Naruto © Kishimoto Masashi.

This is a work of fanfiction. No material profit is taken.

This fanfiction is translated from arabesque05's work, with the same title. Done with permission.


i let it fall, my heart

A Naruto fanfiction

.

.

i.

Memori Sasuke berasal dari penglihatannya: tidak terlalu mengejutkan, mengingat dirinya adalah putra dari klan termasyhur oleh mata mereka. Namun, banyak Sharingan curian Kakashi atau Orochimaru atau Danzo, nadi mereka tidak dialiri darah Uchiha. Ini bukan tentang genjutsu, bukan pula bloodline limit. Apa memangnya guna penglihatan elang bagi tikus mondok? Mereka tidak dibesarkan dengan dua belas deskripsi untuk biru; mereka melihat sudut kunai dan memikirkan jalur lintasannya. Sasuke tahu, seperti halnya dia tahu perbedaan antara birunya langit dan birunya air dan birunya api rubah di mata Naruto—Sasuke tahu dimana kunai itu akan berada. Di atas kuda yang berderap menembus angin, pada seribu langkah pun, Sasuke tetap tidak akan gagal mengenai targetnya.

Sisi lain dari kelebihan itu—karena semua hal punya harga masing-masing—adalah memori Sasuke untuk suara dan aroma, rasa dan sentuhan buruk. Dia ingat noda tinta di jemari ayahnya, bagaimana rambut ibunya tidak pernah terselip di balik daun telinganya. Sasuke tidak mengingat: rasa sentuhan kalus di tangan kakaknya; melodi lagu ninabobo ibunya; rasa masakan bibi buyutnya; bau pipa rokok pamannya; bagaimana ayahnya tertawa ketika memancing keluar Sasuke yang kelelahan berlatih katon dari kolam koi.

Sasuke tidak pernah menyesali warisannya. Adalah sumber kebanggaan baginya, nyala api di hati. Tapi, pikirnya, jika Izanagi bisa mengingatkannya kembali atas memori sebuah kehangatan, bagaimana rasanya hari Minggu pagi, berselimut rapat di ranjang orang tuanya, menggeliat di samping Itachi yang selalu berwajah awas, tapi terkadang akan mendekat dan membuat suara-suara menggelikan di perut Sasuke—jika Izanagi bisa melakukannya, Sasuke dengan suka rela akan menyerahkan satu penglihatannya selamanya.

ii.

Api Naruto membara, tidak seperti api Uchiha. Api Uchiha perlu dibujuk untuk terbakar, kehangatan yang berasal dari perut yang menjalar ke dada. Diperlukan kesabaran untuk menyalakan api Uchiha.

Api Naruto membara, seperti matahari; tanpa kesulitan, tak sungkan-sungkan, terlalu terang. Tidak ada yang bisa berlama-lama memandangnya tanpa menjadi buta. Bahkan setelah mengalihkan pandangan, bekasnya masih tertinggal, terbakar di kornea. Penglihatan Sasuke sudah mulai memudar seiring dengan penggunaan Mangekyo, karena darah kotornya; tapi penglihatannya lebih dulu dipengaruhi oleh Naruto.

Jika Naruto telah terlalu banyak mempengaruhi penglihatan Sasuke, Sakura—Sakura hanyalah bayangan di tepian penglihatannya. Sakura adalah berat keputusasaan di punggungnya, sebuah isakan yang berbisik "kumohon jangan sakiti mereka". Sakura adalah tangan sejuk di pergelangan tangannya, mengejutkan kulit panasnya yang terkutuk segel Orochimaru. Sakura adalah rasa apel; hela angin dari jendela rumah sakit yang terbuka; sengatan rasa sakit dari chidori ketiga. Sakura harum seperti sampo air mawar, pada malam yang diterangi rembulan, jalan sempit dan dingin yang harus Sasuke ambil terbentang di depan gadis itu.

