Lupus Puer

Rated: T

Genre: Drama / Family

Pair: SBRL

By: Silexgrum

Disclaimer: J.K. Rowling

Warning: (agak) OOC, AR, ada OC

.

Enjoy Reading!

.

.


Di kamar apartemen mewah di London terdapat seorang lelaki yang sedang mengawali harinya di dapur—tangannya sibuk melambai-lambaikan tongkat sihir pada wajan yang menggoreng telurnya sendiri. Pupil matanya mendadak melebar ketika menyadari ada penyusup dalam ruang pribadinya—kedua lengan memeluk pinggangnya dari belakang. Tahu siapa yang melakukannya, ia tidak repot-repot memalingkan wajah untuk mengidentifikasi. Napas si pelaku menggelitik tengkuknya ketika dia mengatakan, "sarapan hari ini hanya telur?"

Pria yang dipeluk tertawa kecil akan nada pasangannya. "Yep."

Sirius—lelaki yang memeluk—melepaskan kedua lengannya dengan helaan napas yang berat. Dia tahu dia tidak akan menang argumen, jadi dia tidak akan menyia-nyiakan waktunya. Lelaki bersurai hitam gelap itu duduk di meja makan yang berada tidak jauh dari dapur—matanya mengikuti gerak-gerik pasangannya yang mempersiapkan sarapan di atas meja. "Hey, Moons."

Remus yang sudah ikut duduk di hadapan Sirius, menjawab pasangannya hanya dengan tatapan mata.

"Aku ingin punya si kecil."

Si rambut cokelat mengedikkan kepalanya bingung. "Maksudmu?"

Sirius memutar-mutar sendoknya gelisah; bingung cara mengungkapkan keinginannya dengan kata-kata tepat. "Kau tahu, yang berlari-lari di sekitar rumah itu."

"Ah—ya," Remus mengangguk paham, "anjing?"

Sirius menepuk dahinya frustasi. Bagaimana bisa otak pasangannya bekerja selambat ini, padahal tahun-tahun sebelumnya dia adalah prefek di asrama Gryffindor? Tangan pria tampan itu menaruh sendok kembali di sisi piring dan mendaratkannya ke atas punggung tangan Remus. "Rem, aku ingin keluarga kita lengkap. Seperti James dan Lily."

Pemahaman mencair di wajah Remus sebelum tergantikan dengan kepedihan. "Kita tak bisa, Pads. Pria tak bisa—" mendadak tatapannya menjadi tajam, "apa kau mengatakan kau akan mempunyai anak dengan wanita lain?"

Sirius bisa merasakan ketegangan di tangan Remus—buru-buru ia eratkan genggamannya, berusaha untuk menenangkan pasangannya. "Tidak, tentu saja tidak."

Pria bersurai cokelat itu menghela napas. "Katakan yang jelas apa maumu."

"Apa kau tidak pernah mempertimbangkan adopsi?"

Adopsi.. Adopsi. Jujur, Remus tidak terpikirkan sama sekali tentang adopsi. Mungkin ide Sirius tidak buruk juga. Dia mengerti perasaan si rambut hitam itu—dia sendiri suka iri pada Lily dan James yang mempunyai Harry. Lagipula, aturan di dunia sihir lebih fleksibel tentang keluarga dengan dua ayah dibanding di dunia muggle. Tapi, apa tidak apa-apa membesarkan anak dengan seorang werewolf?

"Aku.. sudah bertanya-tanya pada uh—petugas yang mengurus semacam itu, mengenai syarat dan prosedur yang harus kita lakukan," kara Sirius, "dan keadaan kita sudah cukup memenuhi kualifikasi yang dituntut."

Remus memandang iris kelabu Sirius yang dapat menenggelamkannya di langit-langit berawan kalau ia tidak berhati-hati menarik dirinya kembali ke kenyataan; kesungguhan dan harapan yang memenuhi iris kelabu itu cukup untuk Remus memberi kesempatan pada adopsi ini. Dia mengangguk perlahan. "Baiklah.."

Cengiran merekah di wajah tampan penerus Black itu, dia mencuri kecupan pada bibir pasangannya untuk memberi tahu rasa terima kasihnya. Kemudian, mereka kembali melanjutkan sarapan mereka yang telah dingin karena terlalu lama diabaikan, namun hal itu tak berlangsung lama karena bel mendadak berbunyi. Sirius membukakan pintu—langsung disapa oleh jenggot keperakkan dan kacamata bulan separo yang familiar. Lelaki jangkung dengan pakaian muggle eksentrik itu berdiri di hadapannya; tersenyum ramah di balik lebatnya jenggot keperakkan.

