan. Disentuhnya perlahan bibir Gaara dengan bibirnya, dan saat itulah kelopak Gaara terbuka, menampilkan iris jade-nya. Hinata tersenyum lembut, "Pagi."
Gaara tak menjawab, sedikit mengangkat tubuhnya untuk mencium kening Hinata, sekadar mengecek suhu tubuh gadisnya itu. Syukurlah badan Hinata tak sepanas kemarin. Gaara meneruskan ciumannya di bibir Hinata, melumat bibir itu sebentar, barulah ia membuka selimut yang menutupi tubuh mereka berdua.
Lagi-lagi Hinata tertegun saat mendapati dirinya sudah memakai gaun tidur berwarna ungu, gadis itu menatap Gaara yang sedang mengacak rambutnya sendiri.
"Aku akan panggil pelayan untuk membawakan sarapan."
"T-tidak, Gaara. Oka-sama m-meminta kita s-sarapan di bawah." Hinata berucap, teringat perkataan Karura tadi.
Hinata bisa melihat Gaara meliriknya, tapi pemuda itu berkata, "Baiklah. Basuh wajahmu dan kita turun."
.
.
.
"Tumben kau pulang, Gaara."
Hinata menengadahkan kepalanya, menatap seluruh anggota keluarga Sabaku—kecuali Ayah Gaara—yang sudah berkumpul, siap untuk menikmati hidangan di meja makan.
Gaara hanya menyahut cuek 'Hn', melepas genggaman tangan Hinata, menarik kursi di depan Karura dengan gestur menyuruh Hinata duduk dan ia sendiri duduk di samping gadis itu.
Hinata menatap Karura dan tersenyum sopan, begitu juga pada Sabaku Temari, dan terakhir menatap kakak kedua Gaara, masih dengan senyum yang sama. Hinata bisa merasakan tangan Gaara kembali meraih tangannya, menggenggamnya erat. Gadis itu menatap Gaara dan tersenyum menenangkan.
Kankuro mengangkat alis ketika melihat reaksi Gaara. Hinata hanya tersenyum sopan, dan Gaara? Berlebihan. Sementara ibu dan kakaknya memulai makan mereka, Kankuro memikirkan adik keduanya itu. Gaara adalah orang yang cukup tertutup, meski pada Karura sekali pun. Gaara juga cuek, karena itulah Kankuro lumayan terkejut dengan keposesifan yang ditunjukkan Gaara pada gadis yang ada di hadapannya.
Di sisi lain, Kankuro juga terkesima dengan perlakuan Gaara pada gadis itu. Seperti sarapan-sarapan yang selalu dilaluinya bersama Gaara dan Hinata ketika di Mansion, Kankuro selalu tak tahan untuk tidak meneliti leher Hinata, dan hasilnya nihil. Ia sama sekali tak melihat bekas kissmark ataupun bibir Hinata yang bengkak berlebihan akibat dicium Gaara. Itulah yang membuat Kankuro yakin dengan keperawanan Hinata, dan Gaara yang sungguh-sungguh melindungi gadis itu. Sebagai kakak Gaara dan seorang laki-laki, Kankuro tahu bagaimana sulitnya Gaara mengendalikan diri saat bersama Hinata. Meskipun sering melihat lebam atau luka di tubuh dan wajah Hinata, Kankuro berpikir itu masih bisa ditoleransi, dibanding melihat Gaara melukai Hinata dengan cara lain.
Setidaknya, pikir Kankuro, Hinata benar-benar dicintai Gaara, bukan hanya dipakai sebagai pemuas nafsu pemuda itu.
.
.
~Her Life~
.
.
Hinata menatap kedua kouhai-nya yang sedang memandangnya dengan tatapan memelas.
"Ayolah senpai, hanya sebentar kok." Tayuya, salah satu dari mereka menggenggam tangan Hinata. "Sebentar saja ..."
"Hanya senpai yang bisa kami mintai tolong," pinta Kin.
Hinata menghela napas. Bukannya ia tak mau, hanya saja Gaara pasti marah bila ia tak terlihat makan siang di atap sekolah oleh 'mata' lain Gaara. Hinata bergidik, tak tahu apa yang akan dilakukan Gaara bila hal itu terjadi. "Gaara ... dia pasti tak mengizinkanku."
