Meant To Be

.

By : Arlian Lee

.

Main Cast

Jung Taekwoon Lee Jaehwan (GS) / Jung Taekwoon

.

Other Cast

Lee Jaeahn / Cha Hakyeon (GS) / Park Chanyeol / Kim Myungsoo

..and others..

.

Genre(s)

Hurt/comfort, drama, genderswitch, alternative universe, out of character

.

Length

Multichapters

.

Rate

T, T+, PG (16)

.

LeKen! Keo! Slight! Neo, LeoN

.

Don't like don't read, don't do other bad thing.

.

Summary

Mereka ditakdirkan untuk bersama. Tapi entah mengapa kisah yang mereka tapaki seolah tak mengarah kesana. Ada keraguan Jaehwan untuk masuk ke dalam lembaran cerita yang dibuka oleh Taekwoon. Namun apakah cerita Taekwoon akan berakhir seperti yang seharusnya?

.

.

.

Happy Reading

.

01

.

.

Rumah ini kecil, hanya berisikan satu kamar tidur, satu kamar mandi dan dapur. Rumah ini kecil, berada di atas atap dari bangunan sebuah toko yang disewa dengan harga murah. Rumah ini kecil, dihuni dua orang yang tak lama ini pindah ke jantung ibukota Negara Korea. Adalah Lee Jaehwan dan Lee Jaeahn.

Mereka adalah kakak adik yang memutuskan untuk berpisah dari orangtuanya. Ah, dua pasang orang tuanya. Baik Jaehwan maupun Jaeahn sama-sama tidak ingin tinggal dengan mereka. Dan mereka memilih bertahan hidup seadanya di kerasnya Ibu Kota Korea dengan keterbatasan yang tak bisa terelakan.

Baru saja Jaehwan selesai membersihkan rumah kecil mereka. Ia akan bersiap-siap untuk pergi bekerja. Lee Jaeahn, adiknya sudah pergi lebih dulu untuk bekerja. Sebelum Jaehwan pergi, ia lebih dulu mengecek persediaan nasi. Takut nanti saat Jaeahn pulang tidak ada makanan.

Semuanya sudah beres dan ia siap untuk bekerja.

Namun ia perlu mengabaikan apa yang ia lihat. Masih belum ia melangkah jauh dari depan rumahnya, seseorang telah menunggu disana. Jaehwan sama sekali tak pernah berkeinginan untuk bertemu dengannya.

"Kembalilah! Masih ada tempat untukmu!" Ucap orang itu ketika Jaehwan berada tepat satu tingkat di atasnya.

Dan Jaehwan –untuk kesekian kalinya- tidak peduli. Kaki gadis itu tetap melangkah melaluinya.

"Lee Jaehwan."

Masih satu tangga, lengan Jaehwan ditahan.

"Apa kau lagi-lagi menolak bantuan ini?"

Jaehwan melepas tangan itu dari lengannya. "Berhenti peduli padaku." Lalu kakinya bergerak menuruni tangga itu dan tak acuh pada sosok yang lain. Jaehwan sudah jengah dengan sikap sok baik yang ditawarkan.

.

.

.

"Wajahmu terlihat lelah sekali."

Adalah sambutan yang diberikan kepada Jaehwan oleh Hani. Gadis itu tampak prihatin dengan keadaan Jaehwan yang memang jauh dari kata semangat. Sesampainya di tempat kerja, Jaehwan langsung duduk dengan ekspresi wajah menyedihkan.

Hani tersenyum. Ia bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah meja dekat pintu. Disana ada alat penyedia air hangat dan air dingin. Hani akan membuatkan paling tidak satu gelas teh hangat untuk mengembalikan semangat Jaehwan yang mungkin tercecer di jalanan.

Jaehwan mendesah; sedikit menyedihkan untuk di dengar. Ia menerima uluran minuman dari Hani dengan senyum yang terukir paksa. Rasanya memang melelahkan sekali hari ini.

"Aku lembur." Jaehwan berucap setelah menuntaskan beberapa seruputan teh hangatnya. "Memilih perusahaan mana saja yang akan jadi pendonor kita."

