Jihoon itu merepotkan. Bisanya hanya marah-marah dan menyuruh Woojin sesuka hatinya. Jika saja Woojin tidak sayang, sudah ia lempar Jihoon ke sungai Han!
"Apa kau bilang? Kau mau mati, ya?!" – Jihoon.
.
.
.
.
.
PINK SAUSAGES
(Permen Kapas)
.
.
.
.
.
Kalau tidak salah hitung, sudah kali ke tiga Woojin mengitari taman bermain sore itu. Napasnya sudah memburu, keringat juga sudah deras melewati dahinya. Tapi hingga senjapun Woojin masih sibuk berjalan kesana kemari mencari sesuatu yang sebenarnya mudah untuk ditemukan.
Yah, sebenarnya memang mudah, tapi entah bagaimana hari ini terasa begitu sulit menemukannya. Padahal Woojin sudah memeriksa setiap sudut taman, berharap ada satu penjal permen kapas disana.
Woojin berhenti berjalan ketika ia rasa kakinya pegal. Menarik napas panjang sambil terus mengedarkan pandangan kesetiap sudut taman. Peluhnya sudah banjir, turun satu-satu melewati celah pori-pori dahi.
"Apa sedang ada razia permen kapas? Kenapa tidak ada satu penjualpun disini?"
Woojin menggerutu. Menghempaskan pantatnya pada bangku kayu dengan tidak sabaran.
Woojin lelah. Sangat lelah. Bahkan dirinya saja belum sempat mengganti baju latihannya sejak tadi.
Woojin melirik jam yang melekat pada tangan kirinya. Kembali menarik napas dalam ketika tahu jarum pendek itu sudah menunjukkan pukul 19.20.
Sudah malam, dan dirinya sudah tidak memiliki tenaga untuk kembali memutari taman bermain. Tapi apa yang dicari belum dia temukan sama sekali. Bagaimana Woojin bisa pulang nanti?
'Drrtt…'
Ponsel Woojin bergetar. Merogoh saku celananya malas-malas kemudian menggeser layar ponsel untuk membaca isi pesan masuk.
'Oh iya Woojin, aku mau yang warna biru, ya. Jangan lupa, WARNA BIRU!'
"Ck! Aku saja belum mendapatkan penjual permen kapasnya. Bagaimana bisa dia seenak jidat meminta warna biru!"
.
.
.
Beberapa jam sebelum Woojin menjalankan tugas Permen Kapas…
Woojin masih sibuk menghapal gerakan yang baru saja Daniel ajarkan sore itu. Minggu lalu dirinya tidak bisa datang untuk berlatih, padahal gerakan-gerakan dasar dan formasi sudah selesai dibuat. Jadilah Woojin membulatkan tekat untuk mengejar ketertinggalan.
Sebenarnya dalam club menari sekolah ini, Woojin juga termasuk anggota yang sering diminta untuk membuat koreo. Tapi karena akhir-akhir ini Woojin sering sibuk, jadi hanya Daniel dan Samuel yang melakukannya.
'Drrtt…'
Ponsel yang tergeletak didekat pengeras suara bergetar.
"Ya, ponselmu bergetar."
Daniel memberi tahu Woojin dari jauh. Tapi sepertinya Woojin tidak mendengar, karena Woojin terlihat masih sibuk menggerakkan tubuhnya kesana-kemari.
'Drrtt…'
Dering kedua dari ponsel Woojin. Layarnya terlihat berkelap-kelip, dan itu menggaggu mata Daniel.
"Ya! Park Woojin, ponselmu!"
Sedikit tersentak karena suara Daniel yang menggema, akhirnya Woojin menghentikan latihannya dan berjalan mendekati Daniel.
"Ada apa hyung?"
"Ada nama Jihoon dilayar ponselmu."
Woojin baru menyadari kalau ponselnya bergetar-getar tidak berhenti. Dia menekan tombol off pada pengeras suara untuk mematikan alunan music, lalu memeriksa ponselnya.
Dua kali panggilan tidak terjawab dari Jihoon.
Belum sempat Woojin menekan tombol pada layar, tahu-tahu satu pesan masuk kesana.
'Sudah jam 5, kau tidak mau pulang?'