Kedua kohai-nya itu saling menatap, menyadari bahwa mereka sedang dihadapan Hyuuga Hinata, gadis yang menjadi kekasih Sabaku Gaara, siswa di Konoha-gakuen yang sangat disegani dan juga terkenal posesif pada Hinata.
"Kami mengerti."
Kini giliran Hinata yang merasa tidak enak. Kouhai-nya itu hanya meminta tolong Hinata untuk mengajari mereka membuat kue, berhubung valentine sudah dekat. Digigitnya bibir bawahnya, merasa bersalah. "B-bagaimana kalau sepulang s-sekolah?"
Kin dan Tayuya saling berpandangan lagi, kemudian dengan raut wajah sumringah mereka membungkuk beberapa kali dan mengucapkan terima kasih.
.
.
.
Hinata mengatur napasnya yang terengah, berlari secepat mungkin menuju Sabaku Mansion yang masih beberapa puluh meter di depannya dari halte bus, sementara hatinya sudah mulai panik, ia sudah hampir melanggar 'jam malam' yang diberikan Gaara—jam tujuh malam. Tenggorokannya terasa tercekat, dan tanpa bisa Hinata cegah, bulir-bulir air mata mulai membasahi pipi chubby-nya. Luka di pelipisnya terasa sakit diterpa angin musim dingin, tapi Hinata tak memiliki waktu untuk memikirkan hal itu. Keputusan Gaara untuk tinggal di Mansion selama musim dingin membuat Hinata harus berlari lebih lama.
Ini dikarenakan ternyata mengajarkan orang lebih susah daripada yang Hinata bayangkan. Tayuya dan Kin yang memang tak mempunyai bakat memasak, berjanji akan meminta Hinata mengajari mereka selama dua jam saja, namun beberapa kali gagal sebelum berhasil membuat Hinata tinggal di sana selama hampir empat jam.
Hinata masih terengah di depan Mansion ketika pagar besar rumah itu membuka. Tak sempat mengucapkan terima kasih pada Kakek Shin, satpam yang baik hati, Hinata kembali berlari, tak menghiraukan ucapan selamat dari pelayan yang membuka pintu utama Mansion. Setelah itu, barulah Hinata menenangkan langkahnya saat ia di dekat ruang keluarga, dimana di ruangan itu akan terdapat tangga yang menuju kamar Gaara. Hinata merapikan rambutnya yang sedikit tertutupi salju, mengusap pipinya dan membuka pintu, berharap ruangan itu sepi. Tapi sayangnya harapan itu sia-sia saat ia melihat Karura dan Temari yang duduk di sofa, menonton sebuah channel di televisi dengan tenang. Iris gadis itu bergulir, dan Hinata menelan ludah saat menyadari Gaara bersandar di dinding dekat tangga dengan kedua tangan dilipat di dada, sementara iris jade-nya menatap tajam Hinata yang masih berdiri di depan pintu ruangan itu.
"Gaara ..."
Karura mengalihkan matanya dari televisi saat mendengar bisikan itu, tersenyum ketika menyadari Hinata yang masih berdiri di tempat yang sama. "Kau sudah pulang, Hinata? Bagaimana jika duduk dulu di sini?" tawar wanita itu.
Pandangan Hinata teralihkan sebentar, ia hanya menggeleng sementara memaksakan kakinya untuk menyeberangi ruangan itu, menghampiri Gaara yang masih bersedekap.
"G-Gaara ... m-maaf, a-aku ..." Hinata mengulurkan tangannya, nyaris menyentuh pipi Gaara, namun itu belum sempat terjadi karena Gaara memutar posisi mereka, mendorong Hinata ke dinding dengan keras, membuat Hinata memejamkan mata saat merasakan ngilu di punggungnya. Gadis itu pasti jatuh merosot jika saja tangan kiri Gaara tak menahan pinggangnya.
Gaara menutup jarak diantara mereka dengan menempelkan keningnya ke kening Hinata, napas pemuda itu terasa memburu dan panas ketika ia bergumam dengan nada rendah, "Kau tahu aku mencemaskanmu, Hinata. Kau juga tahu aku sudah memberimu izin untuk tetap bersekolah di Sato. Jangan sampai aku mencabut izinku itu!" Dan dengan suara 'PLAK' keras, ditamparnya pipi kiri gadis itu dengan tangannya yang bebas.
