Di malam yang sunyi di Inggris ini... Terlihatlah sesosok gadis berambut ikal yang dikuncir dua di dalam hutan yang gelap. Gadis itu meraba-raba wajahnya. Lalu, ia mengamati jari-jarinya, dan yang terakhir kedua kakinya yang menapak di tanah berumput. Dan entah karena apa, gadis itu menjerit.
"K-kaki..., jari..., d-dan... dan w-wajah... m-manusia...?"
Apa maksudnya...?
Watashi no Jikan (Times of Mine)
Rated: T
Genre: Tragedy*maybe*, Romance
Don't like? Keep read please!
Disclaimer: Kuroshitsuji asli punya mbak Yana Toboso!~ -w-
Warning(s)! Aneh, abal, gaje, alur (mungkin) kecepetan!
"Ba-bagaimana ini? Te-ternyata... m-mitosnya benar!" gadis itu bertanya-tanya pada dirinya sendiri. "Aku kan... Aku kan... BURUNG MERPATI!"
Ya, gadis ini sebenarnya adalah seekor merpati peliharaan milik kepala sebuah keluarga bangsawan. Pada awalnya, gadis ini hanya seekor merpati yang jatuh dari sarangnya. Tapi, untunglah. Karena dirinya ditemukan oleh seorang pemuda, pemuda itu pun sekarang ini sudah menjadi pemiliknya—mengingat bahwa si merpati ini diperlakukan dengan sangat baik. Sungguh, betapa beruntungnya merpati ini.
Tapi, akhir-akhir ini ia merasa terbebani dengan sikap tuannya. Kenapa? Bukankah tuannya itu amat sangat baik padanya? Justru karena perlakuan baiknya itu yang membebaninya. Karena ia hanya dianggap sebagai 'peliharaan' biasa.
Tidakkah kalian merasa aneh? Itu justru adalah suatu perlakuan yang sangat wajar, bukan? Berhubung gadis ini bukanlah 'gadis' sesungguhnya, tidak mungkin tuannya memperlakukan si merpati lebih dari sekedar 'peliharaan'. Apalagi tuannya adalah seorang kepala keluarga bangsawan terkemuka di Inggris. Bisa-bisa banyak pihak yang akan menentang dan pastinya akan menggunjingkan sesuatu—yang pada awalnya memang fakta, lalu berangsur berubah menjadi gosip.
Tapi, hal ini tidak bisa dijelaskan bukan, mengapa seekor merpati dapat berubah menjadi seorang gadis?
Kuharap kalian mengerti bahwa gadis ini menyimpan perasaan pada pemiliknya—dan paling tidak ia ingin agar orang itu hanya 'mengetahuinya'. Jika ia berharap agar perasaannya bersambut oleh tuannya, itu kedengarannya terlalu muluk.
Ada mitos yang mengatakan bahwa, jika seekor merpati memohon sesuatu yang berhubungan dengan perasaan yang sangat aneh dan egois—yang diketahui bernama 'cinta'—saat malam bulan sabit, maka pada malam berikutnya ia akan berubah sosok menjadi seorang manusia selama 168 jam—atau lebih tepatnya lagi satu minggu.
Walaupun tidak terlalu percaya, merpati ini benar-benar melakukannya pada malam kemarin. Dan, lihatlah! Ia benar-benar memiliki sosok seorang gadis muda berambut ikal. Kini ia percaya dengan mitos itu. Ini sungguh nyata.
Aah... Astaga... Aku benar-benar berubah sosok! batinnya. Sekarang apa yang harus kulakukan? batinnya lagi sambil mengedarkan pandangannya ke arah tanah berumput yang sedikit basah. Matanya segera melihat ke arah kaki seorang gadis yang putih mulus. Dan kaki itu sekarang miliknya. Tunggu! Kaki...?
...
"Aaah! Bagaimana ini? Ternyata bajunya hanya selutut, bahkan lebih pendek!" gadis itu mengeluh panik sambil berjalan di hutan—untuk mencari sesuatu yang bisa ia jadikan sebagai penutup kakinya. Sebab, ini kan, Inggris! Di sini, bagi wanita untuk memperlihatkan kaki adalah suatu tindakan yang tidak dibenarkan.
Setelah beberapa menit ia berkeliling dengan kaki telanjangnya di hutan, ia terkejut. Matanya membulat karena tiba-tiba ada cahaya terang yang datang dari arah belakangnya.