Hani menaikkan sebelah alisnya. Ah, mendengar kata pendonor ia baru saja ingat. Ia bahkan lupa kalau Jaehwan memang punya tugas mencari dana untuk kegiatan mereka. Yah, pekerjaan mereka memang mengandalkan banyak donatur. Mungkin mereka mendapatkan dana dari usaha sendiri juga, namun tak sebanyak jika dibandingkan dengan memasukkan proposal kepada perusahaan-perusahaan.

"Dan kau sudah punya daftarnya?" Tanya Hani.

Jaehwan mengangguk. Gadis itu mengambil map berisi lembaran daftar perusahaan mana saja dan menyerahkannya pada Hani.

Untuk sejenak, Hani membaca secara cepat daftar nama perusahaan yang tertera. Beberapa kali Hani mengangguk-anggukan kepalanya tanda setuju dengan daftar nama itu. Sepertinya Jaehwan memang cepat belajar dan ia bisa memilih mana yang terbaik. Lalu ditutup dan dikembalikan pada Jaehwan.

"Oke, kalau begitu segera kau buat proposalnya biar nanti Seokjin saja yang mengirim ke setiap perusahaan."

Jaehwan mengangguk setuju.

"Ah, ngomong-ngomong soal pendonor..." Kali ini suara yang ada di seberang meja Jaehwan terdengar. Adalah Lee Soojung, salah satu teman kerja Jaehwan. "Myungsoo juga ingin mendonorkan sebagian hartanya. Kemarin setelah kau pulang dia datang kemari." Lanjutnya dengan kehati-hatian yang tinggi.

Seketika tubuh Jaehwan membeku. Nama yang masuk ke dalam pendengarannya seolah menuntun agar dirinya tetap diam dan bungkam. Beberapa detik kemudian Jaehwan menunduk, ada gelenyar aneh yang menjalar di sekujur tubuhnya. Bibirnya ia gigit kuat demi mengontrol gejolak yang disebabkan oleh batinnya.

Lalu ia mendongak, membalas tatapan tak berujung milik Soojung yang menunggunya berkomentar.

"Tolak saja, kita bisa mencari pendonor yang lainnya." Tanggapnya pelan.

Soojung menggeleng tak setuju. "Kenapa? Bukankah kita butuh dana? Yayasan panti asuhan di utara Seoul benar-benar butuh biaya sekolah."

Jaehwan akan bersuara namun sepertinya Soojung menghentikannya dengan sorot teduh yang diberikan.

"Pikirkan anak-anak Jae! Jangan kau campurkan masalah pribadimu." Soojung menepuk pundak Jaehwan. Entah sejak kapan gadis ini berdiri di sebelahnya. "Myungsoo bilang ia melakukan ini untuk anak-anak."

Lagi dan lagi Jaehwan tak bisa membalas ucapan Soojung. Jika ditelaah memang benar lembaga yang tengah memberikannya pekerjaan memang butuh dana untuk biaya yayasan panti asuhan. Jaehwan menghembuskan nafasnya pasrah. Ia memang tidak boleh egois. Myungsoo berhak memberikan sebagian uangnya untuk kelangsungan yayasan panti asuhan.

"Satu juta bukan uang yang kecil." Hani menambahi ucapan Soojung. Sejak tadi ia hanya memperhatikan bagaimana Soojung dan Jaehwan bercakap. Ia juga bisa membaca bagaimana ekspresinya saat ini. "Kau tidak menolak, kan?"

Jaehwan mengangguk lemah. "Aku akan berbicara pada Myungsoo." Ucapnya.

"Kenapa?"

"Aku memang perlu berbicara padanya. Tenang, aku tidak menolaknya."

Dan yang lainnya ikut tersenyum dengan keputusan Jaehwan. Jaehwan memang tidak memiliki posisi tinggi di lembaga mereka, tapi mereka cukup mengerti bagaimana perasaan Jaehwan.

.

.

.

Langkah kakinya masih sama -cepat dan tegap- menyusuri lorong menuju ruangannya. Fokusnya diambil alih oleh percakapannya dengan rekan kerja. Meski hiruk pikuk ramai kantor saat pagi hari tak menariknya dari perbincangan serius tentang proyek yang ia tangani. Ia masih tetap menanggapi ribuan kata tentang laporan yang disampaikan sang rekan kerja.

