BLEACH by Tite Kubo
Fan-fiksi IchiRuki. Cerita Bersambung. Cukup tekan tombol 'back' jika kalian tidak menyukainya.
.
With Or Without You
#1#
Semoga menghibur.
.
Lengkungan antik yang tergantung cantik di atas langit usai hujan reda menjadi objek fotoku kali ini. Bermodalkan ponsel canggih dengan standar kamera hanya dua megapixel, kupotret corak penuh warna dari benda langit tersebut. Bias-biasnya bermantulan di lensa kamera dan mataku.
Aku menyadari sesuatu. Bahwa tidak mudah bagi pelangi untuk memunculkan diri, dia membutuhkan hujan agar bisa dilihat dan dikagumi banyak orang.
"Pemalas!"
Aw! A-ayah sialan! Aku hanya menggeram dalam hati ketika dengan ganasnya ayahku yang konyol melempar sepatunya dan mengenai kepalaku. Hujan sudah reda beberapa menit lalu tetapi aku masih belum puas dan memutuskan sedikit lebih lama waktuku untuk duduk di rerumputan dekat taman makam ibu.
"Kau mau kami tinggalkan di sini, hah? !"
Bisakah mulut besar ayahku tidak berteriak-teriak? Oh, tanyakan saja pada setan-setan di sini.
"Cepat, Kak! Aku harus memasak makan malam!"
Oke, Yuzu sayang, kau tidak perlu ikutan berteriak.
Segera saja aku bangkit dari tempat duduk, kemudian berjalan mendekati mereka. Kulirik sebentar sepatu ayah yang tergeletak tak berdaya, dengan begitu aku terpikirkan sesuatu untuk membalas dendam. Dengan bersikap tenang seraya memasukkan kedua tanganku ke dalam saku jaket, kuberi ayah senyuma terindah lalu berdiri di dekat sepatu tadi.
"Ah, anak pintar, tolong bawa kemari sepatu ayah ya."
Haha. Akan kuberi sepatu ayah pada… Hiaaah, pelangi di langit sana.
"I-Ichigooo!"
Terdengar rintihan dari suara garang ayah setelah dengan hebatnya aku—Kurosaki Ichigo berhasil menendang jauh sepatu kanan ayah hingga terpelanting ke sudut langit sana, rasakan itu!
.
.
"Sungguh anak durhaka," ayah menggeleng-gelengkan kepala sembari berbisik di telingaku yang sudah begitu geli karena kemarahan, errr, kemarahan kecilnya.
"Makanya, lain kali lemparlah dengan batu. Jangan sepatumu."
Pada saat-saat bertengkar seperti ini, aku mulai merasa, kalau aku bukan putra dari ayah. Bayangkan saja, ayahku berewokan dengan wajah abstrak dan penuh misteri. Sedangkan aku? Begitu tampan dan nyaris semua nyamuk di dunia ini tidak akan sanggup menempeli wajahku yang licin. Adikku Yuzu begitu manis dan terampil, mungkin dia mirip ibu dengan rambut kecokletan ibu yang berwarna lembut, tidak seperti warna rambutku yang mencolok. Warna jingga, saking terangnya sampai-sampai membuat kami tidak perlu membeli lilin jika suatu saat listrik mendadak padam.
Karin, adikku yang satu ini penggemar sepak bola. Cantik-cantik begini dia ahli bela diri. Dialah pelindung keluarga kami, melindungi keluarganya setiap kali hama kecoak mulai menyerang. Karin penyuka makanan ekstrim, kecoak, cicak, laba-laba atau makanan lainnya selalu ia masak sedemikian rupa hingga menjadi hidangan lezat. Pernah satu kali ia membawa pulang sekantung kecil makanan. Kukira itu keripik pedas dengan tingkat kegaringan yang menggiurkan, dan dengan jahilnya kurenggut paksa kantung tersebut dari genggaman tangan Karin. Semula memang begitu enak, dan Karin membiarkanku memakannya dengan lahap.
Tapi, ketika dia bertanya, "Bagaimana, Kak? Apa kecoaknya enak?" dan aku hanya mampu berteriak histeris di dalam hati.
Satu minggu setelah pristiwa itu aku menjadi lelaki langsing karena selera makanku yang turun drastis.
