Disclaimer: SVT © Pledis Entertainment. No profit gained, no copyright law infringement intended.
Hertz
(Literally Meaningful After Story)
-Azura Eve-
.
Lenght: Multi-chaptered (1/17)
Pairing: Meanie/GyuWon.
Genre(s): Slice-of-Life, Romance, Drama
Rating: T (PG-13)
Summary: Jeon Wonwoo si penyandang tunarungu dipertemukan takdir oleh Kim Mingyu yang matanya berfungsi sebelah. Mereka menjadi telinga dan mata untuk satu sama lain; tapi hidup bersama ternyata lebih sulit dari dugaan mereka.
.
.
Warning(s): Alternate-Universe; disability-theme; difable!GyuWon; self-beta.
PS (MUST READ!): Fanfiksi ini adl cerita lanjutan dari Literally Meaningful dan sekuelnya, CLARITY. Jadi, kalo mau ngikutin cerita ini, syaratnya harus udah baca dua fanfiksi yang disebut barusan. Boleh aja nggak dibaca sih, tapi aku takut nanti yang baca bingung di tengah-tengah; jadi kusaranin baca dulu prekuelnya. Bisa dicek langsung ke profilku, kok. Oh, ya! Kalo sebelumnya Mingyu masih bisa ngeliat dengan satu mata, di sini dia udah buta total. Aku nulis berbekal pengalaman di dunia nyata, jadi kuharap pesannya bisa nyampe. Terakhir ..., selamat membaca. :)
.
.
.
—First Voice—
1 Grip of Heartbreak (1,500 words)
Butuh waktu beberapa minggu bagi Mingyu hingga dia bisa menghapal kondisi rumahnya. Karena kebutaannya, dia dituntut untuk segera terbiasa dan tidak manja. Minggu ketiga setelah Mingyu mulai belajar menyesuaikan, dia sudah hapal di luar kepala tentang mana letak barang-barang tertentu, akses menuju kamar tidur dan kamar mandi, hingga jalan sampai ke beranda luas tempat memandang bintang.
Wonwoo bekerja empat hari dalam seminggu. Dia diberi libur di hari Rabu dan biasa menghabiskannya demi mengunjungi Mingyu dengan membawa buah tangan. Anak itu selalu memiliki kesibukan untuk dilakukan ketika Wonwoo mampir, entah melukis (walau tidak jelas apa yang dilukisnya karena cat warnanya bertaburan ke lantai alih-alih kanvas) atau memasak (meskipun tidak bisa serapi dulu ketika dia masih melihat).
Mingyu sudah diwisuda enam bulan lalu. Dia memupus harapannya untuk menjadi artis yang muncul di layar kaca dan banting setir menjadi penulis lirik. Dia akan bekerja di ruang tamu dan berkutat dengan banyak inspirasi sampai karyanya rampung, dan baru keluar untuk menyerahkan liriknya sendiri ke perusahaan yang butuh.
Terus seperti itu. Wonwoo datang ke tempatnya; Mingyu memiliki kebiasaan baru. Hingga akhirnya pekerjaan Wonwoo perlahan-lahan menyita libur akhir pekannya dan dia tak punya banyak kesempatan untuk bertatapmuka dengan pasangannya.
Maka di hari yang dingin di pergantian tahun, Wonwoo mengatakan gagasan berisi: "Ba-gai-ma-na ji-ka a-ku pin-dah ke ru-mah-mu?"
Sekarang, mereka tinggal bersama. Memang, awalnya Mingyu sempat ragu. Dia ragu tentang seluruh keperluan yang harus diurus dan papan nama yang harus diganti baru.
