Gerimis kecil bulan Mei sedang tumpah rupanya. Butiran kecil air dari sang langit yang masih menampakkan kesemuan birunya dalam kelam kelabu awan, jatuh menimpa Kyoto kala itu. Dingin yang menyapa dari angin semilir yang sesekali lewat menggemerisikkan helai-helai maple dan sakura tak sebanding dengan ketentraman yang dirasakan penduduk kota. Mereka menikmatinya, menikmati remangnya hari ini, di bawah payung terkembang yang selalu tak luput dibawa. Kyoto memang terbiasa berkawan dengan hujan seperti ini.
Wanita itu juga―seperti halnya penduduk kota yang lain―menikmati suasana yang mengitarinya dalam sebuah ekspresi tersipu, sambil sejenak menghembuskan napas tentram. Dia berjalan perlahan, melewati orang-orang yang senantiasa berlalu lalang, mencoba menggariskan senyum. Beberapa langkah lagi dan dia akan sampai di depan pagar kayu kokoh sederhana dengan tanaman-tanaman menjalar yang membingkainya, sebuah tanda dari tempat yang ia sebut 'rumah'.
"Aa… Tsukaremashita… Lelah sekali." ujarnya sambil menyentuhkan tangannya ke pagar itu sejenak. "Rasanya sampai tak kuat menyangga tubuhku sendiri. Betapa melelahkan pekerjaanku sebagai dosen Oceanografi ini!" tangan putih pucatnya bergetar saat ia menyuarakan keletihannya. Ya, gelar Profesor dalam Program Studi Meteorologi dan Oceanografi di Universitas Kyoto memang sudah keterlaluan menyita waktunya. Namun mau bagaimana lagi, dengan tingkat ketekunan dan ketelitiannya yang tinggi, wanita ini dengan mudah mendapatkan gelar profesor di usianya yang ke duapuluhdelapan tahun.
Baru saja ia hendak melangkahkan kakinya masuk, sebuah suara familiar menginterupsinya, "…Nami? Ada apa denganmu, kau baik-baik saja?"
Nami menolehkan kepalanya memandangi gadis berambut biru diekor kuda yang menegurnya tadi, tersenyum kepadanya. Tentu saja Nami mengenalnya, dia adalah tetangga dan sahabat tersayangnya. "Hha, kau ini ada-ada saja. Tidak usah merepotkan dirimu dengan mengkhawatirkan aku. Sifat panik berlebihanmu tak pernah berubah, ya?" kata Nami geli dengan senyum lebar sambil menepuk bahu gadis berambut biru di hadapannya. Beberapa saat kemudian senyum lebar itu pecah menjadi kekehan pelan, "Kau seharusnya cepat-cepat membujuk Kohza supaya menikahimu. Aku tak ingin menjadi tua dulu sebelum melihatmu menikah…"
Namun gadis berambut biru itu hanya merespon dengan salah tingkah sambil memalingkan kepalanya. Nami menghentikan kekehan merdunya. Dia tak habis pikir, kenapa sahabat kecilnya ini tak juga menikah dengan kekasihnya itu, tak lihatkah dia bahwa dirinya sudah dewasa sekarang? Bahkan dia juga sudah berubah dari Vivi kecil yang ia kenal dulu, apalagi kacamata yang membingkai wajah manisnya telah menunjukkan ia sudah terlalu lama berkutat dalam pekerjaannya sebagai notaris.
"Cuacanya indah bukan? Remang, redup… Tapi tetap terasa indah…" ujar Nami lagi setelah ia menepiskan spekulasinya tadi, rupanya perhatiannya teralih pada cuaca hari itu. Sang gadis berambut biru hanya mengangguk pelan menanggapinya.
Bountyvocca Present
for Hitorijanai Infantrum Challenge
Retention: Return
Part 1: Reverse (1)
Disclaimer: Eiichiro Oda
Warning: Ori AU, contains lots of Flashback, maybe OOC, half of 'Retention' story
"Tadaima…" Nami menghela nafas dalam. 'Lega rasanya… akhirnya bisa juga melangkahkan kaki memasuki rumah, sayang Vivi menolak undangan minum teh karena harus pergi ke pasar ikan. Yah, tak apa, masih banyak waktu untuk mengobrol dengannya.'
