IA-ARIA on the Planets © 1st Place Co., Ltd.
YOHIOloid © PowerFX AB Systems.
MEIKO © Crypton Future Media.
No commercial profit taken.
Warning cliché. Kesamaan ide harap dimaklumi.
submitted to memenuhi rikues dari akanemori.
patronne
by cloevil
Semuanya berawal dari mobilnya yang tiba-tiba mogok di perempatan 86th Street. Aria mengerang dan nyaris menendang semi sedan yang ia kendarai sampai pintunya penyok, kalau saja ia tidak ingat biaya bengkel mahal. Gadis itu berakhir merutuki peruntungannya sendiri.
Ini adalah minggu pertamanya berada di kota ini. Rabu lalu, ia baru saja mengepaki barang-barang dan pindah kemari untuk urusan bisnis. Bukan bisnis besar, hanya yang kecil. Sahabat baiknya, Meiko, membuka sebuah usaha berupa restoran yang merangkap sebagai café di tempat ini sejak tiga tahun lalu. Profitnya ternyata lumayan. Apalagi, mereka punya seorang bartender yang tahu betul bagaimana caranya mengolah kopi menjadi ramuan yang diminati. Dengan segala kemajuan itu, Meiko pun berinisiatif untuk memindahkan usahanya ke tempat yang lebih luas dan strategis agar bisa menampung pengunjung lebih banyak.
"Masalahnya, harga sewa tempat yang baru lumayan mahal." Begitu yang gadis berambut cokelat itu katakan saat menemui Aria setahun lalu.
Aria akhirnya menawarkan diri membantu Meiko. Aria akan memberi tambahan sejumlah dana agar Meiko bisa memindahkan restorannya ke tempat baru. Meiko menolak tawaran itu dan malah mengusulkan agar Aria menjadi rekannya sekaligus orang yang mengurus pembukuan, karena Meiko juga merangkap sebagai seorang analis keuangan di sebuah perusahaan dan tak punya cukup banyak waktu untuk membagi perhatian.
"Tapi itu tidak adil. Maksudku, kau yang merintis usaha itu dari awal. Bagaimana bisa tiba-tiba menawarkanku menjadi rekanmu, lalu menerima setengah keuntungan begitu saja."
"Kau benar." Wanita itu berpikir sambil melipat tangannya. "Hm…. Bagaimana kalau bertahap? Untuk setahun pertama, kau menerima seperempat. Lalu baru menerima setengahnya di tahun berikutnya?"
"Sepakat."
Kemudian semua berjalan sesuai perjanjian, pengecualian tugas Aria untuk mengatur pembukuan. Ia baru bisa pindah ke sini karena harus menyelesaikan segala urusannya di kampus pasca wisuda, belum lama ini (telat dua tahun dari Meiko. Iya, Aria mengaku dia tidak pernah serius mengikuti kuliah dulu). Hari ini, ia rencananya akan berkeliling sebentar. Agenda ini Aria rasa cukup penting karena ia akan tinggal di sini entah untuk berapa lama, lucu jika dia tidak kenal lekuk tempat ini. Tapi, mobilnya malah mogok. Berita besarnya, ponsel Aria ketinggalan di apartemen jadi dia tidak bisa menghubungi siapapun. Dan Aria sama sekali tidak punya pengetahuan tentang mesin.
Sial.
Sial kuadrat.
Aria masih merutuk dan menggerutu sendirian di pinggir jalan saat tiba-tiba saja seseorang menghampirinya.
Orang itu adalah seorang pria dengan usia yang, sepertinya, sepantaran dengannya. Badannya tinggi dan kurus. Rambutnya pirang dengan poni yang panjang menyentuh alis. Bibirnya menyunggingkan senyum ramah ketika mata biru Aria bertemu dengan sepasang iris sewarna batu mirah miliknya.
"Halo," dia menyapa dengan keramahan yang menyenangkan, "perlu bantuan?"
Normalnya, Aria akan memasang wajah tidak suka dan berkata, "Menjauhlah dariku." Kebanyakan laki-laki yang ia temui di kotanya dulu biasanya hanya menghampiri untuk menggodanya. Namun, lelaki di hadapannya datang dengan senyuman ramah yang sudah langka ia temui. Tidak ada binar nakal atau senyum mesum yang tersungging. Maka, Aria pun memberanikan diri menjawab, "Uh, ya. Mobilku mogok."
Lelaki itu menggumam sebagai jawaban, seperti tidak terkejut dengan jawaban Aria. "Apa bensinnya kosong?"
"Masih full. Baru diisi."
"Boleh kulihat mesinnya?"
Aria menimbang-nimbang sejenak, kemudian mengangguk. Membiarkan laki-laki di hadapannya membuka kap mobil dan berurusan dengan benda-benda di dalam sana. Aria menunggu di belakangnya.
