Aku adalah seorang penipu. Ya, penipu ulung. Kebanyakan dari kalian —mungkin— tidak akan percaya bahwa aku, Miku Hatsune, seorang penipu. Kenapa aku menyebut diriku sebagai 'penipu ulung'? Alasannya sederhana, karena aku selalu menutupi jati diriku. Itu saja.
Aslinya, aku bukan lah tipe orang yang suka keramaian. Bukan orang yang mudah tertawa karena humor garing atau orang yang murah senyum. Aku tidak seperti itu. Itu semua hanya lah akting. Harusnya semua orang sadar akan hal itu.
"Miku-san, acara performance-mu akan dimulai dalam lima menit lagi. Harap bersiap-siap."
Aku mengangguk. Kupandangi sebuah cermin rias. Berlatih tersenyum. Tentu saja. Tidak mungkin kan, seorang penyanyi atau artis memasang muka datar dalam acara performance-nya? Jujur saja, aku muak melakukan hal ini terus-menerus.
Lagu yang aku bawakan hari ini memang kurang terkenal. Pembuatnya saja merupakan produser yang tak terlalu diminati. Tapi tetap saja, aku harus terus menyanyi. Kalau lagu ini terkenal, maka gaji untukku bisa naik. Walau memuakkan, bayaran setimpal juga aku dapatkan.
"Minna-san! Konbawa~" seruku bersemangat. Ah, bukan. Lebih tepatnya, sesemangat mungkin.
Aku mendengar beberapa suara teriakan walau sudah memakai earphone. Sepertinya, acara konser kali ini cukup ramai. Mungkin karena ini di Tokyo. Biasanya di kota-kota lainnya, tak sampai seramai ini.
"Baiklah, minna-san. Saya akan menyanyikan lagu dari Heavenz – Atoms. Mari bernyanyi bersama-sama, ya!"
Penipu Ulung
Genre: Romance
Vocaloid © Yamaha Corp.
Warning: full Miku POV, slice of life, miss typos, dan senisnya
Summary: Hidup di dunia artis memang tak mudah. Terutama, setelah manager lamaku diganti oleh lelaki shota yang menyebalkan itu.
*) Request dari yukiya himea
Chapter 1: Manager Baru
Lelah. Itu sudah pasti. Selama satu jam aku tampil tanpa jeda. Acara live tanpa iklan. Sungguh, ini menyiksa. Belum lagi, katanya aku harus diet. Cih, untuk apa pula aku diet? Berat badanku baru saja 50 kg. Lagi pula, aku cukup tinggi. Setidaknya, lemakku tidak akan terlalu terlihat, bukan?
Aku menatap sekeliling. Kemana manager-ku? Bukankah harusnya ia menungguku di backstage? Mengapa ia tiba-tiba menghilang? Ah, sialan. Kalau begini, aku harus pulang sendiri naik taxi.
Aku berjalan dengan cukup cepat. Ketika aku melihat ke belakang, tiba-tiba saja sebuah cairan mengenai bajuku. Cairan pekat berwarna hitam dengan aroma khas —kopi. Kulihat didepanku, seorang lelaki shota dengan gelas plastik kosong itu pasti pelakunya.
"Hey, ka—"
"Cih, jalan pakai mata saja masih nabrak orang," lelaki itu memotong pembicaraanku terlebih dahulu.
Aku mendecih. Lelaki berambut pirang itu menyebalkan. Harusnya aku yang marah-marah karena dia telah mengotori bajuku dengan kopi hitam. Bisa repot kalau dicuci nantinya.
"Jadi artis amatir saja sombongnya udah tak terkira," lanjut lelaki itu lagi. "Yah … terpaksa harus beli kopi lagi."
Lelaki itu melewatiku begitu saja. Seolah tak terjadi apa-apa. Menyebalkan. Dia kira dia itu siapa? Artis amatir? Yang benar saja! Aku sudah tiga tahun masuk ke dunia entertainment tahu!
