Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Warning: AU, maybe OOC, typos dan sederet kesalahan lain

Genre: Sci-fi/Mystery/Romance

Inspiring from 9-11 Tragedy

Fic ini mengandung banyak rima dan metafora. Bagi yang tidak suka, silakan tekan back sebelum Anda sakit mata.

Special fic for Zoroutecchi

.

.

"Selesai juga, un."

Ucapan itu terlontar dari pemilik surai pirang. Manik birunya berbinar senyum sarat kelegaan terpampang. Pertanda puas akan kinerjanya yang gemilang. Mungkin setelah ini ia akan menelpon kekasihnya demi berbagi cerita sembari makan siang.

Bekerja di lembaga peneliti amunisi membuatnya dibebani sebuah ambisi. Terlebih untuk misi kali ini, penanggung jawabnya adalah ia sendiri. Bagi Deidara Andevsky –sang pemilik mata biru- tentu merupakan sebuah prestasi.

"Akhirnya selesai juga." Sasori turut menimpali.

"Hidrokarbon memang menakjubkan, un. Bisa kubayangkan, apa yang bisa dihasilkan oleh satu kilogram TNT, un." Deidara menerawang, "Blasstt!" Mulutnya menirukan suara ledakan.

"Hey, hey, ucapanmu lebih mirip teroris daripada pakar amunisi," sergah Sasori.

Deidara tertawa ringan, "Bagiku, seni adalah ledakan, un. Kau tentu tahu akan hal itu."

"Yeah, dan kupastikan pacarmu sendiri yang akan menangkapmu," timpal Sasori.

Lagi-lagi Deidara tertawa ringan. Sebagai rekan, tentu Sasori tahu dengan wanita mana ia menjalin hubungan. Dan sudah dua tahun ini menjalin sebuah romansa bersama seorang profiler rupawan.

Meraih piranti telekomunikasi, Deidara mencoba menghubungi tambatan hati. Ia men-dial rangkaian nomor agar bisa segera memulai konversasi. Semoga saja gadis berdarah Inggris-Jepang itu tak sedang berjibaku dengan kasus-kasus yang membebani.

Detik ketiga terdengar sebuah sahutan. Khas gadis Yamanaka yang meyakinkan. Suaranya tak menyiratkan adaanya sebuah beban.

"Ya, Deidara," sapanya.

"Hari ini kau ada waktu, un? Rasanya sudah lama kita tidak makan di luar, un," ucap Deidara.

"Ah, aku lupa memberitahumu. Aku mendapat tugas untuk mengamankan perayaan lustrum keduabelas Namikaze Enterprise. Walikota akan hadir di sana. Kau tahu apa yang paling kusukai dari acara ini?" Ino terdengar menggebu-gebu.

"Yeah, kubayangkan kau akan memakai gaun Dior yang kau beli minggu lalu, un." Deidara sudah cukup paham akan selera berbusana kekasihnya, "Selamat bersenang-senang, Dear."

"Oh, ayolah. Ini bukan hanya tentang Dior dan Channel-ku. Kau tahu, Uchiha-sama menyuruhku membawa pasangan untuk melengkapi penyamaranku. Kau tentu tak berpikir aku akan mengajak laki-laki lain, kan?" Ino balik bertanya.

"Bagus, un. Kita bisa pergi bersama tanpa mengganggu tugasmu," tutur Deidara.

"Kita bicarakan lagi di rumah. Aku harus mengintrogasi tersangka kasus dugaan malpraktek yang kutangkap minggu lalu," kata Ino.

Telepon terputus membuat Deidara sedikit mendengus. Bahkan keberhasilan timnya belum sempat didengar si gadis tirus. Menghela napas sekilas, Deidara hanya berasumsi banyak hal yang mesti Ino urus.

Mengencani seorang profiler memang bukan hal yang mudah. Alih-alih kencan setiap hari, Deidara justru kerap disuguhi wajah Ino yang didera lelah. Jika sudah demikian, ia hanya bisa mendesah pasrah. Bantal dan selimut tentu akan menyapa Ino dengan ramah.

