Disclaimer: SVT Pledis Entertainment. No advantages taken. I claim none but storyline; no copyright infringement intended.


Musim berlalu hanya dalam satu kerlingan mata.

Jihoon mempelajarinya semenjak dia pindah ke Jepang. Mungkin itu pengaruh lingkungan yang selalu sibuk tiap harinya; karena di sana kau tidak bisa melihat masyarakatnya diam barang sedetik. Mobilitas menjadi faktor penting jika kau ingin bertahan tanpa disenggol.

Tipikal pria dewasa yang menggantungkan hidup pada pekerjaan, Jihoon menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk duduk di depan meja kerja. Dengan tumpukan file serta bercangkir-cangkir kopi instan. Layar komputer berkedap-kedip; tak pernah diberi istirahat.

Dia memilih menjadi kreator komik karena dia tidak perlu berhadapan langsung dengan orang-orang. Bukannya dia tertutup, tapi bibi tetangga di Jepang kadang jahat jika berprasangka. Di lain sisi, Jihoon senang berkhayal.

Jihoon membangun istana berpasir lengkap dengan kapal alien. Pernah juga dia membuat heroinnya tertabrak truk kemudian bereinkarnasi menjadi babi. Karyanya fenomenal sebab dia benci dicap biasa.

Dia adalah yang disebut bakat terpendam.


Spring is Gone by Chance

-Azura Eve-

.

.

.

Lenght/WC: Multi-chapter (1/?)

Pairing: SoonHoon (slight other pairs)

Genre(s): Humor, Romance, Josei, Slice-of-Life

Rating: T (PG-12)

.

.

.

warning(s): AU; Mangaka!Jihoon, Editor!Soonyoung; dry-humor; contain things related to animanga; mention brand(s)
((this supposed to be crack but ... i don't think it is.))


Hari ini jadwal Jihoon untuk menyerahkan sketsa mentah ke staf produksi.

Selama ini, orang-orang perusahaan tidak banyak mengenalnya – karena nama penanya berbanding terbalik dari nama aslinya, jadi dia bisa melewati lantai dasar dan dua dengan santai. Departemen pengeditan berada di lantai tiga. Spanduk berangka memajang ilustrasi serial yang tengah dia kerjakan. Jihoon berlalu dengan dada berbunga-bunga.

"Aku senang kau menyelesaikan pekerjaanmu sebelum tenggat waktu," Editornya bergumam, "tapi akhir-akhir ini kau seperti lupa memberi 'feel'."

Jihoon tidak sependapat. Dia menghabiskan pagi dan malamnya untuk menguras inspirasi dan berpacaran dengan kertas. Jadi, tidaklah salah jika dia mau klarifikasi. "Di. Panel. Yang. Mana?" tuntutnya.

Editornya menunjuk sana-sini; yang mana menurut Jihoon (semestinya) baik-baik saja. "Ini, kau mestinya menggambar lebih serius. Sebenarnya pesannya sudah tersampaikan, tapi ekspresi si gadis kurang memancing emosi pembaca. Apakah yang seperti ini layak untuk diterbitkan?"

Jihoon menggeram. Dia tidak mau setengah-setengah. Pada akhirnya dia mengambil naskah dari tangan editornya yang bertampang congkak (setidaknya saat ini).

Dia gemas ingin mengobrak-abrik meja sang editor, atau kalau perlu orangnya sekaligus. Belum lagi, sengiran lebar menyebalkan itu sungguh-sungguh memancingnya untuk memberikan jambakan.

"Aku baru bersedia melakukan proof-read jika kau sudah bisa memberikan kesan bahwa mereka pacaran. Dari yang kulihat, si pemuda seperti mencium adiknya sendiri. Bukan pacar."

"Kau beruntung ini di kantor," Jihoon meluapkan kemarahannya lewat kepalan tangan, "karena jika kita sekarang ada di rumahku aku bersumpah kau akan tinggal nama!" desisnya.

Editornya kurang senang disebut 'kau' terus-menerus.

"Hei, aku punya nama. Apa kau sudah lupa? Ya ampun, apakah sebegitu parahnya kau ingin melupakan mantanmu sendiri?!"

"Jangan pernah mengaku-ngaku karena kita tidak pernah saling mengenal, oke?"

