Do You Believe a Reincarnation?

Pair: LenxRin Kagamine! -not incest-

Rated: T

Disclaimer: VOCALOID bukan punya saya... Tapi punya Yamaha sama Crypton. (Baca: cuma minjam karakternya doang *ditabok)

Summary: Mineka Rin, seorang wanita yang berusia 20 tahun, tak percaya dengan yang namanya 'reinkarnasi'. Apakah setelah mengetahui kondisi Len, dan menerima novel. Apakah ia dapat mempercayai hal itu yang sulit diterima dengan logika tersebut?

Berlaku DLDR!

Happy Reading, Minna-san...

Rin's POV

Hahh, aku sangat yakin, kalau reinkarnasi itu tidak akan ada... Semua itu hanyalah rekayasa belaka, yang bisa dikatakan asumsi orang tua...

Lahir kembali, dengan alasan yang konyol, membuatku tertawa dibuatnya. Kalau memang reinkarnasi itu ada, aku ingin sekali mengajukkan pertanyaan konyolku.

Apa alasan seseorang dilahirkan kembali? Dan mengapa setelah orang itu dilahirkan kembali, ingatan mereka semua hilang bagaikan tanpa jejak?

Semua itu pun masih menjadi misteri yang tak akan terucapkan dan terjawabkan, secara logika.

"RINNN-CHANNN!" Teriak sesorang berambut honey blonde dengan membahana. Rin yang mendengar teriakan itu, langsung menutup telinganya, sambil menengok ke arah teriakan.

"HEI, JANGAN TERIAK! LENNY SHOTAA!"

"Huaaaa.. Rin-chann... Kau jahatt sekaliiii... Padahal aku ingin memberi pertanyaan bagus untukmu tahuuu..." Ujar Len dengan OOC. Pemuda berambut honey blonde sama seperti Rin, berusia 20 tahun. Mungkin sifat Kagamine Len agak sedikit kekanak-kanakan walaupun usianya sudah dewasa.

"Ughh, memangnya apa yang kau ingin tanya'kan padaku, hm?" Tanya Rin dengan sedikit kesal. 'Kenapa aku bisa selalu dekat orang seperti dia ya? Selalu aja menyusahkanku, cerewet, dan terlalu hyperaktif...' Batin Rin.

"Apa kau percaya dengan yang namanya Reinkarnasi?" Len pun langsung mendekatkan wajahnya. Seperti tatapan penyelidik, yang ingin mendapatkan kepastian dari penjahat. Rin yang agak risih ditatapi dan diberi pertanyaan konyol itu.

"Tentu saja-" Len menatap Rin dengan berbinar-binar. Seolah-olah, ekspektasinya tercapai.

"TIDAK! BAKAA! Mana ada yang namanya Reinkarnasi!? Itu semua hanya bohong! Kalau memang itu ada, mana buktinya?"

Len hanya speechless.

Rin langsung menyeringai senang. "'Kan sudah kubilang, kalau reikarnasi itu gak ada, dan gak bakal terjadi..."

JDERRRR!

"Hueeee... Rin-chan... Kau jahat sekaliiiii... Berarti kalau aku mati, dan tak bisa dilahirkan kembali, aku nanti gak bisa lihat orang yang kucintai untuk kedua kalinya dong!?" Len teriak gaje, yang membuat semua orang menatap tajam ke arah mereka berdua. Rin yang merasa dideath glare oleh orang-orang sekitar, langsung membekap mulut Len dengan kedua tangan mungilnya.

"Kalau kau masih ingin hidup, bertingkahlah seperti orang dewasa! Kagamine Lenny!" Ucap Rin dengan sarkastik. Len yang mendengarnya hanya bisa cengar-cengir dengan muka tak bersalah. "Hahaha... Gomen nasai, Rinny..."

Len's POV

Hahh, gadis yang unik... Tak pernah percaya dengan reinkarnasi... Padahal aku sangat... Banget... Percaya... Yah, kalau dia percaya, aku sangat senang... Bahwa, hidupku...