Adalah Jung Taekwoon, salah satu pemimpin di Taejeong Grup. Perusahaan multinasional yang bergerak di bidang konstruksi. Taekwoon menjabat sebagai Dirut dalam usia mudanya. Taekwoon memang masih muda, namun jiwa kepemimpinannya tidak diragukan lagi. Kemampuan yang ditularkan sang ayah dengan sangat baik diserapnya.

Tangannya mendorong pintu ruangan, diikuti Wonshik yang sedari tadi menyamai langkahnya. Mereka masuk ke dalam ruangan dan duduk di tempat masing-masing.

"Lalu sekarang mana proposalmu?" Tanya Taekwoon setelah ia mendengar beribu kata dari Wonshik. "Aku akan lihat anggaran dananya dan akan aku tanda tangani nanti."

Wonshik mengangguk mengerti. Ia membuka tas kerjanya dan mengambil laporan dari dalam. Selanjutnya ia serahkan pada Taekwoon.

"Tentang pembangunan mall di daerah Jeonju." Ia membuka halaman yang dimaksud. "Bisa kita mulai bulan depan? Aku sudah menyurvei perusahaan yang akan bergabung dengan proyek ini."

Taekwoon mangu-mangut mengerti. Ia memperhatikan jumlah angka yang tertera disana. Lumayan banyak, namun ia yakin keuntungan yang didapatkan juga bakal banyak.

"Kita rapatkan nanti."

"Kau memang yang terbaik, kak!"

Ya, Kim Wonshik memang bukan sekedar rekan kerja saja. Kim Wonshik juga adik tingkat yang tak sengaja kenal dengan Taekwoon karena memiliki kesamaan hobi. Yaitu sama-sama suka olahraga futsal. Mereka pun menjalin pertemanan hingga Taekwoon mempercayakan jabatan asisten kepadanya. Sama seperti Taekwoon, Wonshik juga memiliki kemampuan yang tak diragukan.

Keduanya tengah menikmati secangkir kopi setelah merembukkan beberapa rencana. Taekwoon juga mulai fokus kembali pada beberapa laporan lainnya. Namun tak lama kemudian, pintu terbuka. Ada seorang wanita muda cantik yang datang mendekati Taekwoon.

"Sayang.." Serunya senang sembari memeluk Taekwoon.

Taekwoon membalasnya dengan senyuman, wanita muda itu mengecup pipi Taekwoon tanpa ragu. Bahkan ia tidak peduli atau malu dengan sosok Wonshik yang ada disana.

"Kau sudah sarapan?" Tanyanya lembut.

Taekwoon mengangguk. "Tentu saja sudah, Bibi Im tidak pernah terlambat memberikan sarapan untuk majikannya." Sahutnya. "Kau sendiri?"

Ia tersenyum, manis sekali. Bahkan jika dilihat dengan cara yang berbeda banyak mengira ia tengah menggoda. "Sebenarnya belum. Aku ingin mengajakmu makan dan membicarakan sesuatu. Tapi kasihan kau nanti. Terlalu banyak makan." Candanya. "Bagaimana kalau makan siang?"

"Boleh, kita makan siang di kedai biasa saja."

"Oke." Satu kecupan dibubuhkan dengan singkat pada pipi Taekwoon. "Kalau begitu aku akan ke studio dulu."

Taekwoon mengernyit. "Kau kesini hanya ingin mengajak makan siang? Kenapa tidak melalui pesan saja?" Tanyanya sembari memainkan pinggang si wanita yang tengah berdiri di hadapannya.

"Kalau melalui pesan, aku tidak bisa melihat wajah tampanmu, sayang.."

"A..." Taekwoon mengangguk paham.

Lalu setelah mencuri sebuah kecupan dari Taekwoon, ia membalikkan badannya. Siap untuk pergi. Sebelumnya ia juga melambaikan tangan pada Wonshik dan dibalas anggukan juga sebuah senyum. Tinggal Taekwoon yang menghela nafasnya sebelum kembali pada tumpukan file yang menunggu.