"KYAAA!" refleks, ia menjerit. Ia berpikir, T-tadi itu... C-cahaya apa? Setelah menyadari apa itu, ia terdiam. "T-t-tuan?" Ya. Seseorang telah membawa 'cahaya' itu datang dan menyentak gadis ini. Dan seseorang itu adalah pemiliknya sendiri. Alis orang itu terangkat—menandakan dirinya heran.
"Tuan...?" tanyanya bingung dengan perkataan gadis itu—yang entah kenapa bisa ada di hutan. Apalagi, pada malam hari begini. "Memangnya kau siapa?" Pemuda itu memperhatikan si gadis dari atas sampai bawah. Ketika matanya sampai ke bawah, terlihat wajah pemuda itu bersemu merah. Tangannya pun menunjuk-nunjuk bagian kaki putih gadis itu. "Ka-kakimu! K-kaki! Kaki!" saking terkejutnya, si pemuda yang tergagap-gagap itu tanpa sadar menjatuhkan lentera yang ia bawa.
Gadis yang saat itu kakinya ditunjuk orang yang disukai dan dihormatinya, refleks langsung berjongkok dan memeluk kedua kakinya. "Kyaaa! Jangan lihat!" ia lagi-lagi menjerit.
Tanpa pikir panjang, pemuda itu segera melepas mantel yang ia kenakan. Ia pun menyerahkannya kepada si gadis. "Ini, pakailah! Paling tidak, pakailah sesuatu selain pakaian itu!" ucapnya sedikit berteriak dengan malu-malu. Ia sebenarnya sedang bersikap ramah dan tidak ingin terlihat sebagai orang yang dingin. Tapi, kadang kala, jika seseorang merasa malu, bisa menyebabkan dampak baik ataupun buruk, bukan?
Si gadis memperhatikan pemuda itu—yang juga berstatus sebagai pemilik dirinya. Ia agak heran pada pemuda itu. Kenapa ia bersikap baik sekali seperti ini? Sampai-sampai bersikap baik pada orang yang baru ditemuinya. Tanpa memedulikan lagi kebaikan hati si pemuda, ia segera menerima mantel itu. Wajahnya merona saat wangi tubuh tuannya menguar dari mantel tersebut. Ia tersenyum dengan sangat bahagia sampai membuat heran si pemuda. Sesenang itukah dia? batin si pemuda.
Saking asyiknya menikmati wangi mantel tersebut—atau lebih tepatnya wangi pemiliknya—ia sampai lupa untuk mengucapkan sesuatu yang sangat dianjurkan di situasi seperti ini. 'Terima kasih'. Ya, ia belum berterima kasih padanya. Mengingat dirinya yang belum berterima kasih pada orang yang telah membantunya itu, ia pun langsung mengucapkan, "T-terima kasih!"
Mendengar itu, si pemuda mengangguk. "Bukan masalah," balasnya sambil sedikit menggaruk lehernya yang tidak gatal. Kepalanya mengarah ke tempat lain untuk menghindari matanya yang melihat kaki gadis itu yang belum tertutup mantel. Teringat sesuatu. "Hei, kau mau mampir ke mansionku?" tawarnya kemudian.
Gadis itu terperangah. Tuannya menawarkan dirinya untuk mampir ke mansionnya? Sebenarnya, ini tawaran yang wajar—mengingat bahwa kelihatannya gadis ini tidak punya tempat tinggal. Lantas, gadis itu pun menerima tawaran itu dengan senang hati.
xXxWatashiNoJikanxXx
Malam yang tenang yang ditemani dengan kehadiran sang bulan, terdengar suara tapak kaki dari sepasang makhluk Tuhan yang saling bergandengan. Yang seorang berusaha menerangi jalan dengan lentera, dan yang seorangnya lagi terlihat lelah. Orang yang menerangi jalan itu—pemuda yang sekaligus pemilik gadis itu—heran mendengar suara napas yang memburu. Padahal mereka kan, baru berjalan sebentar?
Karena tidak bisa menahan rasa penasarannya, pemuda itu bertanya,"Hei, kau kenapa? Kau terlihat seperti memakai seluruh tenagamu hanya untuk berjalan?" Ia menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat bagaimana kondisi gadis itu sekarang.