Setelah menanggalkan sepatunya terlebih dulu di genkan―pintu masuk dan tempat meletakkan sepatu―Nami menghela nafas dalam. 'Kenapa tak dijawab…' ia membatin. Langkahnya kemudian membawanya lebih dalam menuju washitsu―ruang tradisional, tempat biasanya ia dapat menemukan suaminya―dengan sedikit menghentakkan kaki. Dia menggembungkan pipi sejenak mendapati keadaan ruangan yang berantakan. Matanya mendapati peralatan shodo yang berserakan di meja kayu rendah mengitari rentangan kertas mulbery yang masih polos―ada suzuri, shitajiki, bunchin, sumi, fude dan bermacam-macam lagi di sana. 'Huh, bisa tidak sih dia lebih rapi meletakkan peralatan Kaligrafi Jepang nya dengan lebih teratur? Selalu saja tercecer begini…' keluhnya dalam hati sambil perlahan mulai membereskan satu persatu kuas, wadah tinta, pemberat kertas, dan peralatan lainnya dalam susunan rapi.
Nami sedikit mendengus kesal saat menata peralatan kaligrafi suaminya itu, walau tetap saja kedua tangannya bergerak lancar meletakkan satu per satu peralatan itu di tempatnya yang benar. Namun baru saja wanita itu ingin meletakan pemberat kertas terakhir, tangannya terhenti sejenak hingga meletakan peralatan terakhir yang seharusnya ditatanya itu di lantai tatami di sebelah ia mendudukkan diri. Pikiran Nami sedikit teralih pada suara berisik dari dapur. Telinganya menangkap decit pintu kabinet dapur yang membuka lalu menutup kembali, disusul bunyi khas dari pintu lemari pendingin yang dibuka.
'Sepertinya dia sedang mencari sake…' Nami terkekeh geli. Dia teringat baru seminggu yang lalu dia menikah dengannya, pria kaktus penyuka sake. Pikirannya mulai berkeliling memutar klise masa-masa dulu dengan suaminya hingga sejenak pandangannya terbentur pada bingkai foto kecil di sisi meja. Sebuah bingkai foto yang memuat sosok seorang pemuda berambut hijau mengenakan kendo gi dan hakama―seragam beladiri kendo sedang berlatih sendirian. Mengacungkan shinai atau pedang bambunya ke depan dengan ekspresi serius dan khidmat.
Seulas senyum lembut terukir di wajah wanita itu, 'Dasar 'pendekar hitam'! Ah, itu benar-benar sebutan yang cocok untukmu, Zoro...'
Tapi ia harus kembali merapikan ruangan ini, dia teringat. Jadi dia pun menghentikan aliran imajinasi dan lamunannya tadi dan mulai memusatkan perhatian pada keadaan ruangan di sekitarnya yang masih berantakan. Hitung-hitung ia harus mulai menjadi sosok istri yang baik, 'kan?
"Eh, di mana tadi pemberat kertasnya?"
Menyadari bahwa satu peralatan shodo terakhir tidak terlihat di tempat yang seharusnya, Nami mulai mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Ah, ini pasti gara-gara aku kebanyakan melamun tadi. Aku harus mencarinya!"
Jemarinya yang halus mulai mencari di atas meja hingga merambat di tumpukan buku-buku sastra suaminya―yang juga berantakan susunannya. Kembali mendesah pelan, tangannya menyelusuri tumpukan buku itu untuk dirapikan kembali. Namun matanya sekali lagi tergoda untuk melirik lebih lama sebuah buku yang nampak 'tidak biasa', berwarna oranye tua dan dilingkari pita hijau tua sebagai pengunci, menyembul di antara tumpukan buku tersebut. Ditariknya buku itu perlahan dari tumpukan. Kini terlihat jelas wujud buku itu seutuhnya. Warnanya oranye tua dengan ukuran kira-kira 15x15cm. Buku itu tampak terlihat sedikit lusuh dengan noda kecoklatan. 'Seperti habis terjatuh di genangan lumpur depan rumah saja!' pikir Nami sembari menimang buku kecil tersebut di kedua telapak tangannya.
Rasa tertarik Nami akhirnya membiarkan tangannya membuka simpul pitanya. 'Buku apa ini? Tak ada gambaran buku sastra sama sekali!'