Sakura adalah kemantapan dari lengan yang melingkari bahunya dan tangan dalam genggamannya, kelembutan lumut hutan di bawah lututnya, sebuah suara yang berbisik kepadanya, "semua baik-baik saja. Kau akan baik-baik saja. Aku di sini."

Memori Sasuke atas Sakura bukan dari penglihatannya. Jadi, tentunya, dia tidak mengingatnya dengan baik.

iii.

Bulan berdarah tengah terbit. Pertama kalinya Sasuke memikirkan alasan di balik pijar kemerahmudaan itu. Namun bulan bersinar semakin merah, seperti halnya Sharingan yang berubah merah. Warna Uchiha selalu terlihat jelas, dan tidak ada yang lebih merah daripada warna darah yang baru ditumpahkan.

"Aku bertanya-tanya apakah bulan ingin selamanya bersembunyi dari cahaya," kata Madara, suara lembut dan geli, berjalan mendekat dan berdiri di samping Sasuke. "Kalau begitu siapa yang akan memantulkan kembali kejayaan matahari?"

Sasuke memandangnya—paman buyutnya, yang paling terkenal di klannya. Mereka menunjukkan persamaan yang nyata: di mata, tentunya, tapi juga dari mulut, ada kemasaman tertentu di sana; dan pada rambut gelap dan kulit pucatnya. Dia bagian dari keluarga.

"Anak lelaki yang terkasih," gumam Madara. Dia melirik Sasuke, dan ada sesuatu dari Shisui di sana: kejenakaan yang tampak lesu, kepuasaan tersendiri. "Bulannya, maksudku. Dia pasti terkadang lelah terhadap matahari, tidakkah kau juga berpikir demikian?"

Sasuke tidak banyak mengetahui mitologi, tapi dia tumbuh dalam keluarga terpelajar dan gemar membaca. Lebih dari apapun, dia memahami warisannya, kuno dan membanggakan, yang bahkan ada mendahului Konoha. Dia tahu dari siapa dojutsunya dinamakan. Dia tahu tentang Tsukuyomi, yang terlahir kedua.

"Bagi keduanya yang berasal dari darah dan daging yang sama," ujar Sasuke, kembali mendongak menatap bulan, "yang lebih tua akan selalu ada. Bahkan jika hanya sebagai rintangan yang harus dilalui bagi yang muda." Dia berhenti sejenak. Kakaknya telah berbohong kepadanya, dan sering; tapi tidak, pikir Sasuke, pada hal-hal yang penting. Karenanya dia mampu melanjutkan, suara mantap, "Itulah peran seorang kakak."

Madara, juga, punya daging yang sama, berdarah sama. Karena alasan inilah, hanya Sasuke seorang yang diperbolehkan membawa pedangnya, bergerak bebas—sementara Kakashi berdarah-darah di samping tubuh Naruto yang tak bergerak, Sakura merunduk rendah di atas mereka. Harusnya ada yang lain juga, pikir Sasuke sejenak—tapi Sasuke hanya punya hati yang kecil. Sudah ada Kakashi dan Naruto dan Sakura. Dia tidak pernah menaruh perhatian kepada yang lain.

"Apa yang mereka ajarkan kepadamu," gumam Madara. "Yang tertua dari ketiganya adalah dewi matahari. Seorang gadis, kau tahu?" Dia kembali memandang Sasuke. Setelah beberapa saat, dia kembali berujar, "Tidak, tidak, kau sudah tahu 'kan? Ah—benar juga. Kau adik Itachi." Sesuatu membayangi matanya barang sejenak. Dia bicara, dengan suara yang berbeda, telah berkurang rasa kemenangannya: "Kau bisa saja menjadi adikku. Kau begitu mirip dengan Izuna."

