Langit lagi-lagi menangis setelah menguyur bumi daerah timur kurang dari satu jam yang lalu. Ramalan cuaca yang diberitakan pagi hari benar adanya, hujan lebat akan terus mengguyur sampai-sampai lembaga iklim dan cuaca nasional menyatakan larangan berlayar bagi nelayan di pantai timur. Masyarakat dengan mayoritas nelayan di wilayah tersebut tak henti berdoa, mengharap agar hujan yang menghambat profesi mereka lekas mereda dan dijauhkan dari kemungkinan buruk yang akan dihadapi jika awan tak kunjung terobati rasa sedihnya.

Doa agar hujan cepat usai juga dirapalkan lelaki manis dengan cangkir mengepul di depannya, Jungkook, dia sudah terlambat dua puluh menit dari rencana cemerlangnya malam ini, bergumul di dalam selimut hangat ditemani sebuah novel lanjutan dari satu series fantasi kesayangannya. Namun, niatnya tersebut harus diurung mengingat hujan yang tiba-tiba turun kembali di tengah perjalanannya pulang. Menyesap rasa pekat yang langsung menyapa indera penyecapnya, menciptakan kernyitan samar di perempatan dahi. Visual yang indah mendorong Jungkook membeli tapi dia harus menelan ekspektasi tinggi tentang cairan segelap malam yang menjadi kebanggaan kafe beraroma manis tersebut.

"Jungkook?"

Suara itu seketika mengejutkannya, memorinya berputar dan suaranya tercekat di pangkal lindah.

Suara itu kembali menyebut namanya, sebagai seorang profesional Jungkook menoleh. Memberikan ekspresi keheranan yang dibuat-buat lalu tersenyum lembut, "Taehyung?"

Yang di depannya ikut tersenyum, "Iya. Kau juga di sini? Terjebak hujan juga?"

"Kau tahu benar itu."

Taehyung melirik kursi di hadapan Jungkook lalu melarikan manik matanya ke arah wajah manis Jungkook, "Keberatan jika aku bergabung?"

Jungkook menggerakkan kepalanya, tanda setuju.

Dia memerhatikan Taehyung yang kini sibuk menata barang bawaannya di kursi kosong yang berada di sampingnya. Menyelami wajah Taehyung yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus di dagu lancipnya.

"Lupa bercukur?" Pertanyaan itu spontan meluncur.

Taehyung menoleh, "Aku ini orang sibuk, kau tahu."

"Pasti. Aku tahu jelas." Balasnya sarat makna.

Taehyung terlihat menghembuskan nafas, tak bisa mengabaikan rasa sakit yang menguar seketika, menghantarkan rasa takut hingga ke ujung kuku. Begitu pula dengan Jungkook, meredam sejuta protes yang berputar memenuhi pikirannya. Udara yang tiba-tiba terasa sesak membuat keduanya tak mampu barang menheluarkan sepatah kata.

Jungkook meraih cangkir hitam yang mulai mendingin lalu meminumnya pelan, berharap cairan gelap tersebut mampu mengalihkan pikirannya yang mendadak kalut.

Taehyung menatap Jungkook dalam, "Kau minum kopi?" Nadanya terdengar tak yakin.

"Seperti yang kau lihat" balasnya ringan.

"Terlihat tidak sepertimu."

"Benarkah?" Dia geli sendiri saat rasa itu menyerangnya tiba-tiba. "Lalu.. terlihat seperti apa aku memang?" Tanya nya remeh. Menyentil satu bagian dari diri sosok di depannya, membuat sosok tersebut semakin tenggelam dalam suatu perasaan membunuh yang semakin menekannya ke dasar.

"Kau jelas tak tahu aku. Benar-benar tak tahu. Kau tak mengenal Jungkook yang kini berada di depanmu. Aku bukanlah aku yang kau kenal.." matanya melirik jendela kafe, hujan sudah reda dan Jungkook tak tahan terlalu lama berada di depan Taehyung yang terpaku. ".. maafkan mulut lancangku."

Jungkook membereskan barang bawaannya lalu segera beranjak tanpa mengeluarkan sepatah kata. Air matanya sudah mengenang bersiap jatuh bersamaan dengan kemarahan yang akan seperti banjir bah jika dikeluarkan. Sosok itu pergi meninggalkan Taehyung yang terdiam, menatapi kursi kosong di depannya.

Kini semua terlalu pekat untuk dikenang dalam angan.

-pekat-

Hehehe