Medium…. Itu bukanlah pertengahan antara Besar dan Kecil. Tapi itu adalah sebutan untuk orang-orang yang bisa berkomunikasi dengan Arwah. Ya, setidaknya begitulah orang-orang memanggilku.


~Medium~

~Genre: Supernatural, Friendship~

~Chara: Kurosaki Ichigo and Kuchiki Rukia~

~Disclaimer: Tite Kubo~


ICHIGO'S POV

Apakah kalian merasa enak jika dikerumuni oleh para wanita cantik? Apalagi kalau kalian itu adalah seorang pria yang terkenal, dan tampan. Atau bahasa modernnya sih, lagi ngetrend. Yah pasti itu yang diinginkan setiap pria. Oh, mungkin bukan hanya pria saja, wanita juga pasti begitu. Mereka ingin terkenal, sehingga banyak orang-orang yang mengerumuninya, dan meminta tanda tangan.

Bisa dibilang, aku juga cukup terkenal. Eits, jangan kira aku terkenal di antara para manusia. Tetapi, terkenal di antara 'mereka yang sudah menyelesaikan hidupnya di dunia ini'. Hmm, kelihatannya bahasaku terlalu sulit untuk dimengerti. Oke, biar aku luruskan. Aku Kurosaki Ichigo. Seorang remaja yang masih menginjak kelas satu SMA di kotaku lahir, Kota New York, dan terkenal di antara para 'arwah'. Yeah, hidupku sudah menjadi gila semenjak dikerumuni oleh mereka. Yang setiap hari selalu mengoceh tidak jelas.

Aku tidak sepenuhnya menyalahkan Ibuku yang sudah melahirkanku, dan menjerumuskanku ke dalam hidup 'warna-warni' ini. Kan setiap orang juga berkata, 'tidak ada seorang ibu yang mau menjerumuskan anaknya sendiri'. Tapi bagiku, kalimat itu hanyalah masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Yah, mau bagaimana lagi. Ibuku juga seorang medium, tentu saja 'warisan' itu terbagi padaku.

Tapi kelihatannya untuk saat ini belum berkembang pesat. Aku masih hanya mendengar suara-suara saja, tidak bisa melihat mereka dengan jelas. Sedangkan Ibuku—Kurosaki Masaki—setiap waktu, pasti tidak bisa dilewati dengan bergerumul dengan para arwah itu. Mengunci dirinya sendiri di ruangan. Dan…. Entah apa lagi yang ia lakukan. Yang pasti aku tidak tertarik untuk ikut sesi seperti itu.

Aku rasa aku bisa saja bertindak 'kejam'. Aku bisa mengatakan pada Ibu, kalau ia menghancurkan hidup remajaku, membuat telingaku rusak karena mendengar suara-suara aneh itu, dan mungkin selama beberapa tahun ke depan, aku akan menjalani hidup yang penuh dengan terapi, secara mental maupun fisik. Aku juga bisa saja menuntut ia untuk melepaskan jabatan 'medium'—yang sebenarnya tidak terlalu ia banggakan. Sedikit-sedikit belajar untuk menonton MTV, membaca majalah ibu-ibu yang setiap minggu terbit di supermarket. Memakai pakaian anak-anak perempuan yang sedikit trendy. Pokoknya menyesuaikan diri dengan zaman.

Kalau kau mengerti masalahku, ini bukan jenis ibu yang harus berubah. Tetapi dunia SMA lah yang harusnya berubah. Tapi setiap kali aku melihat keluar jendela, hasilnya sama saja. Di dunia semacam ini, mempunyai ibu yang di kamarnya terdapat Olimpiade untuk aktivitas supernatural itu sama sekali tidak keren.

Yah, dan ketidakkerenan itu terungkap saat bulan lalu. Guruku menunjuk Ishida Uryuu sebagai pasangan risetku untuk tugas sejarah. Aku yang memang sejak sekolah dasar sudah mengenal Ishida, tetapi ia tidak pernah menyapaku. Singkat pun tidak. Meski begitu, aku tahu ia adalah Cowok yang Harus Dikenal. Mendapat tempat duduk di meja makan siang bersamanya saja, pasti sudah dicap sebagai Cowok Populer—setidaknya begitulah panggilan anak-anak cowok yang sudah berhasil mendekati anak pintar sekaligus jenius itu. Dan aku tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk duduk bersamanya, makan bersamanya, juga mengobrol bersamanya.