Wanita itu sudah pergi, lima menit yang lalu. Wonshik bangkit dari duduknya. Berencana mengambil lagi secangkir kopi; miliknya sudah habis ngomong-ngomong.

"Daily drama yang tidak begitu menarik bagiku." Celetuk Wonshik dengan suara bassnya. "Kenapa kau tidak bosan dengan semuanya?"

Taekwoon mengangkat wajah dan mengalihkan atensinya pada Wonshik. "Bosan? Tunggu! Yang kau maksud aku bosan dengan Hakyeon atau dengan sikap baiknya?" Tanyanya memperjelas tanya Wonshik.

"Keduanya."

"Hakyeon baik."

"Kak.. Aku serius."

"Aku juga serius. Sudahlah, lanjutkan saja kerjamu."

Dan percakapan tanpa jawaban itu berakhir sudah. Diakhiri dengan dengusan tak suka dari Wonshik. Sementara Taekwoon hanya tersenyum tipis melihat tingkah aneh Wonshik.

.

.

.

.

Taekwoon dan Hakyeon duduk berdua di sebuah kedai langganan. Seperti janji tadi pagi, Taekwoon menemani Hakyeon sekalian makan siang. Mereka sudah memesan dua mangkuk sup ayam dan minuman hangat juga. Tak muluk-muluk yang penting kenyang.

"Kau bilang ada hal istimewa yang ingin kau katakan?" Taekwoon ingat, saat mereka saling bertukar pesan selepas Hakyeon pulang Hakyeon bilang ada sesuatu yang akan ia katakan.

Hakyeon mengiyakan ucapan Taekwoon. Namun sebelum mengatakannya, ia menyelesaikan dulu makanan yang masih tersisa sedikit.

Lalu bersuara.

"Ini tentang rencana fashion show-ku." Taekwoon menaikkan sebelah alisnya. "Rencana yang aku inginkan sejak lama. Menggelar fashion show di salah satu kota fashion terbaik di dunia."

Untuk sesaat Taekwoon mencerna ucapan Hakyeon. Kemudian ia mengerti dengan ucapannya. Benar, beberapa minggu yang lalu Hakyeon sempat bercerita kalau akan menggelar fashion show di Paris. Hakyeon cukup sering menggelar fashion show di Seoul dan beberapa kota penting di Korea Selatan. Ia juga ingin melebarkan sayapnya di dunia.

"Apa kau sudah mendapatkan kesempatan itu?"

Alih-alih menjawab, Hakyeon malah menarik lebar kedua sudut bibirnya. Anggukan berulang yang tersirat rasa senang mengiringi senyuman itu. Ia bahkan nyaris menjerit dan bangkit dari duduknya.

"Benar! Ada kesempatan untukku dua bulan lagi." Pekiknya tak bisa membendung rasa senang itu. Memang, ini merupakan sebuah momen yang ditunggu-tunggu Hakyeon. Karena selain mimpinya terwujud, ada hal lain yang mungkin akan ia capai. "Dan kau masih ingat apa rencana kita setelah aku berhasil menggelar fashion show di Paris?"

Ada sedikit kebingungan di wajah tampan Taekwoon. Lelaki itu tengah berpikir, mengingat kembali rencana yang disinggung Hakyeon.

"Menikah!" Rupanya Hakyeon tidak sabar dengan respon lambat yang diberikan Taekwoon. Wanita itu memekik girang dengan pancar mata yang menunjukkan antusias tinggi.

Sedangkan Taekwoon sempat terkejut sebentar sebelum pada akhirnya ikut tersenyum paham. Ah, iya. Ia bahkan lupa dengan rencana itu.

"Berarti kita akan menikah dua bulan lagi?"

Hakyeon mengangguk. "Ya, kita usahakan akan menikah dua bulan lagi." Lalu ia menyendok makanannya. "Apa kau tidak sabar?"

"Kalau aku tidak sabar, aku sudah memaksamu menikah denganku."