Berspekulasi dan memikirkan kemungkinan-kemungkinan tentang apa isi buku di tangannya membuat rasa penasaran Nami makin membuncah. Tak apa 'kan, lagipula ia hanya akan melihat apa isi buku itu, dalam hati wanita itu memantapkan perasaannya. Sedetik setelah dia mengambil nafas sejenak, ia buka halaman pertama buku itu. Ternyata kertas dalamnya pun lusuh, kebanyakan lembarannya sedikit tercabik dan terkoyak di beberapa tempat, tapi setidaknya tulisan tinta bolpoin yang ada di sana masih kentara jelas menuliskan kata 'Diary'.
'Diary? Konyol, jangan bilang ini milik Zoro…' Nami sebisa mungkin menahan tawa gelinya supaya tak membuat kegaduhan yang mungkin akan membuat suaminya mengetahui apa yang sedang ia perbuat sekarang. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat 2 degupan dari sebelumnya. Tentu saja, karena ia tak pernah tahu bahwa suaminya memiliki sebuah… diary?
Tangan Nami sedikit bergetar, ia mulai membalikkan lagi halaman selanjutnya. Ia akan mulai kembali dalam cerita masa lalu…
Flashback
Hari yang baru.
Dia menghentikan langkahnya sejenak selepas berjalan beberapa meter turun dari perhentian shuttle bus yang ditumpanginya, menengadahkan wajahnya menatap langit Kyoto yang teramat cerah hari itu. Bersyukur dalam hati karena tekanan udara kala itu terlampau lebih baik dari sekedar 'normal'.
Sambil bersenandung riang, dia pun melangkahkan kakinya mantap menyusuri jalan yang mengarah ke Gerbang Utama Universitas Kyoto―'sekolah' barunya sekarang. Tas selempang oranyenya sedikit berayun mengiringi langkah panjang dan cepatnya, juga antusiasme dan keceriaannya di pagi yang hangat itu. Sepanjang langkahnya, mata onyx cemerlangnya merekam betapa asri dan megahnya suasana di universitas itu.
'Memang, universitas ini bukan universitas sembarangan, pasti akan banyak pengalaman hebat yang kurasakan di sini...' pikirnya sembari menggariskan sebuah senyum ceria di wajah ayunya.
Dalam hati ia bertanya-tanya, kira-kira seperti apa jalannya kelas mata kuliah pertama yang akan diikutinya nanti, juga teman-teman barunya. Apakah ada salah satu dari mereka yang juga sedang berjalan menuju ke Gerbang Utama seperti dirinya?
Memerhatikan orang-orang yang berjalan satu arah dengannya, wanita itu mengembangkan senyumnya lebih lebar. Betapa 'beragamnya' penampilan para mahasiswa baru yang tertangkap matanya. Lihat, misalnya ada seorang pemuda berambut kuning menyala yang nampaknya kelebihan semangat dilihat dari cengiran lebar yang nampak di wajahnya, berjalan bersama pemuda stoic berambut hitam legam yang bermodel melawan gravitasi bumi. Lalu… Sedikit di depannya, di sisi jalan yang berlawanan, terlihat seorang pemuda berambut hijau berjalan dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Di samping pemuda itu, terlihat seorang perempuan cantik berambut hitam yang terkesan sangat tenang, berjalan sambil mendekap sebuah buku tebal di dadanya. Beralih ke belakang sebentar, dia mendapati dua orang dengan penampilan agak nyentrik―entah dari model pakaian mereka atau model rambut mereka. Satu kata yang pasti, menarik.
Tak terasa akhirnya sampailah dia di gerbang itu, seperti halnya mahasiswa yang lainnya, dia pun melangkahkan kakinya ke dalam, menyaksikan Menara Jam Universitas Kyoto berdiri gagah seolah-olah menyambutnya di hari yang baru. Nah, sekarang, cukup berjalan beberapa meter lagi ke gedung fakultasnya...
"Nami-swaaann!"
Sedikit terkejut, ia mengedarkan pandangannya sejenak mencari arah datangnya suara familiar yang menyerukan namanya itu. Itu dia, sekitar beberapa meter di depannya seorang pemuda pirang yang berpakaian sangat rapi sedang 'berjalan'―dengan kecepatan abnormal―ke arahnya dengan mata yang seperti berbentuk hati?
"Sanji-kun! Kau membuatku kaget saja. Rupanya kau tidak mungkin bisa merubah sifatmu yang satu ini." Nami menggeleng pelan.
