Judul: Dormiveglia
Penulis: Amariys
Jumlah kata: 2023 kata
Fandom/Characters: Kuroko no Basket/Aomine Daiki, Kise Ryota, Kuroko Tetsuya, Kagami Taiga.
Disclaimer: Kuroko no Basket bukan milik saya.
Rating: R
Summary: Mereka berdua hanyalah para pengecut yang takut atas kesendirian.
A/N: Cerita sampingan yang saya tulis untuk Nanowrimo.
"Kise, kau akan melanjutkan sekolah di Touou."
"EH?! Mana mungkin, Aominecchi! Orangtuaku sudah membicarakan soal Kaijou. Kau tahu mereka akan pindah dari Tokyo dan tim basket Kaijou sangat kuat, karena itu aku juga ingin masuk Kaijou … lagipula, Akashicchi bilang kita tidak boleh bermain di sekolah yang sama, kan?"
"Persetan dengan Akashi," Aomine menggeram. "Kau akan masuk ke Touou, seperti aku. Mengerti?"
"T-tapi, Aominecchi-!" Perkataan Kise terhenti saat Aomine memukul dinding di sebelah wajahnya, membuat kedua mata Kise melebar karena takut. Kise hanya bisa mematung saat Aomine menundukkan kepala, bola mata beriris biru tua Aomine menelisik langsung ke jiwanya. Embusan napas hangat sang pria yang lebih tinggi menggelitik bibir Kise, membuat degup jantungnya tak beraturan.
"Kau akan menuruti semua perkataanku, Kise. Bukankah kau sendiri yang mengatakan kau ini milikku?" Aomine mengulurkan tangan untuk memainkan lingkaran besi kecil yang menandai telinga kiri Kise. Sebuah tanda kepemilikan dari Aomine.
Kise bahkan tak bisa memejamkan mata walaupun ia merasa perih yang sudah sangat ia kenal saat kelenjar lakrimalnya berproduksi melebihi jumlah seharusnya. Seperti dugaannya, jejak air mata tak lama meninggalkan bekas di pipinya, namun tetap Aomine tidak mengalihkan pandangannya. Selalu seperti ini. Kise pun tak pernah bisa berpaling atau bersembunyi dari tatapan Aomine; tatapan yang seolah akan memakan keseluruhan diri Kise hingga habis. Tatapan yang merenggut dan menawan hati serta jiwa Kise.
Di bawah tatapan itu, sungguh tidak ada pilihan lain bagi Kise selain mengangguk menyetujui permintaan—ah, tidak, perintah—Aomine. Lagipula, Kise adalah milik Aomine. Tubuh, jiwa, pikiran, dan keseluruhan dirinya.
xXXx
Siswa-siswi Seirin dikejutkan oleh kehadiran seorang pemuda tampan berambut pirang di depan gerbang sekolah mereka hari itu. Beberapa orang siswi berbisik-bisik kepada teman mereka, sesekali kata 'Kise Ryouta' dan 'model' terdengar dari bibir mereka. Pemuda yang dibicarakan hanya memberikan seulas senyum tipis kepada para siswi yang melirik malu-malu ke arahnya, senyuman yang mampu membuat orang-orang tersipu dan melemas.
"Hm, jadi ini Seirin? Bangunannya benar-benar terlihat masih baru," Kise Ryouta mengamati gedung sekolah yang ada di hadapannya. Kemudian, bibirnya membentuk lengkung senang. "Nah, sekarang tinggal mencari gedung olahraga saja."
Kise berjalan pelan menuju gedung olahraga—setelah sebelumnya menanyakan lokasi gedung tersebut kepada salah seorang siswi dan membuat siswi malang itu nyaris pingsan karena ketampanannya—dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Semakin lama ia berjalan, semakin jelas terdengar suara pantulan bola yang bergema dari dalam ruangan dan suara decit sepatu olahraga yang bergesekkan dengan lantai. Senyum di wajah Kise merekah. Ah, memang mendengar suara orang-orang yang berlatih basket itu sangat menyenangkan.
Setibanya di dalam gedung, Kise bisa melihat para anggota tim basket Seirin sedang berlatih tanding. Seorang pemain berambut merah sedang memegang bola, salah seorang anggota tim lawan dengan sigap menghadangnya. Ada sesuatu yang berbeda dari pria berambut merah itu, sesuatu yang membuat Kise merasa tertarik: aura yang sedikit mirip dengan Aomine.
