I hate that I Love you
Summary: Harry mengajak Draco berkencan saat kelas 6, tapi cowok itu menolaknya dengan luar biasa jahatnya. Lima tahun kemudian, saat mereka menjadi rekan di Departemen Hukum Sihir Divisi Auror, giliran Draco yang jatuh cinta habis-habisan pada Harry, yang rupanya masih sangat membencinya... femHarry/Draco
disclaimer: HP bukan pnya saya, punya JKROWLING! Judul dari lagu i hate you i love you by
setting: Neville adalah boy who lived... orangtua Harry tetap terbunuh dan Harry tetap tinggal bersama paman dan bibinya.
1. Hogwarts, kelas 6 (16 tahun)
Orang bilang, cinta itu buta.
Bagi Harria Potter, kata-kata itu benar. Ketika kita naksir seseorang, kadang kita mengesampingkan kelemahan orang itu, menolak melihat bahwa sifat orang itu sangat berlawanan dengan kita.
"Kau menatapnya lagi," kata Hermione Granger, sahabatnya. Saat itu di aula besar, sarapan. Harry memainkan roti bakarnya sambil menatap meja Slytherin di ujung sana. Wajahnya merona karena tertangkap basah.
"Well, tak bisa berhenti menatap si ganteng kan," katanya, menenggak habis jus labunya.
Hermione menggeleng-geleng. "Kau sungguh naksir dia kan Har?" Katanya. "Kenapa kau tak coba mengajaknya kencan?"
Harry mendesah panjang. Pembicaraan ini sudah pernah terjadi dua atau tiga kali, atau sepuluh kali, sejak Harry memberi tahu sahabatnya itu bahwa dia naksir gila pada Draco Lucius Malfoy. Slytherin yang lidahnya setajam ular dan menganggap seluruh Gryffindor adalah sampah.
Bagaimana bisa Harry mengajak kencan yang seperti itu?
"Dengar," Hemione menatapnya tajam. "Aku mengatakan ini karena aku tak mau kau menyesal seumur hidupmu. Yang perlu kau lakukan hanya mengajaknya. Kalau dia menolak, selesai urusannya, kau bisa move on. Tapi kalau dia menerima... dan akan ada opsi menerima Harry... segalanya happy ending."
Harry mengangkat bahu, tahu bahwa sahabatnya benar. Dia sudah naksir Draco sejak kelas 3. Hampir 3 tahun. Dan hidupnya seolah berputar di sekitar cowok itu. Hermione sangat marah saat tahu Harry menolak ajakan kencan Terry Boot, cowok sopan, pintar, dan ramah dari Ravenclaw, hanya karena cinta tak jelasnya pada Slytherin brengsek macam Draco Malfoy.
Harry mendesah lagi. "Well," dia menatap Draco lagi. Cowok itu sedang berbicara dengan cewek sangat cantik kelas 7, yang terkikik genit mendengar ceritanya. Tangan cewek itu menyentuh pundak Draco manja. Harry cemberut.
Betapa inginnya dia ada di posisi cewek itu. Tapi mana bisa kan. Dia Gryffindor, dan bukan tipe cewek populer. Wajahnya biasa saja, rambutnya selalu dia ikat ekor kuda, dia tidak sepintar Hermione, dan bersahabat dengan Ron Weasley, musuh bebuyutan Draco. Belum lagi statusnya yang yatim piatu dan bukan darah murni. Harry tak akan kaget jika Draco bahkan tak tahu namanya.
Tapi dia Gryffindor kan. Harusnya dia berani maju duluan. Tapi nyalinya selalu ciut setiap kali melihat Draco. Pahlawan Quidditch. Populer. Kaya. Salah satu cowok paling di incar di Hogwarts. Tubuhnya tinggi, matanya kelabu perak, dengan senyum dingin yang membuat Harry ingin mencium cowok itu sampai ujung dunia...
Bagaimana bisa yang model begitu bakalan menerima ajakan Harry kencan?
Tapi apakah Harry akan menggantungkan dirinya seperti ini seumur hidupnya?
"Nothing to lose," kata Hermione lagi. "Pikirkanlah oke? Dia menolakmu, paling parah menatapmu seolah kau sudah gila, dan selesai. Kau bisa move on. Dan kita bisa mulai memikirkan rencana untuk menggaet Terry Boot kembali..."
Harry tertawa datar. "Andaikan saja semudah kata-katamu. Tiga tahun Mione..."
"Dan akan bertambah tiap tahunnya jika kau seperti ini terus," tukas Hermione.