Gadis yang tengah digandeng si pemuda, terkejut mendengarnya. "Be-benarkah...? A-aku tidak apa-apa, kok," sangkalnya berusaha memberi jawaban dengan napas yang normal. Sebenarnya, ia memang kelelahan. Mengingat bahwa sebenarnya ia adalah burung merpati, pastilah jika berhubungan dengan transportasi, jawabannya adalah terbang. Terbang menggunakan sayap, bukan kaki. Jadi, walaupun hanya untuk waktu yang singkat, ia akan cepat lelah jika melakukan hal yang berhubungan dengan berjalan.
Si pemuda hanya memperhatikan gadis yang digandengnya. Walaupun tidak terlalu puas dengan jawabannya, ia berkata biasa saja. Tapi, wajahnya benar-benar sedang tidak ingin diajak bekerja sama dengan kata-katanya untuk saat ini.
"Ah." Tiba-tiba, si pemuda teringat satu hal yang penting. Lalu, ia menolehkan kepalanya lagi. "Aku lupa menanyakan namamu. Jadi, siapa namamu?" tanyanya.
Si gadis terkejut. Lalu panik. Pemuda ini menanyakan namanya, dan ia belum sekalipun memikirkan apa nama samaran yang akan ia gunakan. Ia juga tidak tahu banyak nama yang cocok untuk wanita pada umumnya.
Saking bingungnya, gadis itu menggigit bibir bawahnya. Melihat itu, si pemuda jadi heran. Padahal, ia kan, hanya menanyakan namanya. Lantas, suatu kesimpulan muncul di benak si pemuda.
"A-apa... kau... tidak punya nama?" tanya si pemuda agak ragu—berusaha untuk tidak menyinggung. Gadis itu diam seketika. Pada saat-saat seperti ini, sikap terbaik adalah mengelak. Lalu, memberitahukan namanya. Tapi, sampai detik ini, belum terpikirkan juga nama yang pantas.
"Ma-mana mungkin! Tidak mungkin aku tidak punya nama!" elak si gadis berusaha terlihat wajar.
"Benarkah?" tanya si pemuda masih agak ragu. Sebab, walaupun gadis yang ia temukan di hutan pada malam hari dengan baju yang kurang memadai ini sudah memakai seluruh kekuatannya untuk terlihat tidak panik, tetap saja meragukan. Lihat saja, tangannya meremas-remas bagian bawah bajunya.
Si gadis mengangguk mantap. Melihat itu, si pemuda bertanya lagi, "Lalu, namamu siapa?" Tuh, kan? Memang kalau habis mengelak, harus menyertakan jawaban yang dituntut, bukan?
Aduuh... Ba-bagaimana ini? Tidak mungkin memutuskan nama dengan sekejap! batin gadis itu panik. Tindakan selanjutnya yang dapat ia pikirkan hanyalah memberitahu bahwa dia adalah burung merpati milik pemuda yang saat ini sedang mendesaknya untuk menjawab pertanyaannya. "Na-namaku..."
"Elizabeth! Namaku Elizabeth!"
Terdesak.
Spontan.
"Y-ya! Elizabeth! Namaku Elizabeth Middleford!" jawabnya sedikit panik. Si pemuda pun terdiam memperhatikan gadis yang mengaku-aku namanya adalah Elizabeth. Melihat si pemuda hanya diam, lantas ia tambah panik. A-apa namanya aneh?
"Oh," ujar si pemuda. "Namamu... bagus," pujinya. Elizabeth—si gadis yang kini berhadapan dengan pemuda itu—girang mendengarnya. Wajahnya memerah. "Namaku Ciel Phantomhive. Salam kenal, ya," lanjut si pemuda yang diketahui bernama Ciel itu. Elizabeth tersenyum dan mengangguk.
"Aku sudah tahu namamu sejak lama...," gumam Elizabeth pelan sambil menunduk.
"Ng? Kau berkata sesuatu?" Ciel ternyata mendengarnya. Yah, terdengarnya pun juga samar-samar. Elizabeth menggeleng kuat. Ciel pun hanya ber-'oh' saja menanggapi hal itu. Ia sempat berpikir Elizabeth anak aneh.
xXxWatashiNoJikanxXx
Setelah perjalanan panjang yang mereka lakukan, akhirnya mereka sampai di tujuan: mansion keluarga Phantomhive. Sesampai mereka di sana, mereka disambut oleh Sebastian–butler mansion tersebut. Sebastian terkejut ketika melihat tuan muda-nya membawa seorang anak gadis yang pakaiannya 'kurang bahan' itu.