Kise mengamati dalam diam bagaimana pemain nomor 11 dari tim kuning itu melakukan fake dengan matanya sebelum melakukan dribble cepat melewati sisi kiri pemain lawan. Kise harus mengakui gerakan pemain berambut merah itu terhitung cepat, namun bukan berarti tidak bisa dikejar. Sesuai dugaannya, pemain bertahan tadi dengan segera mengejar posisi lawan dan menghadangnya kembali. Kali ini, nomor 11 melakukan pivot dan quick turning ke kanan sebelum melompat untuk dunk.
Kedua mata Kise melebar. Posisi dunk itu … mirip. Untuk sesaat, bayangan Aomine seolah menindih sosok pemain berambut merah yang baru saja kembali menjejak tanah. Bibir Kise kembali membiaskan senyum. Heh, ini menarik.
Perhatian Kise, sayangnya, teralihkan saat suara seorang siswi membuatnya harus memalingkan pandangan dari lapangan. Kise dengan segera memasang senyum modelnya—sebuah gerakan kontraksi beberapa otot yang tidak memiliki makna apapun. Kise mungkin tidak menyukai perhatian yang diberikan oleh para siswi kepadanya, terutama karena hal itu membuatnya tidak bisa mengamati permainan basket tim Seirin lagi, tapi ia pun tidak cukup tega untuk mengabaikan mereka.
Tidak butuh waktu lama sampai antrean siswi yang meminta tanda tangannya memenuhi gedung olahraga tersebut, suara teriakan dan helaan napas mereka menggantikan bunyi decit sepatu dan pantulan bola yang jauh lebih menyenangkan. Kise menghela napas dalam hati.
"Ah, mou, padahal bukan ini maksudku datang ke sini," Kise tersenyum lemah saat menyadari para pemain Seirin dan seorang siswi yang Kise duga adalah manajer mereka (setelahnya, ia akan terkejut saat mengetahui siswi itu adalah pelatih tim basket Seirin) tengah memandang ke arahnya. Bola mata beriris cokelat madunya beradu pandang dengan manik biru langit Kuroko untuk sesaat, membuat senyuman Kise menjadi sedikit lebih tulus.
"Lama tak berjumpa," Kuroko mengangguk sopan. Tak pernah berubah.
"Ah, ya, sudah lama," Kise membalas sambil menurunkan kertas pemberian siswi yang meminta tandatangannya. Ia kemudian mengalihkan perhatian ke arah siswi-siswi di sekitarnya dan menggaruk kepalanya dengan kikuk. "Aku minta maaf, tapi aku datang ke sini karena suatu urusan, Nona. Aku akan memberikanmu tanda tangan lain kali." Nada suaranya penuh penyesalan, membuat para siswi di sana dengan segera setuju untuk pergi setelah meyakinkan Kise bahwa mereka tidak tersinggung.
Walaupun, sebetulnya Kise tidak peduli dengan perasaan para siswi tersebut.
Setelah semua siswi meninggalkan gedung olahraga sehingga hanya tinggal para anggota tim basket Seirin dan Kise di sana, pria berambut pirang itu akhirnya menghampiri Kuroko. Pemuda berambut biru itu sama sekali tidak berubah. Pikirannya masih sulit ditebak karena wajahnya yang tanpa ekspresi. Tapi, untuk seseorang yang telah mengenal Kuroko sebaik Kise, terlihat jelas ada suatu penyesalan terpancar dari dua manik biru langitnya. Kise mendengus pelan. Percayakan Kuroko untuk melihat menembus topeng yang Kise tunjukkan.
"Maaf sudah mengganggu latihan kalian." Kise berkata dengan sopan kepada seluruh anggota tim basket Seirin. Mereka nampak terkejut melihat Kise di sana dan hal itu dapat dimengerti. Melihat seseorang yang mungkin akan menjadi lawan pertandingan saat latihan bisa menjadi sedikit mencurigakan dan membingungkan.
"Ah, tidak apa-apa. Tapi, ada urusan apa kau ke sini?" Salah seorang pemain berambut hitam dan memakai kacamata bertanya. Dari sifat pria itu yang terlihat terlalu serius, Kise menduga ia adalah kapten tim basket Seirin.
"Ha ha, sebetulnya, karena latihan basket timku berakhir singkat dan aku sudah lama tidak bertemu dengan Kurokocchi, jadi aku pikir kenapa tidak mengunjunginya saja? Lagipula, kami cukup dekat waktu di Teikou dulu."