Harry mendesah. Draco berdiri, memakai tas nya, dan beberapa temannya mengikutinya. Mata Harry mengikuti cowok itu berjalan keluar dari aula. Harry mengerjap, sadar bahwa bukan cuma dirinya yang sedang menatap Draco. Banyak mata cewek yang menatap cowok itu dengan laparnya...
Hermione benar.
Setidaknya, dia akan punya kesempatan jika berani maju. Nothing to lose...
Yeah...
-dhdhdhddh-
Harry tak pernah bicara dengan Draco seumur hidupnya. Mereka hampir enam tahun sekelas, dan Draco tak pernah meliriknya sama sekali. Dia seperti Lavender dan Parvati, tak pernah masuk dalam area pandang cowok itu. Hermione, sebagai kelahiran muggle dan paling top di kelas mereka, setidaknya beberapa kali di maki oleh cowok itu. Harry akan memberikan apapun agar mendapat perhatian seperti itu dari Draco.
Harry sendiri tak paham kenapa dia bisa naksir Draco. Tak ada yang bisa disukai dari sifat cowok itu. Tapi Harry tak bisa melupakan saat itu, saat pertama dan terakhir kalinya interaksinya dengan Draco Malfoy.
Harry sedang di perpustakaan saat kelas 3, berusaha mengambil buku yang terlalu tinggi untuknya. Penub tekad, dia mengeluarkan tongkatnya, berusaha mencongkel jatuh buku itu...
Tapi seseorang mengambilnya. Harry menoleh kaget. Dia masih ingat jelas mata kelabu Draco yang menatapnya tajam, aroma parfum mahalnya, dan decakannya yang seolah berkata betapa bodohnya Harry. Cowok itu menyodorkan buku itu ke tangan Harry, yang tak bisa berkata apapun saking terpesonanya.
"Lain kali minta tolonglah pada seseorang," cibir Draco, lalu melihat dasi Harry. "Gryffindor. Kenapa aku tidak kaget." Lalu dia pergi meninggalkan Harry, yang masih berdiri menatap punggungnya seperti baru kesambar petir.
Harry merasa dirinya snagat bodoh. Hanya itu yang dia punya. Draco bahkan tak sadar dia sekelas dengan Harry selama tiga tahun saat itu, harus melihat dasinya untul tahu siapa dia. Dan berani-beraninya Harry naksir cowok itu!
Move on.
Bisakah dia move on tanpa mengaku cinta pada cowok itu?
-dhdhdhdh-
Seminggu kemudian, Harry memutuskan akan mencobanya. Dua hsri lagi ada kunjungan Hogsmead, dan setelah itu liburan Natal, jadi jika ditolak, Harry akan punya kesempatan 3 minggu jauh dari sekolah untuk melupakan cowok itu.
Dia Gryffindor. Dia pasti bisa.
Harry mencoba sedikit berdandan. Dia menggerai rambutnya, memakai foundation, maskara, dan lipstik tipis. Tidak begitu buruk, pikir Harry saat menlihat bayangannya di cermin. Matanya terlihat bagus setidaknya. Dia memakai sweater dan jins biru muda ketat. Yup. It will do.
Harry menarik napas. Ini hari Kamis siang, Draco biasanya menghabiskan waktu di perpustakaan karena dia punya jam kosong. Harry melihat cowok itu duduk dekag jendela, menunduk sambil membaca buku Transfigurasinya, sebelah tangannya memainkan pena bulunya.
Harry merasakan tangannya gemetar. Oke. Setelah ini, dia akan bisa move on dengan tenang. Dia akan menangis karena ditolak, lalu selesai.
Harry menguatkan dirinya, lalu menghampiri Draco. Untungnya, di sekitar mereka sepi karena ini masih jam kelas di mulai. Hanya ada beberapa anak kelas 7 Hufflepuff tak jauh dari mereka.
"Em."
Draco mendongak, dan Harry merasakan nyalinya menciut. Mata cowok itu sungguh luar biasa. Silver. Abu-abu. Menatapnya tajam.
"Yes?" Tanya Draco kaku.
"Em, hei," kata Harry, berjengit saat Draco memberinya tatapan tak terkesan.
"Ada apa?"
Ayo Harry, selesaikan ini!
"Just..." Harry merasakan wajahnya terbakar. "Willyougooutwizhme?"
Draco mengernyit. "Ulangi."
"Maukah... maukah kau pergi denganku... ke Hogsmead..." ulang Harry, suaranya lemah.