Tak akan lama lagi... Untuk bersamanya lebih lama lagi...

Dan, Mineka Rin adalah gadis yang kusukai... Yah, walaupun sifatnya susah kutebak, tapi mungkin ada beberapa sifat 'langka'nya yang sudah kuketahui selama ini..

Len's POV ends

"Huhhh, aku kira kau percaya dengan reinkarnasi... Padahal-" Len pun menatap Rin dengan sendu. Ia sebenarnya ingin memberitahu'kan yang 'sebenarnya' pada Rin. Sayangnya, Rin tidak terlalu peka.

"Padahal apa? Tumben sekali, dari nada bicaramu, kau sepertinya sedang serius." Ujar Rin sambil keheranan. Len yang segera menyadari apa yang tidak boleh dikatakannya, langsung mengalihkan pembicaraan.

"Hehe... Padahal.. Uhmmm,"

"?"

"..."

"Padahal?"

"Padahal, jika kau percaya dengan reinkarnasi, aku ingin memberimu, novel ini..." Len langsung menyodorkan novel yang sedang dibacanya. Kebetulan ia membawa buku itu, dan sangat tepat waktunya.

Rin langsung mengambil novel itu. "Uhmm, agak kuno sekali novel ini. Seperti berasal dari ratusan tahun lalu.." Ujar Rin sambil membolak-balik'kan buku itu. Dari covernya, sampai tulisan di novel itu diperhatikannya dengan seksama.

"Hehe... Novel itu memang kuno, Rin-chan... Kau jangan lihat dari covernya... Coba kau baca isinya... Dan kau akan menemukan, mengapa aku percaya dengan-"

"Reinkarnasi."

Hening...

Seperti waktu berhenti di antara mereka. Angin sepoi-sepoi yang menerbangkan daun, Aktivitas manusia yang berada di sekitar itu, juga... Berhenti..

.

.

.

.

.

.

'Aneh... Seolah-olah, Len sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku... Dan ingin memberitahuku lewat buku ini. Tapi apa ya, yang disembunyikan Len dariku?' Batin Rin sambil mengerjap-ngerjapkan matanya yang agak sedikit gatal. Voila! Semua yang tadinya hening, kembali seperti semua, dan seperti tak terjadi apa-apa.

"..."

"Kau boleh membaca dan memulangkan novel ini sesukamu! Oh ya, aku ada keperluan mendadak nih! Maaf ya, kalau tidak bisa bersamamu lebih lama lagi! Jaa nee, Rinny!" Len langsung melambaikan tangannya, meninggalkan Rin yang masih terpaku dengan novel itu.

DEG!

DEG!

'Kenapa perasaanku sangat tidak enak ya? Apa akan terjadi sesuatu pada Lenny?'

...Keesokkan harinya...

Rumah Mineka Rin, pukul 10.00

"Hei, Len."

"Uhm? Apa kau sudah baca semuanya?" Len menatap Rin dengan agak sedikit kikuk.

"Sebagian saja. Tapi entah kenapa, aku merasakan sesuatu yang aneh, antara aku, kau, dan buku ini.." Ujar Rin.

"..."

"Le-Len? Kenapa dengan wajahmu? Kau terlihat sangat pucat-"

"Dan terlihat sangat kurus.." Rin melihat Len dari atas hingga bawah. Jujur ia sangat mengkhawatirkan Len sekarang ini. Wajah Len sangat pucat, seperti mayat hidup.. Badan Len yang agak berisi, sekarang terlihat lebih kurus.

"Haha! Aku baik-baik saja kok! Kau tak usah khawatir! Oya, tentang 'novel' itu, memangnya apa yang kau rasakan?" Tanya Len berbohong, dan mengalihkan pembicaraan. Rin yang dengar jawaban Len, hanya mengerucutkan bibirnya. Kesal.

"Bagaimana baik-baik saja!? Lihat dirimu di cermin! Jika kau merasa baik-baik saja, mengapa mukamu pucat sekali, hmm?"

