Whole New World

Cross Post In Wattpad

-Castella Casper-

NCT Band | Fancfiction | Romance | Friendship | General

Jung Jaehyun | Kim Doyoung

.

.

.

Jaehyun berlari dengan tergesa-gesa di sepanjang koridor lantai tiga Fakultas Ekonomi. Suara langkah kaki brutal dari sepasang kaki berbalut sneakers merah itu terdengar sangat nyaring beradu dengan lantai, menimbulkan gema yang lumayan mengganggu pendengaran. Beberapa kali pemuda putih itu menabrak mahasiswa yang kebetulan ada di jalur larinya dan mendapat sumpah serapah yang tentu saja tidak dia pedulikan sama sekali. Dia ada pertemuan perdana panitia untuk acara dies natalis kampus dan terima kasih pada dosennya yang maha baik dan pemurah itu sekarang dia jadi terlambat.

Dengan kasar dan tidak sabar, tanpa sadar, Jaehyun membuka pintu ruang rapat yang tertutup. Bunyi dentuman yang keras dan tiba-tiba membuat semua orang yang ada di dalam sana menoleh, memperhatikan pemuda pucat dengan wajah ngos-ngosan dan keringat sebesar biji jagung yang mengalir deras di permukaan wajahnya, sementara tubuhnya masih berada di ambang pintu, membungkuk dan sedang berusaha mengatur napas.

Merasa diperhatikan, Jaehyun segera menegakkan tubuhnya dan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Err~maaf aku terlambat," ujarnya tidak enak disertai cengiran polosnya. Masalahnya hampir semua yang ada di ruangan ini adalah seniornya, hanya dia dan dua orang lain yang masih berada di tahun pertama. Tentu saja Jaehyun merasa tidak enak dan malu diperhatikan seisi ruangan.

"Rapat jadi tertunda gara-gara menunggumu. Kalau baru rapat hari pertama saja kau sudah terlambat, bagaimana yang selanjutnya?"

Suara dengan nada dingin dan sarkastis itu membuat seisi ruangan termasuk Jaehyun menatap ke depan. Seorang pemuda berambut hitam legam sedang berdiri menantang dan menatap lurus-lurus bola mata almond Jaehyun. Wajahnya yang manis mirip kelinci itu terlihat dingin tanpa ekspresi, membuat Jaehyun segan tapi juga dongkol dikatai seperti itu, terlebih dia baru terlambat sepuluh menit, dan lagi pula tidak ada yang meminta mereka menunggu Jaehyun untuk memulai rapat, toh dia hanya anggota biasa, kenapa seakan-akan dia sudah membuat sebuah dosa besar?

"Kalau tidak niat ikut kepanitiaan tidak usah ikut hanya demi popularitas. Mengganggu saja!"

Jaehyun mengeratkan kepalan tangannya, mulutnya terkatup rapat dengan gigi yang gemeretak. Harga dirinya baru saja dijatuhkan dan tatapan meremehkan itu benar-benar membuatnya marah. Jaehyun mendaftar menjadi panitia karena acara dies natalis ini adalah acara besar, kalau dia berhasil menjadi panitia dia akan mendapat sertifikat dengan empat poin dan dia tidak perlu repot mencari sertifikat kepanitiaan lagi sebagai syarat kelulusan. Tapi niatnya malah disalahartikan oleh seniornya itu. Dan apa katanya tadi? Mengganggu? Yang benar saja!

Dan lagi, senior itu memarahinya di depan semua anggota panitia yang jumlahnya hampir lima puluh orang. Jaehyun yang sudah malu karena datang terlambat jadi semakin malu dan marah, dia jadi keki. Harga dirinya seperti baru saja dijatuhkan dan diinjak. Image-nya jadi buruk sekarang.

"Sudah, sudah! Jaehyun duduklah dan kita segera mulai rapatnya." Lerai Taeil memecah keheningan mendadak yang terjadi di aula, membuat Jaehyun membatalkan niatnya untuk membalas kata-kata sarkas si senior.

Jaehyun membungkukkan badannya sebagai tanda terimakasih dan dalam diam segera duduk di kursi paling belakang dekat Johnny, sepupunya yang kebetulan juga termasuk dalam jajaran panitia inti. Sambil bergumam tidak jelas dan muka ditekuk pemuda tinggi itu segera duduk dan meletakkan ranselnya di lantai samping meja dengan agak kasar, tanda dia masih kesal.

"Sudah Jae, tidak usah dipikirkan," kata Johnny sambil menepuk pundak Jaehyun.

"Orang itu menyebalkan, Hyung. Manis-manis tapi galak sekali," omel Jaehyun setengah berbisik sementara Johnny sudah tertawa pelan.

"Doyoung memang begitu. Disiplin dan tegas, kadang memang sedikit berlebihan."

"Sangat berlebihan!" Koreksi Jaehyun. "Seperti aku sudah melakukan kesalahan fatal saja,"

"Sebenarnya dia baik, hanya saja keadaan mengubahnya jadi seperti itu."