Dan kau bisa membayangkan bagaimana senangnya perasaanku saat Ishida menyapaku secara langsung saat pada hari kami ditugaskan. Dan kami mengobrol layaknya orang yang sudah akrab dari kecil.

"Aku dengar kau murid yang cukup cerdas ya, Kurosaki? Aku rasa kau pasti tidak pernah mendapat nilai sejarah di bawah rata-rata," tanyanya.

Aku juga bukan orang yang tunarungu. Karena di ruangan kelas hanya ada kami berdua, sedangkan Ibuku yang menunggu di luar, sedang berbicara sendiri, yah kalian pasti sudah tahu. Dan sebenarnya Ishida sedang berbicara kepadaKU.

"Aku rasa begitu," ucapku. Berusaha sesantai mungkin berbicara dengan murid jenius tidaklah semudah itu. Aku memang cukup pintar—menurut teman-temanku—dan aku rajin belajar sehingga selalu mendapat nilai di atas rata-rata, supaya para guru tidak mengira aku anak berandalan karena rambut di cat. Sialnya rambut orange ini memang sudah alami dari aku kecil.

Dan walaupun Ishida terlihat jenius, tetapi kupikir nilai sejarahnya masih dibawah dariku. Sedikit. Aku bersyukur sekali guruku memberi tugas riset sejarah, bersama dia pula! Kesempatanku untuk berteman dengan Ishida masih terbuka.

"Terserah," jawabnya acuh tak acuh. Dan seperti penyiar di iklan TV yang suka kutonton saat senggang, di kepalaku berteriak suara nyaring, "LAKUKAN SEKARANG JUGA! JANGAN TUNDA LAGI! PERSEDIAAN TERBATAS, LIMITED EDITION! PETUGAS KAMI SIAP MELAYANI ANDA!"

"Aku bisa menunjukkan apa yang sudah kukerjakan, jadi kau tidak perlu berfikir keras lagi," ucapku.

Ishida lalu mengulurkan tangannya ke depan, dengan punggung telapaknya yang menghadap ke atas. Seandainya ia juga seorang medium seperti Ibuku, aku pasti mengira ia sedang membaca kartu-kartu tarot, atau mengendalikan energi Bumi. Apakah ini semacam isyarat tangan seorang jenius?

"Tulis alamatmu di situ," Ishida memerintah. Aku mematuhinya, lalu membuat tato dari pulpen hitam di punggung tangan Ishida. Yang bertuliskan alamatku tentunya, bukan gambar yang macam-macam.

"Aku akan kesana esok," Ishida memberitahu. Lalu ia meloyor pergi dari ruang kelas. Dan tepat esok hari, ia datang ke rumahku.


Tentu saja aku berharap bisa bertemu dengan si jenius Ishida itu di tempat yang lebih modern. Tidak di rumah Ibuku yang bergaya gothic yang sudah tua. Dinding dari kayu yang hampir lapuk. Rumah ini perlu dicat ulang, dan tentu saja ditambahkan sedikit pepohonan di sekitar halaman yang masih kosong melompong. Juga tidak lupa dengan aksesoris dalam gaya pernak-pernik Yunani, dengan bau dupa dan buku-buku tua yang saling bercampur. Sehingga terasa seperti jus pepaya yang sudah basi, ditumpahkan ke kaos kaki bau yang sudah dicelupkan di dalam toilet berminggu-minggu. Atau mungkin lebih dari itu.

Lagi-lagi kamar Ibuku tertutup rapat, baguslah jika ia sedang mengadakan sesi. Sehingga tidak ada yang mengganggu saat aku mengantar Ishida menuju ruangan yang kupanggil ruang tamu. Oh iya, tidak lupa cowok berkacamata itu menggandeng pacarnya. Biar kupanggil dia Inoue Orihime.

Tidak masalah ia mengajak satu orang atau lebih, yang penting ia merasa nyaman. Tetapi terlihat dari raut wajahnya yang menampakkan keengganan, kupikir ia tidak merasa nyaman seperti yang kukira sekarang.