"T-tuan Muda, maaf bila saya terkesan lancang. T-tapi, siapa gadis ini?" tanya Sebastian. Elizabeth merasakan ada hawa-hawa aneh ketika butler ini bertanya seperti itu. Yah, Ciel sih sudah terbiasa dengan hawa dingin butler satu ini.
"Kau jangan menakuti tamu dengan gaya bicaramu, Sebastian. Walaupun kau masih kalah menyeramkan dari Claude," ujar Ciel tidak segera menjawab pertanyaan Sebastian. "Ini Elizabeth Middleford. Aku menemukannya di hutan tadi."
"T-tapi T-tuan Muda… Anda kan, sudah–"
"Kalau mau bicarakan tentang hal 'itu', lebih baik tidak di sini, Sebastian," potong Ciel seperti tidak mau Elizabeth mengetahui hal 'itu'. Mungkin ia tidak mau Elizabeth kepikiran. Namun, justru sikap rahasia-rahasiaan seperti itu malah membuat orang penasaran, bukan? Tidak terkecuali Elizabeth. Ia penasaran sekali sekarang ini.
Sebastian menuruti saja apa kata tuan muda-nya ini. Sebastian segera mempersilakan masuk Ciel dan Elizabeth.
Elizabeth sangat senang. Akhirnya kaki-kakinya itu bisa diistirahatkan. Ia lelah sekali. Baru hari pertama mendapatkan kaki manusia, langsung dipakai berjalan dengan jarak yang tidak dapat dibilang dekat.
Saat Elizabeth girang duduk di sofa panjang kelas satu milik keluarga Phantomhive, Ciel memanggil Sebastian."Siapkan kamar untuk Elizabeth. Ia akan menginap di sini untuk beberapa hari," perintahnya sambil meminum teh yang baru saja disuguhkan Sebastian. Sebastian terkejut mendengarnya. Namun setelahnya, ia kembali tenang karena sudah mendapat kesimpulan lain.
"Baik. Akan saya siapkan di sebelah kamar Maylene," balas Sebastian. Namun, segera dibantah Ciel.
"Tidak, siapkan di sebelah kamarku," ujar tuan muda keluarga Phantomhive itu.
"T-Tuan muda…," Sebastian mulai memperingati Ciel–membuat Elizabeth ikut mendengarkan. "Saya harap tuan muda ingat tentang–"
"Sebastian, aku yang 'membayar'mu, kan? Sudahlah, turuti saja apa kataku. Ini perintah," suara Ciel mulai meninggi. Ia tidak suka dengan sikap Sebastian yang membantah dan sok memperingati dirinya. Mau tidak mau, Sebastian hanya menuruti apa kata tuan muda-nya.
Di satu tempat, Elizabeth terdiam heran. Apa yang ia lewatkan? Ia pergi meninggalkan rumah sehari sebelum membuktikan mitos itu. Dan ia sudah kembali dalam hari ketiga. Sebelum pergi, ia selalu pergi menemani tuannya itu. Memangnya ada hal besar apa yang bisa terjadi dalam tiga hari?
xXxWatashiNoJikanxXx
Waktu sudah menunjukkan pukul dua malam. Elizabeth ingin segera beristirahat di kamar. Tapi, karena belum selesai disiapkan Sebastian, akhirnya ia menunggu di atas sofa panjang ditemani Ciel. Ciel juga sangat lelah–dan bisa saja sekarang ia meninggalkan Elizabeth di sini sendirian karena kamarnya memang tidak perlu disiapkan atau segala macamnya. Tapi, yang namanya tuan rumah mau bagaimana lagi? Masa tamu ditinggal sendirian sementara dia tidur lebih dulu?
Semenjak Sebastian pergi, mereka tidak memulai percakapan apapun. Canggung sekali...
"Hei, kau tadi sedang apa di hutan malam-malam? Dengan pakaian seperti itu pula," akhirnya Ciel angkat bicara–bermaksud menghilangkan kecanggungan antar keduanya. Tapi, justru pertanyaan itu membuat Elizabeth sweatdrop.
"I-itu... Err…" Ia meremas-remas baju bagian bawahnya. Ciel makin penasaran. "A-aku dipanggil!" lagi-lagi Elizabeth asal menjawab.