"Seperti halnya kecantikanmu yang tak berubah dari semenjak kau kecil, perasaan membaraku ini pun tetap tak berubah, Nami-swan…"
"Haha. Aku tahu kok, seperti biasa." Nami terkekeh. Pemuda pirang beralis unik itu hanya menampilkan sebuah cengiran untuk menanggapinya. Tak ada kepalsuan, mungkin.
"Aku sangat senang kita bisa berkuliah di universitas yang sama, Nami-swan. Dengan begitu tiap hari aku bisa bertemu denganmu dan makan siang bersamamu dan mencari bahan materi di perpustakaan bersamamu dan―"
"Aku juga senang, jadi hentikanlah omonganmu yang selalu tak terkendali itu, oke?"
Sudah mulai kesal dengan tingkah sahabat dari masa kanak-kanaknya itu, Nami memotong ucapan Sanji. Sebenarnya kali ini, pemuda pirang itu sedang beruntung, dia terlalu merasa bersemangat hari ini, suasana hatinya terlalu bagus untuk bisa cepat dirusak. Kalau tidak, dia pasti sudah menghajarnya.
"Baiklah Nami-swaan, apapun yang kau mau..." Sanji tersenyum.
"Jadi jangan merusak suasana hatiku yang sedang bagus di hari pertama kuliah, mengerti?"
"Aku mengerti Nami-swan. Tapi apakah kau mau kuantar sampai ke gedung fakultasmu? Limabelas menit lagi kelas mata kuliah pertama sudah dimulai…"
"Tidak perlu, Sanji-kun. Pergilah lebih dulu ke gedung fakultasmu. Jangan membuat kesan buruk di hari pertama pada Profesor yang mengajarmu…"
"Apakah… Tidak apa-apa, Nami-swan?" Sanji tampak ragu-ragu. Namun Nami meyakinkannya dengan melempar sebuah senyuman manis dan sebuah anggukan yang segera membuatnya kembali melakukan 'tingkah abnormal' nya. Tapi tetap saja sepertinya itu tak akan mampu melunturkan keteguhan hati yang dimiliki pemuda ini. "Tapi Nami-swan, aku takut kau..." blablabla, benar 'kan?
"SAAAAANNNNNJIIIIIIIIIIII!" Nami dan Sanji segera menutup telinga mereka mendengar suara menggelegar itu. Kemudian seorang pemuda dengan topi jerami meninju pelan bahu sang pemuda berambut pirang.
"Hei, Luffy! Suaramu itu terlalu heboh!" kata seorang pemuda berambut keriting dan berhidup panjang seperti Pinokio yang mengekor di belakang pemuda dengan cengiran lebar itu. Nami sedikit mengangkat alisnya, "Apa mereka teman barumu, Sanji-kun?" tanyanya. Dengan segera, dengan tampang sedatar mungkin Sanji mengibas-ngibaskan tangannya.
"Tentu saja, kami satu mahasiswa di Facculty of Public Health!" sebuah rangkulan erat dari sang pemakai topi jerami sepertinya meruntuhkan penolakan Sanji akan lontaran pertanyaan dari sang gadis. Nami hanya mencoba mengangguk paham.
"Sanji, bagaimana kalau kita mengelilingi Yoshida Campus ini dulu sebelum menuju ke gedung fakultas! Pasti sangat menyenangkan, bagaimana pendapatmu, Usopp?"
"Ahh, sepertinya menarik juga!" pria keriting tersebut menanggapi dengan mulai menunjukkan antusiasmenya.
"Baiklah...! Ayo kita pergi!"
Sanji yang masih dalam kelesuan tak menyangka dia akan diseret langsung meninggalkan Nami.
"Hei, hei tunggu dulu! Nami-swaaaaaan, tidaaaaaakkk!" sayup-sayup Nami masih bisa mendengar teriakan meronta sejadi-jadinya Sanji yang mulai menjauh ke arah Barat dari Menara Jam. Entahlah, pemandangan yang baru saja disaksikannya tadi bisa tergolong pemandangan yang cukup 'tidak biasa' untuk mengawali hari.
Nami terkekeh pelan akhirnya. Kasihan juga Sanji, tapi sepertinya dia juga ingin punya teman-teman yang 'menarik' seperti itu. Menepis pikirannya yang tidak-tidak, ia kembali bersenandung riang. Ia mulai melanjutkan langkahnya ke arah Timur menuju gedung fakultasnya, Facculty of Science andEarth Technology.