Woojin mengerutkan kening. Tumben sekali Jihoon mengiriminya pesan seperti itu.
Woojin mulai mengetik pesan balasan.
'Memangnya kenapa?'
Terkirim.
'Cling!'
Pesan masuk.
"Cepat sekali balasnya."
Woojin bergumam heran.
'Kalau kau sudah mau pulang tolong belikan aku permen kapas ya? ^_^'
Woojin kembali mengerutkan kening. Jihoon kan tidak suka makanan manis, kenapa tiba-tiba ingin permen kapas?
' Aku mendapatkan jadwal berlatih hingga malam, jadi mungkin tidak bisa pulang cepat.'
Woojin mengirim pesan.
'Cling!'
Woojin semakin heran sebab Jihoon membalas pesannya tidak sampai lima detik.
'Kalau begitu jangan pulang sekalian! Aku akan mengunci pintu. Tidur saja diluar!'
Glup!
Woojin menelan ludahnya susah payah. Sinyal bahaya sudah bordering sejak pesan itu masuk pada ponselnya. Woojin tidak dapat berbuat apa-apa selain buru-buru membereskan peralatan berlatih dan menyambar tas disudut ruangan. Sambil berjalan kearah pintu keluar, Woojin berteriak,
"Hyung, aku harus pulang sekarang. Ini darurat!"
.
.
.
"Dimana aku bisa mendapatkan permen kapasnya?"
Woojin kembali bergumam setelah memeriksa kembali jam tangannya. Sudah malam, Woojin tidak bisa terus berada ditaman bermain dalam kondisi seperti ini. Dia lelah. Dia benar-benar ingin pulang dan segera rebahan.
Astaga!
Bisa-bisanya dia berpikir begitu. Jika permen kapasnya saja belum dapat, mana mungkin Woojin berani pulang.
Woojin menghela napas. Mulai menajamkan pandangan ketika tiba-tiba matanya melihat sekelebat bayangan.
Bukan, bukan bayangan hantu. Tapi bayangan seorang anak kecil dengan dua buah permen kapas dimasing-masing tangannya.
Woojin tersenyum cerah saat menyadari kalau salah satu permen kapas itu berwarna biru.
Woojin buru-buru berdiri dari duduknya. Dengan langkah semangat dia berjalan mendekati bocah itu.
"Anyeong."
Woojin menyapa pelan.
Si bocah berhenti berjalan, lalu mendongak menatap Woojin dengan wajah bingung.
Woojin berjongkok, mensejajarkan tinggi badannya dengan si bocah laki-laki.
"Hai… eng, siapa namamu?"
Woojin berusaha menyapa seramah mungkin. Dia tahu kalau bocah laki-laki itu merasa takut. Sangat terlihat dari mimik mukanya yang memerah.
Lagipula wajar saja bocah kalau itu takut, Woojin menyegat anak balita macam ini ditempat yang kebetulan sepi. Pasti bocah itu mengira jika Woojin adalah penculik.
"Park Jisung."
Si bocah menjawab lirih.
"Park Jisung? Nama yang bagus."
Woojin tersenyum tapi matanya mengarah pada dua buah permen kapas yang sedang Jisung pegang.
Sontak saja si bocah yang mencium bau-bau mencurigakan dari hyung didepannya itu langsung menyembunyikan permennya dibalik punggung.
"Hyung mau mengambil pelmen Jisung, ya?!"
Mata Jisung menatap was-was.
Woojin tersenyum kikuk. Memperlihatkan gingsul kecil yang nyangkut pada giginya.
Bagaimana bocah ini mengetahui akal bulusnya?
Begitu batin Woojin.
"Woojin hyung tidak ingin mengambil, tapi… boleh tidak Woojin hyung meminta satu permen warna biru dari Jisung?"
Si bocah membulatkan matanya lebar-lebar. Minta? Enak saja hyung ini bilang minta. Jisung kan membeli permen kapasnya dengan sembunyi-sembunyi supaya tidak dimarahi Eomma.
"Tidak boleh!"
Jisung berkata lantang.
Woojin mengerucutkan bibirnya kecewa. Ia baru saja ditolak oleh anak kecil? Ini memalukan. Tapi mau bagaimana lagi, Woojin sedang benar-benar membutuhkan permen kapas itu sekarang. Jika tidak hidupnya akan habis ditangan Jihoon.