Dia terhenyak dalam momen melankolisnya. Sasuke menanti dengan sabar. Naruto, duganya, tidak akan memahaminya: dia mengerti tentang pertemanan dan ikatan dan pilihan; tapi persaudaraan diikat dengan darah, dan dengan sesuatu yang lebih dalam lagi: Sasuke tumbuh di rumah yang sama dengan Itachi, makan makanan yang sama dengannya, dan—terkadang ketika ada badai—tidur di ranjang yang sama dengan Itachi.

Sakura, sangkanya, juga tidak akan paham: Sakura, yang terlalu mudah mencinta dan terlalu lama. Tapi saudara tidak diikat oleh cinta—karena Sasuke pernah mencintai dan membenci kakaknya, dan tidak ada bedanya. Hanya saja: jika Sasuke membuka dirinya dan Itachi, darah yang sama mengalir dalam diri mereka. Sasuke tidak sendiri.

Madara tidak hidup dalam makna yang sama dengannya. Hingga sekarang, masih ada sisa-sisa kematian darinya. Tapi—semuanya tetap sama—Sasuke juga memiliki darah yang sama dengan Madara, daging yang sama, dan ada hal-hal yang dimiliki oleh keluarga sebelum oleh orang lain: pedangnya, kepercayaannya, loyalitasnya.

"Haruskah aku membiarkanmu bermimpi pertama, nak?" Melalui kelembutan dalam suaranya, barangkali Madara juga memikirkan hal yang serupa. "Sekumpulan temperamental," kata Madara, dengan senyum tipis, "keluarga adalah keluarga. Apakah kau merindukan keluargamu, nak? Haruskah aku membawa mereka kembali?"

Dia berbalik memandang Sasuke sepenuhnya. Warna matanya sama persis dengan mata Sasuke, dan sama dengan bulan di atas mereka. Dimana para hokage? Sasuke bertanya-tanya. Dimana para pasukan? Sekelilingnya begitu tenang dan hening—hanya ada api rubah yang menjilat-jilat dari tubuh Naruto, desah berat nafas Kakashi, chakra Sakura yang berkelip pucat selagi dia bekerja.

Di akhir dunia, seperti yang selalu Sasuke prediksi, yang tetap berdiri hanyalah Uchiha.

iv.

Perbedaannya, pikir Sasuke, antara yang diasingkan dan yang suka rela menyerahkan diri, yakni Madara masih percaya akan kebahagiaan. Jadi, dia menawarkan mimpi kepada Sasuke, kebaikan yang benar-benar tulus.

Tapi, beberapa hal tidak tentang kebahagian saja bagi Sasuke. Dia tidak ingin hidup bahagia. Keinginannya berpusat pada kematian: membalaskan dendam keluarganya, memenuhi kehormatannya, membayar bakti kepada klannya karena menjadi satu-satunya yang masih hidup. Sasuke tidak berencana hidup lama maupun bahagia. Sasuke hanya ingin dapat mengatakan kepada ayahnya suatu saat nanti: aku tidak mempermalukan keluarga kita.

Untuk beberapa hal personal, Sasuke menginginkan seorang paman buyut, atau sanak keluarga manapun, sungguh—bahkan yang bangkit dari kuburnya. Tapi Sasuke, semenjak dia masih enam tahun dan menangis dalam hujan, tidak banyak memedulikan keinginan pribadi. Ada kewajiban, dan ada kematian, dan keduanya adalah dua hal konstan dalam hidup Sasuke.

Karena itu Sasuke berkata, "Aku tidak bisa. Kehormatan keluarga tidak bisa diperbaiki dengan mimpi."

"Oh, pembalasan dendammu, tentu saja." Madara mempertimbangkannya untuk beberapa saat. "Tentu saja, Itachi adalah anak yang cerdas, dan dia akan dirindukan; tapi anggota klan yang lain—bagaimana bisa mereka membiarkan diri mereka dibantai semudah itu? Apakah Uchiha telah menjadi selemah itu? Aku tidak bisa menganggapnya suatu kehilangan besar, apabila mereka sebegitu lemahnya. Kehormatan macam apa bagi mereka yang bahkan tidak bisa melindungi diri mereka sendiri?" Dia tersenyum kepada Sasuke, dan menegurnya lembut. "Kehormatan adalah sumber dari kekuatan, nak."