Beberapa jam pun berlalu, tak terasa langit sudah semakin dekat menuju senja. Nami menghembuskan nafas lega, kuliah pertamanya berakhir dengan sangat lancar. Setelah mengemasi barang-barangnya dan bertukar salam perpisahan dengan teman-teman barunya, ia keluar dari gedung Perpustakaan Utama, tempatnya selama beberapa jam terakhir kuliahnya mencari beberapa buku materi pelengkap yang direkomendasikan Profesor-nya. Sambil menuruni tangga di depan pintu keluar perpustakaan, dia kembali menikmati suasana universitasnya. Bagaimana kampusnya itu begitu teratur, kondusif dan sejuk, karena dirindangi berbagai macam pohon dan semak-semak dengan daun-daun yang hijau dan kemerah-merahan. Angin sore yang sejuk bertiup menerpanya, melengkapi perasaan santai yang sedang dirasakannya. Tersenyum, dia menghela nafas dalam, "Terimakasih untuk hari ini…"
Ia melanjutkan langkahnya kembali, bermaksud mengganjal perutnya ―yang cukup lapar setelah berjam-jam menimbun diri dalam materi perkuliahannya yang melelahkan walau menyenangkan―di kafetaria Camphora yang letaknya cukup dekat dengan perpustakaan.
Sambil memerhatikan keadaan di sepanjang langkahnya yang terhitung sudah sepi, Nami menduga mungkin mahasiswa lainnya masih sibuk di dalam gedung fakultas masing-masing atau laboratorium masing-masing. Kalau begitu, beruntung baginya, mungkin dia bisa makan dengan tenang tanpa diganggu suara gaduh di kafetaria. Dia menatap sekeliling kembali, rupanya di sebelah kanannya berdiri gedung Counseling Center.
"Hei kau anak baru!"
Terkejut. Nami terdiam, mendadak menghentikan langkahnya dan segala lamunannya. Tanpa sempat ia cegah, ia merasakan sedikit rasa ngeri yang menjalari tulang punggungnya. Siapa?
"Ya, kau. Cewek cantik berambut oranye."
Suara bernada kasar itu kembali terdengar, tepatnya dari belakangnya. Sambil menguatkan hatinya, Nami membalikkan badannya. Nampak segerombolan pemuda―yang jumlahnya kira-kira lima orang―berpenampilan tidak menyenangkan sedang mendekatinya. Kemeja mereka sama-sama kusut, rambut mereka sama-sama acak-acakan, wajah mereka sama-sama terlihat tidak menunjukkan kesan baik, dan bau alkohol tercium kuat dari mereka.
"Apa maumu?" suara Nami sedikit bergetar saat mengucapkannya. Perlahan-lahan ia melangkah mundur, berusaha mencari kesempatan kabur. Nami memang bukan perempuan penakut, tapi ia tidak pernah tidak berhati-hati.
Tapi terlambat, beberapa pemuda dari gerombolan itu telah memblokir jalannya, mereka semua menyeringai dengan sikap yang sangat tidak menyenangkan. "Bagaimana kau mau mendengar apa yang kami mau kalau kau pergi, heh?" tanya salah satu dari mereka.
Berdecak kesal, Nami menghadapkan dirinya menatap penghalang jalannya, "Aku mau lewat. Dan aku tidak perduli apa maumu. Aku terlalu mahal satu milyar yen untuk kelompok kacangan seperti kalian!"
"Hoo… cewek yang tak hanya cantik, tapi berani… Menarik… Menarik! Apa kau tak tahu siapa kami? Kami adalah kelompok 'Buggy Badut' yang paling terkenal di kampus ini!" ujar sosok pemuda yang memakai semacam topi berbentuk telinga domba.
"Yaa, benar… Kau harus ikut kita nongkrong di KI-ZU-NA—student lounge." timpal seorang pemuda lain sambil menjilat bibirnya dan menatap Nami dengan tidak sopan. Nami mengeratkan kepalan tangannya.
"Minggir. Dari. Hadapanku!"
Namun gerombolan pemuda itu hanya terkekeh. "Kau kira segampang itu, eh?"
"Minggir. Jangan. Macam-macam. Padaku."
"Kau mau coba melewati kami, hah?"
"Kubilang MINGGIR!"