Jawaban itu sukses membuat Hakyeon nyengir. Sebenarnya, keinginan untuk kapan menikah ditentukan oleh Hakyeon. Wanita itu lah yang memberikan saran agar menikah setelah ia berhasil menggobrak dunia fashion di Paris. Sementara bagi Taekwoon ia tidak terlalu peduli kapan pun itu tapi sebisa mungkin jangan terlalu mendadak dan cepat. Karena masih ada sesuatu yang perlu ia urus dahulu.

.

.

.

Tubuh Jaehwan benar-benar lelah. Bukan hanya tubuh, melainkan juga hatinya. Tiba-tiba saja ia merasakan sakit luar biasa yang selama ini tak pernah menyentuhnya. Bukan sakit fisik, melainkan sakit hati. Untuk pertama kalinya ia merasakan yang namanya sakit teramat ketika melihat seseorang berduaan dengan orang lain.

Apa yang salah? Bukankah selama ini ia membencinya?

Jaehwan mendesah. Di setiap langkah kaki yang membawanya ke rumah Jaehwan selalu berdo'a semoga tidak ada hal aneh yang tengah ia rasa.

"Kakak sudah pulang?"

Sambutan itu diterima Jaehwan dari adik laki-lakinya. Jaeahn sudah pulang sejak sore tadi.

"Eoh," sahut Jaehwan singkat sembari melepas sepatu ketsnya. "Kau sudah makan?"

Jaeahn mengalihkan atensinya dari ponsel lagi. "Sudah, kakak? Jangan sampai telat makan! Aku tidak mau melihat kau sakit!" Serunya serius.

Sementara Jaehwan berdecak. Seperti biasa, adiknya akan sedikit protektif tentang pola makan yang dilakukan Jaehwan.

"Aku sudah makan. Tenang saja, aku tidak akan lupa makan." Jaehwan melepas jaket yang ia kenakan sebelum duduk di sebelah Jaeahn.

Jaeahn menepuk paha Jaehwan. "Aku benar-benar tidak bisa melihat kau sakit kak! Aku akan sangat marah kepada diriku sendiri."Bahkan saat berucap demikian, Jaeahn mengalihkan atensi sepenuhnya pada Jaehwan.

Kali ini Jaehwan tersenyum sembari menggelengkan kepala. "Dasar sister complex!" Sahutnya pelan.

Ya, Jaeahn memang bisa Jaehwan rasakan kalau ia mengidap penyakit sister complex. Bukan hal negatif dan berlebihan. Justru itu menjadi hal baik bagi Jaehwan. Jaeahn akan dengan senang hati melindunginya. Dari apapun itu. Bahkan Jaehwan juga tidak sulit untuk membujuk Jaeahn untuk ikut dengannya.

"Kak!"

Saat Jaehwan melangkah untuk masuk ke dalam kamar, Jaeahn memanggilnya. Ada sesuatu yang perlu ia sampaikan kepada sang kakak. Jaehwan menoleh dengan sebelah alis terangkat.

"Ibu menelpon!" Seketika raut wajah Jaehwan mengeras. Sorot mata tak suka begitu jelas disana. "Menanyakan kabarmu."

Untuk beberapa sekon, Jaehwan terdiam. Hanya dadanya yang naik turun seiring dengan nafas yang sengaja ia tahan sebelumnya. Namun Jaeahn bisa melihat ada binar kebencian yang terpatri di kedua manikan cantiknya. Sang kakak masih sensitif ketika mendengar kata Ibu.

"Katakan aku baik-baik saja."

Datar, tak acuh dan dingin.

"Tapi kak!"

"Bahkan saat nanti wanita itu datang kemari, katakan, aku tidak ingin bertemu."

Lalu menghilang, Jaehwan membanting pintunya dengan kasar. Meninggalkan Jaeahn yang menghembuskan nafasnya lelah. Selalu seperti ini. Sebenarnya Jaeahn tidak ingin hal ini terjadi. Tapi mau bagaimana? Semua sudah terjadi. Ia hanya korban dan ia terlanjur berada pada sisi sang kakak.

.

.

.

Satu meja makan kecil telah terisi sarapan sekedarnya. Hanya dua piring nasi dan semangkuk sayur yang Jaehwan siapkan sebelum berangkat kerja. Juga, segelas susu kesukaan Jaeahn. Jaehwan sudah menyiapkannya sejak Jaeahn masih terlelap.

