Disclaimer : BTS milik BigHit, keluarganya, dan ARMY. Tapi Jin milik saya #dilindes [saya tidak mengambil keuntungan dalam bentuk apa pun. Cerita ini dibuat hanya sebagai penyalur rasa cinta kepada OTP dan terapi menulis]

Warning : au, miss typo(s), OOCness, and other stuffs.

Terima kasih yang sudah mampir. Selamat membaca!


.

.

somewhere only we know

a NamJin fanfiction, written by Rou

.

.

.


Sesuatu yang ia temukan untuk pertama kalinya usai libur pekan sekolah adalah yang paling tidak ia sangka-sangka; berwarna abu-abu tua, tergeletak manis di atas meja.

Kim Seokjin menimbang-nimbang pilihan-pilihannya: membukanya terlebih dahulu, atau melemparkannya langsung ke tong sampah tanpa benar-benar melihat isinya. Atau mungkin, ia bisa mencoba merobeknya langsung. Karena ia sedang kesal.

"Surat lagi?" Jung Hoseok berseru rendah kepadanya sembari meletakkan tas di punggung kuris dan menarik laci meja, menyimpan kunci motor dan meraup debu yang menempel di sana. Ia menatap Seokjin, terlihat jelas penasaran memenuhi mata jelaga pemuda itu. "Kau tidak penasaran, ya?"

Seokjin mendengus, "Apa harus?" balasnya dengan senyum tipis. Ini bukan yang pertama sebenarnya, dan Seokjin tidak bermaksud congkak atau apa. Ia hanya merasa tidak perlu repot-repot mencari tahu siapa pengirim surat-surat yang belakangan memenuhi loker mejanya. Ia hanya harus yakin.

"Tidak juga, sih. Cuma agak mengerikan," sambung Hoseok. "Apalagi kalau orang itu sekelas denganmu."

"Kenapa begitu?"

"Menurutku, ya," Hoseok menggaruk dagunya sebentar sebelum menjelaskan kepada Seokjin, berlagak menganalisis. "Orang yang mengirim surat-surat seperti itu terlihat menakutkan, seperti penguntit saja. Kalau memang dia suka kau, kenapa tidak langsung bilang. Apa susahnya?"

Seokjin mengangguk-angguk meski tidak sepenuhnya setuju dengan gagasan Hoseok. Ia menggulir pandangan ke penjuru kelas kemudian tersenyum ketika mendapati kursi terpojok tidak lagi kosong.

Seperti sesuatu yang sudah lama ia kenali, dan Seokjin yakin betul soal itu. Ia hanya butuh satu pernyataan untuk merasa menang kemudian. Tanpa benar-benar berpikir, Seokjin memandang Hoseok lagi sebelum berkata, "Hari ini, kau akan tahu siapa pengirim surat itu."

Hoseok menelan lagi kata-katanya selagi menyimak Seokjin yang berderap meninggalkan meja mereka dan menempati kursi kosong di sudut ruangan.

"Hoi," Seokjin melesak rendah di kursinya. Menyamakan posisi dengan punggung pemuda di sisinya yang sedang mengumpulkan mimpi. Walau, yeah, Seokjin benar-benar tidak yakin Namjoon sungguhan tertidur. "Aku sudah memutuskan," katanya. "Aku akan berkencan dengan orang itu, di kedai es krim bibi Lee sepulang sekolah."

Kemudian Seokjin berdiri, kembali ke kursinya dan lanjut mendengarkan cerita Hoseok.

.

.

Kim Namjoon cukup yakin ada yang salah dengan urat-uratnya, bahwa tuas di dalam dirinya sudah tertukar, karena alih-alih pulang—dan harusnya tidak terpengaruh sama sekali—ia membawa langkahnya memasuki tempat ini.

Pintu terbuka, dan Namjoon masuk. Langsung menempatkan dirinya di hadapan Seokjin. "Kenapa harus di tempat ini, sih?" kata Namjoon dengan wajah keras dan kelabu.

Seokjin tidak memperhatikan. Ia melipat kedua tangan dan mencondongkan tubuh ke arah Namjoon. "Siapa suruh ceroboh, kau menaruhnya sembarangan, Namjoon."

Secara naluriah, Namjoon menarik lengan Seokjin untuk benar-benar membuat kontak, kontak penuh, dengan seluruh sela-sela jemari Seokjin. Ia mencondongkan tubuh, berusaha bersikap lebih lembut. "Anak satu kelas mesti tahu kita bersama, Seokjin."

"Orang-orang di tempat ini juga termasuk, kan?"

Namjoon menggeleng. "Orang-orang luar hanya akan tetap mengambilmu walaupun mereka tahu kita pacaran. Tapi satu sekolah tidak akan berani melakukan itu."

Seokjin menahan tawa. "Oh ya? Kenapa?"

"Karena kau milikku, milik Kim Namjoon. Semua anak sekolahan takut padaku." Namjoon meremas jemari Seokjin dengan lembut, hati-hati, untuk berjaga-jaga kalau-kalau ia melakukan kesalahan.

Seokjin membalas sentuhan Namjoon di tangannya. Ia menukar tawa dengan senyum hangat. "Baiklah, Idiot," kata Seokjin. "Tapi berhenti mengirim surat-surat bodoh hanya untuk ajakan kencan. Tidak keren, sama sekali."

Namjoon tersenyum lebar, tidak hanya di bibir, tapi juga di matanya.

Seokjin lalu mengangguk, ia hanya akan selalu menyukai bagaimana cara Namjoon tersenyum kepadanya. Berbicara kepadanya, dan menyebutkan namanya. Seolah semua hal menjadi satu tingkat lebih terang. Sama sekali tidak ada kebohongan.

Karena Namjoon adalah matahari, dan itulah satu-satunya istilah yang bisa dipikirkan Seokjin untuk menjelaskannya.


(end)


Um, hai, halo. saya balik /yaterus yaudah gitu aja deh /dikepruk XD mengawali 2019 dengan kumpulan oneshot ini, semoga bisa tetap istikomah(?) *tebar confetti* selamat menjalani tahun yang baru, yeorobuuunn!

[5 Januari 2019, with luv—Rou]