Sialan, sialan. Nami mengumpat dalam hati. Perempuan itu menatap jalanan batu di hadapannya, menelan ludahnya, menguatkan hatinya lagi. Dia tidak menyangka hari pertamanya kuliah dirusak sedemikian rupa setelah segalanya nampak berjalan dengan lancar. Jadi sekarang apa―
"Memang butuh berapa orang untuk menghadapi seorang wanita? Minggirlah, kalian hanya mengganggu pemandanganku!"
Terkejut kembali, Nami terbelalak. Menyentakkan kepalanya ke depan. Itu suara yang berbeda, berat dan dalam. Siapa? Gerombolan 'Buggy Badut' tersebut mulai menengok ke arah belakang mereka, mencari sosok pemuda yang baru saja mengeluarkan kalimat yang mereka anggap sok pahlawan itu.
"Apa? Kau mau ikut campur urusan kami?" akhirnya salah satu dari gerombolan itu angkat bicara setelah mungkin tahu siapa orang yang mencoba mengganggu aktivitas mereka.
"Kau hanya menghalangi jalanku." suara berat dan dalam itu terdengar kembali.
"Berani juga kau, Bocah!"
Nami dengan cepat membaca situasi yang terjadi. Bagus, dia melihat kesempatan untuk kabur, sepertinya gerombolan pemuda tidak menyenangkan itu mulai marah pada siapapun orang dengan suara berat dan dalam tersebut, perhatian mereka mulai teralih darinya. Lihat, mereka perlahan berkumpul mendekati seseorang yang berdiri di belakang mereka, dan orang-orang yang memblokir jalannya tadi pun otomatis berbalik. Baiklah, sekarang dia hanya perlu menyusup keluar lalu menjauh dengan cepat…
BUAKH! BUAKH! BRUK…
Tiba-tiba saja sudah ada lima pemuda babak belur dan tak sadarkan diri bergelimpangan di hadapan Nami. Perempuan itu terkesiap sejenak, terjatuh kebelakang melihat pemandangan tersebut. Untuk pertama kalinya kini Nami menatap sosok yang agaknya membuat dia memperoleh kesempatan kabur tadi. Perlahan sesosok pemuda mendekatinya, "Aku tahu kau baik-baik saja, jadi tak usah mengucapkan terima kasih atau hal-hal yang tak berguna semacamnya."
Alih-alih dia mengulurkan tangan untuk membantunya, sosok pemuda berambut hijau dengan tiga tindikan di telinga kiri itu sekarang sedang meregangkan tangan kanannya. Menatap pemuda itu beberapa saat, walau terkesan de javu tapi Nami tak mau ambil pusing lagi. Yang ia pikirkan sekarang pemuda itu telah membuatnya terlibat dalam 'kasus' yang bisa membuat reputasinya sebagai mahasiswi baru dapat terancam kini.
"Sebenarnya kau 'kan tidak perlu sampai menghajar mereka begini! Kau membuatku terlibat dalam masalah!" Nami berseru kesal sambil menuding pemuda hijau itu dengan jari telunjuk kanannya.
"Heh. Seharusnya juga aku tidak perlu terlibat hal semacam ini kalau aku tidak melihat mereka mengerumunimu, tahu!"
"Siapa yang menyuruhmu menghajar mereka sampai pingsan begitu? Padahal sebenarnya cukup kau alihkan saja perhatian mereka tadi!"
"Salahmu sendiri membuat orang lain berkesempatan mengganggumu! Jangan sok memberitahuku apa yang harus aku lakukan, Kecil"
Bagus, Nami makin tak suka dengan pemuda itu yang seenaknya memanggilnya 'Kecil'.
"Jangan sembarangan memanggilku 'Kecil'! Aku punya nama dan kau harus memanggilku dengan namaku… Nami! Mengerti kau, Kaktus Bodoh?" umpatan terakhir yang terlontar dari bibir mungil Nami terucap begitu saja. Mungkin dari pikiran refleks nya melihat model rambut sang pemuda.
"Kau! Mengataiku padahal kau sendiri juga begitu! Namaku yang sebenarnya bukan panggilan bodoh seperti itu tapi adalah―"
Belum sempat sang pemuda tersebut melanjutkan kalimatnya tiba-tiba sebuah suara lembut menginterupsi pertengkaran yang hampir tak akan ada ujungnya itu, "Zoro-san..."