"Sudah kubilang aku ba-" Rin yang kesal dengan jawaban Len, langsung menarik tangan Len menuju kamar Rin.

GREP!

"Lihat dirimu baik-baik, Baka shota!"

Len langsung melihat dirinya di depan cermin. Ia melihat mukanya pucat pasi, bibir yang pecah-pecah, mempunyai kantong mata. Belum lagi dengan badannya kurus... Err, mungkin kurus kering..

'Sepertinya pernyakitku semakin parah dari waktu ke waktu..' Batin Len miris melihat penampilannya sekarang.

"..."

"Memangnya kau kenapa sih?! Kau selalu saja menyimpan masalahmu sendirian! Sejak orang tuamu meninggal, kau menjadi agak tertutup denganku!" Ucap Rin sambil menahan air matanya. Selama ini Rin selalu memperhatikan gerak-gerik Len. Dan ia sudah mengganggap Len lebih dari sahabat sendiri...

"Hei, siapa bilang aku menyimpan rahasia darimu... Aku baik-baik saja kok... Mungkin aku agak sedikit kurang tidur. Hehe," Len tertawa seperti tanpa beban yang sedang dideritanya. Ia tak mungkin memberitahu Rin, tentang 'itu'. Bisa-bisa Rin memperlakukannya seperti anak usia 2 tahun.

Rin menatap Len tak percaya, ia tahu Len sedang berbohong. "Kau bohong.." Len langsung memeluk Rin sambil mengelus-ngeluskan tangannya di pundak Rin. "Sudahlah Rin, kita tak usah membicarakan ini lagi. Oke?"

Muka Rin memerah bak tomat. Ia tak sangka, kalau Len memeluknya dengan, errr, romantis... "Hahh, terserah kau sajalah! Aku sudah tak peduli..."

Len terkikik pelan. Ia tahu, Rin mempunyai arti tersendiri dalam kalimatnya itu. Terlalu tsundere untuk mengakui itu, batin Len.

"Haha! Kau tak pandai berbohong ya, Rinny..." Goda Len. Bukannya sabar menanggapi perkataan Len, Rin pun langsung mengeluarkan aura gelapnya. Dan...

BAG.. BUGG... BUGG...

"HUAAAA... ITTAII NEEE!" Pekik Len kesakitan. Kepala Len yang tadinya masih baik-baik saja, sekarang muncul 2 benjol. Hampir mirip buah jeruk, batin Rin sambil tersenyum sadis.

Pukul 14.00

"Rinnyy~ tadi 'kan kau belum jawab pertanyaankuu~" ujar Len childish. "Pertanyaan apa sih, baka shota!? Kau menggangguku tahu!" Jawab Rin ketus.

Len mengerucutkan bibirnya kesal dengan sebutan 'baka shota'. "Huhh! Kau jahat sekali, Rinny.. Padahal aku ingin bertanya tentang novel itu..."

"?"

"Kau bilang kau punya perasaan yang aneh 'kan? Siapa tahu, aku mengetahui sesuatu, yang belum pernah kau tahu," ujar Len menyeringai. Seperti seorang profesor yang mendapatkan jawaban spektakuler.

"OH! E-etoo..."

Wushh!

Angin yang kencang membuat suasana agak sedikit berat. 'Ughh.. Sakit sekali... Aku mohon jangan sekarang!' Batin Len berusaha menahan sakit di kepalanya itu. Rin yang melihat Len kesakitan 'secara tersembunyi' langsung, memegang dahi Len.

'Nggak panas, tapi kok berkeringat dingin?' Batin Rin curiga.

"Ja-Jadi?" Len mengucapkannya dengan terbata-bata. Berusaha menahan sakitnya itu.

"Setiap aku membaca buku itu, aku merasa ada hal yang mengikatku bersama dengan-"

BRUKK!

Len pun jatuh tersungkur ke tanah. Hidungnya penuh dengan darah. Rin membulatkan matanya tak percaya. Terkejut. Dan..