"Eng, kalau begitu bisa tunjukkan dimana penjual permen kapasnya pada hyung?"
Woojin mencoba bertanya, barangkali si bocah mau memberitahunya dimana dia membeli permen itu.
"Ini pelmen telakhil. Penjualnya sudah pulang."
What?!
Woojin merasa sudah kalah start dari Jisung. Padahal sejak masih terang hingga gelap, Woojin sudah berkeliling taman dan tidak menemukan satu penjualpun, tapi kenapa Jisung mengatakan jika itu adalah permen terakhir? Yang benar saja.
"Eng, hyung boleh minta satu ya? Nanti hyung ganti dengan mainan. Jisung mau minta mainan apa? Hyung akan belikan."
Begitulah Woojin. Dia masih tidak menyerah. Mencoba merayu Jisung dengan berbagai tawaran. Bahkan senyum lebar yang selama ini tidak pernah ia tebar sembarangan (kecuali pada Jihoon) kini menguar sudah.
"Jisung tidak mau! Eomma bilang jika ada yang membelikan Jisung mainan, Jisung tidak boleh menelimanya. Eomma bilang Jisung halus segela pelgi."
Bocah itu meringsut mundur.
Woojin panik.
Tidak, tidak! Bocah ini tidak boleh kabur. Hanya dia satu-satunya yang membawa permen kapas disini. Woojin harus mendapatkan permen kapas itu bagaimanapun caranya.
"Tidak. Hyung tidak akan membawa Jisung pergi kok. Hyung hanya ingin satu permen kapas saja. Lagi pula…"
Woojin mengedarkan matanya kesegala arah. Dirinya baru menyadari jika Jisung tidak pergi bersama orang tuanya, Woojin jadi memiliki ide lain.
"…jika kau memakan semua permen kapas itu, nanti gigimu bisa bolong. Apalagi kalau Eomma-mu tahu. Wah…dia pasti akan marah."
Jisung mendelik. Ia menggerakkan bola matanya gugup. Jika hyung didepannya ini sampai memberitahu Eomma-nya, bisa gawat nanti. Jisung tidak mau dimarahi.
"Mana Eomma Jisung? Biar nanti hyung yang bilang."
Woojin sedikit mengancam. Padahal senyum jahil sedang menggantung dibibirnya.
"Hyung jangan begitu, Jisung kan membeli pelmen kapasnya tidak belsama Eomma. Nanti Jisung dimalahi."
Skak mat!
Tebakan Woojin benar kan? Bocah ini pasti diam-diam saat membelinya.
Woojin tersenyum menang, kemudian dia lebih mendekat kearah Jisung.
"Kalau begitu, hyung boleh minta satu ya?"
Woojin menaik turunkan alisnya, persis seperti orang bodoh.
Jisung terlihat berpikir keras. Dia saja membeli permen kapasnya dengan penuh perjuangan, lalu hyung didepannya ini tiba-tiba datang dan mau meminta begitu saja? Jisung tidak rela. Sangat tidak rela. Apalagi Jisung sangat ingin makan permen kapas hari ini.
"Ah… hyung punya sesuatu untuk Jisung."
Woojin yang mengerti jika bocah didepannya itu sedang 'perang batin' tiba-tiba mengingat sesuatu. Ia merogoh tasnya, kemudian tersenyum ketika menemukan apa yang ia cari.
"Ini."
Woojin menyerahkan sebuah miniatur pesawat terbang dari kayu. Itu adalah miniatur tugas keterampilan, dan rupanya Jisung tertarik dengan miniatur itu.
"Kau boleh memilikinya jika permen kapas warna biru itu kau berikan padaku."
.
.
.
Jihoon sedang duduk didepan televisi sambil memangku toples besar berisi cemilan manis. Entahlah, biasanya Jihoon tidak menyukai makanan manis. Tapi hari ini lidahnya ingin sekali makan yang manis-manis.
Jihoon merasa ada yang aneh ketika matanya melirik jam dinding.
"Sudah pukul 8 malam. Kenapa Woojin belum pulang?"
Jihoon menggerutu.
Dirinya baru akan mengambil ponsel ketika pintu rumah terbuka.