"Albus," sapa Sirius, balas tersenyum, "kau tahu topi kerucutmu itu membocorkan rahasia bahwa kau adalah penyihir bukan?"

Dumbledore terlihat terkejut. "Benarkah? Aku kira aku sudah mulai berbaur dengan pakaian ini," kedua tangannya membuat gestur ke seluruh tubuhnya yang ditutupi oleh pakaian muggle; kemeja ungu, celana kain hitam dan sepatu pantofel.

Sirius mempersilahkan Dumbledore masuk dan langsung duduk di sofa yang berhadapan dengan penyihir tua tersebut. "Jadi, ada perlu apa?"

"Mau lemon drops?" tawar Dumbledore; tangannya menjulur kepada Sirius yang menolak halus. "Ya, jadi keperluanku kesini adalah—tunggu, dimana Remus?"

"Rem!" seru Sirius ke arah ruang makan, yang dipanggil langsung terburu-buru menghampiri. Si rambut cokelat melihat Dumbledore dan langsung memberinya jabatan tangan serta sapaan ramah sebelum duduk di samping pasangannya.

"Kejutan yang menyenangkan! Ada perlu apa Albus?" senyum tertempel lekat di wajah Remus yang pucat.

"Ya, jadi aku sedang melakukan penelitian—aku akan selamatkan kalian dari detailnya," Dumbledore tersenyum kecil, "dan aku membutuhkan darah werewolf serta darah animagus."

Raut muka Remus terlihat sedikit tidak nyaman—dia agak curiga dengan kondisi yang Dumbledore katakan. Penelitian apa yang sebenarnya Dumbledore lakukan? Tapi, dia tahu pria ini tidak mungkin melakukan hal yang bersangkut paut dengan sihir hitam. Maka, ia menjulurkan lengan kirinya pada penyihir tua itu; mengizinkan darahnya untuk diambil. Begitu pula Sirius yang sudah mencerminkan tindakannya di sebelah.

Dumbledore memberikan pasangan di hadapannya cengiran berseri-seri. "Terima kasih. Ah—aku nyaris lupa, aku juga membutuhkan helaian rambut kalian."

"Ya, kenapa tidak?" Sirius langsung memberikan apa yang diminta Dumbledore begitu penyihir itu selesai mengambil darah mereka berdua. Penerus Black itu nyengir, "kau harus menunjukkan penelitianmu pada kami begitu selesai, Albus."

Pria bermata biru cemerlang itu tersenyum misterius kepada kedua pemilik apartemen. "Pasti."


"Sirius, kurasa Malia oke—"

Sirius menggelengkan kepalanya dan langsung melangkah pergi dari rumah panti asuhan tanpa melihat belakang lagi, ia sedikit merasa bersalah ketika mendengar helaan napas lelah dari lelaki berambut cokelat di belakangnya. Sudah berminggu-minggu mereka mencari-cari anak yang terlibat keadaan aneh dan semacamnya—seorang penyihir cilik. Mereka sudah sepakat akan mengadopsi anak penyihir, tetapi ternyata mencari anak penyihir sesuai keinginan mereka—lebih tepatnya Sirius—tidak semudah yang di bayangkan.

"Aku kan sudah bilang, aku ingin anak lelaki," kata Sirius, "dan yang seumuran dengan Harry."

James tertawa, sebelum pura-pura bergidik ketakutan. "Aku mulai ngeri dengan obsesimu pada anakku lho, Pads."

"Hey, apa salahnya kalau aku ingin Harry punya teman sepermainan?" Balas Sirius ketus.

"Tidak ada, kok. Tidak ada, kecuali kalau kau memaksakan anak adopsimu yang harus menjadi teman sepermainan Har—" belum selesai James mengucapkan nama anak pertamanya, Sirius sudah membungkam mulutnya dengan kaus kaki lantaran kelewat kesal.

"Paddy!" suara anak kecil dari ambang pintu menghentikkan aksi balas dendam James. Mini-James merangkak menyeberang ruangan menuju lengan ayah baptisnya yang terbuka lebar; menyambut kedatangan si kecil Harry.

"Dad nggak disapa?" James memajukan bibirnya; cemberut. Harry tertawa melihat kelakuan ayahnya—ia mengecup cepat bibir yang cemberut itu.

