Hansol menghampiri seorang pria tampan yang tengah duduk di sofa sembari menikmati secangkir kopi dan menonton televisi. Ia menarik kekasihnya itu ke dalam posisi berdiri, menatapnya dengan kedua mata berkaca-kaca, kemudian melayangkan sebuah tamparan keras pada pipi pria tersebut.

"KAU MENGHANCURKAN HIDUPKU, JOHN!"

Johnny hanya diam, berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Mengapa Hansol tampak sangat marah? Dan mengapa ia menangis? Johnny tidak suka melihat kekasihnya menitikkan airmata dari kedua mata indahnya.

"Love, what's wrong?"

Pria bertubuh tinggi itu berusaha menghapus airmata Hansol dengan jamarinya, tetapi Hansol menepis tangannya dengan kasar. Pemuda berwajah cantik tersebut melemparkan sebuah test pack yang tengah ia genggam ke arah Johnny.

"Aku hamil, John. Now what? Kau akan meninggalkanku dan membiarkanku mengasuh bayi ini seorang diri? Atau kau akan memaksaku itu menggugurkannya? Semua ini salahmu yang sudah melakukannya tanpa pengaman dengan paksa!"

Johnny meraih test pack yang jatuh ke lantai karena gagal ia tangkap. Ia mendapati dua buah garis merah tertera pada benda tersebut. Rasa menyesal mulai menyelemutinya, jika saja ia tidak memaksa Hansol untuk bercinta tanpa alat kontrasepsi, semua ini tidak akan terjadi. Bukan hanya hidup Hansol yang telah ia hancurkan, Johnny pun paham jika ia juga menghancurkan hidupnya sendiri. Mereka berdua masih berusia dua puluh satu tahun dan masih berstatus sebagai mahasiswa tahun kedua.

"Kita besarkan anak ini bersama, ayo kita menikah, Hansol."


Can We Start Again?
A fanfiction by littlebrxt

.

.

.

Hansol berlari menuju Unit Gawat Darurat setelah menerima telepon dari rumah sakit mengenai kecelakaan yang menimpa Jeno, putra semata wayangnya. Pria itu mendapati suaminya yang tengah berdiri di depan pintu ruang operasi dengan gelisah.

"Suster, bagaimana keadaan Jeno? Saya ibunya."

Hansol bertanya kepada seorang suster yang sedang menjaga bagian informasi. Wanita paruh baya itu tersenyum lembut, berusaha menenangkan Hansol yang tampak hendak menangis. "Putra anda sedang ditangani oleh dokter, anda sebaiknya tenang dahulu."

Sebelum Hansol sempat bertanya lebih lanjut, Johnny menarik tubuh kurusnya dengan kasar dan menampar wajahnya dengan keras, membuat pria itu jatuh tersungkur.

"INI SEMUA GARA-GARA KAU! DASAR IBU TIDAK BERGUNA!"

Hansol hanya terdiam ketika suster yang baru saja berbicara dengannya membantunya untuk berdiri. Perkataan Johnny membuatnya berpikir bahwa ini benar-benar kesalahannya. Hansol yang seharusnya pergi menjemput Jeno dari sekolah terpaksa menyuruh putranya tersebut mengambil taksi untuk pulang karena urusan kantor yang belum selesai. Taksi yang Jeno tumpangi menabrak sebuah truk yang menyebabkan sang sopir tewas di tempat dan Jeno mengalami luka parah.

Johnny mendengus kesal dan meninggalkan Hansol yang tengah terisak. Hansol tidak melawan karena pikirannya terlalu kacau. Pernikahan mereka sudah tidak harmonis lagi sejak beberapa tahun silam. Mereka sering bertengkar karena jadwal kerja mereka yang padat sehingga membuat Jeno kurang perhatian. Hansol tidak lagi mencintai Johnny dan begitu pula sebaliknya. Jeno lah satu-satunya alasan mengapa Johnny dan Hansol masih mempertahankan pernikahan mereka.

"Anda ibu dari pasien Seo Jeno?"

Hansol mengangkat kepalanya yang tertunduk dan mengusap airmatanya. Seorang dokter dengan pakaian operasi yang terkena noda darah berdiri di hadapannya. Rupanya Hansol terlalu larut dalam lamunannya sehingga tidak menyadari suara pintu ruang operasi yang terbuka.

"Saya Moon Taeil, dokter spesialis bedah yang menangani putra anda. Operasinya berjalan dengan lancar, putra anda mengalami patah tulang pada kedua kakinya dan kami sudah menanganinya. Hanya saja, Jeno-ssi mengalami gegar otak berat dan pendarahan pada otak. Kasus ini dapat menyebabkan kematian."