Aku masih menonton tivi bersama Karin, menunggu Yuzu menyelesaikan masakannya. Dengan baik hatinya kubiarkan ayah menyanyi di atas meja makan, mendengarkan suara monsternya hingga Yuzu mulai menjerit-jerit menyuruh ayah turun dari panggung khayalannya.
Hidangan sudah selesai. Ayah turun dari meja dengan raut wajah yang tidak perlu kusebutkan, dia seperti pria tua yang gagal dalam audisi karena tak layak pakai, eh? Tiba-tiba—bruuuk! Ia terpeleset saat mencoba melompat dari atas kursi, tuh 'kan, ayahku sudah tidak layak dipakai lagi.
Tidak ada yang tertawa di antara kami, kecuali ayahku sendiri. Huh, dasar ayah sinting.
Saat-saat dimana kehidupan keluargaku menjadi tenang sejenak, adalah saat makan. Kami sibuk dengan piring masing-masing, tidak perlu saling meributkan siapa yang paling banyak makannya atau siapa yang kentut setiap kali terdengar dan tercium bau khas ketika kegiatan makan berlangsung. Kami saling menghargai dan memaklumi untuk hal privasi semacam buang gas seperti itu.
Belum satu menit kupikirkan tentang kentut, sesuatu yang aneh terdengar dari arah Yuzu duduk. Tiga pasang mata menjurus pada tersangka, dan dengan raut polosnya, si bungsu memasang cengiran.
Sumpitku terus bergerak mencari mangsa. Tempura dengan dandanan manis kuambil, kemudian kulahap. Lalu sup rumput laut tak luput dari serangan sumpitku yang mulai membabi buta berusaha menyaingi ayah yang tak mau kalah memburu lauk-lauk di atas meja. Dan perangpun kembali memanas.
.
.
Di malam yang dingin terjadi sesuatu di keluarga kami. Aku tidak tahu, mimpi apa aku saat ini? Yang kulihat hanya wajah garang ayah yang membangunkanku dari tidur nyenyak. Matanya memerah, lalu menarik paksa kerah bajuku hingga menyebabkan tubuhku tertegak.
"A-ayah?"
"Pergilah dari sini Ichigo."
"Apa?"
Aku tidak menyangka sama sekali, dan tidak mengerti dengan sesuatu yang terjadi. Kutangkap sosok Karin yang tengah merangkul bahu Yuzu. Mereka tampak gemetar ketakutan. Bangunkan aku dari mimpi buruk ini! Ayah? Mata ayah memicing, wajahnya pias menyiratkan duka yang dalam. Aku benar-benar tidak mengerti.
Tak seperti Karin yang memandang iba ke arahku, Yuzu hanya tertunduk seraya menggigit ibu jarinya.
Ayah menarik tubuhku hingga keluar kamar, melewati ruang demi ruang kemudian melemparku ke luar pintu. A-aku diusir? Mataku yang mulai jernih dari rasa kantuk menantang mata ayah, "Kau mengusirku?"
"Pergi dan hiduplah dengan baik di luar sana."
Eeh?
Ia memberiku seamlop uang, dan tas ransel berisi beberapa pakaian. Lalu berbalik, hendak meninggalkanku, "Kalau besok kau masih berada di sini, kau akan mencelakai kami semua. Jadi tolong pergilah, Anakku."
Blam. Pintupun tertutup. Membiarkanku tenggelam dalam ketidakpahaman yang begitu sulit kupercayai.
Aku bangkit dan tanpa peduli kuketuk berkali-kali pintu rumah sembari meneriaki ayah.
"Ayah! Apa alasanmu mengusirku? ! Ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi? Aku tidak akan pergi kalau kau tidak mengatakannya!"
"Apa kau marah karena kejadian sepatu kemarin? Ayah—!" Belum sempat kulanjutkan makian, suara Yuzu terdengar dari balik pintu.
"Kami mohon pergilah, Kak. Aku belum mau—" ia berhenti kemudian bergumam, "Mati."
Tanganku melemas, tulang sendiku berubah ngilu begitu juga hatiku. Bagaimana mungkin aku bisa menyebabkan kalian mati?
"Tolong jangan berdebat lagi dengan kami!"
Lagi-lagi terdengar suara Karin, menambah kembali rasa sakit di ulu hati. Aku tidak mengerti, "Bisakah kalian menjelaskannya padaku? Ayah, Karin, Yu-Yuzu?"