Sang editor bersiul. "Kurasa kau hanya menyiksa dirimu sendiri karena mati-matian ingin mengubur kenangan. Bukan begitu, Jihoonie?"

"Inilah kenapa setiap hari aku selalu berharap kau cepat mati, Soonyoung!"

Dan ini juga sebab utamanya dia pindah. Kwon Soonyoung. Pria Korea, sama sepertinya. Tiga bulan pertama, Jihoon bisa bernapas lega. Dia tidak bisa menemukan Soonyoung di manapun. Tidak ada tampang sengak atau tawa menyebalkan. Tapi takdir selalu gampang berubah. Dia mengharap hidup yang baru, tapi ternyata Soonyoung muncul di perusahaan penerbitan tempatnya bernaung ketika menyetor judul baru. Terlebih lagi, dia yang ditugaskan jadi editor barunya. Benar-benar bisul di pantat!

"Kalau kau masih belum bisa menggambar orang berciuman, sini biar kuajari. Gratis!"

Jihoon pergi dengan kepala berasap.


Soonyoung pernah menjalin hubungan dengannya.

Jihoon tidak akan menyangkal karena sejarah memang tidak boleh diubah.

Masa berhubungan mereka memang tidak lama; tapi pria itu adalah cinta pertama Jihoon. Butuh waktu berbulan-bulan bagi Jihoon untuk bangkit, menata hari-harinya yang pernah dimasuki Soonyoung. Lantas, dia menganggap seluruh kenangan yang pernah mereka buat adalah masa lalu.

Alasan mereka putus sebenarnya agak kocak.

Jihoon meledak ketika Soonyoung memanggilnya imut.

"Kaupikir kau tampan, huh? Hanya karena kau sedikit lebih tinggi dariku bukan berarti aku pendek. Bahkan tinggi badanmu tidak mengagumkan sama sekali! Dasar Kwon sinting!"


Hari berikutnya, Soonyoung mendatangi kediaman si komikus karena yang bersangkutan menolak untuk mengangkat panggilan dan membalas surel.

"Cabut sekarang, atau aku panggilkan satpam?" Jihoon bicara lewat interkom apartemennya. Soonyoung menunduk untuk memperlihatkan keranjang buah.

"Aku bawakan pisang! Kau kan suka?" Soonyoung coba menawar.

"Aku bisa beli bersisir-sisir di minimarket!"

"Kalau dariku, kau bisa mendapatkannya cuma-cuma!"

Jihoon mendecih. "Aku tidak kehabisan uang."

Soonyoung menyengir, "Aku beri kau bonus!"

"Hah?"

"Selain pisang ini; kau bisa dapatkan pisangku. Mau, tidak?"

Jihoon melotot. "Aku benar-benar tidak mengerti kenapa aku selalu tidak tega memasukkanmu ke dalam penjara."

"Ayolah. Apalagi selain itu berarti kau masih cinta."

"Enyah sekarang karena kau memuakkan!"

Soonyoung hampir habis akal.

"Kau tidak boleh tidak profesional, Jihoon!" katanya, sesaat sebelum Jihoon mematikan sensor kamera.

Jihoon benci disindir-sindir perihal kualitas kerjanya; dan dia telah menjadi profesional sejak lama. Jadi, dia membuka pintu dan mempersilahkan Soonyoung masuk dengan sedikit gondok. Pria bersurai abu-abu tersengir lebar.

"Harusnya dari tadi kau membukakan pintu. Sekarang mau musim dingin dan aku lupa bawa jaket. Kau bisa saja membuatku mati beku." Soonyoung memeluk tubuhnya yang gemetar main-main.

"Mau kudepak keluar lagi? Masih mending kubukakan," dumal Jihoon. "Dan kalaupun kau mati, aku tidak cukup peduli untuk memikirkan itu salahku."

Soonyoung disuruh duduk di karpet karena ruang tengah Jihoon memang tidak dilengkapi sofa. Jihoon sendiri lebih senang meleseh atau tengkurap. Terutama ketika sedang mengerjakan proyeknya.

"Terserah mau minum atau tidak. Sudah kutaburi boraks," kata Jihoon, meletakkan segelas jus apel di depan Soonyoung.

Soonyoung tertawa, "Kau pintar bercanda." Dia lalu meminum jamuan Jihoon tanpa ragu.