Tidak, pikir Sasuke; walaupun memang ada benarnya ucapan Madara. Paman Teyaki adalah pembuat senbei seumur hidupnya, dan Bibi Uruchi tidak pernah memegang kunai. Uchiha tidak lagi klan para pejuang. Mereka telah menjadi polisi, petugas administrasi, warga sipil. Kehormatan dimenangkan dalam peperangan, dan Uchiha tidak lagi berperang. Mereka tinggal di rumah dan menjaga kedamaian. Itachi sangat dibangga-banggakan bukan karena kejeniusannya, tapi karena dia mengingatkan kembali seperti apa Uchiha dulunya: berbahaya, letal, membawa pesan kematian.

"Aku—" kata Sasuke. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi.

Madara masih tersenyum kepadanya, sebuah senyum halus seorang paman kepada keponakan tersayangnya. Dia menggapai, menyentuhkan ujung jari dinginnya ke dagu Sasuke. Sharingannya berputar lambat. "Tekadmu begitu kuat, Sasuke-kun: aku tidak menyangka. Sudah lama aku tidak melihat api yang begitu jernih. Kebanyakan terbakar dan mengepulkan asap."

Sasuke nyaris goyah, nyaris tersandung ke depan. Yang tadi adalah perkataan dari masa kecilnya: ibunya, yang terkadang memanggilnya "api lilin"nya, dan Sasuke selalu protes mengatakan setidaknya dia adalah api lentera; ayahnya, yang terkadang membicarakan anggota klan yang menolak patuh kepadanya, menggelengkan kepalanya kepada yang 'berasap', yang terbakar layaknya kayu basah. Sasuke mengabdi pada kewajibannya, tapi terkadang memori merupakan tusukan menyakitkan pada perut. Terkadang, kebencian goyah dan kepedihan mendekat. Terkadang, Sasuke lelah.

"Aku—" coba Sasuke, lagi. Bukannya dia ingin menerima. Hanya saja dia juga tidak ingin menolak, belum. Madara tidak akan menerima penolakan, dan entah Sasuke harus membunuh Madara atau Madara akan membunuh Sasuke, karena begitulah makna menjadi Uchiha: pembunuh saudara sedarah. Maka dari itu, untuk sebentar saja, Sasuke ingin tidak menjadi satu-satunya Uchiha di dunia. Sasuke ingin memiliki paman buyut.

Madara memandangnya, dan—tiba-tiba rasanya sudah sepantasnya bagi Sasuke untuk mengubah Mangekyonya: mempertemukan Sharingan dengan Sharingan. Madara tersenyum, seolah puas. "Keponakan," dia berujar. Pedang Sasuke bergetar, kemudian diturunkan. "Haruskah aku mengembalikan keluargamu?" Madara kembali bertanya.

Paman, kata itu ada di ujung lidahnya: dan dia tidak akan melanjutkannya dengan ya; tapi bukan berarti tidak juga.

Dari seberang lapangan, sebuah suara tangisan terdengar penuh keputusasaan, "Sasuke-kun!"

v.

Api rubah di sekeliling Naruto hanya tinggal seutas, bersinar redup seperti kunang-kunang di akhir musim panas. Sakura, pucat di bawah sinar rembulan (tapi bukan hanya karena sinar bulan), berbalik dari Kakashi dan memasukkan tangannya ke perut Naruto. Chakra di sekitarnya mengedip berbahaya, dan ada getaran tegang di rahangnya, di caranya membungkuk di atas Naruto. Dia memang tidak pernah punya cadangan chakra besar, pikir Sasuke.

"Tidak ada gunanya," gumam Madara. "Jiwanya telah meninggalkan tubuhnya."