"GAARA!" Temari-lah yang lebih cepat, ia berteriak marah pada Gaara. Sungguh, kakak perempuan Gaara itu tak tega melihat Gaara melakukan kekerasan pada kekasihnya itu. Meski lebih sering diam, ia tak menyangkal bahwa dirinya bisa begitu cepat menyayangi gadis sebaik hati Hinata.
Hinata hanya meringis, memejamkan mata menahan sakit yang ia terima. Ia tak memprotes ketika Gaara mengangkat tubuhnya ala bridal, membawanya ke kamar pemuda itu.
Temari terlihat emosi, gadis itu berkilat marah saat Gaara tak menghiraukan ucapannya dan membawa Hinata menaiki tangga. Ia baru akan menyusul mereka ketika sang ibu menahan lengannya, tersenyum menenangkan. Temari terpaksa diam, meski dadanya masih naik turun menahan amarah.
Semua orang tahu bahwa Gaara posesif dan protektif terhadap Hinata, tapi hanya keluarganya yang tahu apa kekerasan yang dilakukan Gaara ketika ia sedang berada dalam mode posesif itu.
.
.
.
BRUKK!
Hinata memejamkan matanya saat dirinya dilemparkan ke kasur oleh Gaara. Meski itu adalah benda empuk, tetap saja sakit yang ia rasakan saat punggungnya bertubrukan dengan benda itu. Ia hanya melihat dengan pasrah ketika Gaara mendekatinya, menampar salah satu pipi yang belum tersentuh. Seakan belum puas, Gaara meninju ranjang king size tepat di samping Hinata, sedikit mengenai lengan kiri dan seketika membuat kulit Hinata yang sensitif membiru.
Hinata menggigit bibirnya, menahan isakannya keluar sementara Gaara membuka lemari baju mereka, dan kembali duduk di samping Hinata yang masih berbaring. Digantinya baju Hinata yang basah akibat salju dengan baju yang baru dengan gerakan yang lembut dan hati-hati.
Hinata sendiri menatap Gaara yang masih begitu serius mengganti bajunya, mengusap seluruh permukaan kulit Hinata dan membuat gadis itu merinding. Isaknya melemah dan hilang perlahan bersamaan dengan Gaara yang sudah selesai mengganti bajunya dan kini menyisiri rambut indigonya. Pemuda berambut merah itu mendudukkan Hinata di pangkuannya, jari-jarinya mengelus pipi Hinata yang kini kembali membiru diantara semburat kemerahan gadis itu akibat perlakuannya.
Hinata bergidik saat jemari Gaara yang hangat mengusap pipinya, perlakuan manis yang selalu mampu membuatnya luluh dan melupakan fakta bahwa pemuda inilah yang menyebabkan lebam pada pipinya. Hinata memejamkan mata dan mencengkeram T-shirt yang dikenakan Gaara saat merasakan lidah lunak Gaara menyentuh kedua pipinya bergantian, menjilatnya sebentar sebelum mengecupnya. Adrenalinnya terpacu, Hinata bisa merasakan libidonya naik dan suhu tubuhnya meninggi. Gaara membawa kecupannya ke bibir Hinata, memiringkan kepala dan menekan bibir itu lembut, tak ada gerakan yang memaksa.
"Tidurlah," bisikan Gaara di telinganya terdengar bagai nyanyian merdu bagi Hinata, gadis itu menyamankan diri di pelukan pemuda yang kini merengkuhnya dengan protektif.
Hinata hampir terbuai pada aroma maskulin Gaara saat ia mengingat kesalahannya tadi, gadis itu bergumam, "M-maaf ..." Ia bisa merasakan tubuh Gaara menegang mendengar kata-katanya—yang memang fatal, namun pemuda itu memeluknya semakin erat, menempelkan bibirnya di telinga Hinata dan mulai menyenandungkan bait lagu kesukaan Hinata dengan suaranya yang pada dasarnya merdu.
"A-aku mencintaimu, Gaara," ucap Hinata sebelum benar-benar membiarkan lagu Gaara mengantarnya ke alam mimpi.
.
.
.
Temari membuka pintu kamar itu perlahan. Adiknya sudah pergi lima menit lalu, dan sepertinya ia membiarkan Hinata tertidur sendirian di dalam. Ia menghela napas ketika melihat beberapa lembar baju Hinata di lantai, namun senyum mengembang di bibirnya saat menatap Hinata yang masih berpakaian lengkap. Ia sungguh tak menyangka, adiknya itu benar-benar menjaga gadis ini dengan baik.