"Oleh siapa? Dan untuk apa memakai baju seperti itu?" Ciel jadi curiga, merasa mengganjal sekali. Elizabeth panik–sangat panik.
"T-teman kakak perempuanku. Keluargaku hanya terdiri dari aku, kakak, dan ibu. Ayah adalah seorang pemabuk keras dan meninggalkan rumah sejak aku berumur tujuh tahun. Kami lumayan bersyukur karena ayah meninggalkan rumah tidak disertai hutang. Tubuh ibu lemah dan kami hidup bergantung pada profesi ibu yang hanya seorang penjaga perpustakaan, sementara kakak yang seharusnya masih bersekolah ikut bekerja dengan berjualan apel di stasiun. Aku yang masih kecil hanya ikut ibu ke perpustakaan, dan itupun hanya sampai tiga tahun. Sebab, ibu meninggal karena kelelahan," jelas Elizabeth panjang lebar. Tapi, tentu saja semua yang ia ceritakan murni dadakan. Sepertinya Ciel percaya, walaupun agak meragukannya.
"Lalu, apa yang terjadi pada kakakmu?" tanya Ciel penasaran akan kelanjutannya. Elizabeth sempat lupa apa saja yang telah ia ceritakan. Tapi— yah, untung saja hanya hal kecil yang ia lupakan.
"K-kakak lalu melakukan pekerjaan berbahaya pada malam hari, dan tetap bertahan berjualan di stasiun pada siang hari. Aku pun ingin meringankan beban kakakku dengan mengantarkan koran di pagi hari dan tetap bersekolah dengan bayaran kakak. Tapi, di suatu pagi, kakak belum pulang. Padahal biasanya kakak sudah ada di rumah saat aku mau berangkat mengantar koran. Akhirnya, aku ke kantor polisi—bermaksud mengajukan permintaan pencarian orang hilang. Sayangnya, saat itu tidak ada yang percaya dan berkata bahwa mereka sudah tahu itu gawat untuk anak-anak," lanjut Elizabeth ragu. "Sa-saat aku kembali ke rumah, aku dapat telepon dari teman kakak. Ia bilang kalau kakak bersamanya dan aku diminta datang ke tempatnya di hutan. Sesampai di sana, ternyata di sana hanya ada potongan mayat kakak. Aku pun ditidurkan seseorang dari belakang. Lalu, ketika aku bangun, aku sudah dipakaikan baju seperti ini di tengah hutan."
Ciel terlihat percaya. Ia menanggapinya dengan lega karena ceritanya sudah selesai. Pertanyaannya sudah terjawab sekarang. Yah, walaupun ia tidak tahu kalau dirinya dibohongi Elizabeth.
Sesaat setelah mereka selesai berbicara, Sebastian kembali menghampiri mereka untuk memberitahu bahwa kamar untuk Elizabeth sudah selesai disiapkan. Mereka pun berjalan menuju kamar Elizabeth yang berada di sebelah kamar Ciel.
"Nah, ini kamarmu yang baru, Elizabeth," ucap Ciel sesampai di kamar sebelah kamarnya–kamar baru Elizabeth.
Melihat itu, Elizabeth terperangah melihat kamar barunya. Suasananya benar-benar membuat kantuk! Jendela kamar itu lumayan besar dan tirainya tipis—membiarkan cahaya bulan menembus masuk ke dalam ruangan. Tempat tidur berukuran king size yang sama dengan milik Ciel, disertai satu boneka kelinci milik perusahaan Funtom yang dikelola Ciel. Lampu tidur yang indah pun tidak ketinggalan.
"T-Tuan! Ini indah sekali! Ini pertama kalinya aku punya kamar!" celoteh Elizabeth tiba-tiba dengan girangnya. Ia langsung memasuki kamar barunya dan menepuk-nepuk bantal yang terletak di atas kasur.
"Pertama kali...?" Ciel merasa ada yang aneh dengan kalimat Elizabeth barusan. Memang, ia tahu kalau Elizabeth bukan orang yang berkecukupan. Tapi, benarkah ini baru pertama kalinya?