Tak butuh waktu lama, Jaeahn duduk manis di depan meja makan.

"Kau masih masuk pagi?" Tanya Jaehwan.

Yang ditanya menegak habis susunya lebih dulu. "Ya, Yein tidak ingin ditukar shiftnya." Jawab Jaeahn kemudian menarik piring setelah menuangkan sayur di atasnya.

"Habiskan sarapanmu, kakak akan berangkat sekarang!"

"Kau tidak sarapan dulu?" Jaeahn tahu, kakaknya belum makan. Satu piring lainnya yang terisi nasi itu masih penuh dan sepertinya juga belum tersentuh. Jaehwan juga bukan tipikal gadis yang meminum susu.

Jaehwan mengencangkan zipper di jaketnya. "Aku buru-buru!" Jawabnya sembari meraih tas di sebelah Jaeahn. "Ah ya, jangan lupa cuci piring habis makan."

"Baiklah! Hati-hati!"

Dan Jaehwan mengangguk. Segera ia keluar dari rumah kecil yang selama ini menaunginya. Sempat ia mengecek jam di tangan. Masih pukul tujuh pagi tapi Jaehwan sudah harus bergegas pergi dari rumah.

Ada rasa aneh ketika ia membuka pintu. Tatapannya lurus ke bawah, tidak ada orang disana. Berbeda dibandingkan hari-hari sebelumnya. Jaehwan terpaku untuk beberapa sekon. Kemudian dingin pagi menamparnya dan menuntunnya untuk turun.

"Hey!"

Jaehwan menoleh, senyumnya terukir melihat siapa yang menghampirinya.

"Sudah siap?"

Jaehwan mengangguk. "Tentu saja! Ayo, aku sudah merindukan Joochan!" Serunya semangat. Tangannya mengait lengan pemuda itu dan menyeretnya masuk ke mobil.

Ya memang, tujuan Jaehwan dan Chanyeol –pemuda- itu adalah pergi ke Incheon. Ke salah satu panti asuhan yang menjadi tanggung jawab lembaga tempatnya bekerja.

.

.

.

Jaeahn melambai. Tangannya memberikan salam perpisahan untuk Yein dan Jungkook. Kedua remaja itu baru saja keluar dari toko. Ini adalah momen dimana pergantian sift yang dilakukan Jaeahn dengan Yein. Jung Yein, gadis cantik yang tengah mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi itu adalah partner kerja Jaeahn. Keduanya bertukar shift setiap harinya.

Lalu senyum iri muncul begitu saja di wajah tampan Jaeahn. Pemuda itu sebenarnya iri dengan Yein yang setiap hari di antar jemput Jungkook, kekasihnya. Sedang dia? Ah, jangankan ada yang ia jemput atau menjemputnya. Kekasih saja dia tidak punya. Jaeahn terlalu memikirkan keadaan Jaehwan sehingga ia tidak begitu peduli padanya.

Setelah Jungkook dan Yein hilang dari pandangannya, Jaeahn kembali lagi masuk ke dalam toko. Masih ada beberapa pengunjung yang perlu ia layani.

"Jaeahn.."

Seseorang memanggil nama Jaeahn. Pemuda yang fokus pada uang dikasir lalu mengangkat wajahnya. Ada raut terkejut disana. Bagaimana tidak, sosok yang memanggilnya itu tak lagi ia lihat sejak dua bulan yang lalu.

"Kak Taekwoon?"

Taekwoon, lelaki itu tersenyum. "Bagaimana kabarmu? Ah, bisa kita ngobrol? Sudah lama aku tidak mengobrol denganmu." Tanyanya sembari menjulurkan rokok ke arah Jaeahn untuk dihitung total yang harus ia bayar.

Jaeahn tampak ragu awalnya. Ia melihat ada Sujeong yang sepertinya bisa dimintai tolong untuk jaga kasir. Lalu mengangguk, sebelum ia menyelesaikan proses transaksi yang terjadi antara mereka.

"Bentar ya kak!"