Temari memungut baju Hinata dan meletakkannya di keranjang pakaian, tertegun ketika melihat setangkai tulip kuning di meja samping tempat tidur dan secarik kertas di sana.
Ingatlah untuk sarapan. Aku pergi duluan.
—Gaara—
Temari tertegun. Adiknya benar-benar tak bisa ditebak. Gadis itu baru akan membangunkan Hinata saat gadis itu menggeliat pelan dan membuka sepasang mata amethyst-nya.
"Te-Temari-neesan," bisik Hinata, menundukkan wajahnya yang merona.
Temari tersenyum, menemukan satu alasan lagi mengapa Gaara begitu mencintai Hinata. "Gaara meninggalkan ini untukmu," Temari menyodorkan kertas dan bunga itu.
Hinata tersenyum tulus, Gaara begitu manis dan perhatian padanya, meski hatinya sedikit kecewa saat mengetahui ia tak bisa memeluk dan menghirup aroma khas Gaara yang ia sukai.
Temari berpura-pura mendesah, mencoba mengetes Hinata, "Gaara begitu perhatian padamu, kapan terakhir kali kalian bercinta?"
Hinata menengadah, menatap Temari dengan pandangan tak percaya, "B-bercinta?"
Temari mengangguk, "Gaara mencintaimu, dia pasti akan terangsang saat berada di dekatmu. Kalau pacarmu begitu perhatian denganmu, dia pasti sedang ingin bercinta."
Hinata kembali menundukkan kepalanya, "A-aku dan Gaara tak pernah m-melakukannya."
Temari mengangkat alis, meski dalam hati ia tersenyum lembut. Gaara benar-benar mencintai gadis ini, terlepas dari semua sikap posesif dan protektifnya yang berlebihan. "Benarkah?" Temari mencoba melanjutkan godaannya, tapi urung begitu melihat wajah Hinata yang makin murung. Dengan cepat dialihkannya pembicaraan, "Itu ... pipimu ... apa Gaara?"
Hinata menyentuh pipinya, meringis pelan ketika merasakan nyeri di daerah itu. Gadis itu tersenyum kecil, "A-aku baik-baik saja."
Temari menatap Hinata prihatin, gadis itu tampak begitu tegar meski Gaara berulang kali menyakiti fisiknya. "Kau libur kan? Apa yang akan kau lakukan hari ini?"
.
.
.
Hinata tersenyum senang, mengangkat loyang berisi cetakan-cetakan kue cokelat yang ia buat dari oven dan meletakkannya di meja dapur yang luas itu.
"B-bagaimana?" Ia bertanya pada Hana, salah satu pelayan keluarga Sabaku yang sedari tadi menemaninya karena Karura dan Temari ada urusan. Dipisahkannya cetakan yang kebanyakan berbentuk hati itu dengan kue miliknya.
Hana mencicipi satu, dan pelayan itu ikut tersenyum. Kekasih tuannya itu memang harus diacungi jempol. "Enak, Hinata-sama."
Hinata kembali tersenyum, membawa cetakan-cetakan itu ke wastafel, membiarkan Hana mencucinya sedangkan ia menata kue cokelatnya di sebuah piring dan mengambil krim yang tadi dibuatnya, mulai menghias kue-kue itu.
"Sedang apa?"
Suara itu membuat Hinata berbalik, ia menatap sang pemilik suara yang meletakkan tasnya sembarang di meja makan dan berjalan mendekatinya. Gadis bermarga Hyuuga itu membiarkan Gaara merengkuh dan mencium keningnya sebelum bersandar di samping Hinata yang kembali meneruskan kegiatannya.
"Kau mau?" Hinata menyodorkan sebuah kue yang berhias krim dengan gestur menyuapi, dan diterima oleh pemuda itu.
"Terlalu manis," Gaara berkomentar.
Gadis itu tertawa kecil, "M-moodmu sedang baik."
"Hn." Gaara menyahut, "Kau juga."
"Nah, selesai." Hinata tersenyum memandang hasil karyanya, memutuskan untuk membawanya ke meja makan. "K-kau tak makan siang?"
Gaara mengekor di belakang kekasihnya itu, "Jika kau mau menemani."