Draco mengangkat sebelah alisnya, menatap Harry dari atas ke bawah. Harry merasakan wajahnya merona dahsyat. Akhirnya! Akhirnya Harry berani mengajui perasaaannya setelah 3 tahun!
Draco mendengus. "Denganmu?" Tandasnya dingin.
Harry berusaha tak berjengit lagi. Dia takut muntah jika bicara lagi, jadi dia hanya mengangguk.
Lalu draco tertawa. Tawa dingin yang menusuk sampai ke tulang Harry. "Oh astaga," kata cowok itu, menatap Harry dengan tatapan sangat heran. "Dengar Parker."
"Its Potter," kata Harry cepat.
"Potter, Parker, tak ada bedanya untukku," kata Draco geli. "Dengar Parker, mungkin kau tidak memperhatikan, tapi aku hanya mengencani cewek cantik."
Harry merasakan seolah seseorang habis menamparnya.
Draco menatapnya lagi dari atas ke bawah. "Dan kau... astaga... apa yang membuatmu berpikir aku akan bilang iya? Bajumu yang lusuh? Sepatumu yang kusam?" Bibirnya berkerut jijik.
Harry tak bisa berkata apa-apa, hanya berdiri kaku. Syok.
Draco menatap matanya lagi, dingin, tanpa ampun. "Aku tahu kau di beberapa kelasku. Bukankah kau darah campuran? Dan yatim piatu? Hm?"katanya keji, lalu matanya membelalak seolah mendadak paham. "Ataukah kencan ini bagian dari acara amal? Well, sori, aku tidak melakukan amal. Mungkin kalau kau sedikit cantik, akan kupikirkan."
Harry hanya bisa menatap cowok di depannya itu dengan tatapan kosong. Kata-kata Draco menyiletnya habis-habisan.
"Atau," kata Draco melanjutkan. "Kalau kau menawarkan tubuhmu padaku? Kurasa aku bisa memasukanmu ke jadwalku. Kau bisa minum ramuan polijus, jadi aku tak perlu melihat wajahmu yang asli. Kebetulan ulang tahun Blaise minggu ini. Kurasa kami bisa menggilirmu..."
PLAK!
Harry merasakan matanya berair, napasnya terengah. Belum pernah dia dipermalukan seperti ini! Beraninya cowok itu mengatainya seperti itu! Tubuh Harry bergetar saking marahnya. Harry sadar anak-anak yang nongkrong tak jauh dari mereka menoleh, mendengarkan dengan tertarik, dan siap menyebarkan gosip. Tapj Harry tak peduli.
Draco tergagap syok, tangannya memegang pipinya.
"You can go and fuck yourself Malfoy," desis Harry, dan tanpa kata berbalik dan pergi.
Air matanya mengalir tanpa henti.
-dhdhdhdh-
-dhdhdhdh-
2. Hogwarts kelas 7 (17 tahun)
"Please Harry, tak ada lagi yang bisa menggantikan Bertrand," kata Ron, menangkupkan tangannya di depan wajahnya. "Satu kali pertandingan ini saja. Para chaser akan berusaha membuat goal sebanyak mungkin..."
Harry mendesah. Saat itu mereka di ruang rekreasi, Harry sedang mengerjakan PR Ramuannya saat Ron datang dan berkata bahwa Bertrand Lewis, seeker Gryffindor, luka parah dan tak bisa bermain di pertandingan Gryffindor vs Slytherin minggu depan. Mereka butuh seeker baru, dan Harry, yang selalu menjadi seeker jika bermain Quidditch di rumah keluarga Weasley, adalah satu-satunya pilihan yang tersisa.
Harry sebenarnya tak keberatan bermain. Dia hanya tak suka kompetisi, tak suka tekanan. Itu satu-satunya hal yang membuat dia tak bergabung di tim Quidditch. Dia akan membantu Ron tanpa alasan, andai saja lawan mereka bukan Slytherin.
"Kau tahu aku tak sejago dan sepengalaman itu untuk mengalahkan Malfoy," kata Harry. Menyebut nama Malfoy membuat Harry mual. Sudah hampir setahun lalu sejak dia ditolak dengan sangat biadab oleh Draco Malfoy, tapi kata-katanya masih teringat jelas di otak Harry.
"Tapi itu lebih baik daripada tak ada seeker sama sekali," kata Ron, wajahnya lelah. Tahun ini dia kaptennya, dan walaupun dia sangat jago strategi, tekanan jelas bukan hal favoritnya. "Bayangkan betapa nampak bodohnya kita Har."