"M-maksudku... p-pertama kali a-aku punya kamar sendiri! Wa-walaupun hanya dipinjamkan sementara!" elak Elizabeth cepat. Entah kenapa, tampangnya lumayan memelas dan terlihat agak panik. Baik pertama kali punya kamar atau punya kamar sendiri, keduanya benar, kok. Memang, burung merpati diberi kamar sendiri. Tapi, itu pun juga maksudnya 'sangkar'. Kalau 'kamar' yang berarti ruangan yang terdapat tempat tidur, sih... bagaimana, ya?
"Tuan Muda, hari sudah larut. Lebih baik Anda segera tidur," sela Sebastian tenang. "Lagipula, besok akan ada tamu penting," lanjutnya.
Mendengar itu, Ciel mendelik. "Tch. Jangan bicarakan di sini," Ciel merespon dengan nada tidak suka. Hal ini tentu membuat Elizabeth merasa keberadaannya mengganggu. Memangnya, apa ada hal yang benar-benar khusus dan pribadi sampai tidak boleh ada satupun orang luar dengar? Dan lagi itu terjadi hanya dalam tiga hari?
Melihat ekspresi Elizabeth yang pucat dan keringat dingin, Ciel segera permisi untuk keluar ruangan. Begitu pula Sebastian.
Sepeninggal mereka, Elizabeth berasumsi mereka akan segera membicarakan hal tadi walaupun masih beberapa jarak dari kamarnya. Akhirnya, ia tempelkan telinganya ke daun pintu kamarnya—bermaksud untuk... err... menguping. Dan benar saja, mereka masih berdiri di sana dan membicarakan hal tadi.
"Kau jangan sembarangan bicara, Sebastian! Walaupun kau hanya bilang 'tamu' pun mungkin saja Elizabeth menanyakan tamu itu siapa! Dan, jika aku tidak menjawab, hal itu pasti akan tepikirkan Elizabeth hingga pagi datang!" Ciel marah sekali terhadap Sebastian, hingga tidak sadar bahwa volume suaranya dari awal sampai akhir makin lama semakin keras.
Apa? Apa? Apa yang tidak boleh Elizabeth ketahui tentang tamu itu? Apa orangtua Ciel? Ah, tidak. Ciel kan, sudah tidak punya orangtua. Selain itu, apa yang gawat tentang hal tersebut?
"Tapi, Anda harus tetap memahami posisi Anda sekarang, Tuan. Walaupun Anda tidak menerimanya, tetap saja dia adalah—"
"—diam, Sebastian. Bukankah kau sendiri harus memahami posisimu sendiri? Aku kan, yang 'membayar'mu? Ini kedua kalinya aku mengatakan hal ini. Memangnya, kau ingin aku mengatakannya berapa kali hingga kau menurut?" emosi Ciel melunjak. Sebastian akhirnya hanya menurut. Ia mengikuti Ciel yang sudah meninggalkan tempat dan memasuki kamarnya.
Sekarang Elizabeth benar-benar sendiri. Ia jadi ingin menangis. Kalau ternyata seperti ini, rasanya Elizabeth ingin kembali ke waktu tiga hari sebelum hari ini dan melihat dengan mata kepalanya sendiri apa yang telah terjadi. Tapi, apa yang telah berlalu, ya, berlalu. Mau diapakan lagi? Akhirnya, gadis berambut ikal itu pun menangis juga.
xXxWatashiNoJikanxXx
Pagi telah datang. Matahari mulai menunjukkan dirinya. Cahayanya pun mulai mengedar di langit biru yang membuat sekeliling menjadi terang. Tapi, nampaknya matahari tak dapat menerangi benak makhluk Tuhan yang sekarang sudah terbangun dari tidurnya dan tengah duduk di pinggiran tempat tidurnya.
Elizabeth segera bangun dan berjalan mendekati jendela. Disibaknya tirai tipis yang menghalangi kaca jendela. Ditatapnya langit pagi yang cerah. Bulan masih terlihat di sana. Ia menatap lama dengan senyuman kesedihan terulas di wajahnya.
"Rasanya ingin malam datang kembali…," gumamnya lirih. Dapat diperhatikan mata gadis itu berkaca-kaca. Buliran air mata mulai jatuh di pipinya. Menyadari hal itu, ia langsung menyekanya. Andai saja ia bisa memutar kembali waktu... ia pasti akan mengembalikan tiga hari-nya yang sudah hilang.
Tok... Tok...
Terdengar suara ketukan pintu. Elizabeth segera menghampiri pintu dan membukanya. Didapatinya seorang maid, tapi bukan Maylene.