Hinata meletakkan kue-kue itu di meja, berbalik dan membiarkan Gaara mengecup ujung hidungnya sebelum pemuda itu sedikit memiringkan kepalanya dan mencium bibirnya lembut. Tak butuh waktu lama bagi pemuda itu untuk mulai melumat bibir Hinata, sebelum akhirnya mulai mengeksplorasi mulut kekasihnya itu. French kiss.
Ini bukan yang pertama untuk Hinata. Berulang kali ia dan Gaara melakukan hal yang sama, namun entah kenapa rasanya selalu sama. Memejamkan mata, gadis itu menikmati segala sensasi dari sentuhan fisik ini, rasa bahagia yang membuncah, perutnya yang seakan diterbangi ratusan kupu-kupu, detak jantungnya yang meningkat secara konstan, atau pun darah yang dirasanya mengaliri pipinya lebih cepat. Hinata memeluk leher Gaara dengan kedua tangannya, perlahan jemarinya menelusup diantara helaian rambut merah Gaara sementara pemuda itu memeluk pinggangnya.
Mereka baru benar-benar berhenti ketika Gaara menyurukkan wajahnya di leher Hinata, membiarkan gadis itu mengambil napas sembari menopangkan dagunya di bahu pemuda itu.
Saat itulah Hinata menyadari lidah Gaara yang mulai bermain-main di lehernya, menjilat dengan gerakan sensual. Hinata bisa merasakan napas Gaara memanas dan naik secara konstan. Gadis itu tersentak.
Kalau pacarmu begitu perhatian denganmu, dia pasti sedang ingin bercinta.
"Gaara ...," Hinata mendorong Gaara hati-hati, berusaha untuk membuat pemuda itu menjauh tanpa tersinggung. "K-kau tak j-jadi makan siang?"
Gaara menghentikan kegiatannya sejenak hanya untuk bergumam rendah, "Aku menginginkanmu, Hinata."
Hinata menggigit bibir bawahnya. Ia bukanlah gadis bodoh yang tidak tahu betapa Gaara dengan mudahnya terangsang akan semua sentuhan mereka—karena Hinata sendiri merasakan hal itu. Oke, dulu ia sempat bertanya-tanya kenapa Gaara begitu menjaganya, meski pemuda itu bisa dengan mudah menyerang Hinata—mengingat semua sentuhan intens mereka—tapi gadis itu merasa nyaman dengan perlakuan Gaara, dan tak pernah berpikir bahwa ia akan menghadapi hal ini sebelum menikah bersama Gaara. Beberapa temannya sesama perempuan memang merupakan penganut free seks, tapi Hinata tidak.
Dan kini, Hinata benar-benar takut. Ia takut, konsekuensi dari semua yang kini akan mereka lakukan. Ia ... belum siap. "Gaara," Hinata kembali menggumam, menggigit bibir menahan tubuhnya yang bergetar ketika Gaara mengangkatnya hingga duduk di meja makan dan mulai membuka apron yang dikenakan Hinata. Menelusuri tubuh luar Hinata hingga Gaara membuka kancing kemeja Hinata, membuat gadis itu bergidik.
"J-jangan ...," Hinata bersuara, bergetar dan lemah saat jemarinya menahan tangan Gaara. Ia tahu apa yang ia lakukan. Penolakan. Dan Gaara sungguh membenci hal itu. Hinata memejamkan mata, siap menerima apapun reaksi Gaara akibat penolakannya itu.
Brukk!
Gadis itu merintih pelan saat punggungnya dipaksa berbaring di meja makan, membiarkan air matanya jatuh satu persatu. Tubuh Hinata bergetar hebat saat Gaara menyatukan bibir mereka kasar, menekan sedalam mungkin, menggigit bibir Hinata saat tak mendapat respon dari gadis itu. Dipaksanya Hinata menerima lidah Gaara memasuki mulutnya, sementara tangannya merobek kemeja Hinata dengan sekali sentak, menyebabkan kancing-kancing itu berloncatan.
Hinata benar-benar tak bisa menahan tangisnya, gadis itu pasrah menerima perlakuan kasar yang mungkin akan dilakukan Gaara ketika pemuda itu melepas ciuman mereka, namun pemuda berambut merah itu berbalik, mengacak rambutnya, dan mengumpat pelan sebelum menjatuhkan satu rak penuh berisi piring, menimbulkan bunyi 'Praangg' dan meninggalkan Hinata sendiri.