Namun Wonwoo bilang serahkan semua padanya saja. Dia pergi ke biro jasa untuk mendaftarkan namanya dan membuat papan nama baru bertuliskan nama mereka berdua. Kemudian, dia mengepak barang-barang dari apartemennya dalam boks-boks ringkas; berisi pakaian dan buku-buku kesukaan. Perabot lain ditinggalkan semenjak rumah Mingyu telah memiliki segalanya, jadi dia menjual semua perabot itu dan menjadikan hasilnya sebagai saldo tambahan dalam rekening. Keputusan itu tidak diambil dalam semalam.
Jadi sekarang, bila Wonwoo datang ke apartemennya, yang diucapkannya sebagai salam bukanlah maaf telah mengganggu; tapi—"A-ku pu-lang, Min-gyu."
Mingyu sedang memasang lego mainan ketika Wonwoo pulang. Suara Wonwoo cukup besar untuk didengar, jadi dia menjawab dengan volume sama walaupun sebenarnya tak perlu. Dia tahu Wonwoo tak butuh dibalas, tapi entah mengapa Mingyu merasa dia punya kewajiban.
Meraba-raba sisi kanan, Mingyu tersenyum saat dia meraih tongkatnya. Dia memanjangkan tongkat tersebut, berdiri, mulai menelusuri permukaan karpet rumah yang hangat. Tangannya meraba dinding.
Seluruh hal dalam apartemennya memang disesuaikan menurut keadaannya sejak dia divonis buta. Barang-barang yang bertempelan dengan dinding, dienyahkan atau diletakkan di lain tempat sehingga mengurangi risiko tersandung. Kakinya melangkah pasti.
Wonwoo, baru selesai membuka kaus kaki, tertegun memandang Mingyu saat laki-laki itu berdiri dengan senyum di depannya.
"Apakah harimu menyenangkan?"
"Bu-kan-kah per-nah ku-bi-lang ka-u ti-dak per-lu se-la-lu me-nyam-but-ku ke-ti-ka a-ku sam-pai."
Sebagai catatan, Mingyu sekarang sudah mengerti semua ucapan Wonwoo berkat terbiasa. Wonwoo juga sengaja menaikkan nada suaranya—meskipun yang asli saja sudah keras—supaya Mingyu dengar. Sementara itu, untuk memahami ucapan Mingyu, Wonwoo membaca bibirnya.
"Cuma ingin memastikan. Aku takut kau terlalu lelah dan tiba-tiba tumbang di dekat rak sepatu."
Wonwoo mengetukkan lidah. "Ka-u mu-lai ti-dak ber-a-la-san la-gi."
Mingyu menyandarkan kepalanya ke dinding. "Hanya untukmu. Aku sungguhan khawatir, lho."
Wonwoo mendengus, "A-ku se-dang ma-las de-bat," katanya. Lalu, tersenyum. "A-yo ke ru-ang ta-mu?"
Setelah meletakkan kopor dan menggantung jasnya di gantungan baju, Wonwoo langsung meluncur ke ruang tamu. Di pundaknya ada ribuan penat yang harus diusir dan handuk lembut. "A-ku ma-u man-di du-lu."
Mingyu yang sudah kembali memadati meja penghangat, menyeringai, "Perlu kutemani tidak?"
Wonwoo menutup pintu kamar mandi kencang-kencang. "Yang be-gi-ni gi-ni ka-u se-la-lu se-ma-ngat," desahnya dari balik pintu. Membuka pakaian terakhir setelah melihat isi bak mandi penuh.
Mingyu terkekeh dan fokus lagi ke lego mainan setelah terdengar bunyi pancuran dinyalakan.
Beberapa saat kemudian, Wonwoo bergabung di ruang tamu. Badannya sudah segar. Rambutnya dilapis handuk putih kecil. "Se-dang a-apa?" tanyanya, merangkul Mingyu.
"Aku bosan. Jadi tadi siang aku pergi ke gudang dan menemukan harta karun ini," Mingyu menyengir. Merasakan rangkulan barusan, Wonwoo berada di sebelah kanannya. "Pindah ke depanku sebentar, deh."