Jaehyun segera menolahkan kepalanya, ditatapnya Johnny yang sedang sibuk mencatat penjelasan Taeil dengan pandangan bertanya. "Baik apanya? Galak seperti induk ayam kehilangan anaknya begitu tidak ada baik-baiknya sama sekali!"

Johnny hanya terkekeh saja. Jaehyun itu badannya saja yang besar, tapi dia masih sering mengomel dengan wajah ditekuk mirip anak kecil tidak diberi permen, seperti sekarang ini.

"Nanti ku beri tahu siapa itu seorang Kim Doyoung."

"Nope, thanks. Aku tidak butuh info apa-apa soal senior galak itu," tolak Jaehyun mantap yang hanya dibalas gidikan bahu tidak peduli oleh Johnny.

.

.

.

"Jadi, dia siapa, Hyung?"

Johnny yang sedang mengunyah burgernya menoleh, menatap pada Jaehyun yang menatapnya penasaran. Ditelannya burger dalam mulutnya dengan sedikit susah payah sebelum berkata, "Tadi katanya 'nope', kenapa sekarang bertanya?"

"Penasaran, ku rasa,"

Johnny mengernyit dengan jawaban yang serasa menggantung itu. Dia tahu Jaehyun bukan anak dengan rasa ingin tahu yang besar jika itu menyangkut hidup orang lain. Tadi juga dia hanya iseng menawarkan, toh dia juga bukan penggosip.

Menyadari sepupunya yang minta penjelasan, Jaehyun kemudian melanjutkan, "Tadi saat ke toilet aku tidak sengaja melihatnya marah-marah pada mahasiswa yang mungkin seangkatan denganku hingga mahasiswa itu pucat pasi, aku rasa dia sudah keterlaluan marah-marah sampai seperti itu. Apa dia memang tempramen atau bagaimana? Dan wajahnya itu, dingin sekali, tanpa ekspresi. Lalu matanya. Matanya bukan jendela dunia, matanya seperti mati, tidak bersinar."

"Sejak kapan kau jadi puitis?"

Jaehyun berdecak sebal kemudian memukul lengan berotot Johnny keras yang dihadiahi erangan protes dari yang punya. "Sakit, Bodoh!"

"Aku sedang serius, Hyung Bodoh!"

"Ya, ya, terserah," Johnny mengibaskan tangannya. "Apa kau sebegitu penasarannya?"

"Ya tidak juga, sih. Aku hanya sekedar ingin tahu saja," jawab Jaehyun sambil mengedikkan bahunya.

"Namanya Doyoung. Kim Doyoung. Mahasiswa jurusan hukum."

Jaehyun sudah mulai pasang telinga untuk mendengarkan cerita yang dia kira pasti akan biasa saja. Senior yang memang galak sedari lahir. Suka marah-marah, dingin, angkuh, sarkas, tidak punya teman, dijauhi kakak tingkat dan ditakuti adik tingkat. Bukankah memang biasanya cerita soal senior yang galak begitu? Tapi lumayanlah untuk bahan obrolan selagi menunggu kelas kuliah berikutnya.

"Tahu Jaksa Kim? Jaksa yang menangani kasus korupsi perusahaan multinasional dan beberapa kasus korupsi pemerintah?"

Jaehyun mengangguk. Sosok jaksa yang dibilang Johnny memang sangat terkenal. Kim Gunmo. Jaksa yang telah banyak menangani kasus terutama korupsi di kalangan eksekutif negara. Kasus yang ditanganinnya selalu selesai, tuntas dan bersih, membuatnya menjadi jaksa yang ditakuti dan dihormati di lingkungan peradilan. Dihormati masyarakat dan ditakuti oleh para tikus berdasi.

"Dia ayah Doyoung."

"Ne?! Serius, Hyung?!"

Johnny hanya mengangguk singkat sambil menyeruput jus apelnya yang sejak tadi dianggurkan. Bahkan balok es di dalamnya sudah sebagian besar mencair, membuat jus itu sedikit hambar.

"Tidak banyak yang tahu memang, aku saja tahu hal ini dari Ten karena dia sahabat Doyoung sejak kecil. Aku dan Taeyong baru mengenalnya saat penerimaan mahasiswa baru, kebetulan dia adalah salah satu anak dalam kelompok yang aku bimbing."

"Aku baru tahu kalau Ten hyung sahabat Kim Doyoung,"

"Memang tidak banyak yang tahu soal itu juga. Mereka jarang terlihat bersama di kampus. Tapi percayalah mereka itu dekat sekali,"

Wow! Ini sungguh sangat mengejutkan bagi Jaehyun. Siapa sangka ada anak Kim Gunmo yang berkuliah di universitas yang sama dengannya? Dan sepertinya hal ini memang sengaja dirahasiakan karena hanya beberapa orang saja yang tahu. Tidak mengherankan sebenarnya karena Kim Gunmo memang dikenal sebagai jaksa yang sangat tertutup soal kehidupan pribadinya. Bahkan siapa istrinya saja tidak banyak yang tahu, begitu pula dengan anaknya dan anggota keluarganya yang lain.

"Itu juga yang membuat Doyoung berubah."