"LENNN!" Tanpa berpikir lebih panjang lagi, Rin langsung menyeret Len ke mobilnya.

BRUM.. BRUMM!

CKITT...

Rin langsung menginjak pedal gas dengan kuatnya. 'Ngebut sekarang, atau Len yang akan jadi taruhannya!' Batin Rin yang khawatir. Ia sudah tak perduli dengan ocehan para pengguna jalan yang merutukinya.

"WOI, YANG BENAR DONG MENGEMUDIKAN MOBIL!"

"HEII, INI JALAN BUKAN PUNYA LU!"

"AWAS! JANGAN NGEBUT DONG!

"HOII, PUNYA MATA GAK SIH?!"

Rin yang -agak- sedikit brutal mengendarai mobil, membuat Len yang tadinya pingsan, agak sedikit terbangun olehnya. Mengusap-ngusap kepalanya yang pening, Len tersadar apa yang sedang terjadi dengan dirinya tadi.

"Ja-Jadi?" Len mengucapkannya dengan terbata-bata. Berusaha menahan sakitnya itu.

"Setiap aku membaca novel itu, aku merasa ada hal yang mengikatku bersama dengan-"

BRUKK!

Len pun jatuh tersungkur ke tanah. Hidungnya penuh dengan darah. Rin membulatkan matanya tak percaya. Terkejut. Dan..

"LENNN!" Tanpa berpikir lebih panjang lagi, Rin langsung menyeret Len ke mobilnya.

'Oh tidak... Pasti Rin akan membawaku ke rumah sakit! Bahaya! Nanti dia akan mengetahui penyakitku!' Gerutu Len dalam hati.

BRAKK!

JDUGG!

TIN! TINN!

Ups, sepertinya karena terlalu tergesa-gesa, Rin menabrak sebuah mobil di depannya. Dan, voila! Dahi Len pun hampir menyentuh(baca: kejeduk) keras dengan kursi mobil, sedangkan Rin, harus diceramahi habis-habisan oleh pemilik mobil itu.

Bukannya terima ceramah itu, Rin langsung mengambil dompetnya, dan mengeluarkan beberapa lembar uang yen, sebagai ganti rugi.

"Nih, saya akan ganti semua kerusakan mobil anda!"

Melihat Len yang masih setiap berbaring dengan wajah pucat, ditambah dengan hidung yang mimisan, membuat Rin langsung masuk ke mobilnya.

"EH! Urusan kita belum sele-"

BRUMM! BRUMM!

WUSHHH!

"Huhh, dasar merepotkan. Gak lihat ya, aku lagi terburu-buru!?" Rin yang mengoceh sendiri entah pada siapa. Len yang dahinya hampir kena kursi mobil, langsung shock dan pingsan... lagi tentunya.

Rumah sakit Vocaland

Len yang langsung dibawa Rin, dengan cara diseret, membuat suster yang melihatnya kebingungan. 'Aneh..' Pikir mereka semua. Karena jengkel melihat suster yang berjaga di situ, Rin langsung teriak dengan ketusnya. "WOI, JANGAN DILIHATIN DOANG! BANTUIN CEPAT!"

Suster yang tersadar akan kalau di belakang Rin ada yang sedang pingsan. "E-Eh?! I-Iya!" Ujar suster itu dengan terbata-bata.

"Len... Kau sebenarnya menyimpan rahasia dariku 'kan?" Gumam Rin sambil membantu suster mendorong kasur Len ke ruang ICU. Len yang mendengar gumaman Rin hanya bisa tersenyum miris dan memejamkan matanya.

.

.

.

Sambil menunggu hasil yang akan disampaikan dokter, Rin teringat, kalau ia membawa buku yang Len berikan padanya. "Hah, daripada aku tak melakukan aktivitas apa pun, lebih baik aku baca novel saja."

Rin membuka halaman yang ia batasi dengan pembatas bukunya.

"Hmmm, halaman 50.."