Sasuke tidak menjawab. Dia memandang Sakura, yang—praktis seperti biasanya—menahan aliran kehidupan seperti yang dia lakukan terhadap aliran darah, menekan jalur chakra seperti yang dia lakukan terhadap arteri. Tapi chakranya sangat lemah, telah diberikan kepada Kakashi, dan dia tidak kuat menahan Naruto. Siluman rubah itu terangkat ke bulan, dan Naruto, yang terikat kuat dengannya, turut tertarik.

Madara benar. Tidak ada gunanya: Sakura tidak punya kekuatan, juga waktu. Tidak ada yang bisa menambat jiwa keemasan Naruto tetap di tubuhnya, tidak ketika rubah itu telah pergi dan segel di perutnya terurai.

Tapi, pikir Sasuke, bagaimana jika aku—

"Sasuke-kun," ujar Sakura lagi. Dia mendongak, bahkan saat dia lebih mencondongkan tubuh ke atas Naruto. Dia tidak menangis, tapi terlihat lebih menyedihkan dari itu. "Kumohon," pintanya. "Kumohon."

(Kumohon, dia meminta, jangan sakiti mereka. Hantu-hantu dalam hidup Sasuke menuntut darah; Naruto memberi pukulan demi pukulan supaya Sasuke tetap tinggal; tapi Sakura terus meminta dalam hidupnya. Jangan bunuh mereka, katanya, kepada mereka yang telah menyakitinya.)

"Dia menyakiti dirinya tanpa alasan," desah Madara, tidak setuju. "Aku tidak bisa menerima orang yang tidak mengakui kekalahannya."

Sama seperti Sasuke. Kecuali: Sakura yang menangisinya di jembatan berkabut; Sakura yang akan rela mengikutinya pergi dari Konoha hingga ke neraka; Sakura yang, lebih bijak dan dewasa dan memahami kewajibannya, masih goyah di saat-saat terakhir, dengan kunai di tangan—kapan Sasuke tidak menjadi penyebab keragu-raguannya? Dan sebagai gantinya: ketika, rasa nyeri itu begitu menyakitkan, dia mencengkram tangan Sakura dan jatuh ke lengannya; ketika, tidak sanggup membawanya pergi dan tidak mampu mengucapkan selamat tinggal, dia berkata "Terima kasih," dan berlama-lama berdiri di sisi bangkunya; ketika, walaupun dengan menghantam Karin telah cukup untuk memadamkan kecurigaan Zetsu, Sasuke masih berkata, Bunuh Karin dan kau bisa ikut bersamaku—kapan Sasuke tidak tergesa-gesa dan terburu nafsu, melupakan siapa dirinya dan tugasnya?

"Ya," kata Sasuke. "Tapi—tidak banyak kesenangan yang bisa didapat dari kemenangan mudah."

Sakura mencoba terlalu kuat dan tidak tahu kapan harus berhenti dan tidak pandai dalam taijutsu. Tetap saja, Sasuke tidak lagi menganggapnya lemah. Sasuke terbiasa dengan kekuatan yang mendominasi, kekuatan yang membunuh—kekuatan Sasuke sama seperti milik Madara.

Sakura, adapun: kekuatannya lebih halus, yang dapat menanggung.

Kehormatan dimenangkan dari pertarungan—tapi tidak semua pertarungan ada dalam peperangan. Beberapa bertarung dalam batinnya. Apakah kakaknya memang setangguh itu hingga mampu membantai seluruh klannya? Apakah ada yang balas melawan? Atau apakah kedua orang tuanya memberi Itachi restu—duduk di atas seiza, memenuhi ajalnya sebagai Uchiha dari Konoha, tetap setia hingga akhir? Apakah seluruh anggota klan berlutut, membersihkan hati mereka dari rasa bersalah, dan menerima kematian sebagai pejuang? Apakah kekuatan mereka, pada akhirnya, adalah kekuatan yang semacam Sakura?