Untuk kali ini Jaehyun benar-benar memfokuskan atensinya pada Johnny. Rasa penasarannya setingkat lebih tinggi dari yang tadi.

"Maksudnya?"

"Dulu Doyoung tidak pendiam dan dingin seperti sekarang. Dia anak yang baik, periang, ramah dan sangat cerewet. Tapi aturan ayahnya membuatnya kehilangan itu semua."

"Biar ku tebak, ayahnya pasti terlalu mengekang dengan segudang aturan dan melarang melakukan hal yang disukainya, kemudian membuatnya melakukan apapun keinginan ayahnya, seolah keinginan itu adalah perintah mutlak. Lama kelamaan dia menyerah dengan semua itu dan berakhir seperti sekarang. Klasik."

Benar kata Jaehyun. Ini adalah masalah klasik yang dihadapi hampir setiap anak dengan orang tua kaya dan sukses. Ah! Tidak hanya yang kaya dan sukses saja sebenarnya, karena orang tua dengan tingkat kekeraskepalaan mengalahkan batu bisa berasal dari kalangan mana saja.

Mereka ingin anak-anak mereka menjadi seperti mereka, meneruskan perusahaan atau memiliki profesi yang sama, atau profesi bonafit lainnya yang sering kali memaksa otak bekerja lebih keras di bawah tekanan , meskipun sang anak memiliki keinginan dan impiannya sendiri. Mereka terlalu keras kepala dan menutup mata rapat-rapat, tidak mau melihat hal itu dan menganggap bahwa jalan yang dipilih oleh anak ingusan di usia muda bukanlah pilihan yang bijak dan hanya mendetangkan kesenangan di awal saja, sementara di hari tua mereka akan sengsara karena tidak memiliki harta simpanan, deposito misalnya, atau berlembar-lembar saham di perusahaan asing dengan aset melimpah. Karena itu mereka pikir pilihan mereka akan lebih menjamin masa depan anak-anak mereka.

Belum prestis dan harga diri yang harus dijunjung tinggi. Menjadi sosok sempurna setiap saat selayaknya anak bangsawan yang baik. Dengan nilai sempurna dan kelakuan yang begitu tertata. Sehingga orang tua mereka tidak akan malu ketika harus menceritakan segudang prestasi dan sederet angka sempurna di laporan hasil belajar putra mereka kepada para kolega di pertemuan rutin yang dilakukan oleh kalangan mereka sendiri. Tanpa tahu bahwa semua itu membawa kecewa dan luka, rasa takut, sedih, tertekan, hingga depresi kepada anak-anak yang kebanyakan masih terlalu kecil untuk mengerti semua itu. Tanpa mereka sadari, mereka telah menghancurkan mimpi indah yang sedang dibangun anak mereka menjadi serpihan kecil yang bahkan akan sangat sulit untuk dilihat apalagi disatukan kembali. Merekalah yang justru telah merenggut kebahagiaan dari hidup anak-anak mereka sejak dini dengan dalih kehidupan yang lebih baik kelak.

Tentu saja semua orang tua ingin yang terbaik untuk putra-putri mereka. Hanya saja terkadang cara mereka dalam menunjukkan keinginan itu salah, salah besar. Cara yang salah itu telah merenggut semua kebahagiaan masa kecil yang seharusnya menjadi kenangan indah, bukan memori kelabu yang hanya akan terlapisi debu.

Jaehyun tahu benar semua itu karena dia adalah salah satunya. Tapi paling tidak orang tuanya masih mau mendengarkan Jaehyun, memberinya pilihan untuk hidupnya dan membuatnya bertanggung jawab pada pilihannya.

"Ya, dan ayahnya benar-benar melakukan itu dengan baik. Sejak kecil Doyoung sudah dididik untuk menjadi seorang jaksa seperti ayahnya. Doyoung menjalani private school dan dilarang keluar rumah tanpa pengawasan, karenanya dia jadi tidak punya teman kecuali Ten. Ayahnya juga melarangnya bersenang-senang. Kau tahu? Game, taman hiburan, musik, hal-hal kecil seperti itu."

"Ku pikir ayahnya terlalu berlebihan. Tapi pada dasarnya orang tua yang setipe dengan Jaksa Kim memang sama saja, hanya lebih buruk atau tidak saja yang membedakan," komentar Jaehyun yang diangguki setuju oleh Johnny.

.

.

.

Jaehyun berjalan cepat melewati koridor belakang gedung rektorat, berlomba dengan awan kelabu yang siap memuntahkan muatannya. Jaraknya yang lumayan jauh - terpisah oleh taman kampus dan lapangan parkir khusus dosen, membuat dia harus memutari area selatan kampus dengan mobil - dari Fakultas Ekonomi membuat Jaehyun dan teman-teman sejurusannya malas ke gedung rektorat jika tidak ada urusan penting. Masalahnya adalah sekarang dia punya urusan, dan itu penting! Terpaksa dia mengunjungi gedung yang jaraknya maha jauh itu.