Tidak ada yang merespon, mereka diam serentak. Membuangku keluar tanpa tahu sebabnya. Kutelan kenyataan pahit itu bulat-bulat, perlahan mundur dari pintu yang menghubungkanku dengan mereka. Keinginanku untuk menuntut jawaban dari ayah seketika luntur.
Mungkinkah mereka hanya akting, untuk kejutan ulang tahunku? Tidak, ini masih bulan Desember, butuh setengah tahun lagi untuk merayakannya.
Kutarik napas dalam-dalam lalu kuhembuskan. Aku menyeret kakiku, melangkah pergi, menjauhi pagar kediaman dari keluarga yang berpapan nama Kurosaki Family.
"Ayah, apa kakak akan baik-baik saja?"
"Tenanglah, Karin, kau tidak mau terlibat dengan orang-orang itu 'kan?"
Karin menggeleng cepat, mengerikan jika membayangkan dirinya berurusan dengan segala macam tata krama tradisional yang mejemukan. Dipenjara dalam lingkungan yang kolot juga ketinggalan zaman, dan setiap hari harus menemani seorang kakek-kakek tua untuk meminum teh sembari memuji lekuk keriputnya. Oh, yang benar saja.
"Kenapa ayah tidak menceritakan kenyataan sebenarnya pada kakak?"
Yuzu menahan diri untuk tidak menangis, ia sedih karena sandiwara ini. Ia menyesal karena berakting terlalu serius dan meyakinkan.
"Belum saatnya dia tahu. Biarkan orang-orang itu yang menemukan Ichigo. Besok kita harus pindah dari sini, dan ayah akan meninggalkan semua hal yang berkaitan dengan Ichigo agar pesuruh kerajaan bisa menemukannya dengan mudah."
"Kau benar-benar ayah yang tidak bertanggung jawab," celetuk Karin.
"Aku mencemaskan kakak, Ayah. Bagaimana kalau dia bertemu wanita telanjang? Darah di hidungnya pasti akan sangat sulit dihentikan."
Sontak Karin memukul kepala adik kembarnya. Tuk!
"Harusnya bukan itu yang kau cemaskan! Bagaimana kalau kakak dikerumuni kecoak dan aku tidak sedang berada di dekatnya? Dia bisa kejang-kejang tuh!"
Kekhawatiran di mata Kurosaki Isshin tentu saja tak luput dari perhatian kedua kembar. Apa boleh buat? Kalau tidak seperti ini, Ichigo tidak akan tahu jati diri dia yang sebenarnya. Memberitahu secara langsungpun akan semakin menyulitkan hidup mereka. Isshin tidak mau terlibat lebih banyak dengan masa lalu hanya demi mempertahankan seseorang. Ia lebih berharap bisa hidup nyaman bersama kedua anak—kandungnya.
.
.
.
.
Stasiun kereta api tampak sunyi senyap. Cuma ada beberapa orang yang menunggu di bangku. Aku melihat jam dinding yang dipajang di dekat dinding loket. Pukul satu lebih tujuh belas menit. Tengah malam begini berdiri sendirian dengan tas ransel di punggung, aku tak pernah menduga semua ini terjadi begitu saja.
Aku terlalu kecewa sampai-sampai memaksa kakiku untuk pergi jauh-jauh dari hadapan keluargaku. Sebetulnya merasa dibenci bukan perasaan asing lagi untukku. Karena di sekolah dulu aku juga dibenci oleh guru-guru, mafia sekolah bahkan anak-anak TK saja tidak sudi didekati.
Kantuk kembali menyerang, namun yang lebih dahsyat serangannya adalah panggilan alam bagian bawahku. Aku harus segera menemukan toilet sebelum hal yang tak kuinginkan terjadi begitu saja dan diliput oleh paparazzi tak bertanggung jawab! Aku 'kan bukan selebritis kenapa pula harus—kyaaa, toilet, dimana kauuuuu?
Sesampai di dalam toilet kulepaskan semua yang tertahan, uh, leganya.
Keluar dari toilet, aku kembali melangkah dengan punggung yang layu. Namun saat baru berjalan dua langkah, samar-samar terdengar suara bentakan dari salah satu kamar toilet.
"Kalau mau uang cari sendiri sana!"