Ketika Sakura memandang Sasuke seperti yang dilakukannya sekarang, tanpa keraguan, tanpa ketakutan, Sasuke berpikir, Ya. Uchiha tetap sama. Konoha akan mengerti apa yang telah kami relakan. Konoha akan mengetahui pengorbanan kami.

Bukannya Sasuke jatuh cinta kepada Sakura. Bukan di situ letak poin pentingnya.

Hanya saja: Sakura membuat Sasuke percaya pada hal-hal yang tidak lagi memiliki harapan. Sakura membuat Sasuke bertanya-tanya apa yang mungkin terjadi. Sakura membuat Sasuke berharap kematian datang sedikit lebih lambat.

vi.

Setelah luka parah yang mematikan, ketika Sasuke terbaring tanpa daya di ranjang dan memulihkan diri, dia membiarkan dirinya merasakan momen-momen kelemahan. Dia setengah tertidur, dan melamunkan hal-hal yang mungkin terjadi jika dia tetap tinggal di Konoha, jika keluarganya masih hidup. Dia membayangkan akan menjadi polisi, dengan misi tidak lebih dari mencegah anak-anak bermain di atap rumah, atau mencari kucing tetangga, atau barangkali kadang-kadang akan mengejar pencuri. Dia berpikir akan merawat sebuah kebun, menanam kemangi dan tomat; akan pergi menyaksikan bunga-bunga bermekaran di musim semi, dan menyaksikan dedaunan gugur di musim gugur. Dia berpikir tentang melamar Sakura—yang ceria, cerdas, dan bijaksana.

Jika dia bisa, Sasuke akan melamar Sakura sesuai dengan tradisi Uchiha. Ayahnya, saat melamar ibunya, menutup matanya dengan kain, dan tidak sekalipun membukanya hingga pernikahan. Ibunya, yang juga seorang Uchiha, memahami maksud gestur itu dengan baik: bahwa pernikahannya merupakan saat-saat kembalinya penglihatan ayahnya. Sasuke, bersama Sakura, juga akan melakukannya: Sakura berarti tidak kurang dari itu.

Itu yang terkadang Sasuke pikirkan, ketika dia selangkah jauhnya dari pintu kematian. Hal itu tentunya tidak mungkin, tentu saja—Sasuke tidak akan membiarkan Sakura menikahi seorang pengkhianat yang tidak punya harta dan masa depan. Tapi tetap saja bayangan itu menjadi lamunan yang indah.

vii.

Sasuke tidak sedang jatuh cinta kepada Sakura, tapi di kehidupan lain manapun, sudah pasti itu terjadi. Dia melihat chakra Naruto yang semakin lemah, dan wajah pucat Sakura ketika dia terlalu memaksakan diri; dan Sasuke tahu—seperti halnya dia mengetahui, ketika dia masih enam tahun, berdiri di antara jasad-jasad—apa yang harus dilakukannya. Dia berpikir barang sejenak, Di kehidupanku yang selanjutnya, aku akan mencarimu; dan tidak akan seperti ini jadinya.

Kemudian dia berputar menggunakan tumpuan satu kaki, merunduk rendah, mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Kusanagi terfokus di tangan. Kini, chidori merambat di sepanjang pedangnya, tertanam dalam ke dalam baju pelindung Madara, terus hingga perut dan menembus punggungnya.

"Apa—" Madara, untuk beberapa saat, terlihat kaget. Lalu ekspresinya mencair lagi. "Anak bodoh," omelnya, suaranya masih terdengar seperti paman yang murah hati. "Apa yang ingin kau capai dengan melakukan ini? Aku sudah mati, kau tahu."

"Ya," Sasuke sepakat. "Aku hanya perlu menahanmu barang semenit saja."

"Aku khawatir aku tidak bisa memberimu satu menit itu," kata Madara, mengangkat satu tangannya yang tiba-tiba sudah memegang gunbai. "Dan—walaupun kau tidak mempermalukan darah Uchiha yang mengalir dalam dirimu—kuharap kau tidak berpikir akan dapat menandingiku."