Halaman 50

Aku pun berjalan menyusuri lorong rumah sakit sambil menahan sakitku ini. Memang seharusnya aku dibantu oleh suster, tetapi aku menolaknya. Aku ingin melakukannya sendiri. Aku tak mau merepotkan orang lain karena penyakitku ini.

"Hah.. Hah.. Ughh.. A-Aku harus kuat! Aku harus sembuh dan menepati janjiku!"

'Ugh!? Kenapa sih kok tidak ada nama di novel ini!? Memangnya aku tahu siapa yang sakit!?' Batin Rin kesal.

Penyakitku semakin lama, semakin menggerogoti tubuhku. Aku tak tahu berapa lama, akan hidup di dunia ini. Seandainya waktu berhenti, aku ingin kau ada di sisiku untuk menemaniku.

Dan disaat yang kutunggu, akhirnya kekasihku datang juga dengan membawa buah kesukaanku, buah pisang. Senyumnya yang menghangatkanku, dan mata azurenya yang terlihat sangat hidup serta enak dipandang.

"Heiii! 'Kan sudah kukatakan, kau jangan sok kuat! Baka..." Ujar kekasihku sambil membantu memapahku untuk berjalan. Aku agak merutuki keadaan ini. Seharusnya aku tidak mempunyai penyakit ini, aku pasti akan mengajaknya kencan bersama ke taman kota, atau ke tempat romantis. Bukan di rumah sakit.

Aku pun cengar-cengir menanggapi perkataannya, "Hehehe... Aku 'kan tak ingin merepotkan kalian semua.. Termasuk kau.." Ujarku sambil menggaruk-garukkan kepalaku yang tak gatal.

"Kau jangan membuat bertambah sedih! Mereka semua tidak merasa, kalau kau merepotkan mereka! Itu sudah tugas mereka! Kau harus sembuh! A-Aku i-ingin kau te-terus be-bersamaku di sini.." Ucapnya menahan air mata. Aku yang melihatnya menangis, langsung mengelap air matanya. "Aku juga inginnya begitu. Tapi, kalau kita tak bisa bersama, aku harap kita bisa dilahirkan kembali."

'Hmm, apa mungkin, yang terkena penyakit itu adalah laki-laki? Aku semakin bingung.' Batin Rin.

"Apa anda anggota keluarga dari Kagamine Len?" Ucap dokter secara tiba-tiba, membuat Rin terlonjak kaget dan langsung menutup novelnya secara refleks.

"E-Eh? Saya! Saya adalah sahabat dekatnya!" Ujar Rin. Dokter yang mendengarnya, langsung bertanya, "Apa tidak ada anggota keluarganya? Selain anda?"

"Ayah dan Ibunya sudah meninggal karena kecelakaan. Dan dia tak mempunyai adik maupun kakak. Sedangkan sanak saudaranya, aku tak tahu nomor mereka." Jelas Rin kepada dokter itu. Dokter itu hanya mengganggukkan kepalanya mengerti.

"Saya ingin bertanya pada anda. Apa Len-san rutin melakukan kemoterapinya?" Rin mengerutkan alisnya. Bingung.

Dokter yang merasa Rin -sahabat Len- tak tahu apa-apa, langsung angkat bicara.

"Sahabat anda menderita kanker ganas."

Rin membulatkan matanya dengan sempurna. Air matanya langsung mengalir tanpa ia sadari.

"ITU TAK MUNGKIN DOK! SAHABAT SAYA TAK MUNGKIN MENDERITA PENYAKIT ITU DOK!" Teriak Rin menepis pernyataan dokter itu. Pernyataan yang terlalu menyayat hati untuk diterima, serta untuk dihadapi.

"Tolong anda sabar dan tegar.. Kita tak bisa memprediksi apa yang akan terjadi dalam hidup diri kita mau pun orang lain! Saya harap anda tenang dahulu. Saya belum menjelaskan semuanya." Ujar dokter itu sambil menenangkan Rin.