Jihoon tersenyum ceria, kemudian segera bangkit dan berlari kedepan.
"Kau sudah pulang? Mana permen kapasnya?"
Mata Jihoon bersinar saat menanyakan permen kapas pada Woojin, saking semangatnya pemuda bergingsul itu sampai heran. Tidak biasanya Jihoon bertingkah seperti ini. Ada apa dengannya? Apa dia salah makan?
"Kenapa menanyakan permen kapas duluan? Aku saja belum disapa."
Woojin mengerucutkan bibir. Sifat manjanya keluar begitu saja jika sudah didepan Jihoon.
Tapi Jihoon justru tidak banyak terpengaruh oleh hal itu.
Jihoon yang semula tersenyum ceria langsung merubah ekspresinya.
"Jangan bermain-main, Woojin. Mana permen kapasku?!"
Jihoon mendelik.
Woojin menelan ludah. Jika sudah seperti ini, Jihoon akan terlihat lebih menakutkan dari makluk buas manapun.
"Ish! Kau selalu tidak berperasaan padaku."
Gerutu Woojin sambil menyerahkan permen kapas yang ia sembunyikan dibalik punggung pada Jihoon.
"Apa kau bilang? Kau mau mati ya?!"
Jihoon merebut permen kapas itu dengan cepat kemudian mengepalkan satu tangannya didepan wajah Woojin.
Woojin merinding. Jihoon bukan seperti makluk buas lagi kali ini, tapi dia sudah seperti monster laut yang haus darah. Menyeramkan.
Jihoon berbalik setelah mendapatkan permen kapasnya. Dia berjalan dengan ceria menuju sofa didepan ruang televisi seperti semula.
Woojin mengerut kecewa. Tentu saja. Ia sudah rela meninggalkan sesi berlatihnya bersama club menari, tiga kali memutari taman bermain, merayu seorang bocah kecil, dan menyerahkan miniatur pesawat kayu untuk nilai ketrampilannya minggu depan demi sebuah permen kapas. Dan sekarang usahanya seperti tak dihargai oleh Jihoon.
"Tetap ingin berdiri disana?"
Jihoon berucap pelan, namun suara masih jelas terdengar.
Woojin berjalan gontai mendekati Jihoon. Meletakkan tasnya sembarangan kemudian duduk bersandar pada sofa.
"Ada apa dengan wajahmu?"
Jihoon bertanya, masih dengan permen kapas dimulutnya.
"Tidak ada apa-apa."
Jihoon hanya mengangguk-anggukkan kepala.
"Kapan orangtuamu datang?"
Woojin bertanya dengan mata terpejam.
Jihoon menoleh, "Minggu depan."
Woojin menghela napas.
"Dua hari sebelum itu, aku harus sudah kembali keapartemenku sendiri."
Jihoon hanya diam, dirinya masih terlalu asik mengunyah permen kapasnya sambil menonton acara binatang.
Melihat tidak ada respon lagi, Woojin membuka mata. Dia berniat pergi kekamar mandi untuk bersih-bersih, namun matanya menangkap hal aneh ketika dia menatap meja.
Ah..tidak, lebih tepatnya pada toples-toples besar yang berjajar tak beraturan diatas meja. Jika Woojin tidak salah mengingat nama makanan itu, hampir semua makanan ini rasanya manis.
Cepat-cepat Woojin menoleh kesamping kanan, pada Jihoon yang belum menghabiskan permen kapasnya.
"Jihoonie?"
"Hm?"
"Kau… makan makanan manis?"
Jihoon mengangguk.
"Kau kan tidak suka manis."
Woojin menatap horror. Sedikit curiga sebenarnya, tapi Woojin berusaha tidak menunjukkannya pada Jihoon.
"Memangnya kenapa? Tidak boleh?"
Woojin menggeleng cepat.
"Bukan begitu. Hanya… sedikit kaget. Kau kan tidak terlalu suka dengan yang manis-manis."
"Suka kok. Buktinya aku suka padamu."
Woojin melongo.
Tunggu, ini tidak benar. Apa Jihoon baru saja menggombalinya? Jihoon salah makan atau apa sih?
"Wae?"
Jihoon melirik Woojin sekilas sambil terus mengemut permen kapasnya.