Wonwoo berkerut dahi tapi melakukan apa yang diminta.
Tangan Mingyu melayang beberapa detik, sebelum menangkap leher pasangannya. "Kau wangi. Aku suka."
"Ja-ngan sa-ma-kan a-ku de-ngan o-rang yang be-lum man-di."
Mingyu cemberut. "Dasar tukang sindir. Ya sudah, aku pergi mandi dulu. Gantikan aku memasang legonya."
Wonwoo mengacak rambutnya. "A-nak pin-tar."
"Jangan perlakukan aku seperti anak kecil, Woo."
"Ta-pi ke-nya-ta-an-nya ka-u me-mang le-bih mu-da da-ri-ku."
Mingyu mengesah. Berjalan dekat-dekat dengan dinding. Sikapnya dinilai Wonwoo sebagai upaya mempertahankan harga diri.
Wonwoo mengikutinya di belakang. "A-pa ka-u ma-rah?"
"Tidak."
Wonwoo memblokir jalannya. "A-ku ta-hu pas-ti a-da yang ti-dak be-res. Ka-u ma-rah ka-re-na ba-ru-san, kan?"
"Kaupikir berapa usiaku? Konyol sekali jika aku marah hanya karena hal sepele."
"Ta-pi ka-u Min-gyu, dan a-ku me-nge-nal-mu." Wonwoo mengambil langkah tidak terduga. Bibirnya menempel di bibir Mingyu selama beberapa saat. "Ma-af, ya." katanya, setelah merilis ciuman itu.
Raut Mingyu berubah cerah. "Jika itu balasanmu untuk setiap kali aku marah, aku jadi kepikiran untuk melakukannya setiap saat," ucapnya.
Wonwoo menautkan alis. "YAK!"
Kemudian, Mingyu mengulang apa yang dilakukan Wonwoo. Kali ini pasangannya tidak terkejut. "Da-sar cu-rang."
"Aku sudah sering dengar dari teman-temanku." Mingyu masuk ke kamar mandi diiringi tawa.
"Ka-u sung-guh be-lum ma-kan ma-lam?"
Mingyu menggerak-gerakkan kakinya di bawah meja makan sementara Wonwoo membuka lemari pendingin. "Per-se-dia-an ma-ka-nan ki-ta su-dah ti-ris. Ha-nya a-da su-su ca-ir dan te-lur. Ba-gai-ma-na?"
"Tapi ada beras, kan? Aku tak masalah makan cuma dengan telur dadar."
Wonwoo bergerak cepat untuk memeriksa persediaan di rak penyimpan beras. "Ha-bis ju-ga."
Mereka berdua mendesah panjang. "Se-per-ti-nya ki-ta me-mang se-dang si-al."
"Hei. Bukankah kesialanmu yang menyebar?"
"... Ja-ngan ca-ri ri-but, Gyu."
Mingyu mengetukkan lidah, "Tidak asik, ah. Bercanda, Sayang. Bercanda."
"Ka-u-pi-kir a-ku se-ri-us, huh. Ka-u ter-la-lu men-jus-ti-fi-ka-si." Wonwoo menarik bangku di depan Mingyu. "Ja-di se-ka-rang ki-ta ti-dur de-ngan pe-rut ko-song, nih?"
Agak lama sampai Mingyu berucap: "Mau belanja ke swalayan?"
Wonwoo memandangi Mingyu lekat-lekat sebelum mengangguk. "A-ku gan-ti ba-ju se-ben-tar."
"Rasanya seperti sudah lama sekali aku tidak pernah keluar rumah." Mingyu menghirup napas dalam-dalam setibanya mereka di dekat area lapangan basket jalanan dekat tempat tinggal Mingyu.
Wonwoo tak sekalipun melepas pegangannya dari laki-laki itu. "Ya."
"Sekarang kita sedang di mana?"
"Di sam-ping ki-ta a-da la-pangan basket."