Atensi Deidara kembali diberikan pada berkas yang menunggu. Ada baiknya bila ia kerjakan sembari membunuh waktu. Lagipula jika berkas telah lengkap, ia dan timnya bisa memresentasikan hasil eksperimen baru.

Setelah Ino, nuklir adalah hal kedua yang dicintainya. Pernah jadi yang pertama hingga Ino datang dalam hidupnya. Deidara tak bisa menjelaskan, bagaimana cara gadis itu melakukan penetrasi hingga memiliki eksistensi dalam tiap deuterium-nya.

Sungguh, bagi Deidara fusi nuklir adalah analogi yang paling tepat untuk seorang wanita. Bukan sebuah rahasia, kepribadian wanita memang serumit ilmu fisika. Dan Deidara cukup bangga, ia memahami keduanya.

Membalik-balik berkas, Deidara tahu berkas ini butuh satu tambahan elemen. Sepertinya tersimpang dalam tempat laten. Reaktor nuklir boleh jadi jawaban paling kompeten. Ia harus segera mencari komplemen yang koheren.

Ruangan berisi reaktor nuklir eksperimen telah lengang. Barangkali yang lain sudah pulang atau tengah menghadapi berkas-berkas menjulang. Daripada memikirkan perginya orang-orang, ia lebih memilih mencari komplemen yang hilang.

Tak ada.

Deidara telah menelusuri tapi data tak juga ia temui. Lebih baik ia bertanya pada Sasori. Boleh jadi lelaki bersurai magenta itu tahu dimana data tersembunyi. Deidara melirik arloji di pergelangan tangan kiri. Sepertinya menghubungi Sasori bukanlah sebuah opsi. Seminggu tertahan di gedung ini, sepertinya ia memilih pulang demi sang kekasih hati. Yeah, Deidara bisa membayangkan pasangan itu tentu menginginkan privasi.

Baiklah, mungkin sebaiknya ia juga kembali. Data itu masih bisa ia minta esok hari. Lagipula lebih menyenangkan menanti Ino kembali sembari menikmati setumpuk blini.

.

.

.

"Selamat malam, Dear." Ino memberikan satu kecupan di pipi Deidara begitu ia tiba. Ia segera menjatuhkan diri ke sofa –yang diklaimnya sebagai tempat paling nyaman sedunia. Meski terlihat letih, tapi manik cerahnya berbinar bahagia.

"Mandi saja, un. Air hangatnya sudah kusiapkan, un," ucap Deidara.

"Terima kasih, Dear," balas Ino.

Deidara memang tipikal lelaki pengertian. Ia mengerti, apa yang dibutuhkan Ino kala didera kelelahan. Sebuah modal yang bagus untuk mendapat gelar pria idaman. Terlebih bila didukung parasnya yang rupawan.

Memiliki raut serupa membuat orang-orang kerap salah menduga. Alih-alih dikenali sebagai pasangan romansa, mereka justru lebih sering disangka saudara. Pameo 'mirip itu jodoh' mungkin cocok untuk mereka.

Melewati menit-menit yang terbuang, Ino berhasil membuat kekasihnya tercengang. Gaun Christian Dior yang cukup menghabiskan uang nyatanya mampu membuat Ino tampil laksana bintang. Setidaknya begitulah isi kepala pemuda pirang.

"Ayo, berangkat." Deidara menolak terang-terangan memuji. Baginya cukuplah mata yang merefleksi arti sebuah afeksi. Pun halnya dengan Ino yang tak jua mengakui, kekasihnya tampil memesona dalam balutan Giorgio Armani.

Dua puluh menit adalah waktu yang terbuang untuk tiba di lokasi. Beberapa mobil milik petinggi negeri telah berjajar rapi. Cukup memberi bukti, lustrum keduabelas Namikaze Enterprise memang berprestise tinggi.

Menggerakkan manik birunya ke kanan kiri, Ino tak mendapati sesuatu yang patut dicurigai. Metal detector yang tersisip dalam handbag keluaran Gucci juga tak bereaksi. Namun gadis ini tak kunjung menurunkan daya konsentrasi. Siapa tahu bahaya laten tengah mengintai.

"Ada apa?" tanya Ino kala melihat Deidara tengah menatap langit malam.

