Domestic Disturbance
a Jumin*Zen fiction that made by a fan
Mystic Messenger
©2016 Cheritz Co,. Ltd. All Rights Reserved
Warn: use of alcohol, boy*boy, free sop iler
Setelah 3000 tahun tidak bertemu, setelah berbagai macam hambatan, rintangan, dan tantangan yang ada, mereka bertemu. Mereka dapat bertemu di sebuah bar pada malam hari. Yang diundang memang sengaja datang telat karena ada urusan kantornya yang fenomenal itu, sementara yang satu sudah berdiam di sana menunggu hingga waktunya dapat digunakan untuk mengumpulkan ke7 dragon ball, melanjutkan S2, dan menaikan haji orang tua. Tidak sulit ternyata menemukan seorang yang dikerumuni dengan tampilan yang mencolok, iya, itu dia.
Begitu sampai ke hadapannya, ia mengambil tempat duduk di depan bar, tepat di sebelah orang yang punya hajat. Dengan itu pula, kerumunan yang nampak sedang beramah tamah dengannya meninggalkan diri.
Tempatnya tidak dihiasi lampu disko kanan kiri atau cahaya yang menyilaukan, apalagi musik-musik electronic dance yang menggema dihiasi dengan wanita-wanita korban westerinsasi. Ia tahu, kalau itu tempatnya maka tidak akan terjadi kesepakatan di antara mereka. Tempat itu terlihat klasik dan homey layaknya bar-bar jaman naik kuda di barat, dihiasi dengan ornamen-ornamen bewarna cokelat mahogany dan suasana yang cukup lengang. Dentingan gelas beberapa kali terdengar menggelitik di antara bunyi percakapan yang halus sekali. Sekelompok orkes dangdut kondangan nampak hadir di suatu sudut berusaha memeriahkan suasana yang tidak.
Mereka tidak saling bertatapan. Ia tidak ingin berkomentar tentang batapa bosannya melihat laki-laki itu dengan setelan formal, kalau dia kaya setidaknya dia bisa beli baju kekinian. Ia pikir Jumin kan memesan sesuatu, tetapi hingga beberapa saat kemudian tidak ada yang berbicara. "Hey kau mau pesan apa?"
"Tequila."
Pandangan di antara keduanya sebenarnya tidak ada yang menunjukan ketertarikan satu sama lain. Akhirnya dia bisa mendengar sesuatu selain wine dari mulutnya... oh ada apa ini? Sedang tidak ada masalah kan? Sedang tidak dipengaruhi pihak manapun dan dalam keadaan sadar kan? Namun ia tidak ingin berkomentar, lagi-lagi. Karena... kepalanya serasa menjauh, bibirnya pun kehilangan nafsu untuk bercakap.
Mungkin ini bar langganan si pria yang lahir dengan karunia pada wajahnya, maka ia mengatakan dengan indah kepada bar tender itu terhadap pesanannya. Ia sendiri tidak ingat sedari tadi sudah menghisap berapa batang atau minum apa, di depannya ada gelas Lowball berisi wiski yang isinya tinggal ¾ .
Tidak ada yang menjadi fokus pandangan keduanya.
Sepasang mata kelamnya serasa menyerap pantulan dari penglihatan, ia hanya menatap ke depan atau kadang-kadang ke bawah ke pada kedua tangannya yang dilipat di atas meja. Sementara Zen terlihat duduk menyamping melipat kaki serasa elegan, tidak ada juga yang menjadi fokusnya melainkan sebuah pengingat waktu pada dinding yang berdetik di antara mereka menunjukan makin sedikitnya waktu.
Datanglah pesanannya, hampir-hampir memenuhi ekspektasi anak kolongmerat itu. Walau entah biasanya dia minum di mana.
Ia tidak langsung menenggaknya, tidak pula menyentuhnya, ia hanya seperti terlihat antara kosong dan ada yang lain. Percakapan di antara mereka juga tidak kunjung dimulai. Kenapa rasanya sangat jauh walau sedekat ini?
Sebenarnya pihaknya ingin memulai percakapan, seperti dirinya yang sudah-sudah. Namun hati ini lelah terlalu menerima banyak zat adiktif atau nuraninya yang merasakan. Tapi akhirnya ia tidak dapat menahannya juga, "terimakasih kau sudah mau datang."