Loh? Kulirik perlahan tanda panah di pintu, tergambar dengan jelas ilustrasi wanita di situ. Kugaruk rambutku penuh kesal, sialan! Beruntung tidak ada yang melihat.
"Ayolah Rukia, daripada aku merebut kehormatanmu. Sebaiknya kau berikan semua uang itu padaku."
Sepertinya pertengkaran sepasang kekasih, dan me-mereka ada di dalam toilet? Sembari bergeliat jijik, kuputuskan untuk tidak mencuri dengar lagi.
"Mati saja kau!"
Mendengar teriakan itu membuat bulu kudukku merinding seketika.
"Aku butuh uang Rukia! Uang-uang itu pasti akan kukembalikan!"
"Tidak mau!"
Bunyi pukulan terdengar lantang, suara gaduh di malam yang semakin larut terang saja mengusik nuraniku. Entah siapa pria yang ada di dalam sana, tetapi, ia sudah melakukan tindak kekerasan pada wanita dan aku tidak bisa membiarkan itu terjadi begitu saja.
Braak!
Segera kudobrak pintu, dan mendapati seorang perempuan muda sedang menangkis gagang pengepel yang mengenai lengan kurusnya. Dan goresan panjang muncul dari kulitnya yang putih.
"Kurang ajar," desisku tak sabar kemudian menghantam pipi pemuda berambut biru yang tegak menjulang sambil memegang pengepel. Ia tumbang dan terduduk di lantai, segera saja kutarik lengan gadis tadi keluar dari kamar toilet.
Gadis itu diam saja tak merespon. Namun langkahku berhenti saat sesuatu yang keras mengenai kepalaku hingga menyebabkan darah mengalir dari dahiku.
"Grimmjow!" Ia berteriak histeris menyemburkan sumpah serapah pada lelaki berambut biru dengan setelan ala premannya. Lalu dengan gesit lelaki tadi berlari, ia terlihat ketakutan karena berhasil melukaiku.
Kuseka darah yang mengalir turun sampai ke rahangku. Terasa begitu perih dan kepalaku berubah dingin, mataku berkunang namun masih bisa kutahan. Aku berjongkok menahan sakit diikuti oleh gadis tadi yang berjongkok di depanku.
"Kau baik-baik saja?" matanya menatap nanar, dahinya berkerut menyimpan cemas.
Baik, kepalamu! Ah, sial, kuseka terus darah yang mengalir dengan tangkan kosong, dan tiba-tiba saja sesuatu menyentuh pusat lukaku. Perempuan berkaos putih ini terus mengusap darah-darah yang ada di wajahku, ia menggit gemas bibir mungilnya.
"Maafkan temanku tadi, Tuan. Dia tidak bermaksud mencelakaimu."
"Dia temanmu?" aku sedikit meninggikan suara, menyadari bahwa sepertinya aku salah menyelamatkan orang. Sepintas kulirik lengannya yang mulai membiru karena goresan luka, kami sama-sama terluka.
"Tidak apa. Lukaku pasti cepat sembuh, Nona."
Sambil mengambil saputangan abu-abu miliknya, aku berdiri mengahapus sendiri darah yang kian deras.
"Jangan begitu!" Ia berdiri mencoba menghalangiku, matanya—sangat cantik. "Apa yang perlu kulakukan? Aku sudah berhutang budi padamu."
Aku mendengus, mulai kelelahan meladeni rasa bersalahnya.
Kutaruh tanganku di kedua bahunya, "Hutangmu akan kuanggap lunas. Kalau kau mau menciumku."
Dia berjinjit, tanpa diduga ia memberi kecupan di pipiku yang berbercak darah.
"Hoi!"
Wajahku memerah bak tomat membusuk.
.
.
Aku mengamati detail-detail lantai berkeramik di stasiun, duduk terpekur di bangku tunggu tanpa tujuan jelas. Sesekali aku menoleh ke belakang, melihat keadaan gadis si pencium yang tengah duduk melipat lutut. Di sampingnya ada karung berisi sesuatu. Tidak bisa kubayangkan perempuan bertubuh kecil itu mampu membawa karung yang tampak begitu berat.
Mantel yang ia pakai terlihat tidak mampu menghangatkannya, karena ia masih meringkuk kedinginan. Kasihan sekali, anak SMP sepertinya berkeliaran malam-malam begini dengan dandanan lusuh. Sepertinya ia lebih tua dua tahun dari Yuzu dan Karin.