"Mom!"

Jeno tersenyum senang ketika Hansol masuk ke dalam ruang inap yang ia tempati. Sudah sepuluh hari berlalu sejak kecelakaan itu berlalu, tetapi Jeno masih harus menginap di rumah sakit. Hansol sendiri belum bertemu Johnny lagi setelah pertengkaran mereka di UGD, tetapi ia tahu bahwa Johnny menjenguk Jeno setiap hari sebelum atau sesudah ia datang.

"Hei, anak mommy yang tampan. Mommy membawakan glazed donuts favoritmu!"

Jeno tertawa senang dan memaksa Hansol untuk menyuapinya. Hansol mengomel, tetapi ia tetap menuruti kemauan Jeno karena ia tahu putranya tersebut mungkin tidak akan hidup lama.

"Kau ini sudah berumur lima belas tahun, masih saja minta disuapi."

"Mumpung aku sedang sakit, kapan lagi mommy memanjakanku?"


Sorenya, Johnny menjenguk Jeno setelah Hansol kembali ke kantor untuk menghadiri rapat perusahaan. Seorang suster memasuki ruang inap Jeno dengan membawa sebuah handuk kecil dan satu baskom air hangat. Kedua kaki Jeno masih belum pulih, sehingga ia harus mandi di atas tempat tidur.

"Jeno-ssi, waktunya mandi!"

"Suster, aku ingin daddy saja yang memandikanku. Apa boleh?"

"Hah?" Johnny menunjuk dirinya dengan bingung.

Suster tesebut tersenyum geli. "Boleh saja kalo Johnny-ssi tidak keberatan."

"Jeno, kau ini sudah remaja, masa masih ingin daddy mandikan?"

"Dad! Ayolah, kapan lagi aku dimandikan oleh daddy?"

"Baiklah, dasar anak nakal."


Johnny dan Hansol tidak menyangka bahwa hari itu adalah hari terakhir mereka melihat senyuman Jeno. Pukul dua pagi hari berikutnya, Jeno menghembuskan nafas terakhirnya. Hansol yang tertidur dalam keadaan duduk di samping Jeno memanggil bantuan ketika tubuh Jeno tiba-tiba kejang. Namun sayang sekali, nyawanya tidak dapat terselamatkan.

Hansol menangis kencang sembari memengang tangan putranya yang sudah terkulai lemas, sementara Johnny hanya menatap istrinya dan jenazah Jeno dengan pandangan kosong. Satu hal yang membuat mereka sedikit lega adalah fakta bahwa penderitaan Jeno sudah berakhir.

"Tuan dan nyonya, mohon tunggu di luar, kami harus menyelesaikan beberapa hal di dalam. Dokter Taeil menggiring Hansol dan Johnny keluar kamar dan mempersilahkan mereka untuk duduk di kursi yang ada di ruang tunggu.

Hansol dan Johnny hanya duduk dalam diam. Hansol sudah lelah menangis dan Johnny sedang sangat terpukul. Keheningan di ruang tunggu terpecahkan oleh suara pintu yang terbuka. Seorang pria muda dengan seragam suster menghampiri mereka.

"Permisi, nama saya Kim Doyoung. Saya adalah salah satu suster yang merawat Jeno selama berada di sini. Saya turut berdukacita atas kepergian putra kalian, saya pun merasa terpukul dengan kejadian ini karena Jeno sudah saya anggap sebagai adik saya sendiri."

Doyoung kemudian menyerahkan sebuah buku harian kecil berwarna putih kepada Hansol. Hansol menerimanya dengan tatapan bingung.

"Saat kalian berdua sedang tidak menjenguk, Jeno selalu meluangkan waktunya untuk menulis di buku itu. Ia berencana untuk memberikannya sendiri pada kalian pada wedding anniversary kalian yang jatuh pada hari ini. Sayangnya, saya yang harus memberikan buku ini pada kalian."

Johnny dan Hansol mengucapkan terima kasih pada Doyoung dengan lirih dan setelah pemuda itu berjalan keluar, mereka berdua membaca halaman pertama.

'Hi, mom and dad!

Happy wedding anniversary yang keenam belas! Aku tahu jika kalian tidak pernah lagi merayakan hari ulang tahun pernikahan kalian sejak lima tahun yang lalu. Kalau boleh jujur, aku merasa sangat sedih. Aku rindu melihat keluarga kecil kita yang bahagia, aku rindu saat-saat dimana dad selalu mencium bibir mom setiap pagi.