Lelaki itu menunjuk satu noktah di ketinggian. Berputar-putar di angkasa tanpa haluan. Terlihat menukik tajam ke arah selatan.

"Pesawat?" tebak Ino.

"Aku tak yakin," gumam Deidara.

Meraih piranti telekomunikasi, Ino memilih tindakan preventif. Noktah di atas sana kian bergerak tentatif. Alih-alih membantu Ino, Deidara justru terlihat ekspresif. Terlebih kala bagian belakangnya berpijar fluktuatif.

"Wow," gumam Deidara penuh kekaguman.

"Pesawat jatuh," ucap Ino, "semoga Hinata bisa cepat mengidentifikasinya." Ia menyebut nama rekannya di kepolisian.

"Menurutku lebih mirip rudal atau roket, un," celetuk Deidara, "Dear, jangan melihatku begitu, un. Hanya pendapat subyektif, un." Ia merasa tak enak kala Ino menatapnya secara intens.

"Tidak," ucap Ino, "Kau bisa saja benar. Lebih baik aku…"

DHUARR!

Dentuman keras terdengar membahana. Membuat panik orang-orang di sekitarnya. Satu pemberitahuan singkat diterima Ino dari Hinata. Sebuah pesawat militer milik angkatan udara Rusia menabrak gedung pencakar langit milik Konoha. Lokasi gedung naas iotu hanya terpaut jarak 500 meter dari tempat pesta.

Ino menoleh ke arah kekasihnya. Satu anggukan Deidara ia terima. Pemuda itu sudah terbiasa dengan tugas mendadak sang Yamanaka.

.

.

Begitu tiba di lokasi, Ino mendapati pemandangan tragis. Dalam hitungan menit, gedung pencakar langit tak lagi eksis. Semuanya telah terbakar habis. Menghasilkan gumpalan asap tipis.

Atas alasan keamanan, Ino tak diizinkan menyisir lokasi. Bagaimana pun gaun pesta dan stiletto bukan modal bagus untuk menerjang api. Andai tak membawa lencana polisi, ia juga akan turut dievakuasi. Tak ingin berdiam diri, Ino memilih melapisi diri dengan tambahan proteksi. Tentu lengkap dengan pergantian alas kaki.

Temperatur tinggi membuat udara panas menyengat. Di balik lapisan proteksinya, Ino mulai berkeringat. Namun tetap saja tak membuatnya patah semangat. Ingatannya mencatat tiap fakta yang terlihat.

Mengevakuasi korban bukanlah tujuannya yang utama. Tugasnya memang mencari data dan fakta. Tapi tetap saja, hatinya terketuk kala melihat korban terluka. Dibantunya beberapa korban keluar area.

Sebuah anomali kala ia tak mendapati puing-puing burung besi. Boleh jadi konstruksinya meleleh akibat temperatur tinggi. Sebuah tanda tanya menginvasi otak kiri. Bisakah pembakaran avtur melelehkan konstruksi pesawat seberat dua ton dalam waktu sesingkat ini?

"Yamanaka Ino, Uchiha-sama menginginkanmu tiba di markas sesegera mungkin." Pria dengan biji mata tak biasa itu sudah tentu adalah Pein.

"Sepuluh menit lagi. Ada sesuatu yang harus kupastikan di sini," ucap Ino.

"Ini adalah perintah resmi dari Uchiha-sama. Temui dia kecuali kau sudah siap untuk melepas lencana," tegas Pein setengah mengancam.

Memilih bersikap skeptis, Ino tak menggubris. Tanpa memedulikan sang pemuda eksentris, ia melanjutkan investigasinya berdasar hipotesis. Ia yakin, Uchiha-sama justru akan mengapresiasi jika ia mendapat bukti esoteris.

"Segera kembali ke markas, Yamanaka!"

Demi apa, ini memang suara sang kepala polisi. Ino berbalik demi sebuah visualisasi. Sesuai prediksi, Pein tengah memperlihatkan layar digital beresolusi tinggi. Di dalamnya, Uchiha-sama tengah berupaya mengajak berkomunikasi.