Nami mendongakkan wajahnya menatap wanita cantik yang muncul dari balik punggung sang pemuda. Ia pun segera menegakkan tubuhnya untuk segera berdiri setelah rupanya sedari tadi masih dalam posisi terduduk di tanah saat bertengkar dengan si pemuda kaktus. Nami kini memperhatikan wanita itu yang sedang mengedarkan pandangannya melihat beberapa mahasiswa yang terkapar dimana-mana—dan sebagian yang kabur. Perasaan deja vu kini kembali menguat dalam dirinya. Perempuan cantik berambut hitam yang sedang memeluk sebuah buku tebal di dadanya? Ah akhirnya Nami teringat, ia pernah melihat mereka berdua tadi pagi saat berjalan menuju ke Gerbang Utama.
Zoro juga menatap sang wanita berambut hitam itu yang hanya langsung tersenyum manis, "Sepertinya aku harus mengingatkanmu kembali kalau kau dipanggil oleh Profesor Otani di Counseling Center."
"Baiklah, kita pergi saja dari sini, Robin. Aku sudah banyak membuang waktu dengan percuma di sini!"
Perempuan berambut hitam yang dipanggil Robin itu tersenyum sekilas sambil membalas anggukan Zoro. Dia dan pemuda hijau itu pun langsung berjalan menuju bangunan tingkat dua yang ada di samping kanan Nami yang masih terdiam. Setelah beberapa langkah, tak disangka Zoro berpaling menatap Nami, "Jangan menyusahkan orang lain lagi dengan kembali terlibat masalah!"
"Apa katamu?" seru Nami merasa tidak terima. Sayang, perempuan oranye itu tidak bisa menghajar si Pemuda Kaktus karena pemuda hijau itu sudah masuk kedalam gedung. Dari tempatnya berdiri, mata onyx Nami memerhatikan wanita dibelakang pemuda yang berhenti sejenak sebelum juga menghilang masuk ke dalam gedung. Wanita itu menatapnya, tersenyum simpul sejenak dan akhirnya berjalan kembali.
Flashback End
Nami terkekeh pelan saat ia selesai mengingat pertemuan pertamanya dengan suaminya itu. Bukan pertemuan yang terlihat indah, tapi selalu terasa manis untuk terus diingat. Dia selalu tak bisa mencegah dirinya untuk tidak merasa geli setelah mengingatnya. Matanya mulai menyelusuri kembali setiap kata yang teruntai dalam buku kecil itu.
Terlalu salah jika itu adalah pertemuan terakhirku dengannya. Bagaimana beberapa bulan kemudian kami terikat dalam sebuah kelompok gila, terikat tanpa sadar oleh seorang ketua yang sama gilanya, Monkey D. Luffy. Sebuah kelompok yang beranggotan 9 orang dengan julukan gang Straw Hat Pirates. Aku percaya, siapa yang tidak mengenal kelompok tersebut di masa itu? Tak ada kurasa.
Kemudian segala sesuatu terasa ' mengalir '. Sampai aku tak bisa memastikan entah sejak kapan seorang Roronoa Zoro menjalin hubungan dengan wanita yang pertama kali ia juluki dengan sebutan ' Kecil '…
Untaian kalimat itu terpaksa membuat dirinya teringat kembali. Sebuah gang bernama Straw Hat Pirates yang menyatukan dia dan Zoro tanpa sadar. Entah bagaimana awalnya, dia dan Sanji tergabung dalam kelompok yang didirikan oleh Monkey D. Luffy—seorang pemuda penuh antusiasme yang rupanya pernah menyeret Sanji di awal masuk universitas. Bersama temannya yang akhirnya Nami kenal bernama Usopp. Dia juga tak tahu bagaimana akhirnya Zoro dan wanita berambut hitam panjang itu—Robin, masuk dalam kelompok tersebut. Kemudian tak lupa dua orang nyentrik yang juga pernah dilihat Nami di perjalanan menuju kampus di hari pertama—Franky dan Brook. Satu lagi dan akhirnya kelompok itu lengkap terdiri dari 9 anggota ditambah seekor cerpelai—tapi Ussop membantah kalau peliharaannya itu adalah rusa kutub berhidung biru—yang ikut bersama mereka.
Nami tak pernah lupa pada mereka. Mereka dari berbagai fakultas yang berbeda dan kepribadian yang berbeda namun dapat disatukan oleh ketua gang yang paling ia hormati sesungguhnya. Sebuah kelompok saksi hubungan tanpa ikrarnya dengan sosok Roronoa Zoro.
AN: Adakah yang mengetahui dua sosok lain dari fandom Naruto di part ini? #bugh. Review?