Ia dan Inoue memilih duduk di sofa gemuk yang sudah usang. Yeah, asalkan kalian tahu saja, sofa itu sering diduduki oleh para arwah yang sudah menyelesaikan sesinya dengan Ibu. Mereka malah santainya merebahkan diri di sana, padahal mereka bukanlah tamu yang diundang.

Agar bisa lebih mencairkan suasana, aku memberikan nampan penuh dengan kue-kue juga biskuit coklat. Kedua insan itu mengambilnya bersamaan, dan saat mereka memasukannya ke mulut masing-masing, kulihat Inoue mendesah penuh kebahagiaan. Aku memang bangga pada Ibuku yang jago membuat kue.

"Ibuku yang membuatnya," sergahku. Ishida dan Inuoe mengangguk penuh tanda mengerti.

"Kamu sangat beruntung mempunyai seorang ibu yang hebat memasak. Aku setiap kali membuat kue pasti selalu gagal," ucap gadis berambut orange tua yang panjang dan selembut sutra itu. Yah, perlu kalian ketahui juga, Inoue Orihime ini paling tidak pandai memasak. Aku heran dengan Ishida yang masih bisa 'hidup' hingga saat ini.

Saat Ishida ingin mengambil biskuit yang kedua, tiba-tiba Inoue merangkul tangannya.

"Ruangan ini menjadi DINGIN sekali!"

Aku menengadahkan kepala ke atas. Dan berpura-pura terkejut, walaupun aku sudah mengetahui apa 'alasannya' ruangan ini menjadi dingin secara tiba-tiba.

"Masa, sih?" tanyaku. Saat itu aku tahu, kalau Ibuku sudah berhasil dengan sesinya. Entah siapa yang meminta pertolongan padanya, tetapi arwah itu sudah membawa hawa yang sangat dingin bersamanya.

"Rumah tua memang seperti itu. Jadi maklum," tambahku cepat-cepat.

"Tapi sekarang bulan April! Dan belum musim dingin," ucap Ishida. Orang jenius memang sulit dibohongi. Aku lalu menggelengkan kepala, tidak setuju dengan fakta yang tidak bisa dibantah-bantah lagi.

"Tenang saja, sistem pemanas akan berfungsi kembali sebentar lagi," aku berusaha bersikap santai di depan dua orang jenius itu. "Oh iya, ngomong-ngomong, aku sudah mengetik delapan halaman untuk tugas kita. Mau dicatat sekarang?" Ishida menatapku heran. Inoue masih tetap ketakutan, dan mengutuk dirinya sendiri kalau yang kubicarakan tadi memang benar. Rencanaku untuk mengalihkan perhatian dengan cara melambai-lambaikan tugas riset itu di depan wajahnya ternyata cukup berhasil. Ia sedikit tertarik dengan catatan sejarah yang sudah kubuat.

Aku mungkin bisa memperlancar kemacetan suasana tadi jika tidak diganggu oleh ledakan alat musik klarinet yang secara tiba-tiba mengagetkan mereka berdua (lagi). Dan pada saat bersamaan, ruang tamu dibanjiri oleh bau-bau aneh. Sesuai penilaianku, bau-bau ini tercampur dari jerami, lumpur, dan bunga bangkai. Inoue semakin panik setelah mencium bau-bau itu. Aku segera mencari alasan, agar mereka tidak kelabakan seperti ini.

"Maaf," ucapku seraya memutar bola mata. "Suara berisik itu dari tungku pemanas, dan ketel uap. Jika mereka berbunyi bersamaan, baunya seperti ini. Aku juga terkadang tidak tahan," aku mengibas-ibaskan tanganku di antara hidung. Melakukan sandiwaraku untuk mencegah Inoue berteriak ketakutan.

Ishida masih terlihat syok. Dan tubuhnya terasa tidak nyaman, walaupun ada Inoue di sisinya. Ini pertanda buruk. Melakukan sandiwara apapun, jelas tidak akan mempan. Karena ini sudah diluar batas.

"Ayolah, mau dicatat sekarang tidak? Atau kuberikan videonya, dan kau yang menarik kesimpulan sendiri?" aku segera mendesaknya. Dan saat itulah lolongan, jeritan, serta erangan-erangan yang aneh melengking seketika. Inoue langsung tersentak kaget, dan hampir menyenggol nampan. Untung hanya remah-remah kuenya yang berserakan.