Setelah mendapatkan persetujuan dari Taekwoon, Jaeahn bergerak dari tempatnya. Ia berjalan menuju Sujeong –salah satu karyawan toko- dan membisikkan sesuatu. Sekon berlalu senyuman muncul di wajah Jaeahn. Ia pun kembali ke tempatnya dan berbicara.

"Baiklah, ayo kak!"

.

Mereka tidak pergi jauh. Hanya duduk di depan toko yang memang sengaja diletakkan kursi dan payung untuk tempat teduh sementara. Jaeahn menggenggam segelas teh hangat yang diberikan Sujeong setelah ia keluar toko sedang Taekwoon sudah menghisap beberapa kali rokoknya.

"Sudah lama kita tidak mengobrol. Kau benar-benar tidak melanjutkan sekolahmu?" Taekwoon kembali bertanya.

Jaeahn menganggukkan kepalanya. "Tidak. Ku pikir bekerja akan lebih baik ketimbang aku sekolah dan membuang-buang uang." Jawabnya.

"Loh, sekolah justru bisa memberimu pekerjaan yang lebih baik."

Jaeahn tak menjawab. Ia hanya membiarkan seulas senyum tipis mengembang. Baginya sama saja. Sekolah atau tidak sekolah. Yang penting saat ini ia dan kakaknya bisa makan.

"Ngomong-ngomong kakakmu." Jaeahn langsung pasang telinga dengan baik. Rasanya ada seuatu yang mencengkeram ketika Taekwoon menyebut kata kakak. "Bagaimana kabarnya?"

Jaeahn ingin tersenyum tapi bibirnya malah mengatup sempurna. Kemudian ia menarik nafasnya dalam sebelum mengulas sebuah senyum lebih tulus dari sebelumnya.

"Baik, Kak Jaehwan baik." Dan mengangguk. "Kak Jaehwan masih sama. Rasa egoisnya masih tinggi."

Ada tawa kecil yang muncul setelah mendengar pernyataan dari Jaeahn. Taekwoon mendongak. Satu kepulan asap ia lepaskan setelah menghisapnya kuat-kuat. Pandangannya menerawang jauh.

"Ya, kakakmu memang egois."

"Dan aku minta maaf, kak!"

.

.

.

.

Jaehwan berseru senang. Akhirnya ia bisa berdiri di tempat ini setelah lebih dari seminggu tak lagi berkunjung. Jaehwan segera masuk ke dalam bangunan yang cukup tua dengan desain kuno dan beberapa bangunan tambahan untuk bisa menampung penghuni yang ada.

Sementara Chanyeol menggeleng-gelengkan kepalanya. Bukan hal aneh jika Jaehwan akan bersikap demikian. Memang wanita itu akan bersikap dingin kepada orang yang tak ia kenal namun akan menghangat ketika bertemu dengan anak-anak.

"Joochan!"

Dengan cepat Jaehwan merendah tubuh sembari merentangkan tangannya. Ada anak laki-laki yang berlari kearahnya sebelum masuk ke dalam pelukan Jaehwan. Adalah Hong Joochan, salah satu anak yatim piatu kesayangan Jaehwan. Jangan salah paham! Jaehwan sayang kepada semua anak yatim piatu disini. Tapi yang lebih dekat dengannya adalah Joochan.

"Kak Jaehwan!" Si kecil tersenyum. "Kakak kenapa baru tiba?"

Jaehwan mengusak surai Joochan. Di belakang mereka ada Chanyeol yang ikut mengusak surai Joochan.

"Maaf ya, Kak Jaehwan sibuk sekali minggu ini!" Jaehwan mengecup pipi Joochan. "Kau sudah makan?"

Joochan mengangguk. "Sudah! Ayo kak masuk! Joochan mau ngasih tahu sesuatu!" Tukasnya dengan menggeret Jaehwan agar ikut masuk ke dalam. Mereka berjalan menuju sebuah kamar. Kamar itu besar, diisi banyak anak. Yang menghuni disana ada sekitar lima anak.

Baik Jaehwan maupun Chanyeol sama-sama mengerutkan alisnya bingung. Mereka bahkan saling melempar pandang. Siapa yang memberi Joochan mainan robot dan mobil itu? Jaehwan sama sekali tidak pernah memberikannya. Apa pengasuh mereka?