Dia mengayunkan gunbainya ke atas dan ke bawah. Sasuke mempersiapkan dirinya dan—Susanoo muncul, satu lengan menahan Madara. Dimana gunbai itu menikam, zirah Susanoo mengelupas. Barangkali hanya untuk semenit saja, pikir Sasuke, itu sudah berlebih.

Dia mendongak memandang bulan—kaleidoskopnya telah terbentuk. Kalau begitu, sudah cukup. Madara telah melakukannya. Tidak ada jalan kembali.

viii.

Eternal Tsukuyomi tidak mudah dimunculkan. Satu kesempatan yang terlewat sulit diperoleh kembali. Sasuke berpikir: ayahnya menutup matanya demi ibunya.

Tidak diperlukan terlalu banyak usaha untuk memanggil Izanagi. Sasuke tidak memahami dengan baik cara kerja Izanagi, tapi Izanagi bukanlah teknik yang bisa dipraktikkan sehari-hari. Dia tahu apa yang dia inginkan: Naruto, terlalu terang dan terlalu berisik dan lebih hidup dari siapapun; dan bulan terang dan pucat di langit malam, tidak terikat bagi klan yang hampir seluruhnya mati itu. Aku telah menanamkan tinjuku di dada Naruto, pikir Sasuke: aku telah menyelamatkan nyawanya dan mengambilnya, dan tentunya—itu cukup untuk mengklaim nyawa Naruto sebagai miliknya. Tentunya itu cukup bagi Izanagi untuk menyambut Naruto. Dan bulannya, yang begitu bangga membawa emblem Uchiha. Sasuke adalah Uchiha terakhir yang hidup. Kalau begitu, bulan juga miliknya.

Karenanya dia berdoa kepada Izanagi, dan menagih Naruto dan bulan sebagai miliknya, dan menawarkan separuh penglihatannya sebagai ganti.

Mata kirinya tertutup. Madara bertanya, suaranya penuh ketakutan, "Apa yang telah kau lakukan?" Di sekitar Sasuke, Susanoo berkelip-kelip, kemudian menghilang; dan dari titik butanya, gunbai Madara menyambut. Sasuke tidak melihatnya.

Di kejauhan, Sasuke mendengar, "Sasuke!" Suara idiot yang tidak pernah belajar menggunakan sapaan yang benar, Sasuke berpikir merendahkan. Kemudian, lebih keras dari suara Naruto, Sakura berteriak, "Sasuke-kun!"

Ya, pikir Sasuke, selagi tanah di bawahnya mendekat. Dia sangat puas.

ix.

Karena ini selalu menjadi cerita Naruto, dan karena Naruto dilahirkan menjadi pahlawan, Sasuke tidak mati. Pahlawan macam apa yang tidak bisa menyelamatkan nyawa sahabatnya, di suatu pertarungan melawan musuh besar? Pahlawan menyelamatkan semuanya, dan si sahabat terus berhutang budi kepadanya selamanya.

"Kau idiot," kata Sasuke, duduk disangga tumpukan bantal di ranjang rumah sakitnya. Dia punya lebih banyak bantal, heran Sasuke, daripada yang diizinkan. Di atas meja di sampingnya, ada vas bunga berisi daffodil dan sepiring irisan apel. Tangan Naruto meraihnya. Sasuke menamparnya menjauh. "Itu punyaku."

"Kurang ajar," balas Naruto, tapi tidak mendebat lebih jauh. Dia bersandar di kursinya, menyeimbangkan tubuh pada kusen jendela di atas kursi berkaki dua. "Kenapa kau belum juga keluar? Aku sudah sembuh berminggu-minggu lalu."

"Karena kau tidak normal," balas Sasuke cepat.