"Itu suara, ehmm…. Bibiku yang sedang menyanyi seriosa di kamar Ibu. Menarik, bukan? Aku memang tidak suka nyanyiannya yang bisa merusak telinga. Tapi suaranya khas, kan?" Yeah, aku mencoba untuk melucu, tetapi malah gagal. Aku malah terlihat seperti badut sirkus dengan shirt bewarna hitam, dan jeans yang penuh dengan jahitan di sana-sini.

Sudah terlambat. Tak peduli mereka tahu aku mempunyai bibi atau tidak, mereka merasa ada yang tidak beres di sini. Dan aku memang setuju dengan opininya yang tidak dikemukakan secara lisan, tetapi dari gerak-geriknya.

"Ada sesuatu yang aneh tentang rumah ini," kata Inoue.

"Apa maksud—

"Sebelumnya normal-normal saja, lalu tiba-tiba ruangan ini menjadi dingin. Lalu ada suara alat musik klarinet yang kencang, dibarengi dengan suara orang menjerit, melengking, dan sebagainya. Ini benar-benar tidak masuk akal. Ah, maksudku, dari awal aku masuk ke sini bersama Uryuu pun sedah terasa aneh. Aku merasa merinding, dan kau malah terlihat tenang dan santai. Kamu jadi terlihat seperti orang aneh yang sesat," ucap Inoue, Ishida yang duduk disampingnya mengiyakan.

Oke, walaupun aku tahu keadaan akan buruk, tapi tidak seperti ini yang kuharapkan dari pertemuan empat mata dengan Ishida—dengan Inoue juga. Dan aku yakin pertemuan ini akan menjadi utama dan yang terakhir. Aku sekarang tidak akan pernah diterima di meja makan siangnya sekarang. Dan yang lebih buruk, Ishida dan Inoue pasti akan menyebarkan desas desus rumahku yang katanya 'berhantu' kepada seluruh murid kelas sepuluh.

Dan jangan harap aku bisa mendapatkan teman setelah mereka mengetahui kalau aku adalah seorang medium.

Lalu entah karena kerasukan oleh apa, aku mengatakan sesuatu yang seharusnya TIDAK harus kukatakan di depan orang jenius itu.

"Kau boleh berbicara semaumu, Inoue. Tapi kalau kau tidak benar-benar bodoh, kau pasti tidak akan menceritakannya pada siapapun di sekolah. Dan mereka akan mengira KAULAH yang gila. Maksudku, yang benar saja ada rumah berhantu? Aneh? Sesat, dan sebagainya. Apakah kau benar-benar mempercayai mitos yang hanya dikatakan orang yang terlalu fanatik dengan dunia gaib? Mereka akan mentertawakanmu."

Ishida sebagai pacarnya gadis itu, tentu saja tidak terima dengan ucapanku barusan. Dan aku mengutuk diriku dalam-dalam karena sudah keceplosan berbicara seperti itu. Mungkin aku terlalu kasar pada perempuan sekalipun.

"Hei, jaga omonganmu, Kurosaki! Aku juga sependapat dengan Orihime! Apakah kau tidak merasakannya? Berarti kau tidak mempunyai indra yang peka!" bentaknya. Saat ingin membalas ucapannya, mata musim gugurku melihat ke belakang Ishida, tepatnya ke arah meja kecil yang diatasnya terdapat lampu. Dan lampu itu melayang terangkat beberapa senti ke udara, miring sedikit ke kiri. Lalu mendarat kembali dengan indahnya. Keadaan berubah dari buruk menjadi malapetaka. Yeah, ini sangat amat tidak lucu.

Aku memikirkan ide cepat-cepat untuk mengeluarkan Ishida dan Inoue dari rumah. Karena aku tidak mau mendengar teriakan mereka saat ada cairan ekstoplasma yang merembes keluar dari dinding. Jangan menganggap ini sebagai film kartun, tapi memang suka terjadi, makanya dinding di rumahku sudah lapuk seperti ini.

"Oke, kalau begitu pergi saja!" Karena tidak bisa menahan emosi, aku membentak mereka berdua.