Woojin menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Jihoon.
"Kau demam ya?"
Woojin menempelkan punggung tangannya pada dahi Jihoon.
Pletak!
"Aku tidak sakit, Woojin."
Jihoon mengerucutkan bibir.
Woojin gemas sebetulnya. Tapi jika Jihoon sedang seperti ini Woojin tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak ingin Jihoon meninjunya seperti tempo hari.
"Kau harus terbiasa dengan ini mulai sekarang."
Jihoon kembali berkonsentrasi dengan permen kapasnya.
"Maksudnya?"
"Aku sudah bilang pada Eomma kalau kita kecelakaan bulan lalu."
Jihoon berkata santai, padahal Woojin sama sekali tidak mengerti.
"Kita? Kecelakaan?"
"Ck!"
Jihoon berdecak, lalu meletakkan permen kapasnya diatas meja.
"Kau tidak ingat, kita pernah melakukan itu?"
Woojin loading.
"Ya! Park Woojin~"
Nada itu terdengar manja.
"Tidak mungkin."
"Ini ngidam pertamaku, hehe~"
Woojin melebarkan matanya. Otaknya sangat lambat menyadari situasi. Woojin tidak langsung merespon karena koneksinya sangat lama.
"Kau…hamil? "
Jihoon tersenyum tipis, kemudian mengangguk.
"Eomma dan Appa bilang kita harus segera menikah setelah mereka pulang."
Woojin menelan ludah.
"M-menikah?"
"Kenapa kau terkejut seperti itu, Park Woojin? Ini kan ulahmu. Jadi kau harus menerima keputusannya."
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Woojin segera mendekat pada Jihoon. Meraih tubuh berisi itu kedalam pelukannya. Mendaratkan beberapa kecupan pada kepala Jihoon sambil tersenyum.
"Kau…tidak apa-apa dengan itu?"
Jihoon mengangguk didada Woojin. Senyumnya mengembang.
"Aku yang bilang sendiri pada Eomma. Lagipula Appa sudah menyukaimu. Katanya kau memang calon menantu idamannya."
Woojin tertawa bahagia. Dia melepas pelukannya lalu menangkap wajah Jihoon dengan kedua tangannya.
"Aku bahagia."
"Aku lebih bahagia."
"Aku suka."
"Aku lebih suka…kalau saja saat itu tidak terjadi, mungkin kita akan menjadi sahabat selamanya. Dan kau akan menjadi pacar Hyungseob."
Jihoon merengut. Dan Woojin tidak bisa untuk tidak menyentil hidung pemuda manis itu .
"Kau juga pasti akan jadi pacar Guanlin."
"Tidak. Aku tidak menyukainya. Aku menyukaimu."
Jihoon tersenyum lebar. Wajahnya sudah merah, apalagi saat Woojin mulai mendekatkan kepalanya pada kepala Jihoon.
"Aku akan mendapatkan peringkat terbaik disekolah, lulus dengan nilai bagus, lalu mengambil alih perusahaan Appa. Untuk menghidupimu."
Jihoon mengangguk lucu, "Dan bayi kita."
Woojin ikut tersenyum, lalu detik berikutnya sebuah ciuman hangat Jihoon rasakan pada bibirnya.
.
.
.
"Apa itu artinya aku akan jadi Ayah muda?" – Woojin
.
,
.
.
END
.
.
.
.
.
Hallo, fiksi Pink Sausages ter-unyu yang saya buat :) :)
Ini fiksi adaptasi dari Cotton Candi (Meanie) , dirubah sedemikian rupa, dan jadilah fiksi 2 Park yang manis-manis manjah :)
Oiya, mungkin ini akan jadi drable. Jadi ada beberapa chapter dalam satu karya, tapi setiap chapternya berbeda judul dan langsung tamat. Nanti setiap update, summary-nya mungkin akan dirubah juga. M.U.N.G.K.I.N :)
Post-nya sesuka hati aja ya, soalnya banyak fiksi saya yang tertunda :)
Review tetap ditunggu loh.
Meskipun saya tahu penumpang kapal Pink Sausages cuma seiprit, tapi saya akan tetap keukeuh dengan pendirian saya. Karena 2park adalah sebuah keindahan yang sayang kalau disia-siakan *eaakk