Pimpinan Ino -yang lebih dikenal dengan nama Uchiha Madara- memberikan tatapan tak ingin dibantah. Mau tak mau Ino tunduk pada titah. Barangkali memang ada hal penting yang membutuhkan intervensi dari si mata cerah.

Raut tak ramah Uchiha-sama sungguh tak terekspektasi. Cukup membuat Ino bertanya-tanya dalam hati. Tak biasanya raut wajah Uchiha-sama seperti ini.

"Katakan padaku, kau di mana saat ledakan terjadi?" Nada suara Uchiha-sama terdengar mengintimidasi.

"Perayaan lustrum keduabelas Namikaze Enterprise," jawab Ino tanpa pretensi.

"Dan kau meninggalkan acara itu untuk ledakan tak berarti? Tak bisa kupercaya, profiler kompeten sepertimu tak memahami job description-mu sendiri," sesal Madara, "Bagaimana seandainya serangan susulan juga dilancarkan ke gedung perayaan? Bukankah kau tahu, banyak petinggi negara sedang berada di dalamnya?"

"Uchiha-sama, gedung itu berjarak 500 meter dari lokasi kejadian. Aku hanya ingin memastikan dampaknya tak meluas hingga ke gedung-gedung sekitar." Ino mencoba membela diri.

Madara terlihat kurang puas. Baginya, argumen Ino tak cukup menjadi alasan mangkir dari tugas. Pria paruh baya itu terlihat berpikir sembari menghela napas.

"Berikan lencanamu," ucapnya.

"Apa?" Ino membulatkan matanya tak percaya. Baiklah, Ino tahu dirinya alpa. Tapi haruskah Uchiha-sama menahan lencananya?

"Hanya sementara. Dua bulan lagi, kau akan mendapatkan lencanamu kembali," ucap Madara sembari mengulurkan tangan.

Ino menyerahkan lencananya setengah tak rela. Dua bulan tanpa kasus tentu bukan kabar baik untuknya. Sial, padahal kasus ini cukup menggelitik intuisinya. Apa boleh buat, Madara justru memberikan hukuman untuknya.

.

.

.

"Aku tak percaya, pria tua itu malah menghukumku! Ya ampun, kurasa ia lupa minum aspirin tadi pagi. Sebaiknya kuingatkan istrinya untuk menyiapkan obat itu setiap hari," gerutu Ino sembari menukar pakaiannya.

"Sudahlah, un. Kurasa Uchiha-sama melakukannya agar kau punya cukup waktu untuk beristirahat, un," ucap Deidara sembari menuangkan sirup maple ke atas blini –panekuk khas Rusia- buatannya. "Dear, kau mau ini, un?"

"Tidak. Glukosa tak ramah untuk timbanganku," tolak Ino.

"Tapi glukosa akan membantumu mengembalikan energi dengan cepat, un. Kau selalu menghabiskan banyak kalori untuk berpikir, un. Jadi kurasa sebuah panekuk takkan memberi kontribusi pada bobot tubuhmu, un," ucap Deidara.

"Yeah, baiklah. Aku mau setengah porsi." Ino menyerah pada kegigihan Deidara.

"Perlu kutambahkan cokelat di atasnya, un? Dopamine bagus untuk perbaikan mood-mu,un," tawar Deidara.

Ino tertawa ringan mendengarnya. Ia menghampiri kekasihnya yang masih berkutat dengan adonan panekuk khas Rusia. Deidara adalah ilmuan fisika, namun ia lebih sering menyebut senyawa-senyawa kimia.

"Dear, aku jadi memikirkan ucapanmu. Kemungkinan benda itu memang bukan pesawat. Aku tak menemukan bangkainya dimana pun," ucap Ino.

"Kau bilang Hinata sudah memastikan itu pesawat militer milik angkatan udara Rusia, un," balas Deidara.

"Aku belum sepenuhnya yakin," sahut Ino.

"Kurasa kau bisa bekerja sama dengan Sakura. Kau bisa memintannya mencarikan foto-foto satelit, un," balas Deidara.