Bangunan bercat putih gading itu memiliki lima lantai, di mana di salah satu lantainya, yaitu lantai tiga digunakan full untuk perpustakaan. Memang tidak seluas gedung perpustakaan pusat yang jaraknya hanya terpisah jalan setapak di depan sana, juga tentunya kalah lengkap, tetapi di perpustakaan gedung rektorat ini disimpan banyak ensiklopedia. Mulai dari ensiklopedia populer kedokteran hingga yang klasik seperti filsafat dan sejarah. Semua lengkap, bahkan yang sudah tua dan langka pun ada. Karena itu Jaehyun mengunjunginya. Dia butuh meminjam kumpulan naskah perkembangan ekonomi untuk makalah di mana dia menggantungkan sepertiga nilainya semester ini pada makalah itu.

Saat akan menaiki tangga menuju lantai dua, lift di gedung ini sedang dalam perbaikan, tanpa sengaja almondnya melihat pemandangan yang tak biasa hingga membuat kakinya kembali melangkah mundur menuruni tangga secara perlahan. Di sana, di ujung lain koridor yang agak tersembunyi, ada seseorang yang berjongkok di depan sebuah kardus lusuh berukuran sedang. Matanya menatap lembut objek, entah apa di dalamnya, dengan senyuman yang mengembang.

Jaehyun tidak akan tertarik jika saja itu orang lain. Sayangnya orang yang sedang dia perhatikan itu adalah Kim Doyoung. Seniornya yang menyebalkan dan mengatainya pengganggu tempo hari. Kim Doyoung yang sedang dia lihat sekarang bukanlah Kim Doyoung yang dia lihat di ruang rapat. Benar-benar berbeda!

Jaehyun masih ingat mata bulat bening yang menatapnya dingin tanpa ekspresi dua hari lalu. Sama sekali tidak memancarkan emosi. Wajah datar dengan gestur arogan yang menyebalkan. Tapi semua itu tidak Jaehyun temukan saat ini. Ketika dengan senyuman hangat dan mata berbinar Kim Doyoung menggendong dengan hati-hati dua ekor anak kucing di lengannya yang terbalut sweater. Memeluk mereka dan menciumi dua kepala yang bergerak-gerak menggemaskan itu perlahan, seakan kedua anak kucing itu sangat berharga.

"Aku ingin sekali membawa kalian pulang dan merawat kalian dengan baik, tapi abeoji pasti akan memarahiku jika tahu aku membawa kalian,"

Dari jarak yang hanya terpaut beberapa langkah darinya, Jaehyun bisa mendengar kalimat yang diucapkan dengan nada sedih dan menyesal itu.

Kemudian dengan hati-hati Doyoung menaruh kembali kedua anak kucing berbulu coklat terang itu ke dalam kardus. Mahasiswa fakultas hukum itu mulai melepas sweater birunya dan menjadikannya penutup kardus. Berharap itu bisa menghalau angin dingin karena sebentar lagi akan turun hujan.

"Maaf," ucapnya pelan. "Aku harus pergi. Tetaplah hangat dan menjaga satu sama lain. Aku akan datang lagi besok." Dengan elusan terakhir di masing-masing kepala mungil berbulu lembut itu, Doyoung beranjak, berjalan pada arah yang berlawanan dan menghilang di tikungan.

Jaehyun masih terdiam, berusaha mencerna kejadian mengejutkan barusan. Hingga beberapa detik kemudian dia akhirnya bergerak. Jaehyun tidak tahu apa yang merasukinya karena tanpa disadarinya sekarang dia tengah membawa kardus berisikan dua anak kucing yang tertutup sweater biru menuju mobilnya yang terparkir di parkiran belakang gedung rektorat yang biasanya digunakan oleh anak Fakultas Hubungan Internasional, mengingat hanya mereka yang tidak punya lahan parkir sendiri. Ah! Dia lupa dengan tujuan awalnya mendatangi gedung rektorat. Tapi ya sudahlah, toh dia bisa meminjam buku itu besok pagi. Lagipula ini sudah terlalu sore, perpustakaan rektorat pasti juga akan tutup sebentar lagi.

.

.

.

"Emmm, jadi guys, kita akan melakukan apa?"

Katakan Jaehyun bodoh, dan agak kurang waras, karena dirinya baru saja berbicara pada dua ekor anak kucing yang sedang terduduk di ranjangnya. Dan tentu saja dia tidak mendapatkan jawaban. Sekarang dua, maksudnya tiga makhluk, berbeda spesies itu malah saling tatap dengan begitu intens.

"Baiklah, sepertinya aku mulai gila." Jaehyun bergegas berdiri dari posisinya yang duduk di ranjang dan berjalan menuju ke pintu kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.

"Aku akan mandi, dan kalian-" Jaehyun berbalik, telunjuknya menunjuk dua anak kucing yang sekarang sedang saling berpelukan, berguling dan mencoba menggigit telinga satu sama lain di atas bad cover tebal yang hangat. Menggemaskan!

"-tetaplah diam dan jadi anak baik. Pastikan kalian tetap hidup dan utuh saat aku selesai."