Ya, meninggalkan Hinata yang masih terisak dan berusaha membenahi kemejanya yang berantakan.
.
.
~Her Life~
.
.
Gaara menghindarinya.
Hinata sadar betul akan hal itu.
Sudah seminggu pemuda itu tak pernah lagi menunggu Hinata pulang, berbuat kasar pada gadis itu, atau memeluknya erat ketika Hinata tidur.
Jujur, Hinata merindukan Gaara. Bagaimanapun kasarnya perlakuan Gaara terhadap Hinata, gadis itu sangat merindukan kekasih yang ia cintai itu. Ia kini paham betul akan kalimat 'Aku tak bisa hidup tanpamu' yang sering diucapkan para pujangga. Klise memang, namun itulah kenyataannya. Gaara sudah membuatnya teradiktif semenjak pemuda itu masuk ke dalam hidup Hinata.
"Kau tampak pucat, Hinata. Kau tak pernah terlihat tidur dan bernafsu makan." Temari menegur Hinata, membuat gadis itu tersenyum lemah.
"Gaara t-tidak pulang," bisikan lemah itu yang dijadikan jawaban oleh Hinata. Ia menekuk lututnya, menyandarkan kepala di kepala ranjang.
Temari menghela napas, duduk di tepi ranjang kamar adiknya yang sudah seminggu ini hanya dihuni oleh Hinata itu. "Kau—"
"—Seandainya ... seandainya a-aku menuruti k-kemauan Gaara ..." Hinata memotong perkataan Temari, matanya mulai berkaca-kaca.
"Hinata, jangan menyalahkan dirimu! Gaara yang memang keterlaluan. Kau tidak bersalah!" Anak sulung keluarga Sabaku itu mengusap lembut tangan Hinata. Menurut Temari, gadis itu tak salah. Ya, tak ada yang salah dari tindakan Hinata berusaha mempertahankan harga dirinya. Gaara-lah yang sudah keterlaluan. Hinata dan Gaara hanyalah sepasang kekasih. Tidak lebih.
"A-aku merindukannya," lirih Hinata, membuat Temari semakin menghela napas panjang. Gadis ini ...
"Kau mau ke tempat dimana Gaara berada?"
.
.
.
Suara dentuman musik mengisi kelab malam itu. DJ dan bartender mulai beraksi, begitu pula dengan pengunjung yang mulai melangkahkan diri ke dance hall. Riuh, berisik, dan dipenuhi bau alkohol serta rokok.
Sementara itu, di sudut ruangan, pemuda berambut merah itu duduk di sebuah sofa. Sendiri. Sesekali pemuda itu tampak meneguk minuman beralkohol yang ia pesan.
Gaara mengumpat pelan. Bahkan ketika alkohol mulai menguasai dirinya, ia tak pernah bisa menghilangkan bayangan gadis itu di kepalanya.
"Gaara! Kau masih di sini, hm? Kenapa tidak pulang?"
Gaara mengerjap setengah tak percaya ketika seorang gadis berambut indigo dan bermata lavender datang dan langsung duduk di pangkuannya. Gadis itu tersenyum manis, mengalungkan tangannya di leher Gaara.
Hinata?
Gadis itu menelusuri lekuk wajah Gaara dengan punggung tangannya, sebelum mengusap bibir Gaara yang kemerahan, mencium bibir itu.
Gaara tersentak. Didorongnya gadis itu menjauh, dan saat itulah akal sehatnya kembali berfungsi. Bibir itu ... tidak sama seperti rasa bibir Hinata yang sering dikecapnya. Gaara sedikit bingung saat melihat gadis di hadapannya yang mendadak berubah menjadi sesosok gadis berambut pirang dan bermata ungu pucat.
Shion?
Sial. Gaara rasa, dia sudah mulai gila.
Shion tertawa kecil, duduk di meja depan Gaara. Gadis itu mendesah pelan, "Kau tak merindukanku? Tak ingin menciumku seperti yang sering kau lakukan dulu?"
Gaara tak menjawab, meraih jaketnya dan pergi begitu saja.