Ia berusaha memberikan pandangan kepada kepala bersurai gelap itu walau yang dipandang nampak mengacuhkannya dan melihat hal yang lain. Sebelah tangan Jumin mengambil shot berisi tequila polos itu dan menenggak dalam 1 kali. "Ya," jawaban singkat yang sangat mudah ditebak.
"Bisa aku pesan satu lagi?"
Sedikit terbangun hatinya yang tertidur itu, "ada apa denganmu?"
"Bukankah kau mengajakku ke sini untuk minum?" Sebenarnya itu pertanyaan sekaligus pernyataan yang logis.
"..." Pandangan itu seolah tertegun, dari otaknya yang mulai melambat. Tidak biasanya laki-laki yang kurang tensi ini bersikap gila. Namun daripada menanyakan ada apa gerangan dengan kehidupanmu yang memang selalu gerangan itu, ia menyunggingkan sebuah senyum dan memikirkan hal lain. "Baiklah kalau begitu..." , "Bagaimana kita beradu? Siap yang bisa minum paling banyak?"
Seulas senyum miris terhadap kebodohan sebagai balasannya, "apa kau ingin memainkan permainan bocah seperti ini?"
"Buanglah sejenak mahkotamu itu, pangeran... kau sudah datang ke sini," , "atau... apa kau takut denganku?"
Sebenarnya mereka memiliki selera yang berbeda dalam minum, kalau yang satu merasa classy dengan wine. Yang satu merasa lebih merakyat(?) dengan minum bir kalengan. Namun bukan di sini. Bukan bir kalengan yang disuguhkan atau wine, tetapi wiski, on the rocks maupun tidak. Akhirnya kesepakatan terhadap peraturan main dan keadaan diterima kedua belah pihak... mereka pun memulai kompetisi. Masing-masing memegang botol... demi botol masing-masing...
Walau ada pertanyaan tentang angin ribut macam apa yang menerpa laki-laki itu, ia berusaha menyimpannya dan tidak menggali. Sudah bagus akhirnya ia bergabung dalam lingkaran setan.
Hingga setelah beberapa ronde ada salah satu di antara mereka yang melepaskan pegangannya.
"Kau yang kalah, aku menang..." , "Kau memang... tidak ada.. apa-apanya..." , "Kau..."
Kalimat itu memang keluar dari mulut panitia penyelenggara, tetapi sebenarnya dia jugalah yang kalah. Tidak ingin merasa sesumbar, si pemenang hanya terdiam melihat lawannya yang sudah tergeletak.
Ini sudah benar-benar malam dan si tamu dengan kesadaran yang masih menempel di kepalanya ingin menyudahi kegilaan ini dan pulang. Walau sebenanya ia mulai merasa pusing, ia tidak ingin semakin menjadi dan segera bangkit dari tempat.
"Kau mau ke mana?" Kesadarannya masih menyadari kalau seorang itu akan meninggalkannya.
"Pulang."
"Hei... pertarungan kita masih belum selesai..." , "Apa kau... menyerah...?"
Siapa juga yang menggeletakan kepalanya di meja dan siapa juga yang kini berdiri tegap.
Baru saja ia akan menggenggam leher botol wiski yang hampir penuh itu kembali dari meja, namun seseorang merebutnya. "Sadarkan dirimu," lalu ia menyisihkannya ke sisi yang lain.
Belum saja sampai satu langkah, ia baru berbalik, lengan bajunya yang panjang ditarik. "Jangan tinggalkan aku."
Sebuah... ucapan yang ia masih dapat mendengarnya dengan jelas dan... saat itu juga mengheningkan dirinya.
Dalam sepersekian detik itu, keterkejutan yang mungkin sudah lama sekali tidak muncul tampak. Lantas ia langsung membalikan badannya kembali kepada soerang yang sedang kacau itu. Senyum misterius ia singgungkan diam-diam, "kau ingin tetap aku di sini?"
"Mari kita lanjutkan pertarungan ini..." Sebelah tangan yang tidak sadar itu berusaha meraba raba meja dan mencari pelepas nyawa itu seraya mengangkat kepalanya.
Akhirnya ia tidak bisa memalingkan perhatiannya dari laki-laki ini. Akhirnya ia melakukan kemanusiaan dengan membawa sebelah lengan laki-laki goyah itu dengan tujuan untuk membantunya berdiri. Akhirnya ia melakukannya, Zen idak melakukan penolakan apapun dan hanya kebingungan dalam kelinglungan.
Mereka keluar bersama dari tempat itu. Sayangnya ia tidak sampai hati untuk membopongnya a la brial style.
Tbc