"Kak! Joochan punya robot dan mobil baru!"

"Joochan.." Jaehwan mengambil alih mobil dan robot itu. "Siapa yang memberikanmu ini sayang?"

"Paman! Paman yang memberikannya." Jawab Joochan seraya mengambil kembali mainannya.

"Paman? Paman siapa?"

Joochan menggeleng. Sepertinya ia kurang tertarik bercerita banyak kepada Jaehwan. Yang ada Joochan malah beranjak dari tempatnya dengan mainan di tangan. Sekon berlalu, laki-laki kecil itu meninggalkan Jaehwan dan Chanyeol.

"Paman siapa?" Tanya Chanyeol heran. Sama, lelaki itu sama seperti Jaehwan. Heran dan bingung. Mereka sama sekali tidak pernah mendengar sesuatu tentang paman. Seharusnya mereka tahu. Bagaimana pun panti asuhan ini berada di bawah lembaga tempat mereka bekerja.

"Bagaimana kalau tanya Kak Taeyeon saja?" Tawar Chanyeol.

Yang diajak mengangguk.

Mereka menyusuri lorong di panti asuhan itu. Ada beberapa anak-anak yang bermain disana. Jaehwan tersenyum melihat mereka. Rasanya menyenangkan sekali melihat ekspresi bahagia yang dipancarkan anak-anak meski keadaan mereka pas-pasan. Hal ini juga yang mengajarkannya untuk pandai bersyukur.

Langkah mereka sampai di sebuah ruangan yang menjadi tempat berkumpul para pengasuh. Kebetulan masih ada beberapa pengasuh disana. Ada Taeyeon, Chorong dan Seulgi disana.

"Oh, Jaehwan! Chanyeol!" Taeyeon menghampiri mereke begitu keduanya masuk ke dalam ruangan. "Kenapa tidak bilang kalau akan kemari?" Tanyanya lalu memeluk Jaehwan.

"Kejutan!"

Taeyeon menepuk pelan punggung Jaehwan.

"Aku merindukan Joochan dan ada beberapa hal yang harus aku sampaikan terkait dana sumbangan."

Taeyeon mangut-mangut paham. Ia mempersilahkan keduanya untuk duduk.

"Kak Tae! Apa kau tahu siapa paman yang dimaksud Joochan?" Taeyeon menoleh pada Jaehwan dengan sorot berisikan tanya. "Tadi aku sempat mampir dulu ke kamar Joochan. Joochan bercerita kalau dia diberi maninan oleh seorang paman. Siapa paman itu?"

"Ah, itu." Taeyeon tersenyum. "Sebenarnya kami juga tidak tahu siapa paman itu. Dia tidak mau menyebutkan nama tapi dia beberapa kali datang kemari."

Chanyeol menelengkan kepala; merasa janggal dengan jawaban Taeyeon. "Kenapa bisa begitu? Tidak mungkin kalian tidak tahu namanya." Tanggapnya.

"Sungguh!" Kali ini Seulgi yang bersuara. "Kami benar-benar tidak tahu. Kami hanya mengawasi Joochan dan lelaki itu berinteraksi dari jauh. Saat aku akan menghampirinya, lelaki itu lebih dulu pergi."

Jaehwan menatap bingung Chanyeol. Siapa lelaki itu? Kenapa ia merasa aneh dengan kejadian ini? Apa maksud lelaki itu dengan mengunjungi Joochan? Apa ada rencana lain untuk Joochan? Apa ia ingin berbuat buruk kepada Joochan.

"Tenang saja! Lelaki itu baik kok!"

Tetap saja, setidaknya ia harus tahu siapa nama lelaki itu.

.

.

.

TBC

.

.

Holaa! Sudah lama yaa aku tidak bawa FF Keo! Ini, aku bikinin FF Keo..

Bagaimana? Ada yang tertarik untuk baca? Kalau ada silahkan tinggalkan jejak..

Nanti kalau responnya baik aku lanjut, tp gak janji cepet update wkwkwkw

Sibuk kerja sekarang! Hahahaha

.

.

Oke deh, silahkan direview~~

.

.

Salam hangat

.

.

~Arlian Lee~