Jaehyun baru saja selesai mandi dan memindahkan dua anak kucing barunya ke keranjang tidur. Itu sebenarnya keranjang buah milik ibunya yang dia ubah jadi tempat tidur sementara anak kucingnya dan dialasi selimut tebal. Setelah memastikan kedua makhluk berbulu itu tidur, dihampirinya meja belajar di depan tempat tidurnya dan mengambil tas kamera hitam yang dia letakkan di laci paling bawah. Memeriksa beberapa foto di dalam memory card-nya yang dia ambil minggu lalu saat berjalan-jalan ke Busan. Senyuman selalu terkembang saat Jaehyun melihat hasil bidikannya yang menurutnya memuaskan.

Tapi senyum itu hilang saat bayangan Kim Doyoung melintasi otaknya. Jaehyun tidak mengerti mengapa wajah itu bisa mendadak mampir di pikirannya. Mungkin karena hari ini dia melihat sisi yang berbeda dari Kim Doyoung. Hingga tanpa sadar matanya kini menatap dua ekor anak kucing yang sudah membentuk bola bulu di sudut ruangan.

Jaehyun seharusnya tidak perlu memikirkannya. Tapi senyuman yang baru pertama kali Jaehyun lihat benar-benar mengganggunya. Bukankah senyum itu yang seharusnya menghiasi wajah Doyoung? Bukanya bibir tipis yang selalu terkatup rapat, membentuk garis lurus tipis yang membuat orang mundur secara perlahan. Jaehyun sadar Doyoung telah membangun benteng yang tinggi dan tebal tanpa celah di sekelilinya.

Jaehyun juga lahir dengan orang tua yang memiliki pemikiran kolot seperti orang tua Doyoung. Ayahnya sangat ingin Jaehyun meneruskan perusahaan keluarga mereka yang sedang dalam masa gemilang, berharap Jaehyun akan bisa membuat perusahaan multinasional itu menjadi perusahaan internasional di bawah pimpinannya kelak. Jaehyun kira itu berlebihan karena dia bahkan baru berusia sembilan tahun saat ayahnya memberitahukan keinginan itu. Saat itu Jaehyun hanya menganggguk tapi lama kelamaan dia tahu apa yang dia mau. Apa yang dia sukai, dan ingin menjadi orang seperti apa dia kelak. Jaehyun sudah memiliki bayangan akan menjalani kehidupan yang seperti apa saat dia dewasa nanti, dan tentu saja itu jauh dari keinginan ayahnya.

Ayahnya menolak, tentu saja, memangnya apa yang Jaehyun harapkan? Tapi Jaehyun berusaha meyakinkan ayahnya bahwa dia akan baik-baik saja. Meskipun pada akhirnya ayahnya tetap tidak mengijinkannya menjadi seorang fotografer profesional seperti impiannya, paling tidak pria yang sangat dia hormati itu masih memberi kelonggaran pada Jaehyun, sehingga dia masih bisa melakukan hobi dan passionnya.

Satu hal yang begitu disyukuri Jaehyun, bahwa ayahnya adalah orang sangat bijak dan tidak serta merta memaksakan kehendaknya begitu saja tanpa memikirkan perasaan Jaehyun.

Jaehyun masih ingat saat dirinya harus bersekolah ke Amerika, meninggalkan semua teman-temannya di Korea untuk pendidikan yang lebih baik, yang akan menunjangnya menjadi seorang pemimpin perusahaan besar. Saat itu ayahnya memberiknnya hadiah sebuah kamera digital single lens reflex (DSLR) keluaran terbaru, kamera yang masih dia simpan hingga sekarang.

Ayahnya mengatakan bahwa Jaehyun bisa memotret sebanyaknyak-banyaknya, memenuhi semua memory card, memory external-nya dengan berbagai foto yang menakjubkan. Jaehyun boleh berkeliling, berjalan-jalan kemanapun untuk memuaskan keinginannya dalam mengabadikan setiap objek dan momen berharga dalam bidikan kamera. Tapi ayahnya juga membuat Jaehyun berjanji akan selalu menjadi anak yang rajin. Dengan nilai yang baik dan akan menjadi pemimpin yang baik juga kelak untuk perusahaan mereka.

Kamera itu sangat berharga. Benda hitam beresolusi tinggi itu selalu mengingatkan Jaehyun pada tanggung jawabnya. Ayahnnya mengijinkannya memotret, maka biarkan dia belajar dan secara perlahan mewujudkan impian ayahnya sebagai ganti keberuntungan yang telah didapatkannya. Kamera itu adalah sebuat remainder untuk Jaehyun.

Jaehyun menghela napas. Tidak semua anak seberuntung dirinya. Kemudian seperti teringat sesuatu diambilnya sebuah album foto di laci paling bawah meja belajarnya. Album berwarna biru langit dengan tulisan besar 'East Asia' yang terpampang pada sampulnya. Album berisi foto-foto hasil bidikan Jaehyun di beberapa negara Asia Timur seperti Taiwan, Hongkong, Jepang, dan Mongolia. Jaehyun punya lebih dari sepuluh album seperti ini. Album berisi semua foto hasil jepretannya yang kemudian dia cetak dan ditempelkan pada album yang diberi judul sesuai wilayahnya.