"Buat Paddy mana?" tuntut Sirius setelah melihat Harry mencium James. Anak kecil di lengannya memasang tampang berpikir dengan serius—jari telunjuk mungilnya ia taruh di dagu.

"Nda ada!" Harry cekikikan melihat reaksi Sirius. Sebelum Sirius bisa melakukan apa-apa, teriakan "makan malam sudah siap" dari ruang makan membuat anak kecil yang terkikik itu melompat dari lengannya. Kedua orang dewasa yang di tinggal langsung menyusuli Harry ke ruangan sebelah.

Makan malam terlaksana tanpa ada keributan yang heboh yang biasanya terjadi kalau kedua sahabat James itu mampir. Sirius dan Remus sedang mengecek kembali rumah panti asuhan yang akan mereka kunjungi, Lily sedang mendengarkan radio WWN—Wizarding Wireless Network—dan James sendiri sedang sibuk menyungkil sisa-sisa daging di sela giginya ketika burung hantunya yang berwarna kecokelatan—Fanny—mendarat di bahu dan menjulurkan kaki yang ada gulungan surat. Ia mengambilnya dan membacanya cepat:

Dear James & Lily,

Penelitianku sudah sukses. Tolong berikan alamat yang kutulis kemarin kepada mereka.

A.P.W.B.D

James mendengus melihat inisial nama Albus yang kepanjangan. Ia meremas perkamen kecil itu dan memasukkannya ke kantong celana. "Um, Pads. Kurasa aku tahu dimana kau harus mencari anak untuk di adopsi."


Sirius mengetuk pintu kayu di hadapannya sekali lagi. Tangannya dilipat di dada; ia mulai kesal karena pemilik rumahnya tidak memberi jawaban sama sekali. Ia memakai pakaian muggle yang dipilihkan Remus—kemeja biru langit serta celana khaki, pakaiannya lebih casual dibanding Remus yang memakai kemeja putih dan celana kain hitam. Tangan Sirius sudah melayang ke pintu lagi ketika tiba-tiba pintu tersebut membuka ke dalam.

"Ada perlu apa?" tanya si pemilik rumah, nadanya terdengar dipaksakan ramah. Pria yang berada di ambang pintu itu sekepala lebih pendek dari Sirius dan tidak mempunyai rambut sama sekali—matanya yang gelap dan kosong itu menatap bergantian pada Sirius dan Remus.

Remus langsung mengenalkan diri mereka dengan sopan dan keperluan mereka kemari. Pria tadi—Mr. Smith—mempersilahkan mereka masuk dan menjelaskan tentang anak yang menjadi alasan mereka datang. Bahwa ternyata, Mr. Smith sendiri tidak tahu menahu tentang asal usul anak tersebut karena ia baru menemukannya kemarin malam di depan pintu rumah.

"—beserta surat ini," Mr. Smith memberikan surat yang datang bersamaan dengan anak tersebut kepada Sirius.

Mr. Smith, seribu maaf sebelumnya karena telah tidak sopan meninggalkan tanggung jawab di depan pintu rumah Anda. Saya harap Anda mau menjaganya untuk sehari, besok orang tua kandungnya akan datang dan menjemputnya—Sirius Black dan Remus Lupin. Di bawah keranjang terdapat sejumlah uang untuk tanda terima kasih saya dan permohonan maaf.

Kemudian Mr. Smith memberikan anak yang telah menjadi pokok permasalahan tersebut kepada Remus. Pria rambut cokelat madu itu tidak bisa menahan dirinya untuk tidak terperanjat kaget, begitu pula dengan Sirius yang tercekat napas. Mereka tidak bisa disalahkan, tidak jika anak kecil yang sedang di gendong Remus ini bisa sangat mirip dengan keduanya—iris kelabu berawan, tulang pipi tinggi, alis mata tebal dan bibir kemerahan yang kontras dengan kulit putih susu. Remus melepas napasnya yang ia tidak sadar ditahan; iris cokelatnya bertemu dengan iris kelabu berawan yang identik dengan Sirius.

"Ini—ini jelas anakmu Pads," kata Remus pelan.

"Anak kita, Moons." Koreksi Sirius, "lihat alis dan bentuk hidungnya itu."