"Aku tak sudi bekerja sama dengan intelijen Rusia," tolak Ino, "Ini pasti ulah pemerintah Rusia yang menginginkan perang terbuka dengan Jepang. Pesawat militer atau bukan, Rusia pasti punya kontribusi atas insiden ini. Negara payah, beraninya main belakang."

"Agresi tanpa deklarasi, bukankah itu adalah siasat perang bangsa Jepang, un? Ingat saat penyerbuan ke Manchuria akhir abad ke-19, un? Juga penyerbuan ke Pearl Harbour saat perang dunia kedua, un." Deidara terlihat tak sependapat. "Aku juga orang Rusia, un. Tolong jangan jelek-jelekkan negaraku seperti itu, un."

Astaga, bagaimana mungkin Ino lupa? Bukankah alasan ini yang membuat apartemen mereka dihiasi pernak-pernik khas negara penguasa seperenam dunia? Terutama boneka-boneka kayu khas Rusia. Matryoshka, begitu Deidara menyebutnya. Sebuah karya seni hasil akulturasi budaya.

"Dear, kau marah?" tanya Ino sembari menatap Deidara yang sudah berbaring memejamkan mata. Tak ada kecupan selamat malam seperti biasanya.

"Hanya sedikit kesal, un. Tak usah khawatir, besok pagi pasti sudah hilang, un," ucap Deidara.

"Baiklah. Selamat malam." Hanya itu yang mampu terucap dari bibir gadis Yamanaka.

Di saat seperti ini, mata bukanlah indra yang mau menurut perintah otak. Bukan hanya karena romansanya yang sedikit retak, tapi juga dalam kepalanya segala asumsi tengah berteriak. Menuntut naluri dan logikanya untuk cepat bergerak.

Ino tak peduli lencananya tengah disita. Justru ia semakin yakin ini bukan sekedar kecelakaan biasa. Dengan sedikit taktik, kehilangan lencana akan membuatnya menjadi warga sipil biasa. Tentu sebuah penyamaran yang sempurna.

Pagi-pagi Ino tak mendapati Deidara di sisi. Hanya selarik memo yang menemani setangkap roti. Sebuah petunjuk lelaki itu telah pergi. Sepertinya ia sudah tak marah akibat konversasi malam tadi. Setidaknya emoticon senyum pada larik terakhir memo ini memberikan sebuah determinasi.

Mungkin ada baiknya ia sedikit merapikan ruangan. Kemudian ia baru pergi menemui beberapa koleganya di kepolisian. Lalu pulang sebelum tengah hari untuk menyiapkan masakan. Sungguh langkah awal yang menyenangkan untuk mengambil cuti dua bulan.

.

.

.

"Sulit dipercaya, dokter Tsunade menemukan indikasi mutasi genetik di tubuh korban runtuhnya gedung semalam."

"Kau bercanda, ya? Emisi pembakaran avtur takkan berdampak sejauh itu."

Ino menyimak pembicaraan dua perawat sembari memasang wajah tak peduli. Saat ini ia tengah membaur dengan belasan pasien terapi. Terima kasih untuk ayah dan neneknya yang mewariskan mata dan rambut ini. Berdalih identitasnya terbakar di lokasi, ia bisa memanipulasi data diri. Tampaknya tak satu pun yang mengenali.

Setidaknya sebelum ia bertemu dengan kekasih Sasori.

"Selamat, Yamanaka. Lagi-lagi kau dicampakkan," ucap Sakura.

"Ingatkan aku untuk memberimu alamat guru kepribadian. Kurasa mulutmu perlu sedikit pelatihan," balas Ino.

Sakura tertawa ringan, "Kurasa kau butuh dopamine untuk merelaksasi pikiran. Tertarik menikmati secangkir coklat?"

"Hanya jika kau mentraktirku," seloroh Ino.

Keduanya tertawa ringan. Meleburkan batas-batas rivalitas dan persahabatan. Ino sangat menyayangkan pilihan Sakura berbakti untuk negeri jiran. Sakura pun demikian. Baginya talenta Ino tentu bisa lebih dikembangkan. Dan Jepang tak cukup memberi dukungan.