Kecintaannya pada fotografi kemudian membuatnya juga menjadi seorang traveler, sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh Jaehyun sebelumnya. Mengunjungi negara-negara di berbagai belahan dunia, bertemu dengan orang baru, belajar hal dan budaya baru, dan mengabadikan semua keindahan itu dengan kameranya. Keindahan yang selalu berhasil membuat seorang Jung Jaehyun bertekuk lutut dan bersyukur atas apa yang dimilikinya sekarang. Tentang betapa baiknya Tuhan yang telah memberinya banyak kebahagiaan, keberuntungan dan kesempatan. Membuatnya berpikir luas tentang impian dan tanggung jawabnya. Tentang kahidupannya yang dia rasa berat. Tapi Jaehyun selalu kembali tersadar bahwa Tuhan tidak pernah benar-benar membuatnya menderita, selalu ada hal-hal kecil yang membuatnya tersenyum dan dia seharusnya lebih berterimakasih karena hal itu. Dan Jaehyun, entah mengapa, ingin membagi rasa syukur itu dengan Kim Doyoung.

.

.

.

Hari in Jaehyun merelakan waktu tidurnya terpotong demi datang ke kampusnya pagi-pagi sekali. Dia belum mendapat buku ensiklopedia untuk makalahnya, ngomong-ngomong. Tapi tujuan utamanya bukan itu. Dengan segala kerendahan hati, seorang Jung Jaehyun sekarang tengah berdiri di depan salah satu pintu ruangan di Fakultas Hukum. Pintu itu masih tertutup rapat, menandakan perkuliahan di dalamnya masih berlangsung.

Jaehyun segera memasukkan kembali ponselnya ke saku celana jeans saat didengarnya pintu ruangan terbuka. Tak berapa lama dosen keluar dari ruangan itu diikuti oleh para mahasiswa yang berbondong keluar sambil berbincang. Di bagian paling belakang rombongan itu dan orang yang sejak tadi Jaehyun tunggu muncul sambil memeluk diktat tebal khas anak hukum.

"Doyoung Sunbae-nim!"

Pemuda kurus berbalut kemeja dan cardigan itu menoleh. Masih dengan wajah dingin tanpa ekspresinya dia menatap ke arah Jaehyun.

"Annyeonghaseyo, Sunbae-nim," sapa Jaehyun berusaha seramah dan sesopan mungkin. Senyuman manis, yang canggung, menghiasi bibirnya.

"Ada apa? Kalau tidak penting sebaiknya menyingkir."

Jaehyun mendadak kesal. Sepertinya mulut seniornya ini memang tidak punya filter, pantas saja banyak yang segan padanya. Baru mendekat saja dia sudah menyalak dengan galak.

"Ah, ini penting, aku-"

"Kalau begitu cepat! Kau membuang waktuku, Bocah."

"Sialan!" Akhirnya Jaehyun mengumpati seniornya itu. Dalam hati tentu saja. Mana berani dia mengumpat langsung.

Dengan senyum yang semakin kaku Jaehyun melanjutkan kalimatnya yang dipotong dengan sangat tidak sopan. "Aku hanya ingin mengembalikan ini,"

"Dari mana kau dapat sweaterku?" kedua alis Doyoung bertaut saat dia mengambil benda di dalam paper bag yang tadi disodorkan Jaehyun.

"Di koridor belakang rektorat. Sebenarnya aku juga menemukan peliharaanmu,"

Jaehyun tersenyum kecil, kali ini tidak dipaksakan, saat dia melihat akhirnya ada eksprsi lain dari wajah sedatar tembok di samping mereka meskipun hanya untuk sepersekian detik saja. "Anak kucing yang kau selimuti dengan sweatermu."

.

.

.

"Jadi, mau sunbae-nim apakan mereka?"

Doyoung menatap Jaehyun yang duduk di sampinya. Tangannya masih sibuk mengelusi kepala anak kucing di pangkuannya, anak kucing yang satu ada di pangkuan Jaehyun, juga sedang dielus kepalanya. Kemudian dia menggeleng, tanda tidak tahu, membuat Jaehyun menghela napas.

"Aku tidak mungkin membawanya pulang karena abeoji tidak akan mengijnkan,"

"Aku tahu," batin Jaehyun.

"Aku juga tidak bisa merawat mereka karena ibuku alergi bulu hewan," timpal Jaehyun.

"Lalu, bagaimana?" Doyoung kembali menatap Jaehyun.

"Ya sudah, kita bawa saja ke tempat penampungan hewan," putus Jaehyun akhirnya yang hanya diangguki secara singkat oleh Doyoung. Karena memang mereka tidak punya pilian lain. Ada, sih, sebenarnya. Menitipkannya pada Johnny misalnya. Tapi menitipkan dua makhluk menggemaskan yang usianya baru seminggu pada Johnny bukanlah pilihan tepat karena Jaehyun yakin kedua anak kucing itu akan langsung mati di lima detik pertama Johnny memegangnya.

Jadi mereka berdua, dengan mobil Jaehyun, menuju ke tempat penampungan hewan yang berada di dekat kampus mereka. Perjalanan itu tentu saja tidak diisi dengan obrolan. Hanya suara mesin mobil dan suara anak kucing yang mengeong yang terdengar. Lagi pula keduanya memang tidak ingin berbicara.

