Skeleton In The Closet
Main Cast(s): Jeon Jungkook dan Kim Taehyung
Rating: T, sampai detik sebelum chapter berikutnya diterbitkan.
Jungkook berdiri di balkon kamarnya. Ia membungkuk, kedua sikunya bertumpu pada pagar besi yang hanya setinggi satu meter. Matanya menyapu pemandangan laut lepas yang berada tepat di hadapannya; suguhan panorama yang memang menjadi daya tarik bagi hotel bintang tiga di daerah Jocheon-eop, Pulau Jeju.
Jungkook sudah tak lagi menghitung; entah sudah yang keberapa kalinya ia menghirup napas dalam. Ada sesuatu yang membuatnya begitu gundah. Rasanya seolah-olah ada yang kosong di dalam dirinya. Seolah-olah ada yang baru saja pergi, atau mungkin sudah lama pergi dan Jungkook baru merasakan sakitnya. Seperti sayatan luka yang baru disadari setelah diterpa angin dan terkena debu.
Jungkook menelusupkan jemarinya di antara rambut hitamnya yang sedikit berantakan. Ia menunduk, membiarkan angin meniupkan kembali rambutnya, memandang pasir pantai, jalanan setapak, orang-orang lalu-lalang; mencoba mencari alasan dari perasaan aneh yang memenuhi rongga dadanya. Jantungnya berdetak tidak teratur. Paru-parunya memompa udara yang terasa begitu berat.
Ia bukannya tidak suka berorganisasi ataupun bersosialisasi. Tidak, Jungkook bukanlah introvert yang menghindari kerumunan. Ia suka. Ia suka travelling. Ia suka party. Ia suka midnight driving. Ia bahkan menyukai hiking. Dan acara field trip yang diadakan oleh organisasi di universitasnya seharusnya menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan karena ia pasti menemui acara-acara kesukaannya itu.
Seharusnya. Tetapi saat ini Jungkook tidak menemukan kenyamanan di tempatnya berdiri sekarang. Segala sesuatunya terasa salah. Ia tidak seharusnya ada di tempat ini.
Hal tersalah yang ada saat ini adalah perasaannya. Karena Jungkook bahkan tidak menemukan alasan kegelisahan hatinya. Dan itu semakin membuatnya gusar.
"Jungkook!"
Jungkook menoleh ke sumber suara yang berada tepat di bawah balkonnya. Pria menyebalkan dengan badan well-built namun pipi chubby dan senyum bodoh.
"Aku memanggilmu belasan kali. Telpon pun tidak diangkat. Apa yang kau lamunkan, man? Ayo, ikut aku!" serunya. Ia memandang ke atas, tepatnya kepada Jungkook di lantai tiga. Ia menyipit, satu tangan menaungi matanya dari sinar matahari sore yang masih cukup menyilaukan.
"Aku tidak mela-"
"Aku tidak menerima penolakan. Aku tunggu di sini. Lima menit!" Ia segera berpaling dan berjalan sedikit menjauh sementara Jungkook melengos karena tidak sempat membantah.
Jungkook segera masuk ke kamar, menyambar ponsel dan dompet yang berada di bedside lalu segera keluar dan mengunci kamar. Ia tidak perlu repot-repot memikirkan teman sekamarnya karena ia telah mereservasi kamar untuk dirinya sendiri; suite room.
"Jadi, mau ke mana kita?" Tanya Jungkook separuh hati.
"Tidak bisakah kau sedikit lebih hidup, Jungkook?" Pria di sebelahnya balik bertanya. "Kenapa, sih?"
"Tidak apa-apa," jawab Jungkook datar. Ia berjalan beberapa langkah di belakang teman dekatnya sejak SMA itu. "Kita ke mana, Park Jimin?" ulangnya.
"Uh. Kau sungguh menyebalkan," keluh pria bernama Jimin itu. "Baiklah, aku tidak memaksamu untuk bercerita masalahmu, oke? Tapi setidaknya nikmatilah trip ini," Jimin berhenti. Ia membalikkan tubuhnya lalu meninju bahu teman satu jurusannya itu. "Ayolah, Jungkook!" Jimin begitu gemas melihat reaksi yang tidak berubah dari manusia di hadapannya. "Kita ke cafe di ujung jalan itu," desah Jimin, menyerah.
"Untuk?"
"Mencarikanmu pelipur lara," celetuk Jimin ringan. "Hei! Tidak usah menjitakku, Bocah!"