"Perlu apa datang ke sini?" Jihoon tidak mau membuang-buang waktu. Dia harus segera mengusir pria ini setelah urusannya berakhir.

"Kenapa tidak mengangkat teleponku? Kau juga mengabaikan pesanku. Surelku pasti hanya dibaca."

Jangankan dibaca, melirik saja aku tak sudi, kata Jihoon dalam hati.

"Maaf. Sedang tidak berminat."

Soonyoung mendengung. "Padahal aku ingin menyampaikan kabar baik."

Jihoon memutar bolamata. Tapi dia tidak bisa menyembunyikan penasarannya. "Kabar baik yang seperti apa?"

Meletakkan gelas, Soonyoung bicara dengan seluruh tubuhnya, "Komikmu yang baru saja selesai minggu lalu mendapatkan tawaran animasi."

Animasi. Dulu Jihoon hanya bisa bermimpi. Namun mimpi jadi kenyataan bukanlah hal yang sulit ditemui, jadi dia tidak terlalu kaget mengetahui bahwa karyanya cukup berharga hingga mendapatkan penawaran prestisius begini.

Lagipula, ini sudah yang keempat kali. Komik debutnya diangkat jadi animasi dan memperoleh banyak tinjauan dari kritikus seni; animasi yang kedua memang tidak selaris yang pertama, tapi tetap saja mendulang sukses; dan kali ketiga dia bisa mendapatkan koneksi dengan artis pengisi suara yang dia gemari. Bukan bermaksud sombong.

"Studio apa?"

"Anipleks." Soonyoung meraih kopor hitam yang dibawa bersamanya selain keranjang buah. Membongkar-bongkar isinya. "Kau bisa membaca kontrak perjanjiannya. Aku sudah membaca separuh, dan kupikir penawaran ini cukup menguntungkan bagimu." lanjutnya, menyerahkan selembar kertas berisikan penawaran yang dimaksud.

Jihoon mengernyit. "Aku bahkan belum bilang setuju sama sekali."

"Aku yang menggantikan," Soonyoung mengangkat dagunya, tapi Jihoon tidak merasa terkesan. Yang ada dia muak. Soonyoung coba menarik perhatiannya, dia tahu.

"Kalau menurutmu aku akan mengubah pandanganku padamu setelah ini, cepatlah bangun karena kau cuma mimpi."

Soonyoung lalu ditarik berdiri. "Sudah selesai kan, urusannya?" sinis Jihoon. Dia menggiring Soonyoung ke luar dari rumahnya dan menguncinya di luar. Tak lupa melempar barang-barang yang pria itu bawa.

"Hoi Jihoon, kau tidak benar-benar mengusirku, bukan?"

Soonyoung menatap pintu rumah Jihoon dengan terpana. Tak lama kemudian, dia memaki-maki dalam aksen Daegu. Dia juga menendang tembok rumah Jihoon tapi yang didapat hanya kaki yang sakit.

Bibi tetangga melihat Soonyoung dengan pandangan sarat makna. Lalu, berbisik-bisik. Mungkin mereka membuat gosip seru karena ada pria muda asing yang dibuang keluar oleh pacarnya.

Soonyoung tidak bisa memprotes karena dia belum terlalu fasih berkata sarkas dalam bahasa Jepang dan karena bibi tetangga gampang tersinggung.


"Ganti. Adegan ini masih tidak natural!"

Dengan Soonyoung sebagai editor, Jihoon sudah memelihara bisul di pantat. Pekerjaan yang mengharuskannya bertemu Soonyoung tiap hari adalah pantat berbisul yang dipakai duduk. Soonyoung yang berkomentar ini-itu adalah bisul besar yang pecah.

Panel yang tempo lalu Soonyoung pikir kurang mendapatkan 'jiwa', dia bawa pulang untuk diperbaiki. Jihoon coba berpikir positif, demi kepuasan pembaca. Hasilnya, Jihoon merombaknya seharian penuh. Belum ditambah dengan risetnya di web. Tab-tab yang menampilkan dari foto asli hingga gambar kartun berciuman dia jelajahi. Siapapun yang melihat kamar Jihoon pasti akan menyebutnya sinting karena bahkan sampah permen tersempil di papan ketik komputernya.