Inoue beranjak berdiri berbarengan dengan Ishida. Ia memakai mantelnya, lalu membalasku, "oh dan percayalah Kurosaki, kami memang mau pergi!" cetus gadis itu. Lalu sambil menghentakkan kakinya dengan gaya perempuan yang centil, mereka pergi dari rumahku. Dan suara sialan itu berhenti secara tiba-tiba juga.

Sekarang tidak ada lagi yang bisa kulakukan, aku hanya menghempaskan bokongku ke sofa yang baru saja mereka duduki, dan tinggali. Dan aku yakin esok aku akan mendapatkan berita, 'Kurosaki adalah anak sesat yang tinggal di rumah berhantu'.

Dan karena itulah kusebut kalau ini sangat tidak keren.


Kembali ke waktu sekarang, karena tadi aku hanya menceritakan flashback atau masa laluku yang amat menggelikan untukku sendiri. Yah, dan aku juga tidak tahu harus bangga atau sedih mempunyai 'kelebihan' seperti itu.

Di sekolah, akhir-akhir ini aku sering melihat seorang gadis. Iya, gadis mungil dengan rambut hitam sepundak, dan mata bulat jernih bewarna violet. Dan setiap kali kulihat, ia selalu membawa alat musik biola di punggungnya. Dia datang sebagai murid baru saat bulan Mei kemarin.

Aku entah kenapa merasa terhubung dengan gadis itu. Mungkin diantara kalian ada yang berfikir 'aneh sekali seorang cowok merasa dekat dengan cewek'. Yah tapi begitulah yang kurasakan saat ini. Dan apalagi karena ia masih murid baru, semua orang pasti sudah mempunyai teman untuk bersenda gurau bersama, tetapi ia masih sendiri—bersama biolanya. Dan aku merasa ingin membantunya saat itu. Beberapa orang terang-terangan mentertawainya karena membawa biola di saat tidak ada pelajaran musik.

Aku tidak punya banyak pilihan saat kejadian Cowok yang Harus Dikenal itu datang ke rumahku beberapa bulan yang lalu. Dan berkat informasi yang kelihatannya dibocorkannya kepada teman-teman, mereka jadi menjauhiku. Biasanya saat sampai di kantin, aku membawa nampan penuh makan siangku, dan mencari tempat duduk yang kosong.

Aku memperhatikan penjuru meja yang tersedia di kantin. Ada meja untuk anak-anak cerdas, untuk atletik, putri-putri cheerleader dengan pom-pomnya, dan lain sebagainya. Tapi aku tidak melihat ada meja untuk Orang yang Bisa Berkomunikasi Dengan Makhluk Gaib. Jika kau telat masuk ke kantin, dan tidak ada kursi kerumunan untuk orang kurang populer, maka pilihannya hanya dua. Kelaparan atau Orang Dibuang. Dan kata-kata 'kelaparan' lah yang lebih kusukai.

Itulah yang akhirnya membuatku duduk bersama cewek biola itu. Aku terlambat makan siang, dan meja untuk orang kurang populer diduduki oleh dua orang. Ehm maksudku, satu tempat duduk untuknya, dan satu lagi untuk biola yang berada di dalam sarung hitam itu. Dan lagi-lagi, pilihan hanya dua. Cewek Biola atau Kelaparan? Dan kali ini aku lebih memlih cewek itu.

Aku lalu duduk berseberangan dengannya, dan mencoba untuk tidak mengagetkannya yang masih khusyuk menyantap makan siangnya. Dan kuharap pendengaranku sedang buruk hari ini, supaya ia tidak usah repot-repot mengajakku bicara.

"Halo, namaku Kuchiki Rukia. Senang berkenalan denganmu," tiba-tiba seperti dikomando, gadis itu menjulurkan tangannya. Ia merasa seperti sudah akrab denganku sejak aku menggeser bangku, dan duduk berseberangan dengannya.

"Aku Kurosaki Ichigo," sahutku, membalas dengan ramah jabatan tangannya. Tangannya yang mungil itu mungkin bisa saja kuremukan karena saking bahagianya mendapat teman. Yah, mungkin aku terlalu berlebihan.

Untuk sesaat aku mengawasinya makan. Ia mempunyai kulit putih sedikit cream. Ia terlihat anggun saat menyibakan rambut hitamnya agar tidak mengganggu aktivitas makannya. Ia terlihat seperti peri yang membawa biola di punggung.