Aku menghela nafas. Kakiku melangkah gontai menuju ruang ganti. Untungnya, baju yang kotor ini bukan baju buat performance. Bisa-bisa aku dimarahi oleh pihak penyelenggara konser. Selain itu, bisa-bisa gajiku dipotong beserta dengan kontrak kerjaku di dunia entertainment ini. Sungguh merepotkan.
Kini, aku sudah mengganti baju kotor itu dengan T-shirt berwarna peach dengan tulisan 'Raising Star' dari glitter putih. Karena sekarang musim gugur, tak lupa aku pakai hoodie putih polos. Tak lupa juga dengan kacamata hitam serta lensa kontak. Itu untuk menutupi penyamaranku ketika keluar dari gedung ini. Lagi pula, aku tak bisa apa-apa tanpa lensa kontak atau kacamata.
Setelah keluar dari gedung konser itu, aku menoleh kesana-kemari. Mencari taxi. Ponselku selalu aku tinggal di apartemenku. Jadi, aku tak bisa meminta adikku —Mikuo Hatsune— untuk menjemputku dengan motornya seperti biasa. Belum lagi manager-ku juga sudah pergi dari tadi, kan?
Sebuah mobil hitam muncul di hadapanku. Lebih tepatnya, berhenti di depanku. Aku tak tahu itu mobil siapa karena seingatku ... manager-ku memiliki mobil berwarna hijau metalik. Bukan, hitam.
Jendela mobil itu terbuka. Menampilkan sosok seorang lelaki berwajah shota yang tadi menabrakku.
"Kamu nggak ada tumpangan, kan?" tanya lelaki itu dengan nada yang ng … bisa dibilang tidak ikhlas.
"Memangnya kenapa?" tanyaku balik.
"Sudah, pokoknya naik saja. Lagi pula bisa repot kalau kamu berlama-lama disini," jawabnya.
Aku menghela nafas. Apa maksudnya coba tiba-tiba seperti itu? Lagi pula, sesuai kata paman Meito, aku tak boleh percaya begitu saja pada orang yang belum aku kenal baik. Belum lagi, lelaki itu memaki diriku tadi. Pasti ada sesuatunya.
"Cepetan masuk," serunya ketus.
Aku menatap lekat-lekat dirinya. Tanganku aku lipat.
"Jelaskan dulu kenapa," kataku dengan penuh penekanan.
Lelaki itu memandangku kesal. Mesin mobilnya ia matikan. Pintu mobilnya terbuka. Dia keluar dari mobil. Lalu tiba-tiba, tangannya menarik kasar tanganku.
"H-hei, itu sakit tahu!" rintihku pelan.
Lelaki itu menatapku sekilas. Kemudian membuka pintu mobil belakang, dan menatapku seolah mengatakan 'cepat-duduk-sana'. Sungguh, orang ini membuatku muak.
"Kau memuakkan," gumamku.
Lelaki itu menoleh sedikit. Tanpa berkata apa-apa, ia menyalakan mesin mobilnya dan melajukannya. Aku tak mengerti sama sekali dengan lelaki ini. Mengapa ada lelaki semacam dirinya?
"Terserah mau kau mau bilang aku memuakkan atau apapun itu. Yang jelas, aku adalah manager barumu. Titik."
Mataku langsung membulat seketika. Apa katanya tadi? Manager baru? Hello ... siapa juga yang mau memiliki manager sialan seperti dia?
"Aku tidak butuh manager sepertimu," kataku dengan penuh penekanan. "Lagipula, mana ada orang menyebalkan sepertimu menjadi manager-ku?"
Ia masih menyetir mobilnya dengan tenang. Walau sekilas aku melihat perubahan pada raut mukanya lewat spion belakang.
"Cih, jadi artis baru saja sombongnya sudah minta ampun." Ia mengucapkan kata-kata itu dengan nada sinis, seolah mengatakan bahwa dia lebih hebat dariku.
"Aku bukan artis baru asal kau tahu."