Mengingat kedua adikku, jiwaku sebagai kakak muncul. Aku mendekati ia yang tertidur pulas, lalu mengalungkan syal merah milikku di lehernya yang mungil lalu duduk di sebelahnya. Menunggu matahari kembali muncul dari sudut timur langit.
Tanpa sadar mataku terpejam. Melupakan ingatan malam ini, berharap semua hanya mimpi dan besok aku sudah terbangun di atas tempat tidurku. Mendengarkan nyanyian ayah, omelan Karin juga bunyi-bunyi benda dapur dari alat pemasak Yuzu.
.
"Tuan, bangunlah."
Sayup-sayup teguran seseorang menyelusup di telinga, membangunkanku dari tidur nyenyak. Bukan ayahku. Seorang pria tinggi memandang prihatin padaku, seragamnya tampak rapi dan dengan senyum ramah ia berpesan.
"Sebentar lagi kereta akan tiba, bersiaplah di tepi rel," ia kemudian meninggalkanku.
Aku melihat ke arah samping, mencari keberadaan gadis semalam yang mendadak hilang. Tapi, karung miliknya masih ada di sini.
.
"Rupanya kau sudah bangun."
Udara fajar masih terasa begitu dingin, aku menggigil seraya menatap secara utuh fisiknya. Wajah cerahnya membuatku salah tingkah dengan kejadian semalam. "Maaf ya, aku tadi habis cuci muka. Mumpung ada kau, jadi kutitipkan saja barang-barangku di sini," selorohnya sambil menarik-narik karung untuk dibawa ke tepi rel.
Tanpa meminta persetujuannya, kurebut karung tersebut lalu membawanya. "Isi karung ini apa sih?" rutukku berbasa-basi.
"Mayat manusia."
Aku melotot, mulutku ternganga tanpa malu-malu.
Dan dia terbahak-bahak, "Aku cuma bercanda. Isinya jeruk-jeruk yang tidak laku di pasar." Jelasnya seraya mengamati warna rambutku yang indah, sialan, gadis itu lagi-lagi tertawa geli.
"Namaku, Rukia."
Gadis itu berucap menyebutkan nama. Secara refleks aku pun menyahut.
"Ah, aku Ichigo."
Untuk ketiga kalinya ia kembali tertawa saat tahu namaku. Gadis ini benar-benar!
Tiba-tiba saja suara kereta terdengar nyaring, mulai mendekat ke arah kami. Kuamati seisi stasiun yang masih sepi pelanggan.
Rukia menyeret-nyeret karung tersebut, yang kulakukan hanya terpaku mengaggumi kekuatannya. Kecil-kecil tapi tenaganya seperti beruang salju.
"Ichigo! Kau tidak naik?" panggilnya penasaran.
"Oh, aku menunggu kereta selanjutnya," bohongku.
Tunggu, syalku! "Rukia! I-itu syalku," aku menunjuk-nunjuk lehernya dan leherku.
Ia terkejut dan baru menyadari jika ada syal merah terlilit di leher, dengan panik ia segera melepaskan syal. Namun ia tampak kesulitan melepaskan, dan tanpa menunggu lama, terpaksa aku masuk ke dalam kereta mencoba membantu.
Malangnya, ketika kami berhasil melepaskan si syal. Pintu kereta mendadak tertutup seiring dentingan bel, menandakan kereta akan segera berangkat.
"Ap-pa—ooi!" Kutepuk kaca pintu kereta yang tertutup rapat, meminta petugas di luar sana untuk menghentikan kereta, karena aku ada di dalamnya!
"Buka pintunya! Hei, Pak Petugas! Tolong buka pintunyaaaa!"
Dan untuk kesekian kalinya gadis bernama Rukia ini terbahak-bahak di atas penderitaanku.
.
Bersambung
.
Saya berniat menyambung cerita ini. Maaf kalau fanfiksi bersambung ini membuat senpai-senpai bosan. Terima kasih untuk senpai yang sudah mengirim pesan pribadi, sehingga saya bisa memperbaiki kesalahan di fiksi ini.
Mohon dikoreksi jika senpai-senpai berkenan membacanya. Terima kasih.