"Tidak, hubungan kita biasa saja." Kuroko membantah dengan tenang.
"Eeeh, jahatnyaa!"
Sejujurnya, Kise tidak tahu reaksi apa yang ia harapkan dari Kuroko. Memang, dulu mereka termasuk dekat—atau setidaknya, Kise ingin berpikir seperti itu—namun semenjak Kuroko mengundurkan diri dari tim basket Teikou, mereka hampir tidak pernah berbicara lagi. Aomine selalu nampak tidak senang saat Kise bertemu dengan Kuroko dan satu-satunya hal yang ingin Kise lakukan adalah membuat Aomine senang. Terkadang, ia pun mengasihani dirinya sendiri.
Kise baru saja akan melanjutkan percakapannya dengan Kuroko saat suara desing bola membuatnya refleks mengulurkan tangan. Tepat pada waktunya, karena tak sampai sedetik setelahnya bola basket yang dilemparkan oleh pemain berambut merah yang berdiri di sisi lapangan berhenti di tangannya. Terlambat sedikit saja dan bola itu pasti telah menghantam wajah Kise. Teriakan para anggota tim Seirin secara tak langsung memberitahu Kise nama pemain itu. Kagami. Mata Kise menyipit. Ia tidak suka pemuda ini.
"Hei, maaf mengganggu reuni kalian, tapi aku tak percaya kau datang hanya untuk menemui Kuroko. Bagaimana kalau kau sekalian saja bermain melawanku, eh, Nona Cantik?" Kagami menyeringai mengejek ke arah Kise, nada suaranya menantang.
Kilatan kekesalan dapat terlihat di kedua bola mata Kise, namun saat ia berbicara, seulas senyuman telah kembali terlihat di wajahnya. "Mendadak sekali. Tapi … ah, baiklah. Lagipula, aku harus berterimakasih kepadamu karena telah memperlihatkan gerakan yang bagus." Kise melepaskan jas seragamnya dan menggulung lengan kemeja putihnya hingga ke siku. Ia melonggarkan dasinya sebelum masuk ke dalam lapangan. One-on-one dengan Kagami akan menjadi pemanasan yang cukup menyenangkan sebelum ia bertemu dengan Aomine.
Setidaknya, hal itu yang Kise harapkan. Karenanya, mantan small forward Teikou sangat kecewa saat ia dapat menembus pertahanan Kagami dengan mudah dan mencuri nilai dengan gerakan dunk yang ia copy dari Kagami. Kise menatap Kagami yang terduduk di lantai dengan pandangan dingin. Ini terlalu mudah. Kagami bahkan tidak dapat menahan satu pun gerakan Kise. Dibandingkan dengan Aomine, Kagami terlihat seperti anak kecil yang baru mengenal basket—dan mengira dirinya telah semahir profesional. Inikah cahaya yang dipilih Kuroko untuk menggantikan Aomine? Nampaknya Kuroko benar-benar telah putus asa.
"Sudah kuduga, aku tidak bisa membiarkannya begitu saja," Kise mengesah, melepaskan genggamannya dari ring dan mendarat dengan sempurna. Ia berjalan menuju Kuroko, mengabaikan Kagami yang masih terpaku. Tidak ada gunanya memberi bantuan kepada orang yang telah ia kalahkan. "Kalau orang yang kau pilih selemah ini, ternyata memang sebaiknya kau ikut denganku, Kurokocchi. Tim lemah seperti Seirin hanya akan membuat bakatmu menumpul."
"Aku menolak." Kuroko menjawab dengan tegas. "Seirin tidak lemah dan aku telah berjanji kepada Kagami-kun. Kami berdua akan mengalahkan kalian, para kiseki no sedai. Lagipula, aku tak punya keinginan untuk bermain bersama denganmu ataupun Aomine-kun lagi, Kise-kun."
Kise meringis mendengar perkataan Kuroko. Pemuda itu nampak serius dengan ucapannya. Kise tahu Kuroko dan Aomine tidak memiliki hubungan yang baik sampai saat kelulusan, namun ia tak pernah menyangka Kuroko bahkan sudah tak mau lagi bermain bersama Aomine. Bagi Kise, reaksi Kuroko sangat berlebihan, namun Kise tahu tak ada satu orang pun di Teikou yang bisa benar-benar memahami kekecewaan Kuroko kepada sang pemain kunci Teikou.
"Hh, baiklah," Kise tersenyum lemah. "Kalau itu memang keputusanmu, Kurokocchi. Kurasa aku sebaiknya kembali sekarang. Kurokocchi tidak keberatan mengantarku sampai gerbang sekolah, kan?"