Selama mengutak-atik, lelaki pirang itu mengatakan sesuatu yang sepertinya menjadi penyebab mengapa mobil Aria mogok. Aria hanya menggumam, karena ia sama sekali tak mengerti. Dia hanya mendengarkan lelaki itu bicara sambil memerhatikannya.
Pria asing itu mengenakan kemeja putih dengan dua kancing teratas dilepas dan lengan digulung sampai ke siku, lengkap dengan vest hitam. Terlalu santai untuk seorang pekerja kantoran, jadi Aria menebak bahwa ia adalah pegawai di salah satu kios sekitar sini.
Menit-menit berlalu, akhirnya lelaki itu menegakkan badan dan menyuruh Aria menyalakan mesin. "Harusnya sih sudah beres."
Maka, Aria pun bergegas masuk dan menyalakan mesin mobilnya. Menyala. Gadis itu tersenyum senang. "Bisa!"
"Bagus."
Mereka tertawa sebentar sebelum Aria turun dari mobil dengan wajah riang. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa girangnya. Maksudnya, hei, dia baru saja lolos dari satu kesialan. Jika lelaki ini tidak datang, bisa dipastikan Aria akan berjongkok seharian di pinggir jalan karena tidak bisa apa-apa.
"Wah, aku berhutang banyak padamu tuan—?"
"Hio." Lelaki itu dengan senang hati menyediakan jawabannya, tersenyum lebih lebar. "Namaku Yohio, tapi kau bisa memanggilku dengan Hio. Orang-orang di sini biasa memanggilku begitu."
Aria mengangguk, meski sebetulnya agak terkejut dengan respon Hio yang kelewat santai bahkan cenderung kasual. Seolah-olah ia sedang berbicara dengan seorang kawan lama. Aria menerka-nerka jika Hio adalah orang dengan kepribadian supel. Tipe cowok populer yang punya banyak teman. Semua orang mengenalnya, tapi dia tidak perlu mengenal mereka balik. Yah, kira-kira begitu cara kerjanya.
"Baiklah, Hio. Terima kasih banyak. Namaku Aria. Semoga kau tidak kehilangan terlalu banyak waktu karena mengurusi mobilku."
"Oh, jangan khawatir. Aku sedang istirahat makan siang. Dan waktunya masih ada," ia mengangkat lengan kirinya untuk memeriksa arloji, "lima menit lagi."
Ketika Hio melirik arloji, Aria baru sadar jika di bagian dada kanan vest yang Hio kenakan terdapat serangkaian tulisan yang dijahit sedemikiran rupa dengan menggunakan benang timbul warna merah. "Petite Shell Restaurant and Cafe."
Hio kelihatan agak terkejut waktu Aria mengucapkan itu. Namun ia buru-buru tersadar, memeriksa vestnya, lalu nyengir. "Oh, ya. Tempat kerjaku. Petite Shell. Aku pelayan paling seksi di sana."
Aria tertawa kecil mendengar kalimat terakhir Hio. Terlebih, pria itu mengucapkannya sambil mendengedipkan sebelah mata cepat. Baiklah, rupanya selain ramah dan supel, Hio juga punya kecenderungan bersikap narsis. Tapi, jika Aria pikir-pikir lagi, itu bukan masalah besar. Toh, Hio memang punya wajah yang lumayan. Dan wangi parfum yang menguar dari laki-laki itu, meski hanya samar-samar, punya tingkat keseksian tersendiri bagi Aria.
"Mau mampir sebentar?" pria itu berkata lagi. "Tempatnya tak jauh dari sini."
Alis Aria naik satu ketika Hio tiba-tiba saja mengajukan penawaran, tapi ia buru-buru menutupinya dengan berpura-pura membetulkan poni. "Ya, boleh saja."
Dan mereka pun berangkat. Aria memutuskan untuk berjalan kaki saja karena, menurut keterangan Hio, lokasinya benar-benar dekat. Cukup tiga menit jalan kaki. Gadis itu memarkirkan mobilnya di depan sebuah toko buku kecil, tak jauh dari lokasi mogok tadi.
Mereka berjalan beriringan di trotoar. Hal menyenangkan yang Aria temui di tempat ini adalah: ia tidak perlu berjalan terlalu cepat ataupun berurusan dengan kepadatan yang selalu membuat dia sesak. Kota ini tingkat populasinya agak lebih sedikit ketimbang kota asalnya. Tingkat keramaian di jam sibuk juga setingkat lebih sedikit. Jadi, ketika berjalan begini, Aria tidak perlu repot-repot mendorong orang di depannya agar memberikan jalan dan ia juga tidak perlu terdorong oleh orang di belakangnya.