Aku tahu hidupku tidak akan lama lagi dan mungkin aku sudah tiada sebelum aku bisa memberikan buku ini pada kalian. Aku menulis buku ini dengan harapan agar mom and dad bisa belajar untuk kembali saling mencintai satu sama lain. Sejak aku kecil, mom and dad sering bertengkar karena kalian sering menyalahkan satu sama lain karena terlalu sibuk bekerja hingga kurang memberikan perhatian padaku. Aku tahu mom and dad bekerja agar aku bisa hidup berkecukupan, tetapi aku lebih senang jika keluarga kita bahagia.

Aku senang karena mom and dad selalu menjengukku di sela-sela jam kerja kalian dan memberikanku perhatian yang cukup. Untuk kedepannya, aku ingin kalian juga saling memperhatikan satu sama lain.

Di halaman-halaman berikutnya, aku menuliskan berbagai kegiatan seru! Semoga kalian mau melakukan mereka satu per satu! I love you both, my beautiful mom and my handsome dad.'


'Activity 1 - Pergilah ke tempat di mana kalian bertemu untuk yang pertama kalinya. Apa yang kalian lakukan di pertemuan pertama kalian? If possible, kalian bisa melakukannya kembali!'

Johnny dan Hansol bertemu untuk yang pertama kalinya di sebuah cafe kecil delapan belas tahun silam, ketika mereka berumur sembilan belas tahun. Mereka berdua sengaja dipertemukan oleh Ten dan Yuta, sepasang kekasih yang merupakan sahabat mereka. Ten adalah sahabat Johnny, sementara Yuta merupakan sahabat Hansol. Mereka berdua sengaja membuat janji untuk bertemu berempay di cafe tersebut dan meninggalkan Johnny dan Hansol berdua untuk saling mengenal.

Satu minggu sejak kepergian Jeno, Johnny dan Hansol memutuskan untuk melakukan aktivitas pertama yang Jeno tulis.

"Masuklah."

Johnny membukakan pintu cafe untuk Hansol yang tengah memandang tempat tersebut dengan nanar. Cafe tersebut tidak berubah banyak sejak delapan belas tahun yang lalu, hanya warna cat dinding yang berubah dari cokelat menjadi putih. Mereka berdua masuk dan memesan dua cangkir hot mocha seperti yang mereka lakukan pada saat pertemuan pertama.

Hansol membiarkan Johnny membawa pesanan mereka, sementara ia duduk di tempat yang mereka tempati delapan belas tahun silam. Johnny meletakkan kedua cangkir tersebut di atas meja.

"Hansol."

"Ya?"

Johnny menatap istrinya dalam. "Maafkan aku."

"Untuk apa?"

"Aku sudah keterlaluan, aku bahkan menampar dan menyalahkanmu atas kecelakaan yang Jeno alami. Itu semua bukanlah kesalahanmu, pikiranku terlalu kacau saat itu."

Johnny dan Hansol memang sering bertengkar hebat, tetapi Johnny tidak pernah sekali pun memukul Hansol karena seberapa besar rasa marahnya pada istrinya itu, pria itu tidak pernah tega untuk bermain tangan. Di hari kecelakaan Jeno, Johnny menampar Hansol untuk yang pertama kalinya.

Hansol hanya menatap Johnny dalam diam sembari meneguk sedikit hot mochanya, membuat pria di hadapannya menghela nafas sedih. Istrinya benar-benar membencinya dan Johnny paham betul akan hal itu.

"Bisakah kau menunda niatmu untuk mengajukan gugatan cerai hingga kita menyelesaikan seluruh aktivitas yang Jeno ingin kita lakukan? Aku ingin mengulang kembali, Hansol. Jika pada akhirnya kau tetap tidak bisa mencintaiku lagi sesudah kita melakukan seluruh aktivitas yang Jeno tulis, aku akan memenuhi keinginanmu untuk bercerai."

Hansol tertawa pahit. "Untuk apa, John? Cinta kita sudah mustahil untuk dipertahankan."

"If you can't do it for us, do it for Jeno."

TO BE CONTINUED


JENG JENG

padahal fic thirsty belum kelar, tapi dah bikin fic lagi ampun deh

tapi tenang, fic ini cmn bakal ada 2 chapters hehe

GW KENA WRITER BLOCK PARAH PAS NULIS THIRSTY, TOLONG MAK GW GATAU MAU NULIS APA LAGE

ok btw, semoga kalian suka fic ini ya!