Mingyu mengangguk paham, "Aku jadi kangen."
"Ka-u per-nah ma-in di si-ni?"
"Dulu. Hampir setiap hari. Bahkan seminggu sebelum mataku buta total, aku masih sempat tanding dengan bocah basket jalanan daerah sini."
Jari-jari Wonwoo mencengkeram lengan Mingyu, kuat. Langkahnya terhenti, yang mana juga membuat Mingyu berhenti melangkah.
"Kenapa, Wonwoo?"
"... Ma-af."
"Kenapa minta maaf? Kau tidak melakukan apa-apa."
"Ma-af."
Mingyu mengusap tengkuknya. Sudah mengerti apa yang sedang bergulat dalam pikiran pasangannya. "Kamu masih belum bisa melupakan kejadian lampau itu?"
"Ta-pi a-ku su-dah mem-bu-at-mu bu-ta."
Mingyu menggeleng, "Masalah aku buta atau tidak, tidak ada hubungannya denganmu, Wonwoo." ucapnya. "Lagipula, sejak awal mataku memang tidak baik-baik saja. Itu hanya masalah waktu. Mataku memang cacat, dan kebetulan saja waktu itu bertepatan tak lama setelah aku berkelahi dengan Yunsik."
"I-tu ma-sa-lah-nya. Ka-u—ji-ka ka-u ti-dak per-gi un-tuk meng-ha-jar-nya, ka-u ti-dak per-lu me-la-lui i-ni. Yun-sik ti-dak a-kan me-nye-rang ma-ta-mu dan ma-ta-mu ti-dak per-nah bu-ta se-per-ti se-ka-rang. Ka-u ha-rus-nya ma-sih bi-sa me-li-hat!"
Pandangan Wonwoo tertunduk menuju sepatunya. Mingyu meraba lengannya, meremas bahu Wonwoo. "Aku tidak mengerti bagaimana caramu berpikir, tapi sungguh, aku tidak sekalipun merasa kau penyebab apa yang terjadi padaku."
Wonwoo mengangkat kepalanya, menatap Mingyu walau laki-laki itu tidak mampu melakukan hal sama. "Ka-u yang ti-dak me-nger-ti. Be-ra-pa ba-nyak ha-ti-ku sa-kit sa-at me-li-hat-mu. Ke-hi-la-ngan ma-ta dan ha-rus me-re-la-kan mim-pi-mu ka-rena ma-ta-mu su-dah ti-dak bi-sa me-li-hat la-gi. Dan se-ka-rang ka-u ha-nya be-ker-ja da-ri ru-mah, pa-da-hal a-ku ta-hu ka-u me-nyu-kai pe-ker-ja-an yang ber-kum-pul de-ngan ba-nyak o-rang di lu-ar!"
Mingyu tertegun, berusaha mencerna kalimat yang dilontarkan pasangannya. "... Aku tidak masalah. Aku bahkan rela menukar telingaku sekalian jika itu untukmu. Kakiku, tanganku. Aku bisa kehilangan segalanya asal bukan kau, Wonwoo."
"Ka-u ma-kin mem-bu-at-nya su-lit!"
"Aku tak merasa disulitkan ..." ucap Mingyu, pelan.
Wonwoo mengepalkan tangan. Matanya menatap mata Mingyu yang menatap kosong. Pupilnya cokelat, tapi tidak ada cahaya berpendar dari sana. Mata Mingyu indah, hanya saja tidak bisa berfungsi lagi semenjak insiden duelnya dengan Yunsik. Perasaan bersalah makin menyesaki dadanya. Apalagi jika mengingat Mingyu tidak lagi bisa mewujudkan mimpi-mimpinya. Rasa bersalah itu menguasai benaknya, membuatnya mulutnya menyuarakan tanpa dia bisa cegah: "Ka-u bu-ta de-mi di-ri-ku. Ta-pi a-ku ti-dak me-min-ta-nya! A-ku ti-dak per-nah me-min-ta ka-u mem-be-la-ku!"