Shion. Wanita yang menjadi cinta pertamanya saat duduk di kelas dua SMP. Wanita yang sudah menolaknya karena usia mereka yang terpaut jauh. Gaara masih ingat bagaimana dulu Shion mempermainkannya, memperlakukan Gaara layaknya seorang boneka. Setelah satu tahun mencintai Shion, Gaara nyaris saja terjebak dalam dunia yang digeluti wanita itu jika saja ayahnya tak melakukan tindakan ekstrim, memaksa Gaara melanjutkan sekolah di Konoha, juga membayar Shion agar pergi dari kehidupan Gaara.
Pemuda bertatto 'Ai' itu mengacak rambutnya, menggeram ketika menubruk orang-orang yang ada di kelab.
Mata pemuda itu menyipit ketika kembali melihat sesosok gadis berambut indigo yang sedang disudutkan oleh seorang pemuda lain di dekat pintu masuk. Damn, ia berhalusinasi lagi. Gaara mendekati mereka dengan langkah penuh kemarahan, menarik jaket yang dikenakan pemuda itu dan mendorongnya hingga terjatuh dan tanpa ampun menendang pemuda itu berkali-kali, tak peduli jeritan pengunjung perempuan karena melihat perkelahian.
Setelah dirasanya cukup, Gaara mengalihkan tatapannya pada gadis yang masih bersandar di dinding itu.
Brakk!
Ditinjunya dinding di samping gadis itu, dan Gaara bisa melihat wajah sang gadis memucat, mata pearl-nya membesar dengan tatapan takut.
"Brengsekk! Kenapa kau tak pernah membiarkanku tenang, hah?" Pemuda itu berteriak, mampu membuat siapa pun yang mendengarnya menciut.
.
.
.
Hinata mengerjap takut, menatap pemuda dengan iris jade yang berkilat marah di hadapannya. Perlahan Hinata menyentuh pipi Gaara dengan tangannya. Pemuda yang mengganggunya tadi membuatnya takut, tapi melihat Gaara yang seperti ini rasanya lebih menakutkan lagi. Apakah Gaara mabuk? Apakah Gaara tak mengenalinya? "G-Gaara?"
Hinata sungguh semakin tak mengerti ketika mendadak kekasihnya itu memeluknya erat, memeluknya dengan sikap posesif yang sering ia lakukan, namun gadis itu mengembuskan napas lega, membalas pelukan Gaara. Hinata bisa merasakan amarah Gaara menguap, seperti yang selalu terjadi saat Gaara selesai menamparnya.
Gaara melonggarkan pelukan mereka, kemudian bibirnya menekan bibir Hinata—gadis itu bisa merasakan ketidaksabaran Gaara saat pemuda itu melumat bibirnya. Gaara menciumnya seperti ia kehabisan napas dan berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya—begitu tidak sabar, cepat, dan memabukkan. Hinata hanya bisa menerima saat lidah Gaara mulai menjelajahi mulutnya, sebelum pemuda itu menutupnya dengan kembali melumat bibir Hinata berulang kali.
Terengah, Hinata memeluk leher Gaara dan menopangkan dagu di bahu pemuda itu, membiarkan Gaara balas memeluk dan mengangkat tubuhnya, membawanya pergi dari kelab itu.
.
.
.
Sementara itu, di sisi kelab yang lain, seorang gadis bertopi duduk di meja bar, meraih sloki berisi wine dan menatap seluruh kejadian yang cukup menghebohkan itu, menyeringai kecil. "Menarik," bisiknya, meneguk wine itu dengan cepat.
.
.
To Be Continued
.
.
A/N: Oke, saya tahu ini aneh. Nggak jelas malah. Maafkan saya ... T.T pertama, sikap Gaara yang cium-tampar-cium Hinata, saya sendiri masih, ergh, apaan ya? Kedua, alur yang kesannya suka-suka-gue ini, aneh. Ketiga, feel yang saya yakin datar. Tapi, jujur fic ini udah lama ada di pikiran saya. Nah, pas saya mau bersihin pikiran *halah* ketemu fic ini di laci paling bawah, dan saya realisasikan... hahaha
Oke, anggap aja ini sebagai permintaan maaf karena saya nggak update H E—Different. Doakan saya yang mau UTS minggu ini, ya! Lanjutan fic ini akan saya update minggu depan, karena ini emang cuma twoshoot.
Review, please?
p.s: Fic ini belum sempat saya edit, apakah masih ada banyak typo? O.o