Kuroko terdiam untuk beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk menyanggupi. Kise menyengir lebar kemudian mengambil jas seragamnya yang tergeletak begitu saja di lantai. "Terima kasih telah menerimaku di sini, semuanya. Maaf jika aku mengganggu!" pria berambut pirang itu sedikit membungkuk kepada para anggota tim basket Seirin dan melambaikan tangan seraya berjalan keluar dari gedung olahraga dengan Kuroko di sampingnya.
Mereka berjalan diiringi sunyi yang memekakkan telinga. Keheningan biasanya tidak pernah mengganggu Kuroko, namun situasi ini membuatnya tidak nyaman. Kise biasanya selalu punya topik pembicaraan, entah itu mengenai kesehariannya, film yang baru ia tonton, kesibukannya bekerja sebagai model, sampai hasil pertandingan one-on-one dengan Aomine. Pria Gemini itu bisa membuka percakapan dengan tema apapun. Kuroko telah terbiasa mendengar obrolan ringan Kise, karena itu ia merasa canggung dengan keheningan yang menyelimuti mereka.
"Kise-kun, kau … benar-benar memilih Touou." Kuroko akhirnya angkat bicara. Ia menyadari jas seragam yang Kise pakai. Seragam SMA Touou, bukan Kaijou. Padahal, dulu Kise mengaku ingin melanjutkan sekolah di Kaijou, walaupun sekolah itu berada di luar Tokyo.
"Ah, yah …" Kise tertawa lemah. "Kau tahu aku tidak akan pernah bisa menolak permintaan Aominecchi." Jemari Kise secara spontan menyentuh lingkaran kecil di telinga kirinya, mengambil kenyamanan dari dingin besi yang menyentuh kulitnya. Selama anting itu masih ia gunakan, Aomine akan tetap memiliki kuasa penuh atas diri Kise, tapi itu juga berarti sebagian diri Aomine adalah milik Kise.
Kuroko menatap mantan rekan satu timnya sebelum mengalihkan pandangan. Kedua tangan Kuroko terkepal erat. Ia tahu Kise terus-menerus menahan diri demi Aomine dan itu membuatnya semakin marah. Mereka mungkin bukanlah teman dekat, tapi Kuroko tidak pernah mau melihat pria seperti Kise dipermainkan oleh Aomine. "Kau bukan peliharaannya, Kise-kun," kesedihan menyelusup ke dalam nada suara Kuroko. "Kau manusia yang memiliki hak untuk memilih. Tak seharusnya kau mengikuti seluruh permintaannya seperti ini."
Kise mengerjap tidak percaya mendengar perkataan Kuroko. Ia tak pernah menyangka sang bayangan akan mengkhawatirkannya seperti ini. Kise terlalu terkejut, sampai-sampai ia tak bisa berkata apa-apa untuk beberapa saat. Lalu rasa hangat yang ia kenal kembali muncul, berpusat di dadanya dan menyebar ke seluruh tubuh. Produksi serotonin di dalam dirinya seolah meningkat, sehingga Kise tidak bisa menahan senyuman lebar yang muncul begitu saja di wajahnya.
"Kurokocchi! Aku tahu kau peduli padaku!" Kise, yang terlalu gembira, memeluk Kuroko dengan sangat erat, membuat pemuda yang lebih kecil itu sulit untuk bernapas. "Ah, kalau Kurokocchi juga masuk Touou, aku akan bisa melakukan ini setiap hari. Kurokocchi benar-benar nyaman untuk dipeluk, seperti boneka!"
"Lepaskan aku, Kise-kun." Mata Kuroko memicing, membuat Kise segera melepaskan pelukannya seolah terbakar. Ekspresi Kuroko hanya akan benar-benar berubah saat ia sangat kesal dan Kise tidak ingin membuat Kuroko terlalu kesal.
"Ah, maaf, maaf!" Kise menangkupkan kedua tangannya di depan wajah sambil sedikit menunduk.
Kuroko mengesah sebelum memberikan senyum kecil ke arah Kise. Setidaknya, Kise masih dapat menunjukkan raut wajah riang. Kuroko hanya bisa berharap Aomine tidak menghancurkan Kise hingga pria itu tidak dapat bangkit kembali. Jika hal itu sampai terjadi, Kuroko pasti akan merindukan senyuman yang selalu Kise berikan kepadanya.
xXXx