Dan kemudian, Soonyoung bilang dia harus menggambarnya ulang (lagi).

"Jangan besar kepala hanya karena kau pengarang yang punya nilai jual tinggi! Kau tidak bisa menjual karya yang asal-asalan."

Jihoon bersabar.

"Aku sudah menggantinya sesuai maumu kemarin. Kurang apa lagi?!" Dia menggeretakkan gigi.

"Bagaimana bilangnya, ya? Kupikir kau memang perlu tutorial."

Menghela napas, Jihoon membanting amplop coklat berisi naskah setengah jadi. Bukan karena belum selesai, tapi naskah itu baru sebatas kerangka kasar. Masih berupa balon-balon dialog dan tokoh-tokoh cerita digambar sederhana dengan garis dan lingkaran. Belum dilukis dengan serius. Istilah bisnisnya; name.Untung saja; sebab kalau Soonyoung minta rombakan plot atau revisi panel beberapa hari sebelum setoran naskah menjajaki tenggat waktu, Jihoon bersumpah dia akan meracuni Soonyoung dengan kopi sianida. "Carikan gadisnya, gih."

"Untuk apa?" Soonyoung kebingungan.

Jihoon tidak terkejut menemukan Soonyoung lelet dalam berpikir. Prosesor otaknya memang harus ditingkatkan. Atau paling tidak, diberi peramban, sebab bisa jadi Soonyoung lemot karena otaknya memelihara terlalu banyak virus.

"Kausuruh aku menggambar ulang adegan ciuman." Jihoon berkata perlahan-lahan supaya Soonyoung paham.

"Hmm-mm."

"Kaubilang itu karena visualisasiku kurang sampai ..."

"Yaaaaa." Soonyoung berkoor.

"Orang-orang bilang, untuk bisa mendapatkan inspirasi, kau harus memulai dari sesuatu yang nyata."

Soonyoung mengangguk, mengiyakan.

"Itu berarti, aku harus berciuman untuk bisa mendapatkan 'feel' yang bisa kutuangkan ke dalam adegan komikku."

Soonyoung hampir melompat. Bertepuktangan. Girang sendiri. "Tepat sekali!"

Jihoon menghela napas. "Sekarang, carikan gadisnya."

"Lah?" Kapasitas berpikir Soonyoung masih belum sampai. "Apa hubungannya dengan gadis segala?"

Jihoon menatapnya tak percaya. "Memangnya kau berpikir aku akan berciuman dengan siapa? Mana mungkin aku berciuman tanpa lawan? Kecuali aku gila, baru, ya, aku akan melumat bibirku sendiri."

Seketika, Soonyoung menunjuk dirinya sendiri. "Aku."

Jihoon mencebikkan bibir.

"Bahkan jika hanya tersisa kuda dan kau di muka bumi ini aku lebih pilih mencium moncong kuda, kautahu."

(Pada akhirnya, panel yang mereka debatkan terpaksa dihilangkan adegan ciumannya karena Jihoon dan Soonyoung sama-sama keras kepala.)


"Apa yang kaupikirkan saat sedang menulis naskah?"

Jihoon berpikir dua detik sebelum menjawab pertanyaan yang dilontar oleh teman makan siangnya. Fuwa, rekan sesama komikus, mengajak Jihoon pergi mencicip menu di restoran depan perusahaan mereka karena tempat itu baru diperkenalkan, dan baru berarti masih banyak diskon. Bukannya Jihoon pelit, tapi dia lebih baik menghamburkan uang demi membeli figurin untuk inspirasi daripada urusan perut.

"Tidak ada. Tinggal tulis saja." kata Jihoon.

"Dari mana kau mencari inspirasi?"

"Pikiranku ... mungkin?" Jihoon menjawab setengah bingung.

Fuwa mendengus, lalu menyendok sup kentangnya rakus.

"Dasar picik menyebalkan. Aku benci sekali orang-orang berbakat."

Jihoon menyambar soda dinginnya, "Kenapa kau malah marah, huh?"

"Aku tidak. Aku hanya menyatakan mosi. Pada dasarnya seseorang memang tidak pernah tahu seberapa bernilainya mereka kecuali tidak diberitahu. Tapi jika diberitahu malah cuma bikin kesal karena mereka bertingkah seolah-olah bakat itu bukan apa-apa !"