"Apa mereka akan baik-baik saja?"

Jaehyun menoleh, menatap Doyoung sebentar sebelum menjawab, "Tentu saja. Aku pikir mereka akan lebih baik di sini. Mereka akan dirawat dan dijaga dengan baik sampai ada yang mengadopsi mereka."

Doyoung mengangguk singkat. "Terimakasih sudah menolong mereka,"

Jaehyun hanya mengagguk singkat, dan kemudian hening. Mereka hanya berdiri di samping mobil Jaehyun sambil menatap bangunan bercat coklat susu di depan sana. Jujur saja Jaehyun tidak tahu harus berbicara apa agar suasana tidak sepi seperti ini. Dia benar-benar tidak punya topik bahasan. Dan keheningan itu masih berlangsung sampai ponsel Doyoung berbunyi.

Tanpa repot-repot meminta izin, pemuda itu mengangkat teleponnya dan berjalan menjauhi Jaehyun. Tapi toh Jaehyun cuek saja, dia sudah menerima perlakuan lebih tidak enak dari pada sekedar ditinggal mengangkat telpon begitu saja.

"Siapa namamu?" tanya Doyoung tiba-tiba saat dirinya sudah kembali dari acara menelepon yang singkat dan berdiri di samping Jaehyun.

"Namaku Jung Jaehyun. Ada apa?"

"Ten baru saja menelponku, katanya ada rapat mendadak untuk panitia inti dies natalis, jadi bisakah kau mengantarku ke kampus lagi, Jaehyun-ssi?"

Tanpa suara Jaehyun mengangguk, dan keduanya segera memasuki mobil. Perjalanan dalam diam kembali terjadi. Ditemani suara musik yang mengalun samar-samar dari radio mobil Jaehyun. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing dan masa bodoh dengan orang di sebelahnya.

.

.

.

Taeil, Taeyong, Johnny dan Ten menatap Jaehyun dan Doyoung dengan pandangan bertanya. Tentu saja akan menjadi suatu hal yang mengherankan ketika seorang penyendiri seperti Kim Doyoung datang ke ruang rapat dengan Jaehyun, apalagi Jaehyun itu bukan bagian dari panitia inti.

"Aku tadi bilang hanya panitia inti yang datang, loh," komentar Ten saat melihat keduanya memasuki ruang Sekretariat Senat.

"Sekalian, Hyung. Lagi pula aku tidak akan mengganggu, kok. Bolehkan, Taeil Hyung?" balas Jaehyun santai. Sebenarnya dia hanya malas kembali ke fakultasnya karena jarak ruang Sekretariat Senat, yang terletak di gedung pertemuan dan aula utama kampus sangatlah jauh dari fakultasnya bahkan dengan menggunakan mobil. Dia harus memutari gedung pertemuan yang menjadi satu kompleks dengan Fakultas Kedokteran dan rumah sakit umum swasta milik universitasnya. Dan permintaan itu dibalas dengan anggukan singkat dari Taeil, toh Jaehyun juga merupakan panitia.

"Kalian habis pergi bersama?"

Jaehyun mengangguk, sementara Doyoung memilih untuk bungkam. Bukan pertanyaan penting yang memerlukan jawaban menurutnya.

"Wuaaaaah! Kau berhutang penjelasan padaku, Kim!" Ten menunjuk Doyoung dengan wajah heboh berlebihan. Hei, siapa juga yang tidak terkejut? Sejak kapan sahabat kecilnya ini diperbolehkan dan mau pergi dengan orang asing?

"Terserah," gumam Doyoung malas. "Apa kita hanya akan duduk dan mengobrol tanpa membahas apapun?"

"Ah, iya, aku sampai lupa!" seru Taeil. "Ja, kita mulai rapatnya!"

"Begini, aku baru saja mendapat laporan dari Taehyung kalau perusahaan Yohsan menolak proposal sponsor acara kita dan kalian tahu itu artinya kita dalam masalah," mulai Taeil dengan wajah serius dan rasa gusar yang terpancar dari bola mata lembutnya.

"Dana kita tidak akan cukup." Taeyong menanggapi diiringi helaan napas berat.

"Kenapa ditolak? Bukanya di tahun-tahun sebelumnya mereka selalu menjadi sponsor utama untuk acara-acara di kampus kita, terutama acara besar?" tanya Ten dengan dahi berkerut.

Selama lebih dari lima tahun perusahaan besar yang bergerak dalam bidang asuransi keuangan dan perbankan itu selalu menjadi sponsor terbesar di acara kampus mereka. Tidak hanya acara besar, acara kecil seperti malam keakraban tiap fakultas saja mereka berani sponsori, sangat aneh bila mendadak mereka menolak menjadi sponsor, apalagi ini merupakan acara besar universitas.

"Yang aku dengar dari Taehyung, mereka baru saja melakukan pergantian CEO utama dan dengan itu banyak dewan komisarisnya yang diganti. Mereka tidak lagi menerima proposal untuk sponsor maupun partner acara jika itu bukan dari acara dengan tema bisnis atau job fair." Taeil menjelaskan secara singkat masalah mereka. Dan ini merupakan masalah besar.