"Terlalu banyak campur tangan Amerika di negeri ini. Bahkan kau juga tahu, betapa memalukannya pasukan militernya saat berhadapan dengan Kopassus," ucap Sakura kala ditanya alasannya bekerja untuk dinas intelijen Rusia.

"Pasukan elit Indonesia yang peringkat tiga dunia itu, kan? Ya, aku sudah tahu soal itu. Tapi aku tak melihat korelasi fakta ini dengan alasanmu bergabung dengan SVR," ucap Ino.

"Aku benci Amerika, jadi kuputuskan untuk bekerja pada Rusia. Lagipula visi misinya tak bertentangan dengan visi misiku," ucap Sakura.

Alasan yang cukup diterma logika. Tapi tetap saja Ino tak terima. Kenapa harus Rusia? Tak bisakah Sakura memilih Jerman, Austria, Italia atau Finlandia saja? Secara khusus Ino memang tak suka Rusia. Terlebih jika menilik sejarah dan pameo lama. Bahkan dinas intelijen KGB pun dipelesetkan menjadi Kontora Grubykh Banditov oleh masyarakat Rusia.

"Pemerintah Rusia belum menanggapi kejadian tadi malam. Kudengar akan ada demo besar-besaran di Kedubes Rusia." Suara Sakura menyadarkan Ino dari lamunan.

"Ya, aku melihatnya di berita tadi pagi," ucap Ino sembari menyesap hot chocholate yang baru dibuatkan oleh Sakura.

"Kudengar semalam kau ada di lokasi. Tidakkah kau mendapati sebuah anomali?" tanya Sakura.

"Yeah, agak aneh memang. Bagaimana mungkin sebuah pesawat mampu menghancurkan konstruksi baja dalam waktu sesingkat itu? Seandainya tanki meledak pun kukira hanya mendestruksi paling banyak seperenam bagian gedung saja," ucap Ino.

"Coba lihat ini." Sakura menunjuk berkas di mejanya.

"Ini daftar orang-orang yang ada di dalam gedung saat kejadian berlangsung . Separuh dari mereka adalah ekspatriat asal Rusia dan orang-orang yang bekerja untuk pemerintah Rusia. Jadi apakah pemerintah Rusia sudah begitu gila hingga menghabisi rakyatnya?" Sakura balik bertanya.

"Jadi menurutmu, ini sebuah rekayasa?" Ino balik bertanya.

"Ya," jawab Sakura.

"Lalu bagaimana caramu menjelaskan keterlibatan pesawat militer milik angkatan udara Rusia yang terlihat malam itu?" tanya Ino.

"Aku sudah menghubungi Hinata dan seorang rekanku. Kita bisa mencocokkan hasil deteksi kepolisian Jepang dan SVR," ucap Sakura, "Hey, jangan melihatku begitu. Aku hanya memperhitungkan probabilitas yang mungkin terjadi."

Ah, sungguh alasan yang masuk akal. Masalah ini tergolong tak boleh bertindak asal. Ia harus pandai mencari celah demi membongkar misteri secara total.

"Apa benar ditemukan indikasi mutasi genetik di tubuh para korban?" Ino teringat pembicaraan dua perawat yang didengarnya.

"Ya," ucap Sakura.

Mutasi genetik, meluruhnya konstruksi baja dan tak ditemukannya bangkai pesawat di antara reruntuhan. Semuanya terasa saling berkaitan. Dalam dua detik, Ino mendapat satu kemungkinan. Ia hanya butuh pembuktian untuk lebih dekat pada jawaban.

.

.

TBC

.

Glossary:

1. SVR (Sluzhba Vneshney Razvedk)= dinas intelijen Rusia. Kinerjanya sama seperti CIA di Amerika Serikat (CIA ya, bukan FBI)

2. KGB (Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti)= badan intelijen Uni Soviet dari tahun1954 - 1991

Satu fanfiksi yang saya persembahkan untuk Zoroutecchi-san. Maaf kalau masih kurang memuaskan. Tapi kemampuan saya memang baru begini.

Terima kasih untuk yang sudah meluangkan waktu membaca. Sekiranya tidak merepotkan, ceritakan pada saya kesan-kesan kalian setelah membaca ini.

Molto Grazie ^^