"Jadi, kau baru pindah?" tanyaku, sambil menikam kotak susu strawberry dengan sedotan.

"Iya, dari London," dari caranya berbicara, kelihatannya Rukia berpembawaan santai. Ia tidak berpikir rumit seperti gadis-gadis lain yang ada di sekolah ini.

"Apakah ibu atau ayahmu pindah ke sini, karena pekerjaan, atau apa?" biasanya yang pindah ke kota New York, dikarenakan masalah pekerjaan, atau perceraian orang tua. Yah, anggap saja New York itu kota untuk anak-anak buangan, seperti aku yang hanya tinggal berdua dengan Ibu. Dan ayahku sudah berpisah lima tahun yang lalu.

"Kami pindah untuk mencari guru biola. Guruku dulu di London sudah pensiun. Aku belajar padanya kira-kira seminggu tiga kali sepulang sekolah. Dan jika ada waktu sebelum masuk kelas, aku memakainya untuk latihan biola di ruang musik. Maka dari itu aku membawa biola ini setiap hari," jelasnya sambil menepuk-nepuk biola yang kelihatannya sudah akrab dengannya dari kecil.

"Kau pasti hebat," kataku.

Rukia mengangkat bahu.

"Itu sudah hal yang biasa kulakukan," jawabnya sedikit misterius.

Selama beberapa saat, kami makan dalam keheningan. Aku masih menghisap susu kotak yang baru habis setengah, karena antusias mendengar cerita Rukia. Sedangkan gadis mungil itu masih mengunyah makanan dengan pelan. Sambil sesekali memperhatikan makanan itu dengan teliti. Apakah jika sudah besar nanti ia ingin menjadi peneliti bakteri, atau semacamnya?

Beberapa menit kemudian, datanglah para murid yang kelihatannya tidak mendapat tempat. Lalu mereka berjalan ke meja kami, dan mulai mengobrolkan topik milik mereka sendiri. Sedangkan aku dan Rukia mengabaikannya.

Tiba-tiba Rukia menengadahkan kepalanya ke atas. Tepat ke jam dinding.

"Uh oh. Aku harus pergi," ucapnya terburu-buru.

"Kenapa? Jam masuk kelas masih sepuluh menit lagi, kok," aku mengingatkan.

"Aku harus ke ruang musik dulu untuk menyimpan biola ini," ia mengelus biolanya dengan sayang. Seakan biola itu adalah binatang peliharaannya sendiri. "Karena aku tidak mungkin membawa-bawa ini ke dalam kelas."

Dan percakapan kami selesai begitu saja. Aku tidak melihat Ishida dimana-mana, katanya sih dia absen karena neneknya meninggal. Yang kulihat hanyalah Inoue. Dengan Cewek Satelit.

Oh aku lupa memberitahu pada kalian, ya. Jika cowok-cowok yang berteman dengan Ishida itu dipanggil Cowok Populer, sedangkan para cewek yang dekat dengan Inoue itu disebut Cewek Satelit. Kenapa? Karena maksimal sehari itu, Inoue pasti dikelilingi oleh tiga cewek. Lucu sekali melihat gadis yang dikelilingi oleh para Satelit. Kenapa tidak diganti saja namanya menjadi, Inoue's Bodyguard? Dan nama menjijikan itu berhasil membuatku tertawa sendiri seperti orang gila.

~TO BE CONTINUED~


Biasa nih, cerita masih ada yang nunggak, tapi udah buat yang baru lagi. Maklum lah, udah pegel pengen cepet-cepet nulis yang IchiRuki.

Cerita disini terinspirasi dari novel yang berjudul 'Suddenly Supernatural' karya 'Elizabeth Cody Kimmel'. Setting tempat di sini tuh ceritanya di Eropa, ya. Bosen kalo di Jepang terus, hehehe.

Okelah. Jadi bagaimana dengan cerita ini? Silahkan tuliskan kesan Anda lewat Review di bawah situ. Dan maaf jika alurnya masih ada yang aneh. Typo berseliweran di mana-mana. Dan semoga saia masih bisa melanjutkan chapter 2 nya. Arigatou! Dan sampai jumpa!