Di perjalanan, Hio mengisi kekosongan di antara mereka dengan berbicara. Ia menanyakan tentang Aria yang kelihatan seperti seorang pendatang, dan Aria menjawab bahwa ia memang baru seminggu di sini. Pertanyaan seputar Aria yang Hio beri hanya sampai situ. Pria itu kelihatan seperti menjaga percakapan agar berputar ke hal-hal yang paling umum saja. Karena mereka baru saja bertemu, keduanya masih belum tahu hal-hal yang mereka suka. Jadi, Hio pun lebih banyak bicara tentang restoran tempatnya kerja. Hitung-hitung promosi.
Di sisi lain, Aria mendengarkan Hio. Dari situ, ia tahu jika Hio sudah tiga tahun bekerja di Petite Shell. Dia tahu jika pemilik Petite Shell adalah seorang wanita muda. Dia tahu jika restoran itu baru pindah ke dekat sini karena pertimbangan luas lahan dan prospek yang lebih menguntungkan.
"Aku suka Bos memindahkan restoran ke sekitar sini. Lebih dekat dengan apartemenku. Aku jadi tidak perlu takut terlambat lagi."
Di depan sebuah toko bunga, mereka menyeberang sebelum akhirnya sampai. Petite Shell Restaurant and Cafe adalah sebuah tempat makan bergaya urban yang mengingatkan Aria pada kedai kopi yang menjamur di kota metropolis. Ruangannya didominasi warna hitam dan putih. Perabotnya terbuat dari kayu, menempelkan kesan klasik. Pas sekali dijadikan tempat berkumpul saat sedang santai.
Ketika Aria datang, ia langsung bisa melihat beberapa pegawai hilir mudik. Beberapa membawa nampan, dua lainnya mengobrol di depan meja kasir bersama seorang wanita muda berambut cokelat pendek yang mengenakan pakaian rapi berupa kemeja merah panjang dan rok span cokelat. Obrolan mereka terhenti saat Hio dan Aria melangkah ke dalam.
"Hei, Bos Meiko!" Hio mengangkat tangan, memanggil wanita berambut cokelat yang ada di sana—yang ternyata adalah bosnya. Lagi-lagi, dengan cara yang begitu kasual. "Aku membawa seorang pengunj—"
"Oh, astaga. Aria!"
Hio membiarkan kalimatnya putus di tengah jalan dan malah terbengong-bengong waktu melihat Meiko tiba-tiba saja menghambur ke Aria. Memeluknya. Aria juga hanya tertawa, seolah-olah ia memang sudah mengenal Meiko dari awal. Hio bingung.
"Hei! Kau bilang besok baru mau ke sini."
Aria terkekeh mendengar nada memarahi dari Meiko. Dia memang baru besok merencanakan akan pergi ke restoran ini. "Aku tadi sedang berkeliling di sekitar sini. Lalu mobilku mogok. Beruntung, salah satu pegawaimu menolongku dan berbaik hati menawarkan kemari."
Meiko melirik Hio yang masih berdiri dengan wajah bingung. "Ah, ya. Terima kasih sudah menolong gadis ini, Hio."
Normalnya, seseorang akan mengucapkan, terima kasih kembali. Namun, karena bingung dengan situasinya, Hio malah mengangkat tangannya. "Tunggu. Kalian saling kenal?"
"Oh, kami teman baik. Sangat baik." Meiko tersenyum penuh konspirasi, yang mana hal ini makin mengejutkan Hio.
"Teman? Kalian berdua?"
"Benar. Dia juga orang yang kubicarakan di meeting tempo hari."
"Tempo hari?"
"Ya." Meiko memindahkan anak rambutnya yang berantakan ke belakang telinga. "Ingat tentang teman yang akan membantuku mengurus restoran ini dan mengatur pembukuan mulai bulan depan?"
"Seseorang dengan nama Eulberg?"
"Dia orangnya." Tangan lentik Meiko menepuk pundak kanan Aria. "Dia Eulberg. Aria Eulberg."
"…"
"Dengan kata lain, dia bosmu."
"Bos?!"
Aria bisa saja tertawa lepas melihat reaksi Hio. Alih-alih, dia hanya menyeringai sambil menyodorkan tangan pada Hio. Satu kedipan nakal dilepas, persis seperti yang Hio lakukan sebelumnya, kemudian ia berkata, "Mulai dari sini mohon kerja samanya ya, Hio si Pelayan Seksi."
Jawaban dari Hio hanya wajah yang merona.
Fin
dibikin ngebut dari kemaren sore. dan bisa selesai pagi ini. sasugaaa OTP no chikara #HEH
semoga memuaskan ya, aka ;)
kritik dan saran yang membangun amat sangat dinanti.
sign,
cloevil