"Aku tahu itu kau," ujar Naruto setuju, "tapi bagaimana denganku?" Sasuke sudah bersiap-siap untuk mendekat dan meninju muka Naruto. Naruto akan membalasnya dengan cara serupa; tapi Sakura tergesa-gesa masuk ke dalam ruangan, berkas di satu tangan dan yang lain dinaikkan berupa tinju.

"Naruto," katanya penuh ancaman. "Apa yang kubilang tentang jam berkunjung?"

"Oke, oke!" ujar Naruto, berdiri dari kursinya. "Aku akan mengusir diriku! Kau tidak perlu memukulku." Dia berjalan melewati Sakura dan keluar. Tapi, di koridor, dia tertahan sejenak untuk berkata kepada Sasuke, "Hei, aku akan membawakan ramen untuk sarapan besok, oke? Kau ingin daging babi atau mi—"

"Naruto!" bentak Sakura.

"Dua-duanya kalau begitu. Sampai jumpa!"

Sakura kembali memandang Sasuke. Dia meletakkan berkas pasiennya dan merapikan sprei ranjang. "Barangkali kalau aku memukulnya lagi," gumamnya.

Sasuke membiarkannya meraihnya dan menata bantal-bantalnya. "Kau tahu dia hanya akan mengendap-endap lewat jendela sekitar satu jam lagi, kan?"

"Apa-apaan, apa dia kira aku akan lupa memberimu makan?" Sakura gusar, duduk di kursi yang baru saja Naruto kosongkan.

Sasuke tidak punya kebiasaan membela Naruto, dan dia tidak berniat memulainya sekarang. Jadi dia kembali bersandar di atas bantal, dan mengambil satu iris apel, dan makan dalam diam. Sakura memandanginya sejenak, bahagia, sebelum mengamati berkasnya lagi. Dia menyebar pekerjaannya di ranjang Sasuke, condong ke depan, dan mulai bekerja: menuliskan catatan-catatan dan menggoreskan tanda tangan. Ketika Sasuke telah menghabiskan apelnya, dia meletakkan kembali piring itu di atas meja. Kelopak matanya separuh tertutup, Sasuke terhanyut dalam kantuk sembari memperhatikan Sakura bekerja. Sebagian besar dia mendengarkan suara gersik kertas, goresan pena, dan di bawah itu semua, tarikan nafas teratur Sakura.

"Hei," katanya sejenak kemudian. Sakura mendongak penuh perhatian. "Pohon plum di tepi sungai akan mekar minggu depan. Kita harus pergi."

Sakura mengerutkan kening. "Minggu depan? Kau sembuh dengan sangat baik, tapi aku tidak tahu apakah minggu depan aku bisa mele—"

Sasuke menggerakkan satu kaki, menggeser kertas-kertasnya. Bukan itu maksudnya. Dia kembali berujar, "Kita harus pergi."

"Kita ha—" Sakura berkedip. "Oh," katanya. "Oh," dan merona. "Sasuke-kun," katanya.

Itu cukup sebagai tanda persetujuan. "Hn," ujar Sasuke, puas, mata menutup. Sakura di sini, dan akan ada hanami minggu depan. Barangkali, pikir Sasuke, kebun di minggu depannya lagi. Dan suatu hari, kepada ibunya—suatu hari, dia bisa mengatakan, Ibu, ada seorang gadis yang aku—

Masih ada waktu untuk menyusun kalimat itu sebagaimana yang diinginkannya. Kini dia sudah punya waktu. Damai dan lega, Sasuke jatuh tertidur.

x.

Memori Sasuke atas Sakura bukan dari penglihatannya. Memori Sasuke atas Sakura berasal dari hatinya.

Jadi, tentunya, dia tidak mengingatnya dengan baik; tidak sebanyak yang diinginkannya. Tidak masalah, kata Sakura. Dia akan ada untuk mengingatkan Sasuke. Dia tidak akan mendapat kesempatan untuk lupa. [ ]