"Selamat pagi, Nona. Saya Paula. Saya diperintahkan untuk melayani Nona selama Nona menetap di sini," maid yang diketahui bernama Paula itu memperkenalkan diri dengan ramah –walau masih terkesan kaku. Dia terlihat seperti maid yang... baik. "Kalau saya boleh tahu, nama Nona siapa?"
"Elizabeth," jawab Elizabeth singkat.
Mendengar itu, Paula hanya mengulas senyumnya. "Sebastian dan Bard sedang menyiapkan sarapan. Saya akan membantu Nona memakai pakaian. Pakaiannya sudah disiapkan Sebastian," kata Paula sambil membawa masuk pakaian-pakaian bagus untuk Elizabeth, entah itu Sebastian membelinya atau dia membuatnya sendiri.
Elizabeth hanya menurut. Ia masih canggung dengan maid satu ini. Semua serba pertama kali. Baik kamar, maid, dan pakaian.
Selesai berganti pakaian, Elizabeth segera berjalan ke ruang makan, diikuti Paula di belakangnya. Sesampainya di sana, ia melihat Ciel sudah duduk di sana. Ia kelihatan banyak pikiran dan kesal. Apa ada hubungannya dengan 'tamu' tadi malam?
"Bagaimana? Kau bisa tidur nyenyak?" tanya Ciel cukup ramah pada Elizabeth. Ditambah lagi ia tersenyum tipis.
Wajah Elizabeth langsung memerah. "Y-ya, lumayan," jawabnya singkat.
Sebastian datang menghampiri, menyajikan sarapan. Akhirnya, mereka hanya menghabiskan sarapan masing-masing dengan keheningan menyelimuti mereka.
"Ah, ya. Sebastian, kapan dia datang? Masih lama, kan?" tanya Ciel sedikit cemas memecah keheningan. Ia resah dan khawatir kalau ternyata 'dia' akan datang cepat.
"Dia—" ucapan si butler itu tiba-tiba terputus. Matanya membulat melihat tiba-tiba ada tangan melingkar di leher Ciel. Si empunya tangan menempelkan bibirnya di telinga Ciel dan membisikkan sesuatu.
"Sayangnya, 0 detik lagi, lho," bisiknya. Ciel segera memutar kepalanya, berusaha menatap orang itu. Wajahnya langsung pucat.
"A-Alois... Kau— uhuk!" ucapan Ciel terpotong karena sesuatu mengganggu tenggorokannya. Tiba-tiba, gadis berambut panjang yang Ciel panggil Alois itu menempelkan telunjuknya di bibir kecil Ciel. Membuat pemilik bibir itu mengatup mulutnya.
"Eit, kau harus minum dulu! Jangan segelas penuh, ya!" Gadis itu meraih gelas di dekat piring Ciel. Ia menuangkan air ke gelas itu. Lalu, menyodorkannya pada Ciel. Ciel bergidik kesal. Apa boleh buat. Ia menerima gelas itu dan menegak isinya. Mereka terlihat begitu dekat. Saking asik sendiri di dunia mereka, mereka bahkan melupakan bahwa di sana terdapat eksitensi seorang gadis berambut ikal berkuncir dua—Elizabeth. Ia terpuruk melihat kedatangan Alois. Apa yang dirahasiakan Ciel dan Sebastian ternyata adalah kedatangan Alois? Gadis yang kelihatannya dekat—sangat dekat—dengan Ciel? Memangnya, apa hubungan mereka?
Tengah bersenang-senang mendekati Ciel, Alois menyadari bahwa ada gadis lain yang duduk di meja makan. "Wah, siapa gerangan gadis ini?" tanyanya pada Ciel sambil melirik ke tempat Elizabeth duduk.
"Ah, yah. A-Alois, dia Elizabeth. Dia menumpang di sini untuk beberapa hari. Tadi malam aku menemukannya di hutan," jelas Ciel sambil memperkenalkan Elizabeth pada Alois. "Dan Elizabeth, i-ini Alois. Dia… Err... O-orang iseng," ujarnya kaku memperkenalkan Alois pada Elizabeth.
Mendengar itu, Alois mendelik, "Apa maksudmu dengan 'orang iseng'? Ah, aku tahu! Kau malu ya, mengatakannya? Kau tinggal jujur saja bisa kan, berkata aku ini tunanganmu?"
TBC