Harry mendesah. "The thing I do for you, Weasley," tandasnya akhirnya.
ron langsung melompat memeluk Harry. "Thank you so much Harry!" Serunya, mengecup keras kepala Harry, yang nyengir sambil menggeleng-geleng. "Kita harus segera melatihmu. Nanti sore mulai oke? Kau bisa pinjam sapu Bertrand, setidaknya dia berhutang pada tim. Dan jersey... kau bisa pakai jersey cadangan Ginny..."
Harry setengah mendengarkan Ron. Pikirannya melayang ke peristiwa traumatisnya tahun lalu. Setelah di tolak dengan luar biasa kejam, Harry menolak keluar kamarnya. Dia menangis dan menangis. Keluar kamar hanya untuk naik Hogwarts Ekspress untul liburan natal di rumah Ron. Seluruh sekolah membicarakannya dan menertawakannya, karena dia begitu bodoh mengajak kencan cowok paling populer se Hogwarts dengan keadaan dirinya yang tidak punya kelebihan apapun.
Tapi setelah liburan, Harry bertekad dia tak akan membuat kalimat Malfoy menghancurkannya lebih jauh. Kadang dia masih mengimpikannya, mimpi buruk dimana Draco mengatainya dengan matanya yang dingin.
Betapa Harry membenci cowok itu.
Rasanya tak ada yang lebih dia benci di dunia ini selain Malfoy. Dia menolak menatap cowok itu sama sekali, walaupun mereka sekelas di hampir semua pelajaran. Hermione dan Ron berusaha sebisa mungkin menghiburnya. Hermione meminta maaf sejadi-jadinya, tak menyangka Malfoy bisa menjadi sekejam itu.
Harry tak marah pada siapapun selain dirinya sendiri. Kalimat Malfoy tak ada yang salah kan? Memang Harry tidak cantik, tubuhnya biasa saja, rambutnya kadang tidak sempat dia sisir kalau sedang terburu-buru. Harry bukan orang kaya, orangtuanya memang meninggalkannya uang, tapi uang itu hanya cukup untuk keperluan sekolahnya, buki pelajaranpun dia harus beli buku bekas. Dia tidak pintar, hanya rata-rata dibanding anak yang lain. Tidak punya kepercayaan diri. Dia hanya Harry Potter, gadis biasa Gryffindor.
Tapi dia selalu berusaha memandang hidup dengan positif. Dia selalu bersemangat memulai hari, karena orangtuanya sudah mengorbankan nyawa mereka untuknya. Setidaknya dia harus berterimakasih pada mereka dengan hidup sebahagia mungkin kan?
Mungkin tak ada salahnya dia bergabung dengan tim Quiddich. Walaupun dia tidak mungkin bisa mengalahkan Malfoy, yang merupakan pahlawan Quidditch Slytherin, tapi setidaknya dia bisa bersenang-senang, terbang selalu menjadi hal favoritnya di dunia sihir.
-dhdhdhd-
"Hai Harry, bersemangat?"
Harry menoleh, menatap mata coklat ramah Terry Boot, cowok Ravenclaw yang dulu pernah mengajaknya kencan, dan Harry tolak karena cinta buta nya pada Malfoy. Tapi Terry tak pernah bersikap seolah Harry menolaknya. Dia tetap menjadi teman Harry, dan mereka kadang pergi minum butterbeer berdua atau mengerjakan PR bersama. Sebagai teman.
"Terry," desah Harry, bahkan tak bisa tersenyum. "Merlin, tak tahu apa yang kupikirkan menerima permintaan Ron untuk melakukan ini." Saat itu dia sedang duduk di meja Gryffindor untuk sarapan sebelum pertandingan quidditchnya yang pertama. Harry merasa bisa muntah kapan saja.
Terry terkekeh. Cowok itu duduk di sebelah Harry, meremas tangannya. "Kau bisa melakukannya. Kalau kau menang, kau mungkin bisa bertemu tim kami di final."
Harry memutar bola matanya. "Sungguh percaya diri," gumamnya.
Terry nyengir lebar. "Ayo makanlah dulu, kau butuh tenagamu."
Harry mendesah panjang, menatap anggota tim yang lain. Ginny tampak santai, sedang Ron tampak sama mualnya dengan Harry.
Mereka akhirnya berjalan ke kamar ganti. Saat melewati meja Slytherin, mereka mendapat BUUUUU luar biasa keras dari para ular. Harry tak menoleh.