"Yayaya ... aku juga tahu. Kau sudah berkutat di dunia entertainment selama tiga tahun dibawah naungan agensi Yamaha sebagai real diva mereka, bukan?"
Aku memutar pandanganku. Untuk ukuran laki-laki yang menyebalkan, ia cukup hebat. Mungkin itu bisa menjadi tambahan poin untuknya.
"Hebat juga kau bisa tahu tentangku," kataku sarkastik.
"Sekarang aku jadi manager barumu. Wajar saja kalau aku tahu," balasnya enggan.
Aku menghela nafas, mulai capek. Pandangan mataku kini mengarah ke luar jendela mobil. Menikmati pemandangan berupa jalan raya besar dengan mobil dan motor berlalu-lalang begitu saja.
"Kita ... mau ke agensi?" tanyaku pelan.
"Iya."
Kulihat mobil ini mulai memasuki gedung agensi. Tulisan 'Yamaha Agency' tercetak jelas di atas gedung bertingkat ini.
"Oh ... Sir Hiyama!"
Kulihat lelaki shota itu memanggil kepala agensiku setelah kami keluar dari mobil. Terlihat kepala agensiku mengenakan pakaian rapi dengan kacamata frame hitam klasik. Untuk beberapa alasan, aku selalu merasa bahwa kepala agensiku sangat teliti soal fashion.
"Wah, kau datang bersama Hatsune-san! Kukira kau akan kesulitan bersamanya," kata Hiyama-san pada lelaki shota itu.
"Sejujurnya aku merasa sangat kesulitan, Sir."
"Oh ya? Tapi aku rasa tidak begitu."
Aku menatap mereka berdua. Gelagat mereka seperti orang yang sudah kenal dekat. Sebenarnya siapa sih lelaki shota ini?
"Nah, Hatsune-san. Biar aku perkenalkan, namanya Len Kagamine. Umurnya sama denganmu biarpun mukanya sho― oke, Len! Jangan lempar pot bunga itu!" Lelaki shota itu nampak mengambil ancang-ancang untuk melempar pot bunga. "Yah ... pokoknya dia akan jadi manager-mu sekarang. Karena manager lamamu mengundurkan diri. Selain itu, dia merupakan muridku saat aku masih menjadi dosen. Semoga kalian bisa akrab ya!"
Aku melirik lelaki shota bernama Len Kagamine itu dengan pandangan kesal. Akrab dengannya? Yang benar saja!
"Aku tidak tertarik untuk akrab dengannya, Hiyama-san."
"Aku juga tidak tertarik untuk akrab dengannya, Sir."
"Ah ... kalian tidak boleh begitu!" Kulihat Hiyama-san mengeluarkan sebuah amplop coklat besar. "Ngomong-ngomong, HoneyWorks berniat menjadikan Hatsune-san sebagai pemain dalam drama terbaru mereka. Aku harap kau bisa mengatur jadwalnya untuk Hatsune-san ya, Len. Akhir-akhir ini jadwal Hatsune-san sangat padat."
Pandanganku kini beralih ke arah Len yang mengangguk paksa. Sepertinya lelaki itu tidak bisa lepas dari tanggung jawabnya ―dan itu sudah pasti tidak bisa.
"Lalu, Hatsune-san. Kau menjadi pemeran utama mereka, selamat ya! Jangan lupa hafalkan naskahnya, ini penampilan perdanamu sebagai pemeran utama," kata Hiyama-san sambil menyerahkan amplop coklat besarnya padaku. "Ganbatte, Len, Hatsune-san!"
―seketika itu juga aku sadar, aku akan terus terjebak bersama Len sampai karirku di dunia entertainment berakhir.
To be continue
Aslinya, ini fanfic udah lama banget. Sampai lupa publish saya, hahaha ... Dan jadinya fanfic ini malah dipublish untuk memenuhi request yukiya-san. Bener-bener deh ... *peace*
Semoga kalian suka, ya!