"Baik, baik! Aku tidak jadi menyebutmu bocah. Aku perbaiki kata-kataku. Aku ingin bertemu teman-temanku!" Seru Jimin gusar sambil berusaha menghindari pukulan keras dari Jungkook. "Ada Hoseok Hyung juga, kok!"
Dan Jungkook hanya memutar matanya malas. Setidaknya ia berolahraga sedikit.
Jungkook berusaha untuk terlihat lebih cerah. Ia menghela napas lalu memasang senyum — yang lebih ditujukan untuk dirinya sendiri— sembari mengikuti langkah Jimin yang sudah terlebih dahulu masuk ke cafe. Ia mendorong pintu kayu bercat putih. Lonceng kecil berdenting disertai sapa hangat pelayan di cafe tersebut.
Jungkook menyunggingkan senyum simpul sembari berjalan mendekati meja di outdoor spot. Ada dua orang yang tidak ia kenal selain Jimin dan Hoseok. Seingatnya, pria dengan tubuh well-built dan rambut blonde di sebelah Jimin adalah exchange student dari Taiwan, dua semester di atasnya, dan satu jurusan dengan Hoseok. Sementara satu orang lagi, berwajah tirus dan rambut burgundy, benar-benar asing di matanya.
Jungkook membungkukkan badan sebagai formalitas terhadap orang yang tidak dikenalnya. Ia lalu mengambil posisi di sebelah Jimin, duduk di kursi paling ujung. Berbeda halnya dengan Jimin yang merangkul orang-orang di hadapannya dengan akrab kemudian langsung larut dalam pembicaraan mengenai laga sepak bola dengan begitu berapi-api. Seperti ledakan bensin di tangki yang tidak sengaja tersulut puntungan rokok.
Jungkook hanya menjadi pendengar; sesekali menanggapi percakapan karena ia memang tidak sedang mood berbicara. Selain itu, ia hanya tersenyum dalam diam atau mengecek ponsel yang sebenarnya tidak bernotifikasi sedikit pun.
"Omong-omong, Jungkook, menurutmu Taehyung bagaimana?" Tanya Hoseok tiba-tiba, menyeretnya untuk ikut masuk dalam perbincangan yang sempat membuat mereka berisik selama beberapa menit sebelum.
Jungkook mendongak. "Kim Taehyung? Jurusan sastra Korea? Aku hanya tau namanya karena ia juga anggota organisasi kemahasiswaan," jawab Jungkook sebelum menyesap green tea latte dingin yang dari tadi tidak ia sentuh. "Aku tidak mengenalnya secara personal."
"Menurutmu bagaimana orangnya?" desak Jimin dengan begitu antusias. Ia bahkan mencondongkan tubuhnya. Jungkook mengernyit.
"Menurutku sepertinya dia terlihat cukup berantakan di luar. Ehm... Cuek? Tapi-"
"-tapi?" pancing Hoseok sedikit tidak sabar.
Jungkook diam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang pas. "Tapi dia bertanggungjawab atas sesuatu yang sudah dipercayakan padanya," jawab Jungkook ragu-ragu. Ia kemudian diam dan menunggu reaksi teman-temannya. Mereka jadi ribut dan Jungkook hanya berekspresi tidak mengerti. "Apa aku salah?"
"Kau tau? Taehyung itu spesial," Hoseok akhirnya berbicara padanya, berusaha menjawab tanda tanya yang mungkin muncul di sekitar wajah Jungkook.
"Spesial bagaimana?" Jungkook semakin tidak mengerti.
"Jadi dia...," kakak kelas, sekaligus tetangga satu apartmentnya itu berhenti begitu saja. Pandangannya beralih pada pintu masuk di belakangnya. "Ah, itu orangnya."
Jungkook sedikit memiringkan wajahnya kemudian mendapati seorang Kim Taehyung yang berjalan ke arah tempatnya duduk. Langkahnya ringan namun begitu pasti.
Ia belum pernah bertemu dengan Kim Taehyung secara langsung dalam radius kurang dari satu meter. Hal pertama yang menjerat perhatiannya adalah matanya yang sepekat batu bara. Jungkook mengamati bagaimana pria bernama Taehyung itu mengedarkan pandangannya ke segala sudut cafe. Sorot matanya unik; sehangat kopi pagi namun juga sedingin angin malam. Perpaduan antara rasa bosan namun penuh selidik. Jungkook tidak keberatan untuk memandanginya seharian, hanya melihatnya berjalan dan memindai segala sesuatu di sekelilingnya. Ia kemudian menggeleng sekali, menampik impresi pertamanya.