Mereka saling bertukar pandang—mendadak semua terasa masuk akal, maksud dari kedatangan Albus dengan permintaan anehnya, dan munculnya anak penyihir yang sesuai dengan kriteria Sirius serta tulisan tinggi-tinggi keriting yang sangat familiar di surat yang datang bersama anak ini. Terburu-buru, mereka pamit pada Mr. Smith dan mengucapkan terima kasih berulang kali karena telah menjaga anak bersurai hitam itu. Remus meletakkan dengan hati-hati anak mereka di atas ranjang bayi yang sudah mereka siapkan. Badannya memutar menghadap Sirius yang memerhatikan seluruh keadaan tanpa bergerak sedikit pun dari ambang pintu. Remus mengangguk pada anak yang sekarang tertidur pulas, "bagaimana dengan namanya?"

"Ah—Vincent," senyum simpul tampak di wajahnya yang kental dengan keangkuhan keluarga Black, "aku sudah memikirkannya selama beberapa hari ini, Vincent—to conquer 'menaklukkan', prevailing 'kuat'aku berharap anak kita akan bisa menaklukkan kegelapan yang menyelimuti dunia sihir sekarang ini, dan arti dari nama Vincent mengandung harapanku. Bagaimana menurutmu?"

Kedua ujung bibir Remus tertarik ke atas; membentuk senyuman. "Ya, Vincent bagus juga, hm?"

Senyum berubah menjadi seringai. "Tentu saja bagus, aku yang memilihnya. Lalu nama tengah serta belakangnya adalah namamu; Vincent Remus Lupin."

Remus mengernyit, "kurasa wajah aristokrat ini," ia melambai kepada anak yang tidur di ranjang bayinya, "lebih cocok membawa nama keluargamu, Pads."

Pria bersurai hitam yang berdiri di ambang pintu itu menaruh tangan di dagunya; berpikir. "Betul juga, Vincent Remus Black. Sounds perfect!"

"Tampaknya membuat keluargamu kesal masih menarik buatmu ya?" tanya Remus kepada Sirius yang sekarang tertawa terbahak. Ketika Remus berbicara lagi nadanya tidak serius, dan diselingi senyum jahil serta ekspresi sedih bohongan, "menikah dan mempunyai anak bersama seorang werewolf, di tambah lagi anak tersebut membawa nama Black. Keluargamu pasti sudah bersiap-siap membunuhku sekarang juga."

"Hey! Kau yang mengusuli pertama kali, Rem—"

Bel memotong perkataan Sirius. Suasana bercanda tadi mulai berubah kembali menjadi serius, mereka memandang satu sama lain sebelum mengangguk.

"Sirius, dan Remus! Kurasa kedatanganku sudah kalian harapkan?" tanya Dumbledore begitu ia masuk apartemen mereka—mata biru cemerlangnya menatap kedua pria yang raut mukanya tak terbaca.

"Kuharap kau punya alasan bagus Albus," geram Sirius.

Dumbledore mengangkat tangannya dalam posisi menyerah. "Tenang Sirius, aku akan menjelaskan semuanya pada kalian. Bagaimana keadaannya? Baik-baik saja bukan?"

Alih-alih menjawab Remus hanya menatap penyihir tua yang duduk di hadapan mereka. "Penelitian pada manusia, really Albus? Aku—kami menghormatimu, atau setidaknya dulu."

Dumbledore menghela napas—tangannya mengusap-usap pelan jenggot keperakkan miliknya. Sepertinya ini akan menjadi malam yang panjang. "Bagaimana kalau kalian duduk dulu? Aku berjanji akan menjelaskan semuanya."

Sirius dan Remus mengikuti saran Dumbledore—mereka duduk di sofa seberang pria tua itu. Dengan seksama, mereka mendengarkan penjelasan Dumbledore yang rinci walaupun terasa ada beberapa bagian yang hilang, mereka tidak menanyakan lebih lanjut karena penjelasan yang sekarang sudah cukup dapat diterima. Kelegaan membanjiri tulang belakang mereka ketika si kepala sekolah menerangkan mengenai tidak akan ada efek samping atau sesuatu yang membahayakan si anak serta meyakinkan mereka bahwa tidak ada makhluk hidup yang tersiksa selama proses penelitian.

"—tapi, aku mencurigai dia juga seorang werewolf," akhiri Albus.


Besoknya Sirius dan Remus pergi ke rumah keluarga Potter untuk mengenalkan anak baru mereka. Sebagai Penjaga-Rahasia keluarga Potter, Sirius dapat menemukan jalan ke rumah sahabatnya itu dengan mudah.