"Ya ... Kau benar." Jari-jari Mingyu mengendur dari bahunya. "Kau tidak pernah memintanya. Pada akhirnya, hanya aku yang bersikap sok."
"A-ku ..."
"Tapi ada satu hal yang harus kautahu, Wonwoo. Jika kau memahami konsep pasangan hanya sebatas orang yang ada untuk berhubungan seks dan membagi kesenangan, maka kau salah." balas Mingyu. Suaranya terdengar begitu putus asa. "Pasangan ada untuk saling melengkapi kekurangan pasangannya."
Setelah berkata begitu, Mingyu merilis senyum. Terlalu dipaksa. Wonwoo merasa ada yang pecah di balik tulang rusuknya. "Dari sini, biar aku pergi sendiri. Kau bisa kembali duluan."
Wonwoo sendiri di pinggir lapangan, memerhatikan punggung Mingyu bergerak menjauh dengan langkah kecil-kecil. Lapangan sedang sepi, sehingga suara tongkat Mingyu mendominasi. Tangannya terjulur untuk meraih bahu Mingyu dan mengatakan bukan itu yang dia maksud, tapi dia tidak bisa.
Airmatanya luruh tanpa dia sadari.
bersambung ...
(Addendum)
Heinrich Rudolf Hertz, pria berkebangsaan Jerman yang lahir pada 22 Februari 1857 dan wafat di tanggal 1 Januari 1894 merupakan seorang fisikawan yang berhasil mencetuskan proses berkirim energi listrik tanpa perantara kabel (nirkabel). Namanya dikenang dalam Satuan Frekuensi terkenal yakni Hertz (biasa disingkat Hz) berdasarkan kontribusinya dalam bidang elektromagnetisme. Hertz sendiri merupakan ukuran untuk mewakilkan 1 detik per satu interval gelombang. (sumber: Wikipedia – parafrase by Az.)
zula's note:
jangan takut. ini fik ga dilabelin ke genre science-fiction kok. cuman, aku ngerasa perlu aja nyantumin tokoh yg namanya kupake buat judul. biar kesannya ada penghargaan gitu mueheh. aku sendiri kepikiran ngasih judul hertzkarna ya, pengucapannya miripmirip sama heart yg artinya u-know lah. selain itu juga karna wonwoo tokoh utama kita yang tunarungu.
ps: tolong jangan gebukkin aku karna aku ga apdet sesuai jumlah polling. harusnya sih aku ngerjain deceptive, semenjak vote yg masuk paling banyak kesana. tapi karna lebih banyak rekues ke pm ttg lanjutan literally meaningful, i think hertzjadi lebih banyak vote-nya. butterfly grave lagi dipantengin, mungkin hari minggu jadi. gatau juga. tapi mentokmentok, minggu depan publish.
ps2: di scene terakhir, kusaranin muter lagunya kim nayoung ft. mad clown – once again. :v
ps3: hertz bakal terbit berkala per dua minggu sekali. udah dipikirin matangmatang karna aku punya proyek multichapter lain. bisa diapdet lebih cepat kalau feedbacknya menyenangkan. so, be an active reader, will you? :)
ps4: kalo emang suka, silahkan cek kerjaanku yg lain judulnya zutto mae kara suki deshita (i've always liked you) – multichapter, ot13, pairingnya seunghansoo, hozi, gyuwon, verkwan, seokjun, en chanhao.
ps5: list utangku – dek li: gyuhan, oneshoot; capung terbang: hunhan youkai!au, oneshoot; kak panda: soonhoon pwp, oneshoot, sama dek ran: ((aku lupa pairing apa)), genre psychotic, oneshoot. cuman ngabsen doang, masih belum selesai. gomen TT
ps6: makasih banyak udah baca sampe sini! ditunggu kritik dan sarannya yaa!