Dokter itu berdehem sebentar, lalu melanjutkan perkataannya, "Sahabat anda menderita penyakit kanker-"

"Kanker apa dok?"

"Kanker otak stadium 3."

DEG!

"A-APA!?"

TES...

Air mata Rin semakin mengucur tanpa henti dari pelupuk matanya. 'Apa berarti aku harus menjalani hari-hari terakhir bersama Lenny?' Batin Rin miris.

"Saya perkirakan Len-san masih mempunyai waktu 3 bulan untuk perawatan intensif. Seperti kemoterapi, mengonsumsi obat-obatan, dan-"

"Tidak boleh keluar rumah sakit."

"!"

"Karena di luar sana, banyak sekali bakteri dan virus yang akan memperparah keadaan Len-san."

Mau tak mau Rin harus mengambil keputusan. Ia harus langsung menyarankan dokter itu untuk segera merawat Len. Tapi di sisi lain, ia juga tak rela jikalau, waktu kebersamaan ia dengan Len harus dihabiskan selama 3 bulan di rumah sakit.

"Jadi apa pilihan anda?"

"..." Rin masih tak bergeming dengan pertanyaan dokter tersebut. Ia masih bergelayut dengan keputusan yang harus ia ambil.

"Anda harus mengambil keputusan dengan cepat, karena kami harus melakukan tindakan yang cepat."

Rin menghela napasnya berat. "Ya sudah! Aku memutuskan untuk Len dirawat di sini. Aku akan membawakan bajunya ke sini. Mohon bantuannya dok."

Dokter itu mengganggukkan kepalanya mengerti. "Nama saya Shion Kaito. Kalau anda?" Tanya dokter itu sambil menyodorkan tangannya.

Rin pun berjabatan dengan dokter berambut biru itu. "Nama saya Mineka Rin. Aku mohon lakukan yang terbaik untuk sahabatku Shion-san." Ucapnya dengan tersenyum terpaksa.

"Baik.. Saya akan melakukannya semampu saya." Ujar dokter itu.

.

.

.

Ruang ICU, tempat Len dirawat. Pukul 16.00

"Enghh?! Di mana aku?" Len mengerjap-ngejapkan matanya beberapa kali. Sedikit demi sedikit, kejadian yang tadi ia alami berputar-putar dalam otaknya. Dengan terkejut, Len langsung duduk di kasur.

'Mati aku... Pasti Rin sudah mengetahui yang sebenarnya!' Jerit Len dalam hati.

Pada saat yang tepat, Rin datang ke kamar Len. "Ternyata kau sudah bangun ya?" Tanya Rin sambil tersenyum manis, tetapi bagi Len, senyuman itu seperti menyiratkan sesuatu.

"I-Iya.. Uhmmm.. Rinny-" pertanyaan yang ingin dilontarkan oleh Len, terputus karena selaan Rin.

"Aku sudah tahu."

"Hahhh.. Aku kira, aku bisa menyimpan rahasiaku dengan baik.." Ucap Len dengan tatapan yang tak bisa diartikan oleh Rin.

PLAKK!

"!"

"BAKAAA SHOOTTAAA!"

Tes..

Rin menampar Len, dengan air mata yang mengucur tanpa izin Rin.

"Kenapa kau menamparku, Rin?" Tanya Len dengan pipi kemerahan. Rin harus menahan amarahnya, untuk melayani pertanyaan konyol yang ditanyakan Len.

"Kau bodoh. Sangat bodoh."

"Apa maksudmu?"

"KAU SANGAT BODOH! KAU SEAKAN-AKAN KUAT DI DEPANKU DAN TAK PERNAH MENCERITKAN PENYAKITMU!" Teriak Rin dengan gusarnya. Ia sudah tak peduli dengan keadaan sekitarnya.

"..."

"Padahal aku selalu ada di sisimu. Waktu dulu, aku selalu menceritakan semuanya kepadaku apa yang kualami. Aku mempercayaimu. Aku tahu kalau kau bisa menjaga rahasiaku. Tapi, giliran kau.. Apa kau percaya padaku, Len?" Tanya Rin lirih.