"Apa tidak bisa dilobi lagi?" tanya Doyoung.

"Aku sendiri tidak yakin. Tapi anak-anak danus sudah menyerah soal ini. Sekarang pilihan kita tinggal tetap berusaha mendapatkan perusahaan Yohsan atau mencari sponsor lain." Taeil memijat pelipisnya pelan. Kepalanya mendadak pening memikirkan kehilangan lebih dari lima puluh persen dana untuk acaranya.

"Menurutku kita tetap harus mendapatkan dana sponsor dari Yohsan, Hyung. Waktu kita tidak memungkin kan untuk mencari sponsor lain karena jumlah dana yang terlalu besar."

"Lalu bagaimana caranya kita melobi mereka, Youngho-yah?" tanya Taeyong.

"Yah! Jaehyun-ah!" bukannya menjawab pertanyaan dari Taeyong, Johnny malah memanggil Jaehyun yang sejak tadi sibuk bermain ponsel di sudut ruangan, sama sekali tidak peduli dengan bahasan rapat. Mobile Lagend lebih penting!

"Waeyo, Hyung?" tanya Jaehyun setelah mem-pause game-nya.

"Bisakah kau melobikan perusahaan Yohsan agar mau menerima proposal acara kita?"

"Untuk apa minta tolong pada bocah ini?" tanya Doyoung dengan telunjuk rampingnya yang sudah menunjuk batang hidung Jaehyun, meremehkannya tanpa ampun.

"Aku dimintai tolong bukan tanpa alasan, loh, Sunbae-nim," balas Jaehyun, tidak, dia tidak mau harga dirinya diinjak lagi kali ini. Sunbaenya ini harus tau siapa yang barusan dia sebut 'bocah'.

"Aku rasa tidak ada salahnya membiarkan Jaehyun mencobanya. Dia sudah sering melakukan lobi seperti ini," komentar Taeyong yang sejak tadi hanya diam. Dan hal itu juga diangguki oleh Johnny dan Ten. Mereka tahu kalau Jaehyun sudah sering melakukan presentasi untuk memenangkan tender di perusahaan cabang milik ayahnya. Meski hanya tender kecil yang nilainya belum seberapa, tapi Jaehyun yang sudah melakukannya berkali-kali pasti lebih mahir dari pada mereka.

"Ck! Aku tidak tanggung jawab kalau bocah ini mengacaukan semuanya,"

"Berhenti memanggilku bocah, Sunbae-nim! Kita hanya beda satu tahun," sela Jaehyun dengan nada sebal. Dia sudah dewasa, dia bahkan sudah mendapatkan surat izin mengemudi dan sudah boleh meminum alkohol hingga mabuk. Jadi secara harafiah dia itu bukan bocah!

"Sudah. Sudah," lerai Taeil. Kalau dibiarkan pertengkaran ini akan makin buruk dan menambah pening di kepalanya.

"Aku akan memberikanmu kesempatan, jadi lakukan dengan baik."

Jaehyun hanya mengangguk dan segera memeriksa berkas proposal yang akan dia presentasikan besok. Dia harus mempelajarinya dengan baik supaya bisa membuat perusahaan Yohsan mau menjadi sponsorship acara mereka. Dan dia bisa membuktikkan kemampuannya di depan seniornya yang begitu galak, dingin, dan angkuh itu.

"Besok pagi pergilah ke perusahaan Yohsan ditemani Doyoung, biar aku yang buatkan janji dengan mereka,"

"Apa? Kenapa harus denganku? Kenapa tidak dengan hyung saja? Ini kan usulmu!" tentu saja protes langsung dikeluarkan oleh Doyoung. Dia tidak suka menemani bocah ingusan dalam mengacauakan sesuatu. Waktunya terlalu berharga.

"Aku sibuk. Lakukan sajalah. Lagipulau kau kan bendaharanya," sahut Johnny. "Ini harusnya jadi tanggung jawabmu."

Jaehyun hanya menyeringai senang saat dilihatnya Doyoung terdiam, tidak lagi menanggapi Johnny. Oh, ternyata kelinci arogan itu bisa dibuat diam juga, pikir Jaehyun senang. Dan sepertinya akan lebih menyenangkan jika Jaehyun juga bisa melakukan itu dengan membuktikan kemampuannya besok.

.

.

.

-End of Part One-

.

.

.

A/N:

Halo, ketemu lagi dengan saya, Castella Casper. Setelah sekian lama vakum dan tidak menulis fanfic lagi, akhirnya dengan banyak pertimbangan saya kembali menulis. Seperti biasa saya menulis dengan coupel kesayangan saya JaeDo. Semoga fanfic saya bisa meramaikan perfanfican JaeDo yang sudah mulai sepi peminat. Buat JaeDo shipper dan para author JaeDo, ayo ramaikan lagi dunia perfanfican JaeDo! ^^

NB. Sorry for typo. Bcs typo is lyfe XD

-Warm Regards-

-Castella Casper-