Ron memberi wejangan terakhirnya, memastikan semua anggota tim berada dalam kondisi fit, lalu berjalan tegak ke lapangan. Sorakan dan cemoohan terdengar keras. Harry berusaha fokus.
Dan dia melihatnya. Malfoy. Harusnya Harry tak perlu melihatnya, tapi bagaimana bisa. Cowok itu kapten. Mata Malfoy balas menatapnya. Harry merasakan jantungnya berdegup kencang, peristiwa penolakan itu seolah terulang lagi.
"aku hanya mengencani cewek cantik."
"apakah ini untuk amal?"
"mungkin kami bisa menggilirmu..."
Harry mencengkeram sapunya, mengalihkan matanya untuk berpura-pura menatap Madam Hooch yang sedang berbicara.
Saat peluit ditiup, empat belas bayangan terbang melesat ke atas. Harry merasakan sensasi yang selalu dia rasakan tiap terbang. Rileks. Lebih bahagia. Harry menarik napas. Dia bisa melakukannya! Dia pasti bisa!
Harry berusaha terbang sejauh mungkin dari Malfoy. Setiap kali cowok itu mendekat, Harry selalu siap melesat menjauh, matanya memutari lapangan, darahnya berkobar.
Entah kenapa mendadak dia sangat ingin menang.
Dia ingin melihat, bagaimana reaksi MAlfoy jika dikalahkan oleh cewek yang sudah dia injak-injak harga dirinya habis-habisan. Yah, mungkin Malfoy sudah lupa sama sekali terhadap kejadian itu. Karena Harry sama sekali tak penting untuknya...
Dia menggertakkan giginya, dan saat itulah dia melihat snitch. Di bawah gawang Slytherin. Dan Malfoy sedang terbang di arah berlawanan, jelas tak melihatnya. Tanpa pikir panjang, Harry melesat menuju snitch itu, menukik. Dia bisa merasakan Malfoy mengejarnya dengan sapunya yang super cepat dan mahal. Tapi Harry punya keuntungan karena posisinya lebih dekat. Harry menukik, tak peduli jika dia menghangam tanah, yang penting dia bisa mengalahkan Malfoy.
"YES!" Seru Harry, menghentakkan sapunya tepat waktu sebelum menyentuh tanah dan melesat kembali ke atas.
"Astaga..." suara komentator mereka, Dennis Crevey, bergetar. "Apakah ini nyata? Harry Potter menangkap Snitch! GRYFFINDOR MENANG!"
Seruan penonton memekakkan telinga.
"LUAR BIASA!" Jerit Dennis Crevey. "Luar biasa Harry! Terbang yang bagus sekali! Pertandingan Quidditch pertamanya, dan dia mengalahkan Draco Malfoy, yang tak pernah kalah selama 5 tahun terakhir sejak bergabung di tim Quidditch! 60-180 skor untuk Kemenangan Gryffindor! Pesta!"
Dan dia ikut melesat ke bawah untuk memeluk Harry bersama yang lain. Harry merasakan wajahnya merah, penuh kepuasan, malu, dan segala macam perasaan campur aduk jadi satu. Para suporter Gryffindor membopongnya menuju asrama mereka, semua meneriakan yel-yel Gryffindor (yang aransemen aslinya adalah karya Dravo Malfoy): Potter Ratu Kami! Dia tangkap snitch dengan mudah! Dia kalahkan Slytherin bau! Maka semua anak Gryffindor bernyanyi! Potter Ratu Kami!
Harry tak melihat ekspresi Malfoy saat dia menangkap snitch duluan, tapi penjelasan detail para suporter terutama Denis, yang melihat semua adegan dengan jelas, memberitahunya bahwa Malfoy nampak sangat terguncang. Dennis membuka tutup mulutnya seperti troll kehausan, membuat semua anak Gryffindor meraung tertawa.
Hati Harry tak pernah seringan ini sejak kejadian Penolakan dengan Malfoy. Rasanya seolah dia sudah membalas dendam. Benar-benar luar biasa. Adrenalin mengalir deras di darahnya, membuatnya tak bisa berhenti tertawa, menertawai semua Lsytherin menjijikan itu.
Mungkin dia akan masuk tim, hanya untuk membuat Draco Malfoy merasa tertampar karena dikalahkan oleh Gryffindor rendah, miskin, yatimpiatu macam Harry.
-dhdhdh-
bersambung.
chapter depan: Draco pov
butuh sedikit angst, sori karena posting cerita baru x)
tapi akan saya selesaikan semua cerita yang dapat review dari teman2
jadi please keep review yaa x))