"Aku percaya padamu. Dan aku punya alasan tersendiri kenapa aku tak menceritakannya kepadamu, Rinny.." Ujar Len sambil mengusap air mata Rin dengan saputangannya.

Mengerutkan alisnya. Bingung. "Apa alasanmu, hm?" Tanya Rin sambil berusaha untuk menahan air matanya. Sambil cengar-cengir, Len langsung menjawab, "Ups.. Rahasia.. Rinny~"

Menggembungkan pipinya kesal. Rin langsung menepuk bahu Len dengan kerasnya. Membuat Len langsung terjatuh ke lantai dengan tidak elitnya.

"Ittaiii.. Baka no Rinny.." Dengan aura gelap Rin yang kebetulan mendengar ejekan Len, langsung membuat Rin evil smirk. "Apa yang kau katakan Lenny?"

"E-Etooo... Bulannya sangat indah 'kan, Rinny?" Len terbata-bata pada saat mengalihkan pembicaraan.

"INI MASIH SORE, BAKA SHOTTTAAAA!"

"HUUAAA~"

.

.

.

.

"Oya Rinny, apa yang dokter katakan padamu, hm?" Tanya Len sambil membuka pembicaraan. Rin yang mendengar pertanyaan Len, langsung tersenyum getir.

"Dia mengatakan padaku, kalau kau penyakitmu sudah masuk stadium 3. Dan dokter itu bilang, kau masih punya waktu 3 bulan lagi."

"Hmm, jadi penyakitku tinggal 1 stadium lagi." Len menundukkan kepalanya. Kesempatan hidupnya untuk bersama Rin, gadis yang ia anggap lebih dari sahabat sendiri tinggal beberapa bulan lagi.

"Aku sudah memutuskan untuk mengurusi perkerjaanmu di kantor dan setiap hari aku akan membawakan pakaian ganti untukmu. Karena-"

"?"

"Aku sudah memutuskan agar kau dirawat di rumah sakit ini, dan tidak membiarkanmu keluar dari sini."

"!?"

"Agar kau bisa menjalankan kemoterapi, meminum obatmu dengan baik dan teratur." Jelas Rin kepada Len yang masih agak terkejut.

"APAAAA!?" Teriak Len tak percaya. "Kenapa kau lakukan ini semua Rin!? Percuma juga aku dirawat! Toh ujung-ujungnya aku akan ma-"

"Sekali lagi kau ucapkan 1 kata itu, aku akan menghajarmu." Ancam Rin dengan palu di tangannya, entah darimana asalnya.

"Aku tak ingin di sini Rin! Kau tahu 'kan aku ingin menghabiskan waktuku untuk bersamamu sampai waktuku tiba!" Ucap Len sedih.

Wajah Rin langsung bersemu merah. Malu mendengarnya. Tapi di sisi lain ia juga sedih. "Haha.. Kalau itu kita 'kan bisa menghabiskan waktu di sini.."

"Eh!? Kenapa begitu!?" Len terkejut dengan perkataan Rin. "Bukankah kau lebih suka kalau jalan-jalan di luar sana!?" Ucap Len, sambil menunjuk ke arah luar jendela.

Rin menghela napasnya. "Tidak juga ah.. Aku 'kan harus melihat situasi dan keadaan dulu, bakaa! Karena-"

"?"

"Kau adalah segalanya bagiku.."

To Be Continue!

A/N: Hai, Minna-san! Perkenalkan, aku author baru. Yah, mungkin menurut kalian, fic ini jelek banget. Tapi, aku harap kalian bisa mereview ficku ini.. Aku akan sangat menghargainya, baik fave maupun review.

Aku akan melanjutkan, jika reviewnya 4 ke atas (ekspektasi #plak)

Jangan sungkan mereview, karena Review atau Fave kalian berharga bagiku! :)

Ditunggu ya! XD