"Menurut Albus, umur Vincent sekitar 1 tahun," kata Sirius kepada James yang memandang takjub pada anak yang sedang di gendong Remus. Vincent yang berada di gendongan balas memandang mata James tanpa takut.

"Apa kau sudah mendaftarkan Vincent dalam nama keluargamu?" tanya James sembari mengaduk kopi paginya.

Sirius menjawab hanya dengan gelengan kepala—sebenarnya dia masih kurang yakin dengan keseluruhan situasi ini, tapi anak yang sangat diinginkannya sudah ada dan nyata, dan ini bukan hal yang bisa ia undo begitu saja. Bukan, ia bukannya menyesali keputusan mengadopsi anak, hanya saja.. ada sesuatu yang mengganjal disini. Ia tidak bisa menjelaskan apa sebenarnya yang menggelitik perutnya—tidak pula ia bisa mengatakannya pada Remus. Matanya ia arahkan pada Lily yang baru datang ke ruangan membawa Harry kecil yang masih mengantuk di gendongannya, langsung saja ia melompat dari duduknya dan merebut mini-James dari sang ibu.

"Hey—Kau sudah ada Vincent!" protes James di sebelah Remus, alisnya bertaut tak setuju dengan kelakuan sahabatnya.

"Bukan berarti kasih sayangku pada Harry akan berkurang," Sirius menciumi pipi kemerahan Harry. Sang korban yang masih setengah bangun tidak punya kekuatan untuk melawan serangan-serangan ayah baptisnya, jadi dia hanya diam tak berdaya di gendongan pria itu. Namun, ketika iris emeraldnya bertemu pandang pada iris kelabu milik anak kecil yang berada di gendongan Remus—langsung ia berontak dan meminta untuk diturunkan.

"Um—sypa?" tanyanya sembari merangkak menuju kaki Remus—pertanyaannya ia tujukan pada ayahnya.

James mengangkat anaknya ke sofa dan menyuruhnya berjabat tangan pada anak kecil satu lagi. "Kenalkan Harry, ini Vincent Black anak Paddy dan Moony."

"Harry," ulang Harry pada anak kecil yang memandangnya penasaran juga, tangannya sudah terjulur ke depan.

Vincent memandang Harry dan tangannya bergantian sebelum memiringkan kepalanya bingung. Remus mengambil alih situasi—ia menggerakkan tangan Vincent untuk berjabat tangan dan menyuarakan nama anaknya itu.

"Vincent belum bisa bicara?" tanya James begitu paham kebungkaman anak bermata kelabu itu.

"Sepertinya belum.." jawab Remus. Kemudian ia baru ingat salah satu alasan mereka kemari selain mengenalkan Vincent, "ah James, mengenai bulan purnama minggu depan, bisakah kau menggantikan Sirius menemaniku?"

"Tentu. Memangnya kenapa?"

"Aku akan mengawasi bulan purnama pertama Vincent di rumah, Prongs." Sirius yang menjawab pertanyaan si rambut berantakan.

"Oh ya, Remus. Kalau tidak salah kau bilang Wolfsbane persediaanmu sudah habis bukan?" seru Lily tiba-tiba. Wanita itu mendadak keluar ruangan dan kembali lagi membawa beberapa botol ramuan di pelukannya. Kemudian, ia memberikan kantong plastik bekas belanjaan di dunia muggle pada Remus dan memasukkan botol-botol ramuan itu ke dalamnya. "Untung aku langsung membuat banyak."

"Aku masih ada satu botol lagi sih—tapi, terima kasih Lils," Remus tersenyum tulus.


"Wolfsbane sudah di bawa kan?" Sirius menanyakan pada pria di hadapannya yang membawa tas punggung. Pria tersebut mengangguk ke tasnya—mengisyaratkan ramuan tersebut sudah aman di dalam tas. "Baju ganti? Air mineral? Selimut? Obat sakit kepal—"

"Sirius," Remus tidak bisa menahan senyumnya. "Aku bukan kau yang suka melupakan barang. Tenang saja, semuanya sudah aman di tas ini."

Alis Sirius mengerut. "Tidak ada salahnya mengecek dua kali. Lagipula, ini pertama kalinya aku tidak ikut menemanimu."