"Jangan begitu, Fuwa-san. Kau tahu sendiri kau masih lebih banyak mendapatkan penghargaan daripadaku yang pemula."

"Pemula, eh? Tapi sudah bisa membuat karyanya diangkat jadi animasi." Fuwa memainkan intonasi.

Jihoon mengendikkan bahu, "Kurasa kautahu bahwa semua komik yang dicetak itu tak lebih dari bualan. Dan bualan dicari orang-orang untuk dijadikan penghiburan karena kenyataan itu lebih kejam dari ibu tiri."

"Tapi kau sendiri menulisnya," Fuwa memicingkan mata. Wanita itu menyesap moccachino-nya. Ya, dia memesan sup kentang dengan segelas moccachino karena dia eksentrik, dan orang eksentrik tidak suka yang normal-normal saja.

"Oh, Fuwa-san, aku menggambar komik untuk mencari biaya hidup."

"Tetap saja—"

Menyilangkan tangan, Jihoon seolah-olah menutup kemungkinan Fuwa mendebat lebih banyak. Dia mengajak bicara topik baru:

"Bagaimana dengan kelanjutan hubungan Takara dan Kiyomine?"

Fuwa adalah fujoshi. Untuk mengambil hati fujoshi gampang, pancing saja dia bicara tentang one-true-pairing, atau kapal, atau keyakinannya terhadap fanbase tertentu, atau posisi catcher and pitcher karena mereka pasti akan menimpali lebih banyak dari ceramah guru BK. Wanita itu memiliki raut lebih bahagia daripada apapun karena Jihoon adalah tipe penerima (kalau terlalu kasar untuk menyebutnya masa bodoh) yang selalu mengerti bahwa dia menyukai dua laki-laki untuk bersama karena itu manis.

Jihoon masih mendengarkan sampai dia melihat bentuk mata khas yang memandangi mereka dari lapisan kaca kafe. Seringai pria itu benar-benar mengerikan, dan Jihoon tahu dia harus melakukan sesuatu karena dia merasa itu adalah tanggungjawabnya. Karena, jika dibiarkan, ketenangannya akan sama-sama rusak; entah karena tampang Soonyoung yang memancing trauma ataupun tingkah gilanya yang benar-benar melabrak ambang batas.

Mengemas tasnya dengan kilat, Jihoon berkata, "Maafkan aku, Fuwa-san, aku harus mengurus beberapa bisul. Hubungi aku untuk memberitahu apa yang terjadi pada Kiyomine, ya?"

Fuwa tidak mengerti – sejak kapan Jihoon punya bisul? – tapi hanya melambai dan berpesan hati-hati.


tbc


zula's note:

gomeeennnnnnnn. minggu kemarin libur post ff apapun. sebenernya nulis sih tetep tapi aku malas ke warnet jadi ... u,u) yha, ini salah satu draf yg pingin ku-publish since the old days(?), tapi baru punya nekat sekarang. sekaligussss ... MC pertama aku di fd SVT yeaaaa! oh! dan honestly, ini ga ada sangkutpautnya ama sekakoi soalnya aku nulis ini terinspirasi justru dari lagu yuju-loco - spring is gone by chance. nah, pas beta ulang kok ada nyempil unsur cinta pertama, tapi serius bukan maksudnya begitu. o-o)a um, apalagi? tho ini soonhoon-centric, tapi ditengah-tengah ntr aku nyelipin pairs lain, kok ((macem verkwan, ot3-seunghansoo, dll)). dan berhubung ini MC pertama ... i will take it seriously and work hard to publish it periodically ((like one chap per one week, mb)). tapi aku bakal panjangin per chapternya KALO readers janji reviewnya rajin, ga cuman di awal-awal aja ahahahaah. :D #nadah#mukasetan.

ps; anipleks itu plesetan studio aniplex. takara-kiyomine itu ... fluffy otp dari serialisasi komahoshi (komatta toki ni wa hoshi ni kike) must read!
ps2; aku punya waiting-lists cukup panjang ... jadi minggu ini kayaknya fokus mau ngerjain semua itu dulu.
ps3; dadah! jangan lupa review ~ aku kuliah dulu karna ini udah jam sepuluh HAHAha.