Jungkook belum pernah mengamatinya sedemikian lemat. Universitas tentu tidak seketat sekolah dan seingat Jungkook, manusia bernama Taehyung itu memang gemar gonta-ganti warna rambut. Tapi saat ini rambutnya semerah pomegranate; terlihat acak-acakan namun sangat natural dan -sangat tidak bisa dipungkiri- seksi.
Ia buru-buru mengalihkan pandangannya -antara enggan dan segan- ketika Taehyung berjalan ke arahnya, menggeret kursi di hadapannya kemudian duduk dengan santai dan melewatkan segala macam formalitas untuk satu orang yang tidak dikenalinya; Jungkook.
"Jungkook, benar?"
Jungkook mendongak setelah berpura-pura sibuk dengan ponselnya lagi. Matanya bertemu dengan mata Taehyung. Beberapa detik dan rasanya seperti menyelami galaksi yang begitu kelam, namun menyembunyikan sejuta kejutan. Alarm di dalam pikirannya berseru kencang; Taehyung orang yang berbahaya. Jungkook lagi-lagi mengalihkan pandangan, bahkan lupa untuk menjawab.
"Jadi... Psikologi?" Suara Taehyung menginterupsi perhatiannya lagi.
Jungkook memandang lurus ke depan, beralih dari percakapan teman-temannya yang lain. Ia hendak mengangguk.
"-atau psikopat?"
"Maaf?" Jungkook mengerutkan kening. Ia tidak tersinggung sama sekali tapi justru hal yang terlintas di pikirannya dalam waktu sepersekian detik adalah, 'bagaimana ia tau?'
Tidak, Jungkook bukan psikopat atau pun pembunuh orang yang keji. Ia hanya... Ketika ia marah, seolah pikiran alaminya memproyeksikan hal kejam untuk melampiaskan emosinya. Tapi tentu saja, Jungkook cukup waras untuk mengontrol segala gerakan tubuhnya. Kalau ada orang yang bisa membaca pikirannya, mungkin mereka berpikir Jungkook berpotensi jadi psikopat. Tapi pokoknya dia tidak pernah bertindak kejam.
"Bukan berpotensi, tetapi memang psikopat," celetuk Taehyung membuyarkan lamunan Jungkook. Perkataannya seolah menyanggah kalimat yang bergelayut di pikiran Jungkook. "Jungkook...," Taehyung mencondongkan tubuhnya ke depan. Ada jeda beberapa detik sebelum satu tangannya terulur mengusap lingkar hitam di bawah matanya. "Half angel, half demon," kata-katanya mengambang; menewarang.
Jungkook terkejut dengan sensasi buku-buku jari Taehyung yang menyentuh permukaan kulitnya. Butuh beberapa detik sebelum kewarasannya berdering nyaring. "Itu tidak sopan," Jungkook mengernyit dan sedikit memundurkan tubuhnya.
Taehyung melipat tangannya di atas meja. Ia terkekeh, memamerkan deretan gigi yang bersih dan rapi, lalu mengerling nakal ke arah Jungkook. Satu tangannya merogoh sesuatu di kantung celananya. "Cigarette?" Tanyanya selagi menyodorkan sekotak rokok yang tinggal setengahnya.
"Aku tidak merokok."
"Oh, baiklah," Taehyung merogoh kantung celana yang lain. Ia kemudian berdiri dan berjalan menjauhi meja mereka, ke sudut smoking area yang lebih sepi. Jungkook mengamati caranya menyalakan rokoknya. Angin cukup kencang hingga mematikan api dari pemantiknya beberapa kali. Ia mengumpat dan Jungkook merasa itu lucu. Kepulan asap putih menguar dari celah bibirnya. Jungkook mencermati arah pandangnya; jauh, menerawang ke lautan lepas, seperti yang ia lakukan beberapa waktu lalu.
"Jadi...," Jungkook berpaling ke Jimin. Ia baru menyadari teman-temannya tidak berisik lagi tapi justru memperhatikannya. "He's mind reader, huh?"
Hoseok menatap seseorang di sampingnya sebelum balik menatap Jungkook. "Silahkan konklusikan saja sendiri," celetuknya disertai senyum penuh arti.
To Be Continued or To Be Deleted Soon?
Jadi... gimana?
Seperti biasa, it's been a long time since the last time i made a fan fiction. because... for goodness sake i think i lost half of my ability to write...
Yha. Abaikan saja. RnR juseyo~ aku butuh kritik dan saran karena aku sadar (sekali) masih banyak yang kurang dari fiction ini. Aku bakalan berusaha yang terbaik kalo kalian tertarik.
30 response(s) means tbc. is it too much to ask for?
Terimakasih semuaaa~