Nada bicara Sirius yang penuh dengan kekhawatiran membuat perut Remus bergejolak tidak nyaman—ia juga bisa mencium kegelisahan menguar dari aroma Sirius yang biasanya menenangkan dia sebelum transformasi, tetapi sekarang malah ikut membuatnya gelisah. Hidungnya berkedut ketika gelisah bercampur dengan cemas dan takut—indera-inderanya memang menjadi sangat sensitif ketika bulan purnama sudah dekat, apalagi tinggal menghitung jam seperti sekarang ini—membuat organ di perutnya berlompatan panik. Tapi, dia tidak mungkin menunjukkan kepanikkannya pada Sirius. "James bersamaku, tenang saja Pads. Semua akan baik-baik saja."

Remus bisa melihat pundak Sirius mulai relaks. Dia tersenyum bangga pada suaranya tadi yang terdengar meyakinkan.

"Okay, be safe honey." Sirius bergerak mendekati Remus untuk memeluknya sebelum memberi kecupan di dahi dan bibir pria yang hendak pergi tersebut.

"Moony! Mau sampai kapan disitu? Ayo, pergi!" Seru James di ambang pintu.

Sirius menutup kembali pintu apartemen setelah Remus dan James pergi ke rumah kosong tempat Remus dapat bertransformasi tanpa khawatir akan melukai orang lain. Dia mengeluarkan helaan napas panjang sebelum melangkahkan kaki lebar-lebar menuju kamar si kecil Vincent. Ditariknya kursi dari ujung kamar menghadap ranjang Vincent, mata siap mengawasi perubahan werewolf cilik ini. Setelah menguap berkali-kali mengawasi Vincent yang grasak grusuk sendiri di ranjangnya, mulai terlihat ada sesuatu yang aneh terjadi—mata kelabu si kecil mulai berubah menjadi biru terang ganjil, tidak seperti mata serigala Remus yang berwarna amber keemasan; bulu-bulu yang tumbuh dengan kecepatan luar biasa di seluruh permukaan kulitnya berwarna burnt sienna—cokelat dengan bayang-bayang kemerahan—tidak perak seperti transformasi Remus; moncongnya yang memanjang mulai menciumi udara takut-takut—sekali lagi, tidak seperti Remus yang langsung menggeram dan melolong ketika moncongnya sudah berubah sepenuhnya. Perbedaan yang paling disadari Sirius adalah anaknya sama sekali tidak berteriak, menjerit, ataupun memohon untuk rasa sakit transformasi itu berakhir.

"Vincent..?" panggil Sirius pelan, tongkat sihir sudah siap di tangan kanannya.

Merasa dipanggil serigala mungil itu menoleh dengan mata birunya yang menunjukkan kepolosan. Saat itu juga Sirius langsung memutuskan untuk menurunkan tongkat sihirnya—Vincent bukan ancaman, apakah ini perbedaan werewolf yang digigit dan werewolf dari lahir? Tidak, tidak, dia sudah menguasai materi tentang werewolf sejak tahun ketiga di Hogwarts—tidak ada werewolf yang jinak tanpa meminum Wolfsbane, dan belum ada werewolf yang memiliki bulu selain perak.. Vincent, sebenarnya kau apa?

Serigala mungil itu mulai merengek manja—kepalanya ia sodorkan ke telapak tangan Sirius yang terbuka di dekat ranjang, membuat sang empunya tersontak oleh tindakan yang tidak di duga tersebut.

"Um—Vincent.. apa kau tidak apa-apa?"

Vincent tidak menjawab—kepalanya tetap ia dorong-dorong ke telapak tangan Sirius, merayu untuk dielus. Sirius menyerah dan mengikuti keinginan anaknya itu. Keseluruhan tampak bagus karena tidak perlu ada kekacauan untuk menangkap manusia serigala liar—tapi, di saat bersamaan juga ia ngeri dengan keganjilan di mata biru terang Vincent dan seluruh tubuh serigalanya yang berbeda dari manusia serigala asli.

Apa yang sebenarnya Albus lakukan pada anak ini?


Hai semuaa, maafkan saya bukannya balik membawa chapter baru tapi malah merevisi chapter-chapternya! Warning! Seluruh chapter akan saya tulis ulang! Plot tetap sama, hanya cara menulis saya yang berbeda! Terima kasih semua yang mendukung dan membaca Child (berganti judul menjadi Lupus Puer sekarang). Sampai jumpa di chapter berikutnya!

Harap mengklik tombol review di bawah ini *winkwink*